Chapter 7 -Bad Dream part II


Akan tetapi, semua itu hanyalah reka imaji milik Kagome sendiri. Itu hanyalah perkiraan atas semua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Karena kenyataannya, ia yang baru saja mengenakan kemeja masih berdiri memandangi si lelaki.

Mengenang semua penyiksaan yang pria itu lakukan membuat amarahnya serta-merta menggelegak. Tangan kanannya meraih pisau dapur besar yang tergeletak di atas meja dan menghampiri Tae Gu. Kagome bertumpu di atas kedua lutut yang menempel, tangan kirinya di sisi kanan kepala dan yang satu menempelkan pisau tajam ke leher laki-laki itu. Dengan suara bergetar ia berucap, "Katakan padaku! Bagaimana? Bagaimana rasanya mengambil peran sebagai mangsa, hah?"

Dengan rahang terkatup rapat, Kagome mencela dalam satu tarikan napas, "Kau pria kejam, menjijikkan, sakit mental yang tidak berperasaan. Kau bukan manusia! Kau bahkan lebih hina dibanding monster itu sendiri!" Wanita itu mendengus. Intonasinya merendah tapi ketus, "Walaupun begitu, di suatu tempat di lubuk hatimu kau sudah bersiap untuk menerima hukuman. Kau bahkan mengharapkan penderitaan lebih dari yang pernah kau berikan, kau dahaga akan siksaan, agar terbebas dari rasa bersalah yang menggerogotimu kau mendamba balasan. Kau tahu bahwa kau tidak akan pernah menemukan titik kepuasan dari pembunuhan. jauh di alam bawah sadar, kau ingin dihentikan."

Kagome tersenyum lemah, "Kalau begitu, sudah sepatutnya aku tidak mengecewakanmu, ya 'kan?" Ia merubah posisi, kini ia mengangkangi perut Tae Gu. Sang miko meneliti badan mulus milik laki-laki itu dan bertanya, "Dari mana kita harus memulai?" Kemudian ia menyelidiki raut muka si pria yang kini tak berdaya. "Haruskah kita mulai dari parasmu?" Kagome menempelkan ujung besi berbentuk segitiga itu di bawah rahang Tae Gu. Tangannya bergerak, ia menempelkan sisi yang tidak tajam lalu menyeret pisau menyusuri dagu, pipi, naik ke pelipis sebelum turun lagi dan berhenti di area mulut. Masih menggunakan bagian yang tumpul, Kagome menyisipkan pisau itu di antara bibir Tae Gu dan menekannya selama tiga detik. Jika saja yang digunakan sisi yang sebaliknya sudah pasti mulut pria itu tercabik.

Kagome menarik mundur tangannya, ia menghela jengah. "Merusak roman tampan yang diciptakan oleh Kami-sama akan sangat disayangkan." Wanita itu tiba-tiba menarik napas dengan suara cukup keras, seakan terkejut dengan perkataannya sendiri. Dengan senyum sinting dan nada imut yang dibuat-buat ia berucap, "Tidak pernahkah aku memberitahukanmu? Jika belum, itu sangat memalukan!" omelnya pada diri sendiri. Monolog Kagome pun berlanjut, "Teruntuk Tuan Yang-tidak-kuketahui-namanya, dari hatiku yang paling dalam, kau adalah salah satu pria dengan rupa teramat menawan yang pernah kutemui secara langsung di masa modern ini," di sela-sela kalimat ia menarik kepala ke bawah, bersungguh-sungguh dengan perkataannya. "Tapi, bagiku, daya tarik seksualmu akan lebih besar lagi andai saja kau memiliki satu hal yang tidak manusiawi seperti cakar, sepasang telinga segitiga di atas kepala atau puncak kuping meruncing mirip peri mungkin?" Di akhir kalimat Kagome berdekah. Tawa wanita yang kini duduk di atas pinggang Tae Gu itu meledak-ledak hingga bahunya berguncang dan mata terpejam. Dengan punggung tangan yang menggenggam pisau ia menutupi mulut, sedangkan yang satu berada di perut.

Seusai tawanya reda, si sulung Higurashi berkata, "Ups, aku salah. Kamu telah memilikinya. Meski tidak dalam bentuk fisik, kau memiliki hal yang sangat tidak manusiawi." Wanita itu tersenyum nakal sebelum mengimbuhkan, "dan aku suka itu." Ia memahami arti tatapan pria itu, sebab itu Kagome menyahut, "Aku tahu, aku gila."

