Chapter 1 - Hollow


Seusai menutup pintu, pria misterius itu mengakar di tempat selagi memperhatikan sang mangsa yang duduk bersimpuh dalam hening. Setelan jas formal yang seringkali ia kenakan kini tertanggalkan. Pada waktu itu, tubuh rampingnya hanya terbalut oleh kemeja putih polos serta celana bahan berwarna hitam dan tanpa alas kaki. Rambutnya terbelah ke kanan, masih tersisir ke belakang secara apik. Kendati penampilan lelaki itu tidak seresmi biasanya, kesan rapi tak lepas darinya.

Putra pemilik bisnis transportasi besar di Negeri Ginseng itu meneliti wanita yang hanya berjarak setapak darinya. Tetes air berjatuhan dari penghujung mahkota nan legam. Sangat kontras, kulit putih wanita itu terlihat pucat, seperti tidak dialiri oleh darah. Secara saksama ia memperhatikan bagaimana rambut kecil di sekujur tubuh feminin itu berdiri, karena kedinginan, mungkin juga karena ketakutan. Sang pria melirik ke arah arloji mahal di pergelangan tangannya, enam jam sudah berlalu. Tepat seperti perkiraannya, semakin parah kerusakan yang ia ciptakan maka akan semakin lama masa pemulihan. Laki-laki itu menarik satu-satunya bangku yang ada di ruangan. Suara mengganggu dari kaki kursi yang bergesekan dengan lantai membuat sang perempuan memejamkan mata. Pria itu bergerak mendekat. Sejurus kemudian, ia memposisikan diri agar berhadapan-hadapan dengan wanita yang ia jadikan tawanan.

Seakan terhipnotis oleh bahaya yang terpancar, Kagome balas menatap tajam sepasang mata berbingkai alis tebal. Wanita yang besar di lingkungan kuil itu memperhatikan bagaimana pria yang telah merampas hidup sederhananya itu berkedip, kelopak matanya menutup dengan teramat perlahan, bagai berlangsung dalam gerakan lamban. Tak jua luput dari pandangannya, pria itu pun duduk dengan cara elegan, seakan-akan, ia akan lantas terjerembap ke jurang terdalam bila saja mengeluarkan satu gerakan yang tidak serupa kaum bangsawan. Keadaan itu sungguh berbanding terbalik dengan dirinya yang terikat dan telanjang. Kagome merasa terhina, ia benar-benar dipermalukan dan diperlakukan lebih rendah dari hewan peliharaan. Muak dengan kepribadian palsu si bedebah, Kagome menggeser titik perhatian dan lebih memilih untuk menatap pintu yang kini terkunci di balik bahu pria itu.

Setelah puluhan detik terbawa arus kesenyapan, laki-laki yang berusia dua puluh tujuh tahun itu mulai membuka mulut, "Kali ini ... " Tubuh Kagome melonjak sepersekian detik. Meski hanya semeter jarak di antara mereka, ia masih saja terperanjat pertama kali mendengar suara si penculik pada malam itu. "Aku ingin kita sedikit berbincang terlebih dahulu."

Tergugah dengan suara yang dikumpulkan daun telinganya, miko itu mengangkat kepala untuk meneliti raut muka sang lawan bicara. Tulang pipi yang tinggi, sudut-sudut bibir serta mata, di hidung yang mancung serta dahi, wanita itu gagal menangkap setitik emosi di sana. Tidak ada mikro ekspresi yang tertera, garis wajah tegas itu terlihat netral, sikapnya pun terkesan penuh perhitungan. Dalam keadaan tenang seperti saat itu, pria itu teramat sukar untuk dibaca. Hati Kagome sibuk menduga-duga apa yang si berengsek itu hendak utarakan.

Setelah berhasil menangkap atensi buruannya kembali, pebisnis tampan asal Korea Selatan itu bertutur lembut, "Bahkan tanpa suara, mengapa aku selalu merasa kau bisa menebak kedatanganku?" Pria itu memang memiliki pengalaman tertentu dengan orang yang memiliki indra pendengaran super, tapi kali ini ia yakin bukanlah kasus yang sama. Malam itu, ia dengan sengaja melepas alas kaki. Namun tetap saja, wanita itu bagai menyadari keberadaannya bahkan sebelum ia menampakkan diri. Tempo demi tempo berlalu, absennya jawaban dari orang yang ditanya urung membuatnya menghentikan usaha berdialog. "Sebelum aku bertanya hal lain kepadamu, aku ingin tahu apa yang kau pikirkan sekarang?"

