Prologue
~Exploring the 'dark side' may be a psychological need~
* * *
* *
*
Higurashi Kagome membuka kelopak mata, pandangannya buram. Tubuhnya terbujur, di sekelilingnya air berwarna merah, ia tenggelam. Kedua tangannya terikat. Kakinya dengan panik menendang, tubuhnya menggeliat sekuat tenaga. Ia yang tercekik dan tersedak bersusah payah bangkit dari bak mandi besar yang permukaannya dipenuhi dengan busa tebal. Setelah beberapa lama, ia berhasil duduk. Ia mengusap wajah dengan lengan untuk menyingkirkan busa putih yang menutupi. Lidahnya terasa pahit, matanya pedih, dadanya sesak, dan tenggorokannya terasa panas juga perih. Mulutnya terbuka lebar, setelah meraup udara banyak-banyak Kagome lantas terbatuk-batuk dengan hebatnya.
Puluhan detik kemudian, wanita yang memiliki sepasang manik berwarna unik itu merunut ingatan terakhirnya. Sekilas ia memeriksa keadaan badan, tangan, serta kakinya yang tanpa luka sedikitpun. Salah satu kaki lemahnya menjejak lantai, diikuti yang satunya lagi. Ia melangkah gontai menuju pintu. Rambut hitam lebatnya terurai, melekat menutupi sisi wajah. Keseluruhan kulitnya pucat, bibir merah mudanya kini beralih warna menjadi cokelat keunguan. Sebagian tubuh telanjangnya ditutupi oleh busa-busa lembut. Secara refleks, wanita yang menggigil kedinginan itu menempelkan kedua pergelangan tangannya yang terikat di atas dada demi memberi sedikit kehangatan.
Perlahan, mantan pendeta wanita di kuil Higurashi itu membuka pintu geser. Matanya dengan awas memindai kamar yang sudah beberapa hari ini menjadi hunian terpaksanya, tidak ada siapa-siapa di pusat keempat sisi tembok yang bercat putih pucat itu. Ruangan itu berlantai granit putih dengan semburat tipis abu-abu. Berukuran sekitar delapan tatami, cukup luas. Kamar itu minim perabotan, hanya ada sebuah kursi dan meja dengan banyak laci untuk menyimpan barang yang kian hari isinya semakin bertambah. Di sisi lain ruangan terdapat futon untuknya yang kini terlipat rapi. Penerangan yang ada benderang, dengan ventilasi AC di pojok atas. Kamar bawah tanah itu seakan dibangun khusus sebagai studio oleh seorang seniman, itu akan menjadi tebakan sang miko jika saja ia berada di sana dengan riwayat yang berbeda.
Hingga sampai saat itu, Kagome tidak tahu atas tujuan apa dan siapa orang yang menculiknya. Ia tidak mengetahui di mana ia berada, ia pun ragu masih berada di prefektur yang sama. Dengan seringnya ia pingsan, entah sudah berapa lama ia terdampar di sana. Bila ia menduga bahwa sudah empat hingga lima hari telah berlalu sejak ia disekap, itu berarti, kemungkinan bulan sudah berganti menjadi awal Desember. Tanpa adanya jendela di sana, tak pula ia mengetahui apakah matahari atau rembulan yang tengah meraja. Demi meraba masa, wanita itu memasang telinga. Meski tergolong jarang, biasanya ia dapat mendengar sayup-sayup suara kendaraan bermotor yang melintas. Kini, dari panel kisi pengatur temperatur hanya dengung super halus yang dapat ia tangkap. Dengan demikian, ia menerka kemungkinan waktu sudah masuk tengah malam buta.
Kagome memilih duduk di atas lipatan futon. Ia tak lagi panik sepanjang waktu sejak dipisahkan dengan kehidupan normal. Pada waktu tenang seperti itu, ia akan memikirkan cara untuk melarikan diri. Namun, tidak seperti biasanya, kali ini isi kepalanya melesat jauh ke tahun 2006, sebelas tahun yang lalu ketika ia masih kelas sembilan. Meski lama berselang, semua itu masih segar di ingatan. Tahun terakhir sekolah menengah pertamanya terasa pelik, meski dengan nilai pas-pasan, ia berhasil lulus. Kesulitan pelajaran yang ia hadapi menjadi berlipat ganda karena pada masa yang sama ia juga menghabiskan puluhan hari di tengah pertikaian hebat antara manusia melawan siluman dan makhluk di antara keduanya.
Melalui sumur keramat yang ada di halaman rumahnya, tanpa sengaja Kagome menembus waktu dan menjelajah Jepang di tahun seribu lima ratusan. Pada zaman itu, ia terjebak dalam perebutan kekuatan oleh kebajikan dan kejahatan, semua demi permata empat arwah yang dijuluki shikon no tama semata. Masa remaja Kagome diisi dengan pengorbanan demi rasa keadilan dan tanggung jawab secara sukarela. Juga, kebodohan atas nama cinta. Bulan demi bulan berlalu, pertikaian besar pada akhirnya selesai. Untuk menandaskan pertempuran serta menuntaskan kewajiban, sebagai orang terakhir yang berhak memegang bola empat arwah, Kagome mengutarakan permintaan dari hati. Dengan itu, ia bisa menginjakkan kaki di zamannya lagi. Kagome selalu mengira bahwa semua kesulitan yang seberat dunia pun akan terasa ringan jika usai terlampaui. Akan tetapi, setelah semua yang telah miko itu alami, ia malah merasa ketakberuntungan seakan terus membuntuti.
Dikepung sunyi, aura yang merebak dengan kesuraman pun menghampiri. Kagome menoleh ke daun pintu yang baru terbuka beberapa belas detik kemudian. Wanita itu memandang kehadiran sosok yang kini menjadi pangkal penderitaan.
* * *
Kosakata:
Miko/Shrine maiden/Priestess : (Gadis/Perawan Kuil)/Pendeta Wanita.
Shikon no tama (from Inuyasha Universe) : Permata yang tercipta dari empat unsur arwah, berwarna pink keunguan yang memberi kekuatan bagi si pemiliknya namun sebenarnya bersifat merusak.
Reiki: Kekuatan pemurnian yang dimiliki para miko.
Another Note:
- Tidak seperti di fanfiction dot net yang dijadikan satu bab, di Wattpad cerita ini dipecah menjadi beberapa bab karena ingin memasukkan satu/dua lagu yang menjadi inspirasi fic ini sendiri.
- Huruf miring di dalam ucapan Mo Tae Gu dikatakan dalam bahasa Korea.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top