Sangat kontras dengan beberapa detik lalu, tiba-tiba wajah Kagome berubah dingin. "Baiklah, hentikan omong kosongnya, mari kita mulai saja." Miko itu menghirup napas panjang, ia menggengam pisau dengan kedua tangan, lalu meletakkan ujung benda itu tepat di tengah dada Tae Gu. Penghujung bilah menusuk satu milimeter ke dalam kulit, tetes kecil cairan berwarna terang menyembul dari badan sang pria. Ke sepuluh jemari Kagome teregang lurus sebelum kembali erat menggenggam pegangan senjata tajam. "Aku tidak mempunyai pilihan lain selain mempersembahkan sambutan atas harapanmu yang terpendam." Tangan wanita itu terangkat lebih tinggi dari kepalanya. Di momen berikutnya, senjata itu meluncur. Dengan kecepatan dan tekanan yang diberikan, besi tipis itu dengan mudah menembus kulit, merusak jaringan, menerobos rusuk, merobek daging, dan organ lembut yang ada di dalamnya. Bunyi yang dihasilkan begitu memilukan, tapi napas Kagome stabil seperti sebelum menikam seorang insan. Ia sedikit memiringkan kepala, ekspresinya dingin kala mengamati air muka sang pria.

Untuk pertama kali di dalam hidupnya, Tae Gu gentar. Ia takut mati. Kengerian hebatnya itu melipatgandakan nestapa yang ia terima kala maut menjemput. Kedua matanya tertutup rapat-rapat menahan sakit, bulir-bulir besar keringat dingin bermunculan di pelipis. Bibirnya terpisah, dengan panik ia mengambil oksigen tapi berhenti ketika udara yang ia hirup hanya memberikan sengatan nyeri yang tak terperi.

"Seperti yang pernah kau katakan padaku, rasa sakit adalah hal esensial dalam kehidupan. Oleh sebab itu, dengan senang hati aku akan membantumu menjadi manusia yang utuh, karena aku ... " Kagome mendorong pisau yang masih tertancap di dada pria itu lebih ke atas lagi. Pendarahan dalam yang terblokir dan berkumpul di satu tempat bergerak bersamaan dengan gerakan pisau, Tae gu memuntahkan gumpalan besar likuid merah dari mulutnya. Cairan kehidupan nan kental membalur ke wajah, leher, dan mengalir ke granit putih di sekitar pria penderita parafilia. Kerongkongan dan tenggorokan laki-laki itu tersumbat oleh darah, ia mengeluarkan suara mengenaskan kala berusaha sekuat tenaga menarik napas.

Wanita itu bergeser untuk duduk di samping badan Tae Gu seperti semula. Secara lembut ia membelai pipi. Dengan sentuhan seringan bulu, jari-jemarinya mengelus bibir bawah pria itu. Menggunakan nada terhalus ia menuntaskan kalimatnya yang tertunda, "Karena aku memujamu." Usai mengutarakan kejujuran yang tersimpan, Kagome mendekatkan wajah, ia mencium sepasang kelopak liat yang memerah oleh darah. Dengan lamban, ia menjilat dari sisi yang satu ke sisi lain bibir bawah pria itu hingga warna aslinya terlihat. Dengan mulut yang sedikit terbuka ia menelusuri rahang. Wanita itu memberi gigitan kecil di cuping telinga kanan penyekapnya sebelum bergerak turun sambil memberikan beberapa kecupan ringan. Di area leher, lidahnya menyembul, dengan ujungnya, Kagome mengecap. Ia mengambil jeda sejenak dan memperlebar jarak untuk menatap kondisi pria itu.

Tae Gu terkungkung oleh rasa sakit tak terkira. Bahkan di tiap detik, ia dapat merasakan tajam pisau yang merobek organ-organnya. Waktu yang terbatas terus berjalan tanpa acuh. Kian lama seluruh tubuhnya terasa dingin. Tanpa Tae Gu sadari, seiring dengan rasa sakit yang memudar, semakin jauh pula ia dari kehidupan. Akibat banyaknya darah yang terkuras, kesadaran Tae Gu menipis, pandangannya pun tak lagi fokus. Yang terakhir ia tangkap dengan jelas adalah senyum ceria wanita itu.