Si sulung Higurashi menimbang-nimbang atas apa yang akan ia ucapkan. Pada akhirnya, ia tidak membuang kesempatan. Kagome berusaha sebisa mungkin untuk membuat suaranya terdengar kasual tanpa gentar, "Banyak hal."

"Aku ingin mendengarnya, katakanlah!" sahut pria itu cepat masih dengan intonasi yang mengalun.

Meski ada aksen yang berbeda pada pelafalannya, orang yang ada di hadapan Kagome tergolong lancar menggunakan bahasa Jepang, "Kau tidak berasal dari sini," jawabnya sembarang. "Dan kau menjadi kriminal demi kesenangan, bukan karena uang." Hanya dengan melihat tampak luar pria itu secara sekilas siapapun akan mudah menarik kesimpulan yang sama.

Menanggapi pernyataan si perempuan, Mo Tae Gu, putra semata wayang CEO Sungwun Express itu mengangguk sekali. Tangan kanannya kini bersandar di lengan kursi, jemarinya sedikit menutup area mulut. Setelah mengiyakan, laki-laki itu tetap diam, ia memberikan waktu agar tawanannya tak berhenti di situ.

Dugaan pria itu berlaku, Kagome yang kewalahan oleh pikirannya sendiri melanjutkan dengan mata menerawang dan suara rendah, "hitam yang bersanding dengan putih, pembatas di antara keduanya. Mana yang sejatinya benar atau salah. Etika dan moral yang sejak dulu masyarakat junjung tinggi. Berbagai tanya yang mengusik hati, juga apa yang aku yakini. Apa yang ada di kepalaku mungkin tidak akan menarik untuk kau ketahui."

Pria itu mengeluarkan suara tawa meledek yang keluar dalam satu hela napas, "Aku mungkin lebih mengetahui isi kepalamu lebih dari dirimu sendiri."

Kagome mendengus demi menutupi perutnya yang mendadak mual. "Aku ragu kau tertarik pada sesuatu yang lain selain darah!" sentaknya.

Nada Tae Gu teduh seperti semula, "Bukankah itu termasuk sifat manusia?" kedua alis pria itu sedikit terangkat sebelum kembali ke tempatnya. "Pada dasarnya semua orang memilikinya, keinginan untuk sekadar menyaksikan, ikut terlibat, dan bahkan melakukan sesuatu yang mengerikan. Kesenangan yang dipeluk sama alaminya dengan sensasi luar biasa yang di dapat setelah berhasil melewati kejadian besar yang membahayakan."

Kagome menangkap inti dari apa yang pria itu coba terangkan. Memang banyak di luar sana orang yang menjadi penggila olahraga maupun hobi ekstrim yang mempertaruhkan nyawa. Tapi salah besar jika serta-merta ia bisa menerima pola pikir menyimpang pria itu. Kedua tangannya terkepal erat. Dengan rahang yang terkatup rapat Kagome menegaskan, "Sebagian yang kau katakan mungkin tidak keliru, tapi itu tidak dapat kau jadikan sebagai pembelaan atas semua kebiadabanmu. Tidak ada satu manusia pun yang pantas dijadikan korban dan tiada yang berhak mempermainkan hidup orang lain. Tidak ada pembenaran! Tidak satu pun alasan!" bahunya naik turun seiring dengan napasnya yang memendek, suara meninggi Kagome pecah oleh emosi ketika menanyakan perihal dirinya sendiri, "Apa yang sesungguhnya ingin kau raih? Sampai kapan kau akan menahanku di sini?"

Wajah eksekutif muda berdarah dingin yang mungkin telah membunuh belasan orang itu tetap terlihat damai walaupun saraf-saraf di dalam kepalanya mendidih dikarenakan kalimat terakhir yang keluar dari mulut wanita itu. Sejujurnya, Tae Gu sendiri pun tidak tahu sampai kapan ia akan berada di sana. Kapan ia bisa merasa aman untuk pulang ke rumah? Pertanyaan tanpa jawaban itu membuatnya naik pitam.

