Pentas Seni Nusantara
"Ehem, acara kemerdekaan Indonesia masih sekitar tiga minggu lagi. Pihak kepala sekolah memberi kita tugas untuk ikut memeriahkan malam puncak 17 Agustus."
Seisi ruangan itu bersorak mendengar pengumuman dari Kripik selaku penanggung jawab Ekskul Teater. Beberapa usulan ide dilontarkan dan ada satu yang menarik perhatian Kripik.
Gadis dengan kucir dua itu mengangkat tangannya. "Pak, bagaimana kalau menampilkan tragedi perang sampai Indonesia merdeka," saran Mezu.
"Boleh juga, tuh. Coba jelaskan lebih detail."
Mezu bergegas maju sambil membawa sepidol. Ia menuliskan beberapa nama dan peran masing-masing anggota. Baru setelahnya menjelaskan cerita yang bermula dari penjajah yang menyerbu. Kemudian beralih ke orang pribumi yang melawan penjajah sampai ada adegan penyobekan bendera Belanda. Puncaknya memperlihatkan Ir. Soekarno yang membaca naskah proklamasi sampai pemeran sampingan yang memeriahkan adegan kemerdekaan.
Beberapa orang setuju dengan ide yang dijelaskan Mezu. Namun, tak banyak juga yang ragu akan kisahnya yang begitu rumit dan panjang.
"Selesai!"
Salah satu siswa yang sedari tadi makan nasi padang langsung menjatuhkan sendoknya. Ia langsung sumringah melihat namanya ada di jajaran pemeran penting dalam cerita.
"Oh, akhirnyah adah nyang mengakuih kehebatan Eris. Kejyayaan Eris syudah tibah!" seru Eris dengan bangga.
"Waah, Seito jadi pemeren utama. Selamat atas kenaikan jabatannya."
"Shiso, aio kitah menguasyahi negarah inih."
"Sekalian kuasai dunia ini."
"Apakyah kita nantih masyuk Elit Gelobal?"
Hicchan dan Eris terus bertukar ide untuk menguasai dunia ini. Bahkan nasi padang yang tinggal setengah itu sampai nangis karena diabaikan oleh Eris. Sementara itu, Elin mengajukan pertanyaan yang membuat semuanya berpikir.
"Apakah sempat membuat naskah dan latihan hanya dalam waktu 3 minggu? Adakah jaminan saat tampil nanti tidak memakan banyak waktu?"
Seisi ruangan seketika senyap. Naskah saja belum dibuat, bagaimana nanti saat sudah latihan? Apakah waktunya cukup?
"Aku punya saran buat kalian. Apakah mau tampil pakai naskah atau lipsing saja?" tanya Kripik.
Brak!
Semua orang sontak menatap ke pojok belakang. Cindy bergegas ke depan sembari meminta sepidol dari Mezu. Ia menuliskan sebuah judul lagu dengan sangat besar dan keterangan kecil di bawahnya bertuliskan "Teater Musikal."
Semuanya bersorak setuju dengan ide keren Cindy. Untuk peran yang sudah ada disempurnakan lagi oleh Kripik. Sisanya mendapat tugas sebagai penari latar dan mengurus properti.
Untuk kostumnya memakai yang tersedia di ekskul teater dan sisanya memakai milik pribadi. Namun, untuk kostum peran "penjajah" tidak tersedia jadi harus dibuat terlebih dahulu.
Ana dan Elin yang mengambil jatah membuat kostumnya. Mereka meminta bantuan pada kakak kelas untuk menyelesaikannya. Bahan juga sudah dibeli dan total pengeluaran akan disetor ke Chacha dan Ayaka yang mengurus keuangan.
"Pengeluaran kita banyak juga," gerutu Ayaka.
"Yang paling boros di kostumnya, karena kain yang mahal juga banyak aksesorisnya." Chacha menimpali tanpa menoleh. Ia fokus menghitung bon yang disetor anak-anak yang lain.
"Ngomong-ngomong apa kostumnya bisa jadi tepat waktu. Kasian Ana dan Elin, semalam mereka nginep di sekolah karena kostumnya belum selesai," ujar Mezu yang tetiba nimbrung.
"Lho! Kok di sini, Mez? Latihannya bagaimana?"
