Mahardika Rasa
{Familie Eris | Hicchan}
[Karte Cindy]
Aku membisu di kamar. Memperhatikan dinding-dinding dingin berwarna biru muda kesukaanku yang berhias poster artis asal negeri Korea. Pajangan foto keluarga terdiam di atas rak. Entah mengapa, aku tidak tahan untuk segera melarikan diri dari seberapa sesaknya keadaan dalam rumah.
Aku merenungi sorot mata pria di foto itu. Sangat membuatku bertanya, apakah bisa aku memintanya menunggu tahun depan dan tidak lahir pada tahun 2004. Aku tidak ingin melihat seberapa sayangnya dirimu pada mereka yang lahir di tahun setelahnya. Aku juga ingin merasakan arti dari rumah. Aku ingin tempat aku pulang.
Kakiku beranjak meninggalkan ruangan menyedihkan itu. Menggenggam setiap niat yang sudah kususun begitu rapih. Ayah tersenyum lebar melihat Mezu keluar dari kamarnya. Memuji seberapa cantiknya dia.
Aku melihat di sisi lain adik pertamaku, Elin, tersenyum tipis dengan menunduk seolah paham apa yang ia rasa. Hari pertama masuk SMA, orang tua mana yang tidak bahagia melihat anaknya telah resmi berpakaian seragam putih juga celana abu.
Ibu menyapaku ketika aku berhenti di tangga. "Cindy, ayo sarapan dulu."
Segala hidangan lebih mewah pada pagi ini dibanding aku pertama masuk kala itu. Aku berjalan santai ke arah pintu luar setelah terburu-buru memakai sepatu.
"Kamu gak sarapan? Kalau sakit gimana?"
Aku tersenyum kecil. Tidak membalas pertanyaan Ibu. Elin tetiba berlari, menghentikan aku yang baru saja membuka pintu.
"Tunggu, ada yang mau aku omongin."
"Aku buru-buru Elin."
"Kak, aku tahu. Jadi tunggu aku."
Aku berdiri di depan rumah. Melirik jam tangan sesekali. Suara motor beriringan menghiasi Bandung. Rasa dingin seolah membuatku berpikir aku ingin memakai jaket tetapi aku tidak mau kembali ke rumah.
Ayahku yakni Eris dan istrinya yaitu Hicchan memang sudah menjadi sosok terkenal di lingkungan kompleks perumahan. Ayah dan ibu sangatlah aktif di organisasi masyarakat hingga nama anak-anaknya selalu disebut. Sudah hal lumrah bagi kami mendapat sapaan tetangga.
Gadis dengan kacamata menghampiriku. Dia tersenyum seraya menuntun tas jinjing di sikunya.
"Kak."
"Apa Lin?"
Kami berjalan pelan menuju sekolah yang jarak letaknya tidak jauh dari rumah. Elin menahan dirinya untuk bicara, jujur saja aku tidak tahu tentang pikirannya.
"Lin, kenapa kamu ikut aku? Kan bisa dianterin sekalian dengan Mezu."
"Gapapa Kak."
"Kamu ada masalah apa?" Suaraku terdengar kesal. Elin terlihat menunduk.
"Lagi ingin jalan aja. Ayah pasti memaklumi kalau kita gak diantar. Bukannya ini sudah menjadi hal biasa? Ibu juga tidak menahan bukan? Setidaknya aku senang bisa jalan pagi sama Kakak."
Aku merasa tenang tapi aku yakin itu bukan hiburan bagi perasaanku sekarang.
"Ayah sibuk dengan pekerjaannya di RS. Ibu mengelola toko kue sampai pulang menuju malam. Yang rajin berkunjung juga membantu ibu di toko hanya Mezu, aku tidak apa, aku hanya ingin Mezu jadi bintangnya."
Sedikit kaget sejujurnya mendengar hal itu. Elin tertawa kecil menertawai diri. Aku paham rasa cemburu yang dia rasakan.
"Toko kue lagi ramai sekarang ini. Banyak pesanan. Biasanya bulan Juli sih saat menyambut anak naik kelas. Nanti mau ke toko nggak Lin? Bantu ibu. Selama liburan sekolah kita hanya berapa kali ke toko."