Secara otomatis, alur pikirannya terhanyut pada rentetan kilas balik. Ia terpaksa pergi. Gelar sebagai buronan berawal karena pihak yang berwenang mengetahui bahwa ia telah menculik satu anggota polisi yang selama ini merangkap sebagai tikus peliharaannya. Sebagai reaksi berantai, ia membunuh dua orang anggota polisi lainnya yang mencari sang rekan. Semua itu terjadi di vila penuh kenangan milik keluarganya. Hal yang paling membuat amarahnya meletup-letup adalah, kesenangan yang selama ini ia tunggu malah terganggu. Sudah lama ia memikirkan rencana khusus untuk dua anggota penting Golden Time Team yang mencoba untuk menyelamatkan sang teman.

Pada awalnya, malam itu terasa sempurna, mangsa yang selama ini diintai tiba-tiba datang ke haribaan. Persiapan mereka tak sematang rencana yang ia punya, nyali kedua polisi itu tidak sebanding dengan keahlian membunuh yang ia miliki. Detektif berjuluk Anjing Gila yang selama ini mengejarnya ambruk dengan satu tembakan, dan si Kapten wanita-satu-satunya anggota polisi yang kemampuannya ia akui-malah menolak kebaikan hati yang ia beri. Alhasil, nyawa keduanya dengan mudah ia renggut dalam satu kedip mata. Namun sial, sebelum mengembuskan napas terakhirnya, polisi wanita keras kepala itu berhasil mematikan penghalau sinyal miliknya dan memanggil bala bantuan. Rencananya untuk menyimpan jasad wanita gigih itu lebih lama dari Madam Jang sang pemilik klub Fantasia buyar sudah. Sungguh amat disayangkan.

Malam itu juga ia harus pergi dengan tergesa-gesa dari negaranya. Dan paginya, selagi gerombolan polisi berotak dangkal itu mengejar umpan dengan nama Morita Yasuo, di pelabuhan yang berbeda ia sudah berada di dalam kapal dengan tenang memakai identitas seorang pria Jepang bernama Shinnosuke Mamiya-yang kerangkanya sudah lama menjadi hiasan di dasar samudra. Tentu saja, keluarganya tidak sebodoh yang para polisi itu duga. Jika ayahnya benar-benar mencari cara aman untuknya menyeberang lautan, sudah menjadi kepastian, ia tidak akan menggunakan kapal pribadi dan pria tua yang sanggup membeli seperempat daratan Korea Selatan itu akan mengupah boneka yang sepintas tak terlihat memiliki kaitan dengan keluarganya untuk membeli tiket.

Kendati Kepolisian memasukkannya ke dalam daftar pencarian orang, tapi Tae Gu tidak setuju dengan kata 'kabur'. Sebab, ia percaya bahwa kepergiannya cuma sementara dan kepulangannya hanyalah satu dari banyak hal yang tertunda. Suatu saat, ia pasti akan kembali ke sana.

Di pihak lain, Kagome menelan isak, ia merasa sangat penat, bahkan sebatas untuk melepas tangisan. "Me-mengapa kau melakukan ini padaku?" suara Kagome terbata di awal dan menghilang di penghujung kalimat. Keraguan mengisi kata-katanya, ia seakan tidak benar-benar mengharapkan balasan karena takut akan apa yang menjadi jawaban.

Suara feminin yang hampir setara dengan bisikan itu memutus lamunan Mo Tae Gu. Ia meneliti figur wanita yang duduk dengan kedua paha menempel dan kaki terlipat yang menyamping serta kedua tangan terikat yang senantiasa di depan dada. Sang tawanan berusaha keras untuk menutupi tubuh polosnya, padahal sia-sia belaka. Karena ia tidak tertarik. Pemerkosaan adalah hal terakhir yang ia inginkan.

Seraya mengusap sisi jari telunjuk di bibirnya, pria tajir namun memiliki gangguan kepribadian itu memandang lekat si penanya tanpa segan. Bila ditanya mengapa? Tak dapat disangkal, itu karena ia terusir dari wilayahnya sendiri, kehidupannya terganggu, kesenangan pribadinya terusik, rencana-rencananya tergagalkan, dan pria tua yang menjuluki diri sebagai ayah-yang membentuk karakternya menjadi seperti sekarang-malah hendak lepas tangan dan memintanya untuk pergi dari kampung halaman. Mo Tae Gu merasa murka, ia semakin merasa butuh pelepasan. Tak lagi sanggup untuk menahan diri, ia merasa harus membuang beban yang bertengger di pundaknya. Tak peduli bahwa ia hanyalah pendatang yang tidak diundang, malam ketiga setibanya ia di sana, ia menyerah pada desakan dan pergi mencari mangsa.

