Chapter 2 - Madness
Tae Gu berdiri dari duduknya, mendekati meja, membuka laci-laci yang terkunci, lantas mengeluarkan isinya satu per satu. Sebuah pisau dapur besar super tajam diletakkan di atas meja. "Bagaimana kau ingin dibunuh ... " lelaki itu mengangkat kepala untuk memandang Kagome tiba-tiba, "kali ini?" imbuhnya dengan cara memuakkan.
Tak ada tanggapan dari sang korban pelampiasan, pria itu kembali memusatkan atensi pada isi laci. Selagi mengeluarkan tongkat berwarna hitam milik seorang polisi patroli yang pernah ia serang, Tae Gu bergumam, "sayang sekali benda yang menjadi favoritku tertinggal di sana," nadanya teramat normal saat membicarakan bola besi dengan pegangan tangan dalam berbagai ukuran yang selalu ia gunakan disetiap pembunuhan terencana yang saat ini sudah teronggok di gudang penyimpanan polisi. "Ah, aku memang masih memiliki ini," ia mengangkat pisau tipis yang bentuk bilahnya menyerupai bulan sabit.
"Sejujurnya, saat ini aku sedang ingin mencoba sesuatu. Tidak baru di dunia ini, tapi baru untukmu dan untukku." Pria yang sejak kecil disarankan dokter untuk menerima perawatan di Rumah Sakit Jiwa itu mengeluarkan plastik klip yang berisi beberapa benda kecil. Tae Gu merasa sedang tidak ingin menumpahkan terlalu banyak darah, niatnya kali ini hanya untuk bereksperimen. Apakah manusia akan menghalau rasa sakit dengan membuat rasa sakit lainnya? Itulah yang ingin diketahui olehnya.
Satu-satunya putri di keluarga Higurashi itu mendadak tersadar dari kebekuan, ia menggeleng panik. Ketakutannya menjadi-jadi. Dengan histeris ia memaki, "Kau gila! Makhluk bejat sepertimu tidak pantas disebut manusia!" Emosi Kagome mencapai puncak, ia pun terisak. Sang shikon miko ingin sekali meneriakkan kata-kata optimis seperti dulu; bahwa ia tidak takut akan apapun karena ia yakin, insan setengah siluman yang dicintainya akan datang untuk menghajar si penjahat dan menyelamatkannya. Tapi, hal itu tak lagi dapat dilakukannya. Bumi yang ia tinggali kini sangatlah sepi, tidak ada keluarga serta sahabat tempat bersandar. Tidak satupun rekan sesama redaktur naskahnya yang penuh dengki atau tetangga yang tidak pernah ia kenal akan melapor pada polisi atas ketidakhadirannya. Keberadaannya tidak dirindukan seseorang dan ia akan dengan mudah terlupakan. Kagome benar-benar sebatang kara di dunia.
Miko tanpa kuil itu merasa tubuhnya lemas saat si penganiaya mulai menyumpal mulutnya dengan sehelai kain. Seakan tak ada lagi setitik energi, bahu wanita itu terkulai, punggungnya tak lagi tegap. Secara perlahan Kagome tertunduk, bagai bunga layu yang menunggu terpaan angin di akhir waktu.
Tanpa aba-aba, Tae Gu mulai menghantam kepala korbannya dengan tongkat polisi. Perempuan itu terjungkal, terbaring menyamping di atas lantai marmer yang dingin. Detik itu juga air mata Kagome berhenti mengalir. Ia berusaha bangun, bertopang pada kedua tangan dan lutut. Usahanya tak bertahan lama, pria itu kembali melayangkan pukulan keras berkali-kali. Hantaman demi hantaman hebat diterima, tubuh mungil itu akhirnya jatuh telungkup.
Pembunuh berdarah dingin itu mencengkam pergelangan kaki Kagome, lalu menyeret tubuhnya ke tengah ruangan. Ia tidak ingin futon tanda kemurahan hatinya ternoda. Tae Gu terus mewanti-wanti diri bahwa ia tidak berada dalam teritorialnya. Meski rumah mewah di daerah Denenchofu-kawasan pemukiman elit-itu sudah lama resmi menjadi kepunyaannya, tetap saja ia harus bertindak ekstra hati-hati. Pria itu kemudian mengeluarkan benda-benda kecil dari dalam plastik dan mempersiapkannya di atas meja. Tak diragukan lagi, benda itu adalah salah satu alat penghasil kesengsaraan lainnya. Senyum merayap cepat, antusiasme laki-laki itu melesat. Ia sudah tidak sabar lagi membantu wanita itu mencapai keutuhan sebagai seorang manusia untuk yang kesekian kalinya.