Elin berhenti sejenak. Menulusuri kedua bola mataku. Apa? Apa aku salah bicara barusan?
"Nggak. Aku ada acara sama Ayaka. Nanti aku kabari Kakak yah."
Jantungku terasa tidak nyaman. Elin mempercepat langkah kakinya. Aku tidak menahu apa yang terjadi dengan pikir Elin. Yah, kehadiran Mezu di sekolah menjadikan aku lebih dewasa dan semakin dewasa seperti yang ayah inginkan juga ibu harapkan. Mungkin, Elin sekarang merasakan bebannya.
[Karte Elin]
Pelajaran pertama saat menginjak kelas sebelas. Fisika mengulitiku selama dua jam. Namun aku tak merasa lelah karena sudah terbiasa begitu pula dengan Kimia dan Biologi--pelajaran yang selalu ayah minta aku dalami. Katanya agar aku menjadi seorang dokter. Baginya aku adalah seorang penerus kejayaannya. Dia berharap aku bisa menjadi contoh terbaik untuk kakak juga adikku.
Tuhan, aku lelah.
Alasan ayah memintaku menjadi dokter karena kepastian jaminan masa depan dan sebagian besar populasi Indonesia menganggap dokter sebagai profesi paling menjamin kesuksesan seseorang. Alasan berikutnya untuk meneruskan pekerjaan ayah yang telah dikenal para pasiennya. Terakhir, karena aku adalah harapan paling diinginkan ayah dibandingkan dua saudaraku yang lain.
Mau sampai kapan?
Dokter, dokter, dan dokter. Itulah harapan yang penuh tuntutan bagi hidupku. Aku tak pernah menunjukkan seberapa lelahnya diriku menjadi anak tengah. Namun, mau sampai kapan aku seolah kuat?
"Lin, jangan ngelamun."
Suara itu tidak asing bagiku. Ayaka serius menghitung tugas di papan tulis.
"Gak ngelamun."
"Kamu ngelamun Lin. Kamu lagi mikirin apa? Kelihatan kamu cemas. Tuh! Kaki kamu aktif terus lompat-lompat di bawah meja. Kalau ada masalah, cerita Lin. Aku aja kalau ada masalah gak sungkan loh buat cerita. Yah ceritanya ke Elin aja."
Aku tersenyum menanggapi ucapannya.
"Kan ada temen yang lain Ay."
"Gak ada. Gak kenal."
"Terus kenalnya siapa?"
"Elin."
Aku menganga.
"Kita ini sahabat senasib Lin. Dari SD juga SMP barengan. Bahkan ...."
"Bahkan?"
"Kejeniusannya tidak dapat tertandingi. Disia-siakan, tidak dikenal, tidak terlihat, tidak dipedulikan, tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dicintai, dan yang paling buruk! Upahnya di bawah standar."
"Hai! Hai! Hai! Hai! Itu lucu karena itu benar."
Kami menahan tawa mengingat betapa lucu dan sedihnya scene Squidward kepada Tuan Krab. Yah, mungkin beberapa orang di dunia akan merasakan dirinya mirip dengan keadaan Squidward. Padahal dulu aku tidak menyukainya karena dia terlihat malas. Ternyata kenyataan yang membuat Squidward lebih memilih menyendiri.
Di koridor yang lebar, aku memperhatikan sejenak gedung tempat kelas sepuluh berada. Ayaka termenung memperhatikan Mezu begitu dekat dengan adiknya.
"Ana akrab banget sama adik kamu Lin."
Aku mengangguk pelan.
"Mezu aktif ... persis seperti orang tuanya."
Ayaka berdeham sembari menarikku pergi ke area kantin. Ia tidak biasa terlalu dekat dengan dua saudaranya. Begitu juga hubunganku dan Mezu. Kami bersaudara tapi kebebasan kami berbeda. Dukungan ayah selalu penuh semangat pada Mezu serta Cindy. Hingga aku bertanya, kapan aku bisa sehebat mereka?
