Chapter 6 -Bad Dream


Setelah tangisnya reda, Kagome menurunkan tangan dari wajah. Dengan mata merah ia menyisir sekitar. Ketika benda yang dicari tertangkap oleh penglihatan, ia langsung bangkit dan menyambar pisau dapur yang tergeletak di atas meja. Berhati-hati, Kagome menggesekkan bilah tajam pada tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya. Setelah tiga menit berlalu, barulah temali yang menjeratnya terputus. Kagome mengusap asal pipinya yang basah dengan punggung tangan kemudian berdiri di atas kedua kaki. Nektar putih percampuran miliknya dan pria itu merayap keluar dari selangkangan lalu meluncur ke paha. Area kewanitaannya terasa aneh, seperti masih ada sesuatu yang mengganjal di sana. Rasa tak nyaman itu langsung ia abaikan. Ada misi yang harus ia laksanakan.

Kagome memindai ruangan, pakaian yang ada di ruangan itu hanya kemeja milik si bedebah. Tanpa pikir panjang ia meraih kemudian menggunakannya. Panjang kemeja itu cuma mencapai pertengahan paha, tapi itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Dari tempatnya berdiri, ia melihat sosok yang masih terbujur. Sedetik kemudian ia sudah mengalihkan perhatian pada celana panjang hitam yang tergeletak di lantai. Higurashi menyambar kain itu kemudian merogoh semua saku yang ada, ia berhasil menemukan dua kunci, satu besar dan yang lainnya kecil. Hanya dari ukurannya ia dapat memilah dan menggunakan satu yang tepat untuk membuka pintu tempatnya disekap. Selagi memasukan anak kunci itu ke lubangnya, otak Kagome sibuk memperhitungkan tahapan berikutnya; jika pintu utama rumah itu dikunci, ia akan menerobos melalui jendela, lubang angin atau celah mana saja yang tersedia.

Wanita itu sudah melewati ambang pintu, di hadapannya terdapat tangga menuju lantai dasar. Tebakannya benar, selama ini ia berada di sebuah kamar bawah tanah. Kagome setengah berlari menapaki belasan anak tangga. Setibanya di sana, ia lekas-lekas mencari kunci pintu utama dan jalur untuk kabur di berbagai sudut. Semua jendela yang ada di lantai dasar berjeruji besi. Sama hal dengan tas dan semua barang-barangnya, kunci tak berhasil ia temukan di seluruh penjuru kamar tidur pria itu. Kagome memasuki ruang kerja. Di tempat itu, ia mencoba menyalakan komputer dan gawai yang tergeletak. Sesuai perkiraannya, kedua perangkat elektronik yang bersandingan itu dilindungi kata sandi. Setelah mencoba beberapa kali ia menyerah. Mendadak, debar jantung Kagome menguat hingga dadanya terasa sakit saat matanya menangkap telepon rumah di atas meja. Akan tetapi, kekecewaan segera menyerbu, tidak ada dengung yang terdengar ketika ia menempelkan gagang telepon itu ke telinganya.

Tak mau berlama-lama di sana, ia melesat ke lantai atas. Sayangnya, seluruh pintu kamar yang ada terkunci. Harapan membuncah ketika ia melihat gorden tebal dan besar. Cepat-cepat ia mendekat dan menyibak tirai berat berwarna cokelat tua itu. Di balik gorden terdapat sebuah pintu geser dengan panel kaca bening setinggi dua meter. Sontak ia berusaha menggeser tetapi, senasib dengan semua kamar di lantai atas, pintu kaca menuju balkon itu pun terkunci.