Pria itu mendekati sosok yang terbujur. Dengan kaki tanpa alasnya, ia membalikkan tubuh wanita itu agar terentang. Kemudian, Tae Gu berjongkok di sisi kanan, berusaha meneliti air muka terluka 'mainan favoritnya'. Rambut awut-awutan wanita itu menutupi sebagian wajah, kewaspadaannya meningkat ketika melihat Kagome menatap balik matanya dengan tajam. Serta-merta, aristokrat bejat itu meraih tongkat yang tak jauh dari sisinya dan menghantam kepala wanita itu kuat-kuat. Ia baru berhenti ketika sepasang iris berwarna biru kelabu menghilang dari pandangan dan darah segar menempel di rambut kusut serta mengalir pada wajah pasi itu. Dengan hilangnya kesadaran sang tawanan, pembunuh berantai itu pun siap memulai pekerjaan.
Entah berapa lama waktu berlalu, Kagome akhirnya tersadar. Matanya melebar, kepala pria itu sangat dekat dengan miliknya. Laki-laki itu setengah menindih badannya. Sisi panggulnya terperangkap oleh kaki-kaki pria itu. Tangannya yang terikat terimpit di atas dadanya sendiri, ia berusaha mendorong, tapi mustahil. Miko kuil Higurashi itu membuat gerakan menghindar, denyut hebat sontak merajai kepalanya yang cedera. Fokus Kagome beralih ke hadapannya, wajah maskulin itu teramat serius, ia sedang menekuni sesuatu. Kagome terperanjat ketika menyadari area mulutnya mati rasa. Pria itu tengah menjahit bibirnya!
"Hanya kali ini aku akan bersikap lunak padamu," koar pria itu mengungkit anestesi lokal dalam bentuk semprot yang ia berikan.
Tiga perempat bagian bibirnya sudah terjahit rapat. Rasa ngilu yang samar kala benang tipis ditarik di antara kulit-kulitnya membuat Kagome hendak berteriak akan tetapi hal itu urung dilakukan. Tak mengindahkan rasa sakit di tengkorak kepala, wanita itu meronta-ronta, menendang-nendang ke berbagai arah, berusaha lepas dan terus memberikan perlawanan.
Tapi Tae Gu sukar dihalau. Hingga pekerjaannya usai, barulah pria itu bangkit lalu menatap hasil karyanya dengan bangga. Dengan kaki kiri, ia menginjak tungkai kanan Kagome. Melihat wanita itu menahan diri untuk tidak meringis, ia lantas meraih tongkatnya dan menghadiahkan satu pukulan yang kuat di pergelangan kaki kanan si perempuan.
Rasa sakit ketika mata kakinya diserang begitu luar biasa. Kagome menggeliat, ia membanting diri, dan berusaha menendang-nendang. Dengan tangannya yang terikat ia berupaya menarik lengan maupun mencoba meraih ujung kemeja si penyerang. Pada dasarnya, ia berusaha menjamah apapun agar tindakan pria itu dapat dihentikan, tapi usahanya nihil. Di lain pihak, Mo Tae Gu jauh dari kata puas. Si kriminal menghujani tubuh rapuh itu dengan derita, lagi, lagi, dan lagi. Kekuatan di tiap pukulan semakin meningkat. Tanpa jeda, laki-laki gila itu terus memukuli titik yang sama dengan sekuat tenaga di puluhan detik berikutnya.
Di saat yang sama, efek obat yang membuat area mulut Kagome kebas telah sirna. Pening di kepalanya yang terluka pun semakin melonjak. Setiap kernyit wajah membuat jahitan di bibirnya tertarik. Ia merintih lirih meredam perih. Rasa sakit yang mendera Kagome tak terperi. Napasnya pendek-pendek. Bulir-bulir keringat dingin bermunculan. Air mata selalu menggenangi sudut mata besarnya yang terpejam rapat-rapat. Sengatan pedih tak lagi tertahan ketika bunyi retak tulangnya menyerah kalah. Tidak ada ampun, tulang kaki Kagome yang sudah patah terus dihantam secara brutal hingga benar-benar hancur. Wanita itu akhirnya berteriak lantang dan panjang hingga beberapa jahitan di mulutnya terobek dengan keras. Jaringan tipis terkoyak, daging kenyal nan lembut itu tercabik-cabik, semua jahitan di bibirnya terlepas, dan cairan kehidupan nan hangat merembes dengan deras membasahi dagu serta leher.