Ayaka berlari-lari kecil menuruni anak tangga mendahuluiku. Aku yang terpancing mengikuti Ayaka tanpa sadar salah melangkah. Ayaka melihatku dari atas sebelum pandanganku hilang entah ke mana.
[Karte Mezu]
Ada kantin dengan hidangan sedap di SMA Four-Leaf Clover. Ayam geprek yang dibilang terkenal di kalangan remaja. Bahkan beberapa siswa sekolah lain rela memesan melalui aplikasi, mungkin penasaran menikmati sedap gila pedasnya. Sebelum aku menjadi siswi baru di sini, kedua kakakku yang lain kadang membawakan ayam geprek ke rumah.
"MEZU!"
Ana berteriak keras menghentikan langkahku. Aku mengernyit panik. Baru saja aku merasa senang membayangkan nikmat dunia.
"Ada apa sih Na?"
"KAKAK KAMU MEZ!"
Ana menarikku ke arah gedung kelas sebelas setelah dia beralih dari handphone-nya. Banyak kerumunan yang membuatku semakin panik. Mataku berair melihat Kak Elin tidak sadarkan diri. Kacamata miliknya bahkan pecah melukai pipinya.
Aku berteriak meminta beberapa laki-laki membawa Kak Elin ke UKS. Hawa sejuk menyambutku yang tidak tahu harus bagaimana. Ana dan Kak Ayaka menangis mengetahui keadaan Kak Elin sekarang. Di pojok UKS, dirinya belum sadarkan diri.
Aku menelpon ibu agar segera ke sekolah. Namun belum mendapat balasan. Segera aku tinggalkan chat meminta ibu lekas membawa mobil untuk mengantar Kak Elin ke RS ayah bekerja.
Aku menggenggam tangan miliknya. Masih hangat namun tanganku dingin karena panik. Aku lega UKS sangat sepi sehingga tidak mengganggu orang lain yang sedang sakit. Kak Ayaka pun sudah menyiapkan air kalau-kalau Kak Elin sadarkan diri nanti.
"Lin, sadar dong Lin."
"Kak Ayaka, Kak Elin kenapa bisa jatuh?"
Kak Ayaka terdiam lama. Ana menepuk pelan bahuku agar tidak membahas itu sekarang.
Suara kipas angin berbunyi memenuhi ruangan. Kami sudah mulai tenang. Siang semakin terik dan senyap. Kak Ayaka juga Ana membawa bukunya kemari. Mereka dengan mata masih agak sembab, mulai mengerjakan tugas terbaru. Sembari menunggu Kak Elin sadar, aku mencoba untuk tetap tenang, tetapi aku masih gemetar memandangi kakinya yang cedera.
Aku bergeming, menunggu pesan ibu sampai. Memandang Kak Elin yang sakit, mengingatkan aku yang lalai menuruti perintahnya. Dulu biasanya kami sering berolahraga sepeda bersama di lapangan dekat rumah. Lapangannya memang tidak terlalu besar saat aku belajar bersepeda kala itu.
Mengayuh membuatku bersemangat. Aku cukup bosan dengan area yang sama saja. Sepeda yang kukayuh melintasi area pembangunan perumahan baru. Aku tertarik mencium aroma tanah yang begitu segar. Aku menyeret sepeda melintasi area rumah yang dekat dengan satu sumur kering.
Karena sehabis hujan aku tidak sadar akan tanah licin lalu masuk ke dalam dan berteriak meminta tolong puluhan kali di sana. Aku menangis menahan seberapa takutnya aku pada gelap. Kak Elin mendengarku. Dia sigap memberikan tali meminta aku berpegangan di serat tali yang dia dapat di sekitar pembangunan.
Kak Elin menalikan tali ke pohon yang masih berdiri dekat sumur. Suaranya berteriak, memintaku terus yakin padanya. Hanya aku tetap takut. Tubuhku yang mungil saat SD belum berhasil mengerti mekanisme apa yang ia minta.
Alhasil Kak Elin mencoba beberapa cara yang membuat dia ikut terjatuh ke sumur. Kakinya patah juga parahnya tidak sadarkan diri. Butuh berapa saat hingga ayah menemukan kami dalam keadaan kotor penuh tanah. Aku bersyukur hari itu ayah mengetahui sepedaku dan hujan tidak marah karena ulahku.