Mezu dengan lelah hanya memberikan kode jempol yang menunjuk ke belakang. Chacha dan Ayaka melihat pemandangan Eris yang kerah bajunya dicengkeram oleh Rei. Dia tampak begitu kesal, tapi terlihat sedang menahan tawa. Bahkan Hicchan juga ikutan gemas, minum pun sampai nyembur. Setelahnya dia hanya berjongkok sambil menopang dahinya. Tampak antara pasrah atau sedang menahan tawa.
"Heh, Itu pada kenapa?"
"Kak Eris baca proklamasi pakai KBBE."
Chacha dan Ayaka reflek tertawa keras dalam hati mereka takut dosa. "Udah-udah! Kayaknya kita istirahat dulu aja, deh. Mereka pasti pada capek juga."
Mereka bertiga melihat sekilah Eris yang masih dikejar Rei di tengah lapangan.
"Ya, boleh. Ini ada es teh pemberian Pak Kripik buat anak-anak bantuin aku bagi ke anak-anak," ujar Ayaka.
Ada sekitar 15 es teh dan 4 piring berisi gorengan. Mereka memanggil beberapa orang untuk istirahat terlebih dahulu. Sisanya diantar ke tempat kerja masing-masing. Mezu mengambil 3 es teh dan satu piring gorengan untuk dibawa ke ruang jahit.
Di tengah jalan ia melihat Eris yang tiduran di tengah lapangan. Nampak begitu lelap, mungkin ketiduran setelah main kejar-kejaran. Hicchan yang berjongkok disampingnya sibuk menyiprati Eris dengan air. Rei dari jauh berlari sambil membawa 3 es teh, melihat itu Eris bergegas bangun dan menjemput es teh manisnya. Sepertinya terasa begitu segar sampai Eris memberikan jempol ke mereka berdua.
"Mereka dah istirahat. Bagaimana dengan Ana dan Elin, ya?"
Ruang jahit agak jauh karena ada di seberang lapangan. Sebelum masuk Mezu melepas alas kakinya. Begitu pintu dibuka suasana syahdu ruangan itu membuatnya merasa sejuk.
"Guys, istirahat dulu, yuk!" pinta Mezu sembari meletakkan es teh dan gorengan di meja dekat pintu. Sebenarnya tidak boleh membawa makanan atau minuman masuk ke ruang jahit. Tapi tak masalah karena jauh dari kain produksi.
"Berdua aja, nih?"
"Iya, kakak kelas lagi dipanggil sama guru." Ana menjawab tanpa menoleh karena sibuk memotong kain. Di sisi lain Elin sudah tiduran di meja dengan banyak potongan kain disekelilingnya.
"Ini belum pada dijahit?"
"Belum. Kemarin sibuk membuat pola baju, paling nanti sore sudah mulai dijahit."
"Aku gantiin aja, kalian istirahat dulu. Tuh! Dapat konsumsi dari Pak Kripik. Sekalian habis istirahat kita latihan sebentar."
Semenjak Elin dan Ana mengambil tugas membuat kostum mereka sama sekali belum ikut latihan. Mereka sama-sama memerankan tokoh penjajah dan itu termasuk tokoh penting. Dengan waktu yang semakin mepet membuat jam latihan mereka berkurang.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk aja pintunya gak dikunci!" seru Ayaka yang duduk di dekat pintu. Ia sedang sibuk memulihkan tenaga setelah kerja lembur.
Begitu pintu dibuka ada banyak orang yang berkerumun di luar menawarkan untuk menyelesaikan kostumnya dan meminta mereka bertiga pergi berlatih. Wajah Elin dan Ana langsung cerah seperti terkena siraman cinta.
"Kalau begitu kami serahkan pada kalian. Terima kasih!" seru Elin yang langsung ngibrit ke lapangan. Menyusul anak-anak yang sedang latihan.
⸙
Waktu terus berlalu. Tak disangka anak ekskul teater kali ini begitu kompak. Kostum yang dikerjakan anak properti juga sudah selesai. Beruntung ukurannya pas dengan pemakainya. Banyak perlengkapan juga sudah selesai. Tinggal menyempurnakan pentasnya saja.
Dari pinggir lapangan sekolah bergema alunan musik nusantara yang sedang diputar oleh Kripik. Di lapangan ada 15 orang yang bergantian melakukan drama musikal. Ada yang berperan di tokoh cerita, ada yang bergantian melakukan tarian.
Di tengah latihan tiba saat Eris membaca proklamasi. Namun, kali ini semua orang terkejut dan ada yang terpana melihat pesona Eris. Kripik sampai merinding.