Itu adalah awal dan mungkin perburuan terakhir Tae Gu sejak kepindahannya ke Jepang. Tindakan cerobohnya malam itu berakhir dengan tidak terduga. Ia dipertemukan dengan guncangan menyenangkan di dalam hidupnya. Kala pertama ia mengetahui fakta tentang tentang Kagome yang muskil dipercaya, lantas saja dekahnya pecah, kakinya otomatis mengentak-entak lantai. Layaknya bocah yang menerima mainan teramat mewah yang selama ini didamba, Tae Gu hampir melompat karena kegirangan. Dan secara ganjil, kejutan tersebut terus bertahan hingga detik itu juga. Untuk pertama kali dalam hidup Tae Gu, ia mengamini kutipan yang terlampau sering digunakan: Semua terjadi karena suatu alasan.

Sejalan, wanita yang ahli memanah itu pun terbenam dalam renungan. Pandangannya kosong, ia bagai kembali menyaksikan adegan yang menjadi muasal ia bisa masuk ke dalam jebakan lelaki gila yang berjarak sedepa darinya. Kala itu, Kagome sedang berjalan kaki menuju apartemen kecil sewaan setelah seharian bekerja. Langit malam di penghujung musim gugur itu berawan, waktu sudah menyentuh larut, kereta terakhir sudah menuju tempat peristirahatan. Gerimis setengah hati membasahi bumi, satu-dua kendaraan yang melintas tetap membuat jalan sekitarnya terasa sepi. Kemudian, Kagome melihat seorang pria sibuk membolak-balik peta di atas bagasi mobil yang terparkir di sisi jalan. Ketika jaraknya menipis, ia mendengar pria itu menggumamkan bahasa asing. Tak tega melihat tampang pelancong yang kebingungan, maka ia menyapa ramah disertai senyuman. Matanya menangkap gawai pria itu yang mati daya. Sebab alasan itulah ia menawarkan diri untuk mengantar ke tempat yang dituju atau pos polisi terdekat.

Terurai dari lamunan, Kagome bergumam pada diri sendiri, "Aku hanya ingin menolongmu mencari alamat."

"Aku ingat," balas pria yang pada mulanya hanya menargetkan para tunawisma sebagai korban. Aneh bagi Kagome, nada pada empat kata pria itu kemudian sulit untuk dikategorikan sebagai ketakjuban atau semacam penghinaan. "Saat kita pertama bertemu?"

Dengan kedua alis yang berkumpul di tengah, Kagome mencetuskan apa yang terpikir begitu saja, "Tidakkah jiwamu merasa lelah?"

Tidak mengacuhkan pertanyaan yang dilayangkan, pewaris tunggal perusahaan besar itu malah melafalkan nama lengkap tawanannya dengan nada halus, "Higurashi Kagome," miko itu tak kuasa menidurkan kembali bulu kuduknya yang meremang ketika namanya pertama kali disebut. Pria itu menegakkan duduk dan mengaitkan jari-jemarinya di atas perut, "Baru-baru ini aku mencari tahu maknanya." Selain membongkar isi tas dan melihat kartu identitas Kagome kemarin, ia juga memerintah Tuan Kim-sekretaris setianya yang masih berada di Korea-untuk menggali tanpa terdeteksi tentang wanita berumur dua puluh enam tahun itu lebih banyak lagi. Tae Gu tidak ingin mengambil risiko dengan mencari tahu wanita itu sendiri, jika sewaktu-waktu hal yang tidak diinginkan terjadi, ia bisa kembali melenggang pergi tanpa bukti.