"Mez, kamu mau aku beliin ayam geprek ngga? Kamu lapar tuh. Bentar yah aku beliin dulu."
Aku menggeleng kencang juga mengusap mata yang hampir saja jatuh. Apa suara perutku terdengar barusan?
"Jangan An. Aku nggak lapar. Eh tugas kamu udah beres belum? Mau lihat dong, kan kita bestie!"
Ana mencebik kesal. Aku tertawa kecil melihat ekspresinya.
"Mez, udah dapat kabar belum dari orang tua kamu?"
Kak Ayaka berhasil mengingatkan aku pada pesanku sebelumnya. Dua jam berlalu, tepat pada pukul dua siang, ibu memberikan balasan. Dia segera datang ke sekolah. Ayah tidak dikabari oleh ibu, takut kabar ini mengganggu ayah saat bekerja.
Suara Kak Elin terdengar parau mencari-cari seseorang. Dia menyebut namaku berulang-ulang.
"Kak Elin! Kak Elin sadar!"
Tangisnya tetiba deras.
"Itu karena aku kan Mez? Karena aku kan? Mez maaf Mez! Itu salah aku gak bisa jagain kamu Mez."
Aku menutup mulut. Jantungku berdebar kencang. Tuhan, maafkan aku.
{Familie Kripik | Chacha}
[Karte Rei]
Ayah? Terdengar hangat bagi anak perempuannya. Bagiku pun sama. Ayah selalu menjadi nomor satu bagi anaknya. Walau aku memiliki dua saudara perempuan lain. Ayaka dan Ana.
Ayah seorang penulis terkenal. Banyak bukunya terjual. Universe Subarashii Classroom sudah sampai sepuluh buku. Beragam rute yang dia buat, sequel dan spin-off mendapat sambutan meriah di kalangan remaja. Buku pembuka seri yang ayah buat telah dijadikan anime serta mendapat penghargaan anime terbaik di musim semi tahun 2023 lewat voting Anitrendz.
Aku bangga tentunya. Animasinya digarap serius studio Ubud. Lagu pembukanya dibuka oleh Yorushika dan endingnya ditutup oleh Aimer. Bagaimana tidak terkenal, soundtrack animenya berhasil memuncaki trending musik negara Indonesia serta Jepang.
Berawal dari situ, mimpi buruk anak-anaknya dimulai. Chacha sebagai ibu kami, membuat aku dan kedua adikku jatuh dalam impiannya. Kami harus seperti ayah, menjadi penulis yang dibanggakan negara.
Aku pernah memberontak dan membuat hubunganku dan ibu tidak membaik hingga sekarang. Ayaka lebih sering diam di kamar dengan Elin--sahabatnya. Ana pergi keluar dengan teman perempuannya yaitu Mezu.
Rumah tidak seberwarna coretan tangan ayah. Tidak sehidup bagaimana ayah mendeskripsikan kehidupan cerita miliknya. Gambar visual tokoh ceritanya terpampang rapih di kamar. Hanya satu foto keluarga kami yang diam di atas rak kecil.
Dari hal itu, aku seolah berpikir, apa yang selama ini ayah prioritaskan. Mimpinya atau keluarganya?
Ibu keluar sesekali dari kamar, bersikap menjadi seorang ibu rumah tangga lalu kembali dalam kamar. Hanya aku dan kedua saudaraku yang makan malam hari ini.
"Kalian mau jenguk Elin kapan?"
Ayaka kesulitan menelan. Aku menertawai ia yang hampir tersedak. Lucu sekali tapi aku masih cukup baik memberi Ayaka air minum segelas.
"Heh! Jangan zalim yah Kak!"
Ayaka tidak terima. Napasnya kembali lega.
"Ana sih ikut Kak Ayaka. Ana malu kalau sendirian."
Ayaka melirik jam di ponselnya. Eh, sejak kapan cashing-nya berubah jadi gambar Patrick?