'Parah! Ini terlalu keren,' pikir Kripik kagum.
Ctak!
Musik di matikan, sontak semua orang menoleh ke Kripik. "Untuk gladi resik sampai di sini. Semuanya keren, aku sampai kagum."
"Bapak harus bangga! Kami sudah melampaui batas kesablengan dan menjadi sosok yang keren." ujar Elin.
"Iya, iya. Kalian memang luar biasa. Siapa dulu, dung?"
"ANAK BAPAK!"
Mereka berseru sampai ada yang lompat-lompat dengan riang gembira. Namun, di tengah keseruan itu mereka harus memperhatikan satu hal.
Bruk!
Hicchan yang sedari tadi diam saja tetiba ambruk. Cindy yang di dekatnya langsung mengecek keadaan Hicchan. Tubuhnya sangat panas sampai mukanya pucat pasi.
"Eh, Hicchan. Kenapa kamu?" Cindy mengguncang bahu Hicchan berharap ia sadar.
Semua orang jadi berkerumun dengan panik. Ana ikut membantu dengan melepas sepatu Hicchan. Menggosokkan minyak kayu putih ke kakinya. Namun semua usaha itu tak membuahkan hasil.
"Salah satu panggil anak PMR. Biar aku yang gendong Hicchan ke sana."
Kripik bergegas menggendong Hicchan dengan sedikit berlari menuju UKS. Beberapa orang ikut sambil membawa barang milik Hicchan yang tertinggal.
"Chacha, tolong beliin teh anget di kantin. Pake duit kamu dulu nanti bapak ganti." Mendengar itu Chacha langsung ngibrit ke kantin. Dalam hatinya masih khawatir dengan Hicchan yang pingsan.
Hari itu tak ada yang berjaga di UKS. Mungkin belum kembali karena masih pada istirahat. Eris masuk dengan ngos-ngosan. Dia membawa beberapa anak PMR untuk memeriksa Hicchan. Beberapa anak cowok termasuk Kripik keluar. Khusus pemeriksaan Hicchan hanya boleh ditunggu oleh perempuan saja.
Setelah diusut lagi, ternyata dari pagi Hicchan belum sarapan dan langsung latihan sampai siang di bawah terik matahari. Setelah istirahat yang cukup harusnya bisa segera sembuh. Keesokan harinya Hicchan tak hanya demam, tapi dia juga terkena flu.
Orang - orang jadi khawatir antara tentang Hicchan juga tentang Teater. Pasalnya Hicchan memegang peran paling penting. Kalaupun diganti juga gak tahu mau ganti siapa. Anak teater sudah punya tugasnya masing-masing.
Rei sepanjang pagi terlihat lesu. Bahkan dengan padatnya acara sekolah waktu itu tidak membuat Rei tergerak. Ana yang melihatnya jadi kasihan. Ia sengaja menabrakkan bahunya ke bahu Rei. Niat untuk menyapanya.
"Kenapa Rei? Galau amat. Butuh ayangkah?" ejek Ana berharap bisa membuat Rei terhibur.
"Aku masih kepikiran soal Hicchan."
"Hicchan akan baik-baik saja. Dia kan tidak sakit separah itu."
Rei hanya melirik Ana dengan ekor matanya. Ia menghela napas dengan berat sampai membuat Ana jadi bingung.
"Kenapa sesedih itu, sih?"
"Aku percaya Hicchan akan segera sembuh, tapi bukan itu yang kupikirkan."
"Apa dung?"
"Baru banget sebelum kamu datang tadi. Aku ingat kemarin nitip hp ke Hicchan. Saat dia dibawa ke UKS ternyata langsung dijemput orang tuanya pulang. Hp aku masih dibawa Hicchan."
Rei lagi-lagi galau. Ia hanya memandang perlombaan di depan dengan mode pasrah. Niat hati ia sangat ingin mengabadikan lomba 17-an ini dari pagi sampai sore.
Ana jadi bingung harus berbuat apa. Kasihan, tapi kok ngenes banget. Ia tak mau memusingkan hal itu dan memberikan ponsel miliknya.
"Pakai aja punyaku. Nanti kalau udah selesai pindahin aja."
"Terima kasih!" Rei yang mukanya seperti cucian belum dijemur itu langsung cerah seperti bunga yang mekar. Tanpa basa-basi lagi dia membuka kamera dan menjepret beberapa orang yang sedang lomba.