Sesuai dengan ekspektasinya yang rendah, tidak banyak yang Tuan Kim dapatkan. Wanita itu besar di Kuil Higurashi, sebuah kuil Shinto yang hanya berjarak tiga puluh menit bila ditempuh dengan kereta api dari kediamannya sekarang. Sakit-sakitan ketika remaja, kini meninggalkan rumah juga kuilnya yang berlokasi di Shibuya, dan hidup sendiri tanpa sanak saudara yang tersisa. Tak ada hal janggal yang bisa dikaitkan dengan keganjilan yang dimiliki wanita itu kecuali posisi sebagai Ketua Miko di Kuil Higurashi yang telah ia lepaskan.

Secara pribadi, Tae Gu sedikit mengulik peran seorang miko tepat sebelum ia turun ke ruang itu. Pada dasarnya, Miko hanyalah gadis kuil yang mendampingi Pendeta Shinto ketika melakukan penyucian dan bertugas melakukan sebuah tarian di upacara-upacara yang diselenggarakan. Di masa sekarang ini, miko bahkan dijadikan pekerjaan sambilan, meski ada syarat umur dan ketentuan riwayat hidup yang harus bersih, tapi gadis mana saja bisa menjadi seorang miko. Jauh berbeda dengan apa yang dipercaya pada era-era terdahulu, miko adalah perawan kuil terpilih yang terkadang memiliki kekuatan supranatural dan dapat menyembuhkan beragam penyakit. Secara harfiah, huruf kanji untuk miko sendiri diartikan sebagai 'Anak Syaman' atau 'Anak Dewa'.

Kian jauh ia mengusut wanita itu semakin banyak pertanyaan yang berkembang di benaknya. Meski risetnya tergolong asal, tapi fakta yang ada di depan mata cukup untuk menggiring prasangka Tae Gu ke arah tertentu. Demi membenarkan dugaan, ia bisa saja memilih konfrontasi langsung sang objek kapan saja yang ia inginkan. Tapi itu bisa nanti. Untuk saat ini, ia lebih suka mengamati. Lagipula, bukankah sang bijak mengatakan bahwa hanya orang bodohlah yang menuntaskan suatu perkara dengan tergesa-gesa?

"Kagome ... " tutur pria itu lagi, secara lembut ia meresapi bagaimana nama itu bergulir di lidahnya. Orang yang dipanggil tetap bergeming. "Salah satu artinya adalah burung yang terperangkap dalam sangkar. Jika yang kubaca benar, maka nama itu sangat cocok untukmu," tandas Tae Gu. Air muka maskulin nan dingin itu berangsur-angsur berubah, matanya menyala dengan gairah, sudut-sudut bibir terangkat, semakin lama semakin lebar. Wajah rupawan itu retak oleh seringai yang hanya dapat disandingkan dengan musibah bagi mereka yang menyaksikan.

Kagome beringsut mundur hingga punggungnya menempel pada tembok. Suaranya bergetar, luapan rasa yang campur aduk mulai tak terbendung dan tumpah ruah dalam bentuk kata-kata. "Tidakkah kamu mengerti, setiap kali kau melukai orang lain, kau juga akan melukai jiwamu sendiri? Kau harus hentikan ini! Tindakan seperti itu tidak akan pernah memberimu kebahagian yang hakiki!"

Lengkung bibir Tae Gu binasa, air mukanya berubah serius. Ia dengar semua yang wanita itu ucapkan, namun ia gagal memahami, dan sedikit pun ia tidak tertarik untuk mencoba mengerti. Jauh di lubuk hatinya ia tidak peduli. Seperti membasmi serangga pengganggu yang merajalela di musim panas, yang ia yakini adalah ia memiliki wewenang atas semua pembunuhan manusia tak berguna yang pernah ia lakukan. Dan dengan kewenangan itu, ia merasa berhasil meraih lebih dari apa yang mereka sebut dengan kebahagiaan.

Setiap kali, atas perbuatannya yang mengakibatkan roh sesosok insan telah sepenuhnya terberai dari raga, Mo Tae Gu memang merasa sedih dan kosong. Patut disayangkan, kehampaan setelah penaklukan hanya bertahan sesaat. Yang hadir pada tempo berikutnya adalah kebutuhan tak tertanggungkan yang membuatnya haus akan kematian lainnya. Ia butuh dan harus merasakan sensasi itu lagi; rasa kuasa kala menggenggam takdir seseorang, perasaan tak terhingga kala ia menjadi satu-satunya makhluk yang memutuskan dengan cara apa dan cepat atau tidaknya seseorang menyambut kefanaan. Apa yang ia rasakan di tiap penjagalan bukanlah hal dangkal yang manusia lain sebut sebagai kebahagiaan. Yang ia rasakan lebih tinggi dari sebatas kepuasan pribadi semata. Semua itu ia lakukan demi inti eksistensinya di jagat raya.