"Dia dirawat di RS Hasan Sadikin. Ruang Semanggi 203. Mau ke sana sekarang?"
"Ayo aja. Siapa yang mau pamitan?"
Pertanyaan Ana cukup membuat kami bergidik ngeri. Kami belum siap berhadapan dengan ibu.
"Anu, Kak Rei atau Ana aja takut, bagaimana dengan daun ilalang ini?"
Aku memijat pelipis. Aku tidak enak bila tidak pamitan. Sebagai kakak, mungkin aku bisa meminta izin ke ayah.
Aku kini berdiri depan pintu ruang kerja satu-satunya rumah ini. Ayah bergelut dengan kerjaannya. Pandangannya terasa sedang ingin melepas lelah. Suara pertandingan Persib melawan Persija menggelegar di sana.
"Gimana Kak?"
"Gatau sih An, kalau Ayaka mau sekarang aja?"
Ayaka memberi jempol.
"Aku ikut aja."
Senyuman mautku terbit. Rasanya aku ingin mencubit gemas Ayaka.
"Sekarang kalian siap-siap dulu. Pakai jaket, inget, Bandung sama Cimahi dingin. Aku siapin mobil dulu di garasi."
Ana menarik ujung bibirnya. Mengekspresikan seperti kurang yakin.
"Perasaan jarang deh Kak Rei pakai mobil. Harus banyak-banyak doa deh."
Senyumanku mulai tertahan ketus. Ingin sekali aku kasih mereka jurus serangan realita hidup.
"Y-ya, pokoknya siap-siap. Aku mau pakai jaket gelembung dulu."
Mereka berdua berlari memasuki kamar masing-masing. Jantungku terasa tidak enak. Ada bayangan yang berdiri di siluet kaca pintu milik ibu. Aku yakin beliau mendengar percakapan kami. Hatiku masih tertahan. Bayangannya perlahan menjauh saat aku mendekat.
Mau sampai kapan aku jadi orang jahat di hidupmu bu?
Kemari bu, aku udah nggak marah, kita damai aja, aku capek, kakak capek lihat keluarga kita gini terus. Semua anak perempuan ibu, capek bu.
Ibu tahu? Aku selalu berharap pada Tuhan, aku harap keluarga kita sembuh.
[Karte Ayaka]
Mobil Avanza hitam milik ayah masih sangat terawat baik. Interiornya rapi dan bersih. Begitu pula eksterior yang menawan. Ada hiasan karya milik ayah di mobil. Ada bantal salah satu karakter bernama Lev yang aku peluk hangat.
Bandung memanas dengan riuh suporternya. Para tua dan muda bersemangat menyaksikan pertandingan Persib di TV. Itu membuat aku tersenyum, seolah masih percaya ada keajaiban yang membawa keluarga kami bisa menonton Persib di ruang keluarga.
Walau aku mencintai keheningan, matematika, maupun bintang di langit malam, aku selalu berharap seperti saudaraku yang lainnya.
Wajah Ana terlihat di spion tengah tertidur lelap. Aku menemani Kak Rei di sampingnya.
"Kak."
"Ada apa Ay?"
"Nanti cari tukang bakso tahu yuk! Makanan favorit ayah sama ibu. Pasti mereka suka."
Kak Rei terdiam lama. Aku menebak hatinya tidak setuju dengan pendapatku.
"Boleh."
Perasaanku meluap lega.
"Kenapa, Ay, aneh ya? Bisa sih kita beliin banros atau batagor juga. Cilung? Cilor? Boleh. Kan kita anaknya Bandung banget."
"Bandung banget yah?"
"Lihat nih! Jaketnya aja gelembung, pasti udah Bandung."
Aku tertawa kecil. Sudah lama yah, mengingat kami bertiga cukup berjarak akhir-akhir ini.
"Kamu sedih yah Elin masuk rumah sakit?"
"Khawatir banget. Tapi kata Mezu, Elin udah siuman."
"Syukurlah. Bentar, aku mau beli buah-buahan. Kamu tunggu di mobil."
"Iya Kak."