Ckrek!
Ana yang memperhatikannya jadi bingung. Sesaat tadi muka Rei sangat cerah, tapi sekarang kembali kucel lagi.
"Kenapa lagi Rei?"
"Nih! Gak jadi. Memorinya penuh."
Dengan berat hati Ana menerima kembali ponselnya sembari meminta maaf. Jadinya mereka hanya melongo menatap lomba. Dari belakang Eris lewat sesaat, tapi kembali lagi untuk memastikan.
"Oh, parah Imouto. Kenapah nampak syedih?"
Eris menatap mereka sambil minum es teh. Nampak seperti habis lomba, rambut dan seragamnya basah oleh keringat. Mukanya juga sampai merah gegara terkena sinar matahari.
"Ini. Rei mau bikin dokumentasi lomba, tapi hp-nya dibawa Hicchan. Hp aku memorinya penuh." Ana menjelaskan dengan raut yang masih sendu.
"Pakai hapeh Eris ajah, memorihnya masih banyaq. Sekaliyan Eris ajaq nonthon lombah balap bakiyak. Eris main, lho."
Eris memberikan ponselnya pada Rei, usaha tersebut membuahkan hasil. Eris jalan duluan sambil mengajak mereka berdua untuk ikut. Berkat Eris mereka berdua bisa menikmati siang hari dengan riang.
Sepanjang siang menuju sore itu banyak perlombaan yang diabadikan Rei. Seperti lomba bakiyak dimana Eris ikut serta, balap karung, lomba makan kerupuk, dan masih banyak lagi. Tak lupa Rei mengambil beberapa selvi bertiga.
Sorenya mereka dapat waktu istirahat selama tiga jam. Mereka gunakan untuk mempersiapkan acara puncak. Salah satu kelas di lantai dua dipinjam sementara untuk dijadikan ruang ganti. Beberapa orang ada yang lagi di make up, ada yang sibuk latihan, sementara itu Kripik mengamati lapangan dari lantai atas.
Para tamu sudah berkumpul. Ada guru, kepala sekolah, dan beberapa tamu penting. Murid-murid yang lain juga sudah berkumpul di sekeliling panggung. Pentas akan segera dimulai setelah tamu penting selesai memberi sambutan.
"Kalian udah pada siap?"
Kripik menatap ke belakang. Anak Teater sudah selesai bersiap. Mereka nampak silau di mata Kripik, anak-anak yang dia didik berubah menjadi sosok yang sekeren ini. Kripik sampai terharu melihat pemandangan ini.
"Terima kasih, atas sambutannya. Nah, untuk memulai acara pada malam ini. Mari kita buka dengan pertunjukan Musikal dari Ekskul Teater."
Seruan penonton begitu antusias. Anggota Ekskul Teater bergegas turun menuju belakang panggung. Di tengah jalan Kripik terhenti, ia melihat sesuatu dari arah gerbang. Kripik tak jadi ikut ke belakang panggung dan memilih belok menuju gerbang.
Acara pun dimulai.
Mereka sempat bertanya-tanya kemana perginya Kripik. Namun, tak terlalu dipusingkan. Mereka lebih fokus pada acara yang sudah mulai.
Semua lampu dimatikan, sesaat terdengar seruan terkejut dari orang. Chacha bergegas naik ke panggung sendirian. Begitu musik diputar, satu lampu perlahan menyorot panggung.
"Bagimu Negeri, jiwa raga kami."
Chacha mulai menyanyikan lagu "Bagimu Negeri" yang menjadi pembuka dari lagu "Wonderland Indonesia" by Alffy Rev ft. Novia Bachmid (chapter 1).
Setelah selesai bernyanyi. Chacha ke belakang bersama anggota lain yang berperan menjadi warga. Seolah sedang memeragakan kegiatan sehari-hari seperti memilah padi, mencuci, bahkan ada yang memikul kayu yang terikat dengan tumbu di depan dan belakang. Seolah sedang berjualan sesuatu. Nuansa yang disuguhkan adalah kehidupan yang penuh suka cita.
"Indonesia is the most beautiful land in the Universe. The land where we were born. The nation where we grew up. So many colours that lived together in peace. With a million timeless treasures. With an abundance of natural wealth. Indonesia is not just wonderful. Indonesia is a wonderland."