Perubahan yang terpampang di wajah si pria tak luput dari perhatian Kagome. "Aku paham, kau butuh pertolongan. Aku bersedia melakukan apa saja untuk membantumu." Nadanya mulai meninggi, "Kumohon, percayalah padaku! Aku bersungguh-sungguh!" pintanya putus asa. Sebagai wanita yang terlahir di antara penganut ajaran Shinto yang taat, Kagome tak pernah memercayai bahwa ada manusia yang terlahir jahat. Wanita itu menerka bahwa penculiknya pernah mengalami kejadian teramat buruk yang meninggalkan luka batin begitu besar hingga membangun tabiatnya seperti sekarang. Karena alasan itulah, ia yakin, selama napas masih dikandung badan, masih ada peluang bagi siapa pun untuk kembali ke jalan yang benar.

Racauan yang keluar dari mulut wanita itu membuat Mo Tae Gu menggeser duduknya, tangan kanan kembali bertopang di lengan kursi dan tubuhnya condong ke depan. Kejadian-kejadian lampau terputar ulang di benaknya. Banyak korbannya yang melontarkan ocehan primitif tentang ketuhanan ketika hidup mereka mendekati batas waktu. Ia tahu, bukanlah hal baru bila makhluk berlogika selalu mempunyai gagasan bahwa mereka harus menyembah sesuatu. Namun, sudah sejak lama ia menganggap umat manusia ada hanya karena terlahir secara natural ke dunia. Sepintas pun ia sama sekali tidak percaya bahwa ada satu atau beberapa Zat yang maha segalanya di atas sana yang dapat menolong manusia selain diri mereka sendiri.

Kagome pernah meraung-raung memohon untuk dibebaskan, diam sambil menatap tajam, menangis tersedu-sedu, memandang kosong seperti benda mati, dan tertawa terbahak-bahak layaknya orang yang kehilangan akal ketika menerima penyiksaan. Bertentangan dengan kebanyakan buruan yang pernah ia bantai, miko yang diculiknya itu tidak sekalipun berceramah tentang kepercayaan. Kendati demikian, justru keberadaan wanita itu sendiri yang membuat Tae Gu mulai meragukan pemikirannya tentang bumi, juga alam semesta, dan manusia beserta Sang Pencipta.

Tetapi, kali ini, tawanannya itu berani berceloteh bahwa ia sakit dan membutuhkan pertolongan? Tae Gu menatap wajah Kagome lekat-lekat. Tidak peduli dengan segala hal tidak lazim tentang dirinya, miko atau bukan, anak Dewa atau manusia biasa, tetap saja takdir wanita itu ada dalam genggamannya.

Artikulasi Tae Gu teratur rapi, kata demi kata yang dipilihnya formal dan sopan. Dengan penuh percaya diri ia menjelaskan, "Apa kau lupa posisimu saat ini? Satu-satunya orang yang butuh bantuan di ruangan ini adalah engkau." Sudut kanan bibir lelaki itu terangkat, senyum asimetris yang menampillkan sebagian gigi cemerlang itu mungkin akan terlihat manis bila saja tergurat di situasi yang jauh berbeda. "Sekali ini saja aku akan mengabaikan apa yang barusan kau katakan. Karena, kau berbeda dari kebanyakan orang. Kau sama sepertiku. Kita spesial. Dan aku akan membuatmu menyadarinya."

Kalimat penutup pria itu seakan memadamkan harapan dan kata-kata yang diujarkan dalam bahasa Korea hampir selalu menjadi pertanda bahwa pola memilukan itu akan lekas terulang. Kagome tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi. Penerus kuil Higurashi sontak membatu, bahkan berkedip pun tidak. Pupus sudah asanya. Bibirnya terbuka tapi ia tak lagi menguarkan suara. Yang ia tahu, hidung juga matanya perih, dan tanpa ia sadari, tetes-tetes air membanjiri pipi.

"Mari kita mulai!" ajak laki-laki yang tampilannya selalu berkelas itu dengan santai.

~~~>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top