Perasaanku tidak nyaman. Membayangkan bagaimana Elin langsung tidak sadarkan diri. Pasti sakit langsung menghantam lantai, semoga dia tidak hilang ingatan. Tapi kalau aib aku mungkin gapapa, eh, dosa! Gak boleh gitu Ay. Semoga Elin sehat-sehat aja, bisa bikin banyak status Whatsapp lagi.
"Ay, bangunin Ana. Biar bisa dandan cakep."
"Siap Komandan!"
Ana aku bangunkan kala mobil sudah memasuki area parkir rumah sakit. Matanya memeriksa area sekitar.
Kami parkir mobil di halaman gedung D3 Kesehatan Gigi, tepat di seberang Jalan RS Hasan Sadikin. Kata ayah Elin waktu aku jenguk Elin pas kecil, sebagian besar di parkiran ini diisi mobil dokter, residen, dan koass yang lagi tugas. Pantas saja mobil yang berjajar lumayan keren.
Saat aku turun dari mobil. Mata Ana memicing melihat nomor kendaraan mobil Sienta warna hitam. Kebetulan yang aneh, bisa bersebelahan dengan mobil milik keluarga Elin.
"Ah, ayo masuk Kak. Jadi lama nih gara-gara aku."
Kak Rei menggenggam tangan Ana masuk melangkahi area RS. Aku memangku buah tangan yang baru kami beli. Ruangan di sini cukup luas. Semerbak bau RS tidak ada yang berubah.
Jantungku berdebar kencang masuk ke ruang rawat inap tersebut. Senyum Elin padaku membuat aku menangis. Kami berpelukan, saling menguatkan. Luka di pipi Elin membuat hatiku tak bisa menahan sedih. Kakinya pun diberi gips untuk membantu penyembuhan cedera.
"Kamu kan besok sekolah Ay."
Elin sesenggukan.
"Gapapa Lin. Kata dokter gimana?"
"Geger otak ringan sama cedera kaki. Maaf yah duduk sendiri, akunya di rumah sakit Ay."
Aku memeluk lagi Elin. Elin dalam kondisi duduk membuatku menangis. Aku belum siap kehilangan Elin. Benar-benar aku membenci kesalahanku di tangga.
"Ay."
"Iya Lin?"
Elin melepas pelukanku dan mengusap bahuku perlahan. "Jangan nyalahin diri kamu Ay. Kamu gak salah. Akunya lagi ceroboh aja Ay."
"Gak boleh gitu lagi yah Lin! Janji!"
"Janji."
Senyuman Elin dengan wajah terluka berhasil mengiris sedihku. Aku tak bisa bayangkan kalau Elin menghilang hari ini.
Tuhan, jangan percepat hatiku untuk sedih lagi. Aku sudah cukup berjuang agar mengerti tiap pilihan takdirmu.
[Karte Ana]
Aku memeluk Mezu di depan pintu ruangan. Aku ikut keluar saat Mezu seolah menahan mual. Traumanya melihat Elin terbuka lagi. Aku tahu kejadian saat itu. Beritanya terkenal dan bertepatan aku sedang sakit karena demam.
Seandainya aku sehat, kemungkinan aku bisa menghentikan Mezu. Aku tidak bisa menyalahi takdir. Mezu pergi ke wastafel di toilet. Aku menunduk seolah paham bahwa itu adalah hal yang tidak ingin dia ingat.
Toilet begitu sepi. Cermin di hadapan kami menunjukkan kondisi kami yang penuh canggung.
"Maaf An. Gak biasanya yah lihat aku nangis?"
Aku mengangguk.
"Mezu selalu kuat, bantu ibu Mezu di toko, senengin ayah Mezu di rumah, walau Mezu tahu, Mezu belum bisa perbaiki yang di masa lalu."
"Hehe, masih canggung. Aku belum tahu harus gimana An."
Setelah Mezu mencuci muka, dialog pun mulai terdengar santai. Kami mencari udara segar, menjauhi area kamar Kak Elin dirawat. Mengelilingi area rumah sakit mungkin adalah ide terbaik menenangkan pikiran.
"Kita harus gimana yah, biar orang tua kita berubah?"