Dari belakang panggung Eris bercerita tentang keindahan Indonesia dengan bahasa Inggris. Cerita yang dibawakan Eris hanya satu kalimat dan itu sangat menggambarkan betapa menakjubkannya Indonesia.
Sesaat setelahnya masuk lagu "Paris Barantai" yang membuat adegan berubah. Penjajah pun datang. Di panggung itu ada Mezu, Elin, dan Ana yang mengenakan seragam marching band dilengkapi dengan senjata mainan.
Berkolaborasi dengan bagian penari latar. Adegan perangpun dimulai, beberapa yang berperan jadi warga membawa sebilah bambu dan keris untuk melawan penjajah. Namun, para warga berhasil diperbudak oleh penjajah. Mereka diikat sampai disuruh berlutut, bahkan ada satu orang yang memberontak langsung ditembak mati di tempat.
Begitu lagu berganti mereka langsung berdiri, memperlihatkan warga yang dipekerjakan secara paksa sampai ada yang tumbang. Bahkan ada anak kecil yang memikul karung besar bertuliskan nama rempah-rempah Indonesia. Adegan ini menceritakan nasib warga Indonesia yang menderita setelah dikuasai oleh panjajah.
Di sisi lain panggung ada Rei dan Eris, beserta dengan beberapa orang lagi yang sedang berdiskusi. Rei membuka peta Indonesia di sebuah papan sampai berdebat serius dengan Eris.
Setelahnya, Eris berdiri menuju tengah panggung yang sudah disiapkan balok kecil untuk pijakan. Di depannya ada banyak warga yang duduk sambil membawa batang bambu. Eris berpidato di sana dan sesekali para warga bersorak sambil mengangkat bambunya.
Tirai pun diturunkan. Setengah panggung yang belakang tertutup oleh tirai, setengah panggung di depan memperlihatkan kericuhan warga. Ada orang yang membawa bendera Belanda. Ayaka naik dari sisi lain panggung dengan membawa keris. Sampai di tengah panggung ia menyobek benderanya dan membuang bagian birunya. Bendera itu sebenarnya adalah bendera merah putih yang disolatip dengan kain biru agar mudah memperagakan adegan tersebut.
Setelahnya penjajah naik ke panggung dan memerangi warga. Orang yang memegang bendera ke pinggir panggung. Ayaka langsung berbalik, seolah bak prajurit, ia memerangi penjajah menggunakan keris. Walau sudah tertembak, Ayaka terus berusaha memerangi penjajah.
Lampu diredupkan, satu lampu terang mengarah ke tengah panggung. Cindy berdiri di tengah panggung dengan latar belakang peperangan.
"Tak lelo, lelo, lelo ledung. Cep meneng ojo pijer nangis. Anakku sing ayu rupane. Dadiyo pendhekaring bongso."
Cindy menyanyikan lagu "Tak Lelo Lelo Lekdung" sambil menimang-nimang boneka. Adegan yang menceritakan doa seorang ibu yang mengharapkan masa depan yang cerah untuk anaknya. Agar anaknya menjadi orang yang mulia.
Lampu mulai mati total. Semua orang yang ada di panggung mulai turun. Tirai yang tadi menutup setengah panggung perlahan di buka.
"Proklamasi."
Semua orang tertegun, mereka merasakan hawa yang berbeda. Apalagi tirai yang dibuka perlahan itu membuat suasana sakralnya kemerdekaan semakin terasa.
"Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17 Agustus 1945
Soekarno/Hatta."
Hening. Semua orang kagum dengan sosok Eris yang berbeda. Bahkan anak teater yang sudah berkali-kali lahitan dengan Eris masih ada yang kagum. Eris nampak berjiwa pemimpin tanpa KBBE. Seakan Eris seperti dirasuki oleh Ir. Soekarno.
Lampu panggung mulai dinyalakan. Rei dan Eris berdiri di depan. Semua anak teater berdiri di belakang mereka, menyebar di sisi kanan dan kiri dengan sekat tengah yang masih kosong. Mezu meletakkan wadah bendera di depan panggung sebelum akhirnya ikut berbaris.
Di momen ini sebenarnya mereka agak gelisah. Harusnya akan ada yang memasang bendera saat mereka bernyanyi. Namun, peran itu diambil oleh Hicchan. Kripik bilang akan mengatasinya jika memang memerlukan pengganti, tapi dia bahkan tidak nongol sejak pentas dimulai.