Tanpa ragu Kagome mengambil sebuah kursi santai yang tak jauh darinya, mengangkat dan melemparkan benda itu ke arah pintu geser. Benturan antara kursi dan kaca terjadi, bunyinya tidak nyaring seperti yang Kagome kira. Tidak ada pecahan tajam berserakan, pintu kaca tebal itu masih kokoh tanpa goresan. Tak terima dengan kegagalan, Kagome mendekatkan wajahnya ke partisi bening itu, matanya memandang nyalang sinar pucat rembulan yang menyinari dunia luar; rumah-rumah yang terlihat adalah tipe rumah mewah yang mengutamakan privasi dan di waktu yang larut seperti saat itu, tentu saja tidak ada penghuni yang terdeteksi. Jalan yang terbentang sangat sepi, tidak ada orang maupun kendaraan yang melintas. Meski begitu, ia menggedor-gedor seraya berseru lantang. Ratusan detik berlalu, sekeras apapun ia memanggil, teriakannya hanya disambut oleh kebisuan malam.

Kagome memutuskan untuk turun lalu merangsek ke dapur. Di sana hanya ada sungkup udara. Sedangkan, di kamar mandi lantai dasar cuma ada satu jendela kecil yang tak akan cukup dilewati bahunya. Tanpa kunci, tak ada celah untuk pergi. Satu-satunya cara yang tersisa adalah bertanya pada si monster itu sendiri. Miko itu memutar tubuh, kaki telanjangnya menyusuri bagian belakang rumah, menuju pintu yang akan membawanya ke ruang bawah tanah.

Selagi berjalan menuju tempat penyekapan, otak Kagome terus merajut rencana. Jika letak kunci telah ia ketahui, selanjutnya apa? Wanita itu menggali memori beberapa hari ini. Sejauh yang ia ketahui, laki-laki itu sama seperti dirinya, seorang diri di negeri ini. Apabila ia meninggalkannya dalam keadaan terikat mantra begitu saja, sudah pasti lelaki itu akan mati dengan sengsara. Kematian yang mungkin teramat ringan dari yang sepantasnya ia terima. Kagome tertegun sejenak, logika memerintahkannya untuk segera pergi dari tempat itu. Sebaliknya, lubuk hati terdalamnya menolak keras, bagaimanapun jua, ia tidak tega untuk menelantarkan sesosok jiwa ciptaan Kami-sama.

Ada beberapa pilihan yang Higurashi Kagome temukan. Pilihan ketiga; jika ia sukses pergi dari sana, ia tinggal menelepon polisi, memberikan alamat, mengatakan bahwa ada seorang pria yang menderita penyakit aneh yang tidak dapat bergerak di ruang bawah tanah rumahnya. Dengan segera pihak berwenang pasti menolong pria itu dengan memindahkannya ke rumah sakit dan ia bisa kembali ke kehidupan membosankannya sebagai redaktur bahasa untuk sebuah majalah di daerah Shinagawa. Lantas, apa yang akan terjadi setelah itu? Kagome berpikir ia bisa saja mencari tahu rumah sakit tempat pria itu dirawat sementara, mengaku sebagai teman saat mengunjunginya. Dengan alasan agar tidak banyak pihak yang heboh dengan keanehan 'penyakit' penculiknya tersebut, ia akan mengembalikan keadaan pria itu seperti semula. Akan tetapi, apa lagi yang akan terjadi kemudian? Pria sadis itu akan kembali bebas di tengah masyarakat, mengancam banyak jiwa yang rapuh. Siapa saja bisa menjadi targetnya. Jika ada korban yang berjatuhan, maka itu adalah kesalahannya.

Menceritakan secara keseluruhan atas semua yang telah menimpanya pada pihak berwajib hanya akan membongkar rahasianya sendiri, itu sama sekali bukan sebuah kemungkinan. Pilihan kedua; yang terbaik yang bisa Kagome lakukan adalah melaporkan pria itu ke polisi, mengaku sebagai korban penculikan dan percobaan pembunuhan. Dengan begitu, laki-laki itu akan di penjara dan masyarakat aman dari ancamannya. Itu memang pilihan paling logis akan tetapi, entah mengapa Kagome merasa berat hati. Ketika pintu ruang bawah tanah sudah di depan mata, ujung-ujungnya miko itu merengkuh ide gila yang sejak awal tebersit sudah merebut tempat teratas di pikirannya. Pilihan pertama bagi Kagome adalah ... memberi pria itu kesempatan.