"Aku aja gatau Mez. Udah berapa lama yah aku. Tapi keren sih Mez tetap jadi perempuan tangguh."
Mezu terkekeh.
"Masih tangguhan kamu. Aku gak bisa bayangin, aku diem-dieman sama orang tua. Dikira lagi kasmaran kali kita teh."
"Mez, kamu udah nyoba buat ngobrol sama orang tua kamu?"
"Soal apa?"
"Cita-cita kalian."
Netra Mezu terbuka lebar. Kak Cindy bersama Kak Rei mengikuti kami sedari tadi. Apakah mereka menguping pembicaraan yang baru saja mengalir?
"Gawat. Tadi aku ngomong apa An?"
"Hah? Eh? Duh, denger ngga yah?"
Keringat dingin seolah membasahi kita berdua. Dari wajahnya terlihat sekali betapa gugupnya ia. Begitu juga dengan Kak Cindy yang sedikit tampak menahan sesuatu dalam lubuk hatinya.
"Ci-cita-cita kamu, apa?"
Kak Rei dan aku saling pandang. Aku mengode dengan mata bahwa aku juga tidak tahu harus bersikap apa.
"A-apa? Aku yah? Cita-cita aku?"
Malam semakin pekat. Dingin pun semakin menusuk. Tapi justru inilah saat yang paling baik untuk menumpahkan apa yang Mezu rasakan pada keluarganya. Aku mengusap punggung Mezu. Menguatkannya yang hampir terkena panik.
Kuberdoa pada Tuhan akan ketidakpastian masa depan dan yang Tuhan siapkan untuk kami. Aku berdoa, aku memohon, sembuhkan keluarga kami. Pada pencipta malam, aku meminta.
"Jadi desainer grafis. Aku ... gamau jadi dokter seperti ayah. Aku suka ngedit, aku suka gambar, aku suka anime, tapi aku gak suka ada yang ngatur soal mim-pi aku."
Aku tersenyum lebar. Ketika aku menengok ke belakang kami, ternyata yang membuat Kak Cindy membeku juga Kak Rei adalah kedatangan Pak Eris yang menyaksikan ucapan Mezu.
"Aku ingin merdeka Kak. Aku juga tahu cita-cita Kakak, cita-cita Kak Elin. Aku ingin bebas, aku gak suka sama fisika, kimia, dan biologi, aku suka sama komputer."
Kak Cindy seolah melirik Pak Eris. Dia tersenyum sangat lebar seraya menggenggam dua tangan Mezu. Air di ujung matanya menembus pertahanan batinnya.
"Aku juga."
Hangat. Haru. Aku senang. Aku bersyukur Tuhan, aku harap keluargaku bisa sejujur takdir Mezu hari ini.
{Fertig Karte}
Suara detik terus berganti di ruang rawat inap Semanggi 203. Eris menatap Hicchan yang mengangkat ujung bibirnya. Ketiga putri mereka terlelap. Hanya orang tua yang berkomunikasi melalui mata.
Sorot mata penuh salah tergambar. Eris resah akan perasaannya selama ini. Dia yakin Hicchan mengetahui apa yang telah terjadi di rumah. Apa yang anak-anaknya rasakan juga perasaan jujur Hicchan selama menjadi istrinya.
Getar karisma Hicchan membuat pria dengan tiga putri itu melepas kacamata miliknya. Mengacak rambutnya. Mengatur setiap napas yang memburu.
"Maaf, aku gagal jadi ayah mereka."
Hicchan tak memberi jawaban.
"Aku memaksakan mimpi yang aku buat karena terobsesi bisa menjadi seperti ayahku."
"Pak Ibrahim pasti mengerti kondisi ini. Para putri kita telah menemukan apa yang mereka suka. Kamu tahu arti merdeka Mas?"
"Iya."
"Bagi Mas, merdeka itu yang bagaimana?"
Eris meremas tangannya. Emosinya hampir menelannya kembali. Hicchan menarik tangan suaminya dan mengusap lembut seolah menjadi pendingin di antara gunung yang hampir meletus.
"Tenang. Aku ada di sini. Aku gak pergi. Mereka udah tidur. Yuk deskripsikan pelan apa yang Mas rasakan sekarang."