"Padamu negeri kami berjanji. Padamu negeri kami mengabdi."
Mereka mulai bernyanyi dengan tangan kanan di dada kiri. Saat itu mereka sudah pasrah, sempurna tidaknya pentas ini ditentukan dari adanya bendera yang dikibarkan atau tidak.
"Bagimu negeri jiwa raga kami."
Lagu hampir selesai pun masih belum ada yang berjalan ke depan. Namun, di detik-detik terakhir kegelisahan mereka terbayar tuntas. Hicchan tetiba datang dari belakang. Melewati sekat yang dibuat sama seperti saat latihan sambil membawa bendera Indonesia.
Mereka menatap Hicchan dengan perasaan lega. Hicchan sudah seperti maskot untuk teater ini. Ia memakai kebaya panjang berwarna putih dengan bordir emas di pinggirnya. Jarik berwarna coklat gelap. Rambutnya disanggul dengan mahkota yang berbentuk gunung wayang dan batik. Terdapat hiasan bunga melati di sisi kanan, bulu panjang bak bulu cendrawasih di sisi kiri.
Hicchan meletakkan bendera di depan panggung. Saat itu juga musik gamelan dengan kolaborasi musik dj menjadi penutup pentas. Semua orang kompak menarikan koreografi dance dan tarian nusantara. Sampai kembang api dinyalakan sebagai akhir dari pentas seni Ekskul Teater.
Prok! Prok! Prok!
Tepuk tangan meriah langsung menyambut penutupan pentas. Terutama gadis yang duduk di paling belakang, dia bersorak sambil melambaikan buket bunga ke arah panggung.
Kripik tetiba naik ke panggung dan bersama-sama menunduk. Mengisyaratkan ucapan terima kasih untuk para hadirin sebelum akhirnya turun. Saat yang bersamaan gadis yang tadi membawa buket bunga entah hilang kemana.
⸙
"Haaah!"
Semua orang di kelas menatap Hicchan yang sedang minum. Tak banyak yang hanya saling melirik tanpa bertanya apapun. Hicchan yang menyadari itu langsung menoleh.
"Eh! Ada apa, nih?"
Hicchan hampir tak bisa menelan air minumnya gegara ditatap terus.
"Hicchan, kau udah enakan?" tanya Ayaka memecah keheningan.
Hicchan hanya mengangguk. Merasa teman-temannya masih penasaran Hicchan pun menjelaskan kalau siang tadi ia sudah mengabari Kripik bahwa nanti bisa datang. Selama tiga jam istirahat itu Hicchan sudah make up ke salon juga. Sayangnya ia terjebak macet saat menuju ke sekolah. Begitu sampai acara sudah di mulai. Hicchan bergegas bersiap dengan dibantu Kripik.
"Agak gak enak sebenarnya meminta Pak Kripik membawakan tasku naik ke sini."
Semua orang hanya mengangguk paham tanpa respon yang lebih.
"Eh, Seito mana?"
"Di sini."
Sontak mereka menoleh keluar. Pak Kripik menunjuk ke arah bawah. Merasa penasaran mereka pun mendekat. Ternyata Eris ada di belakang panggung dengan gadis yang membawa buket bunga tadi. Eris nampak menggaruk-garuk pelipisnya sebelum akhirnya menerima buket tersebut.
Orang-orang yang diatas hanya tersenyum jahil seakan terkena siraman cinta.
"Waaa, Seito dilamar."
"Wajar, sih. Tadi pesona Eris sangat memukau," celetuk Kripik. Mendengar itu orang-orang hanya cengengesan, bahkan ada yang sengaja terbatuk-batuk.
"Turun, yuk! Acaranya udah selesai, kita foto bareng buat kenang-kenangan."
Beberapa orang bergegas turun untuk memergoki Eris. Sayang saat sampai di bawah tinggal Eris dan buket mawar putih saja.
"Yaaah, telat!" gerutu Rei.
"Kenapah imouto?"
"Eh, gak papa. Pak Kripik ngajak foto bareng."
"Oh, boyeh. Di panggung ajah."
"Lets go!"
Ckrek!
Begitulah kisah Ekskul Teater. Penampilan mereka kali ini sangat luar biasa sampai viral. Namun, masih ada misteri juga dari kisah mereka. Kira-kira apakah ada yang belum terjawab?
.
🍀🍀🍀🍀🍀
Penulis : Icarus2933
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top