Bibir berbentuk busur milik Kagome melengkung ke atas. Tangannya merambat naik, menyusup di antara rambut Tae Gu yang acak-acakan. Miko yang telah tercemar oleh sisi gelap itu kembali mempersempit ruang di antara mereka. Tepat di tengah kedua tulang selangka bertemu, lagi-lagi indra perasanya terjulur. Kali ini separuh lidahnya menyapu leher jenjang yang berlumur darah dan keringat. Rasa karat bercampur sedikit asin memenuhi mulut. Kagome malah semakin menjadi-jadi, tangannya terus bergerak, ia membelai kulit kepala, dan meremas gemas rambut pria itu selagi mempersembahkan isapan lembut yang beralih menjadi kuat hingga meninggalkan tanda. Karena merasa hasrat hatinya belum seluruhnya terpenuhi, Kagome menghadiahkan pertautan penuh nafsu yang melibatkan lidah dan gigi. Ciuman sepihak yang belum lama berlangsung itu mendadak terhenti.

Kagome tiba-tiba tersadar, kedua matanya melebar. Segera ia menarik diri. Dengan panik ia melihat pisau yang tertancap di dada dan ekspresi pria itu bergantian. Pangkal alisnya bertemu di tengah sedangkan ujung-ujungnya tertarik gravitasi. "Maafkan aku," ucapnya gemetar. Meski gentar dan tidak tega, miko itu menguatkan mental dan menarik pisau itu keluar dari tubuh Tae Gu dengan satu tarikan mulus. Merah nan hangat menyembur, memercik ke segala arah termasuk wajah Kagome yang sudah coreng-moreng oleh darah. Tubuh pria itu mulai bergetar, bola matanya berputar ke atas, dan kakinya sedetik kejang. Sontak saja, Kagome meletakkan kedua tangannya yang bersinar tipis dengan cahaya merah muda keunguan tepat di atas luka tusuk yang ia ciptakan. "Bertahanlah," pintanya putus asa. Tetes air mata menyertai suaranya yang pecah oleh kesedihan dan berat dengan pilu yang mendalam, "Jangan mati di tanganku, kumohon!"

Dengan panik Kagome mencoba untuk memusatkan pikiran, mengumpulkan semua reiki—kemampuan utamanya sebagai seorang miko—yang ia miliki untuk menyembuhkan laki-laki itu sesegera mungkin. Kepalanya tertunduk, matanya tertutup, kristal cair terus berjatuhan ke lantai. Menit demi menit berlalu, pada akhirnya, pertanda baik mulai terlihat. Setelah Kagome merasakan adanya perubahan yang signifikan dan yakin bahwa pria itu telah melewati titik kritis barulah ia kembali memandang dunia.

Setengah terisak setengah tertawa, Kagome yang kini optimis dapat menyelamatkan pria itu berkata, "Apa yang kau katakan benar, kita sama." Dengan nada pahit ia melanjutkan, "Aku pun persis seperti makian yang kuarahkan kepadamu, aku kejam dan lebih buruk dari monster itu sendiri." Demi menuntaskan petualangannya ratusan tahun lalu, dengan satu kalimat yang dijadikan permintaan pada bola permata yang memberi kekuatan, tanpa sengaja ia membasmi seluruh keberadaan kaum siluman. Tidak peduli baik atau jahat, berbentuk monster maupun yang wujudnya menyamai manusia. Tidak pandang hanya setengah keturunan maupun siluman sepenuhnya, semuanya lenyap dari muka bumi. Oleh sebab itu jualah Kagome kehilangan Inuyasha, manusia setengah siluman yang menjadi cinta sejatinya.

Suara wanita itu berubah kaku, "Aku menjijikkan, tidak waras, juga tidak berperasaan." Di saat yang sama, selapis demi selapis jaringan daging, otot, dan pembuluh Mo Tae Gu yang koyak-moyak kembali pulih. Muka pasi lelaki itu berangsur-angsur diisi oleh semburat kehidupan. Luka tikam yang Kagome ciptakan kini telah tertutup sempurna tapi kondisi pria itu belum sembuh sepenuhnya karena masih kekurangan banyak darah. Namun demikian, gelombang rasa lega menyapu hati sang miko.

Seraya menarik tangannya dari badan pria itu Kagome bertutur, "Sejak kau menahanku di sini, aku terpaksa menyadari sesuatu. Dengan berat hati aku harus mengakui bahwa aku hanyalah masokis terkutuk, sakit mental, yang ingin sekali menemui ajal. Sejak petualanganku berakhir dan aku kehilangan seluruh anggota keluarga dan teman-teman yang berharga, semangat hidupku sama sekali tidak tergugah oleh kenormalan. Kini kuakui, kegilaan yang kau suguhkan entah bagaimana terasa begitu menggiurkan. Dan saat kusadari, aku sudah tidak memiliki pilihan untuk menyerah atau mundur selangkah." Suara Kagome memelan dan sarat ketulusan, "Aku tak lagi sanggup menahan perasaan."

~~~>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top