Kerusakan berat tak hanya terjadi di bagian luar, pecahnya pembuluh darah di satu bagian otak efek pukulan di kepala beberapa menit lalu kini membuat lengan dan kaki Kagome lumpuh. Hidung dan telinganya mengeluarkan darah. Penglihatannya mengganda. Ia masih dapat merasa namun tak dapat membuat gerakan berarti. Wanita itu berada di ambang kesadaran.
Kemudian, hartawan tampan yang kerap melakukan penyiksaan itu rehat sejenak. Ia memperhatikan area mulut tawanannya dengan gembira. Demi menekan rasa sakit di kaki, sepasang bibir wanita itu sekarang sudah tak berbentuk lagi. Secara sadar maupun tidak, manusia memang bersedia menghapus rasa sakit dengan membuat rasa sakit di area lainnya. Kesimpulan telah ia himpun. Rasa penasaran usai terpuaskan. Ia memandang wanita itu secara keseluruhan. Tubuh berlekuk indah tak berdaya itu mengilat oleh selapis keringat yang dihasilkan oleh penderitaan dan ketakutan. Semburat warna kesukaan nan menawan menghiasi tempat-tempat yang tepat. Pria itu sungguh terpukau.
Sejak pertama kali Tae Gu menemukan rahasia wanita itu, ia laksana mendapat ilham. Kesenangan tiada batas bagai terlahir khusus untuknya seorang. Ia meraih pisau antiknya sebelum kembali berjongkok di sisi wanita itu. Ia menempelkan pisau melengkung itu di leher Kagome, tapi ia berubah pikiran, tak ingin segera mengakhiri permainan. Tangannya beringsut turun, ia membuat goresan tohor di dada bagian atas, tepat di bawah tulang selangka sebelah kanan. Niat untuk mengukir huruf yang membentuk sebuah kata tertunda sebab reaksi yang didapat sungguh di luar sangka, wanita itu mengerang tertahan. Seraya memperhatikan wajah perempuan itu terus-menerus, tangannya bergerak, buronan itu membuat sayatan kedua yang serupa, dangkal dan vertikal di tengah dada sang korban. Kedua mata wanita itu masih terpejam, namun sudut bibirnya sedikit berkedut. Laki-laki itu merasa bahwa ia tidak mungkin salah, di momen itu pula ia mendengar suara yang sama!
Seketika, binatang buas yang ada di dalam diri Mo Tae Gu lepas dari kekang. Pria itu mengeluarkan suara tawa yang terkesan kelam juga ganjil. Kagome berhasil meniup gelora api yang selama ini tak pernah tahu ia miliki. Sisi lain nafsu kini datang dan menghadang. Ia kalah telak. Secara mutlak Tae Gu takluk pada berahi. Bukan berarti selama ini ia selalu menghindari pelepasan karena terlalu berhati-hati. Bukan juga ia takut dengan ceceran DNA pada mayat yang ditinggalkan dapat menjadi bukti. Hanya saja hal 'itu' tidak pernah menjadi keinginan, hasrat itu baru saja menyembul ke permukaan alam sadarnya dan menuntut seluruh perhatian.
Niat untuk bereksperimen menggunakan pisau melengkungnya sontak terbuang. Gejolak jiwa yang lama terbendung kini menuntut untuk segera diwujudkan. Bunyi sensual yang diciptakan Kagome membuatnya ingin lekas-lekas membunuh dan menyetubuhi jasad cantiknya. Dan, itulah yang Tae Gu lakukan. Ia bangkit, mengambil potongan pipa besi berdiameter sedang sepanjang lengan di dalam laci. Satu pukulan mematikan diarahkan tepat di ubun-ubun wanita itu. Seiring dengan bunyi retak tengkorak menyayat hati yang menggema di ruangan, Kagome menemui ajal.
~~~>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top