Pertama-tama, Kagome menggenggam satu tongkat hitam—yang pria itu gunakan untuk memukulinya—sebelum menyingkirkan semua senjata yang tergeletak di lantai ke dalam kamar mandi dan menggeser meja untuk menahan pintunya. Setelah itu, ia berjongkok di sisi Tae Gu. "Kau harus memberitahuku di mana kunci pintu depan dan aku akan membiarkanmu hidup. Kali ini kau kulepaskan tapi, aku akan terus mengawasimu. Jika ada orang lain yang kau sakiti, aku tidak akan melaporkanmu pada polisi tapi langsung membunuhmu saat itu terjadi!" ancamnya dengan suara yang dibuat setegas mungkin. Yang diajak bicara tidak merespons, andaikan ada yang ingin disampaikan, pria itu tidaklah mampu. Tangan Kagome menyentuh bahu pria itu, lalu mulutnya bergerak-gerak.

Mantra terberai, Kagome dengan sigap berdiri. Wanita yang pernah menjelajah bumi jepang di era feodal itu mengawasi pria itu bangkit perlahan. Dengan suara agak serak laki-laki itu memberitahu, "kunci pintu depan ada di kamarku, tertempel di langit-langit laci pertama nakas di samping kanan ranjang."

Karena pria itu tak tertutupi sehelai benang pun, Kagome sedikit menunduk, tapi ia berjaga-jaga dengan tetap memperhatikan kedua kaki orang tersebut. Pria itu maju, Kagome berjalan mundur. Laki-laki itu berhenti untuk menggapai boxer-nya. Setelah yakin tubuh orang yang ada di hadapannya tak lagi polos, Kagome mulai mengangkat kepala. Perlahan, selangkah demi selangkah ke belakang diambilnya, selama itu pula matanya tidak beralih dari sosok haus darah itu. Ketika Tae Gu membungkuk untuk mengambil celana panjang hitamnya, diam-diam wanita itu menghela napas lega. Ia masih memiliki waktu lebih, secepat kilat Kagome menghilang di balik pintu, mengunci ruangan itu, dan ia berlari menapaki dua hingga tiga anak tangga sekaligus.

Setibanya di lantai dasar, Kagome segera menyerbu ruang tidur pria itu, menarik cepat laci pertama, dan menyambar benda kecil pembawa kebebasan di tempat yang disebutkan. Dalam sekejap, ia beranjak dari kamar yang teramat rapi dan berjalan ke ruang tamu berdesain minimalis dengan warna serba putih. Sebagian besar ruangan yang ada di rumah itu terkesan benderang, lapang, dan dingin karena minim hiasan personal penghuninya. Wanita itu tengah membuka gerendel pintu ketika ia merasakan aura suram yang mengintimidasi itu kian dekat. Sontak ia mengumpat, "Bodoh!"

Semua berlangsung dengan sangat cepat; pria itu sudah di belakangnya, menyerangnya secara tiba-tiba, tongkat yang Kagome pegang untuk mempertahankan diri seakan tidak memiliki guna sama sekali. Sedetik pisau melengkung itu menempel di leher Kagome, di sepersekian detik kemudian bilah tajamnya sudah menancap di kulit halus dan menyayat arteri yang tipis. Likuid merah terang menyebur hebat, percikannya menodai daun pintu yang berwarna putih.

Kagome membalikkan badan, ia yang syok terhuyung-huyung ke belakang. Pria itu persis setapak di hadapan dengan senyum sinis terpampang di satu sisi wajah. Dengan ketenangan yang tidak pada tempatnya pria itu berkata, "Apa kau pikir aku tidak menyediakan kunci cadangan?"

Sebagai reaksi otomatis, kedua tangan Kagome menutupi leher. Seolah-olah dengan tindakannya itu darah yang berhamburan segera berhenti dan luka yang menganga lantas menutup kembali. Jauh dari logika memang, tapi itulah yang terjadi. Kedua tangan perempuan itu berkilauan dengan cahaya merah keunguan, jaringan yang tersayat dan nadi yang terkoyak kembali merapat, lehernya kembali seperti semula. Meski ia merasa sedikit pening dan penat, Kagome memaksa diri untuk kuat tegak di atas kedua kaki. Dan dengan cara yang sama seperti sebelumnya, pria itu lagi-lagi ia lumpuhkan. Tae Gu jatuh duduk di atas lantai dengan kepala bersandar di lengan sofa.

Wanita itu meraih pisau bernoda darah yang terjatuh di atas karpet. Suaranya jemu kala berkata, "Kau masih belum mengerti situasimu saat ini, ya?" Kagome mendekati si lelaki, kedua lutut bertumpu di atas lantai. "Seharusnya kau tahu kapan waktunya untuk berhenti. Tidakkah kau ingat semua yang telah kau lakukan? Tidakkah kau mengenal kata puas?"

Rupa pria itu tetap netral, bola matanya bergerak-gerak ke kiri, tanda ia tengah mereka ulang adegan di dalam pikirannya. Secara bersamaan, batin Kagome juga menapak tilas teror yang pernah ia jalani. Hanya dalam hitungan hari ia disekap, pria itu sudah membunuhnya belasan kali dan itu selalu dengan cara keji. Biasanya, Tae Gu memukulinya dengan benda tumpul terlebih dahulu sebelum mematahkan kakinya. Setelah ia dibuat setengah sadar dengan kaki yang tak lagi dapat berjalan, barulah si penyekap 'bersenang-senang'. Pria berdarah dingin itu pernah mencongkel kedua matanya hanya untuk memastikan keaslian warna irisnya. Laki-laki itu juga pernah membakarnya hidup-hidup, membedah rongga badan dan menjadikannya objek atas segala rasa penasaran, merobek pipinya dari telinga ke telinga lalu dari luka menganga yang ada pria itu menyuapinya udon. Selain itu, bejibun kekejaman lain yang bahkan Kagome sebagai korban tidak ketahui. Hanya pria itu dan Kami-sama yang tahu persis segala tindakan bejat yang sudah ia perbuat.

Wajah Kagome berkerut-kerut, berang, benci, sedih, dan segala emosi negatif bergantian menoreh air mukanya. "Karena aku mengingat persis tiap detik penuh rasa sakit yang kau berikan saat aku masih sadar. Kau ... " Kagome kehabisan kata yang dapat disandingkan dengan kebobrokan pria itu. "Pernah sekali aku terbangun setelah mati dengan potongan-potongan tangan dan kaki yang setengah meleleh menjadi cairan kuning cokelat kemerahan yang menjijikkan tak jauh dari wajahku. Hingga kini, masih teringat jelas olehku kata demi kata darimu saat itu." Kagome mencabut kekuatan penundukkan pada sang lawan bicara. Pria lantas itu menegakkan duduknya.

Sejurus kemudian, keduanya berkata bersamaan, "Menyaksikan bonggol lengan dan kakimu tumbuh kembali itu sungguh menakjubkan, tetapi memutilasi sangat membosankan. Aku lebih bersemangat memenggal kepala manusia, menyaksikan darah yang menyembur deras itu sangatlah memikat." Di akhir pernyataan, sudut-sudut bibir pria itu terangkat, senyum tulusnya amat memesona bila saja yang ia katakan bukanlah hal yang terlampau gila.

Kagome memaki dengan suara melengking. "Kau benar-benar sakit!" Mendengar cacian itu, Tae Gu hanya tertawa terbahak-bahak.

~~~>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top