Eris mengangguk.
"Aku gagal."
"Masih bisa berhasil."
"Aku patah."
"Masih bisa tumbuh."
"Aku takut."
"Masih ada aku."
Hidung Eris memerah. Ingus yang mengucur karena rasa kecewa itu dengan tenang Hicchan bersihkan.
"Kita nggak pernah tahu soal takdir mereka. Kita juga nggak menahu soal impian mereka. Aku harap, dengan adanya hari ini, kita bisa mengubah apa yang udah terjadi menjadi baik. Merdeka dari tuntutan kita sebagai orang tuanya."
Eris menengok pada Elin yang masih terlelap. Tangannya berada di kepala anaknya.
"Kamu mau maafin aku?"
"Tuhan selalu maafin segala hamba-Nya. Masa aku gak bisa maafin Mas, aku tentu maafin kamu. Yuk udah sedihnya Mas, malu loh dilihatin anak."
Cindy dan Mezu menahan senyum. Elin yang disangka tidur oleh Eris tampak meringis nyeri karena Eris tak tahu bahwa dia menyentuh tempat Elin terbentur.
"Sakit Yah!"
"Hah! Maaf."
Mezu dengan telapak tangan menutup bibir seakan siap menggoda ayahnya. "Iya Yah dimaafkan, mana ayam gepreknya?"
Eris menahan wajahnya yang semakin merah. Ketika ia hampir beranjak pergi, Hicchan menahan ayah dari tiga anak itu untuk melarikan diri.
"Yuk maaf-maafan, bentar lagi Agustusan loh Mas."
Eris menggigit bibir. Emosinya campur aduk. Sontak itu mengundang gelak tawa tertahan keluarga kecil di ruangan tersebut. Malam pukul tiga dini hari menjadi waktu mereka berbincang hangat tentang impian juga keinginan yang sekian tahun terpendam.
-----
Kripik memandangi lautan mimpi yang seakan telah Tuhan kabulkan di setiap inci ruangan. Sayup-sayup banyak pesan masuk mengerumuni akun sosial media di ponselnya. Popularitas dan perasaan cinta para penggemarnya seakan membuat dirinya jenuh. Pertandingan yang telah habis di TV membuat ia tertegun lama.
Sepi sekali. Batinnya.
Perlahan dia beranjak pergi meninggalkan ruang kerjanya. Melihat ke arah ruang tamu. Berjajar benda pecah belah yang telah rusak. Belum diganti oleh sang pemilik. Tanaman di taman rumahnya telah layu.
Kakinya melangkah ke kamar putri pertamanya. Banyak lukisan yang begitu cantik. Kamar Rei yang biru malam seolah menggambarkan perasaannya. Lampu tidur itu menyala, membiarkan Kripik terduduk di ujung kasur.
Hujan begitu deras di luar. Kripik beralih pada kamar dua putrinya yang lain. Banyak sekali hiasan yang mereka sukai, hobi yang anak-anaknya cintai, juga coretan mimpi pada papan putih di dinding.
Mereka bertiga menyimpan pajangan foto kedua orang tuanya di dalam laci. Kripik tahu, apa yang menjadikan mereka berpikir begini. Selama mereka sekolah, hanya supir yang mengantar tiga putrinya.
Yang masih mempertahankan utuhnya keluarga hanya Rei seorang. Ayaka juga Ana hanya mengikuti apa yang kakaknya lakukan. Padahal mereka membutuhkan keberadaan arti sebenar-benarnya keluarga. Itu yang Kripik bisa pahami dari setiap kumpulan quotes yang ketiga putrinya buat.
Kripik mengambil payung di rak yang ada di garasi. Melangkah melihat dunia saat malam hari tiba. Sudah tengah malam, tiga putrinya belum kembali. Perasaannya gundah, nalarnya berkecamuk menepis segala hal buruk.
Dalam diamnya, Kripik berdoa. Meminta maaf atas apa yang telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Karena terlalu mengejar mimpi, dia lupa untuk membuat istrinya mengerti. Betapa berharganya masa-masa ketika ia masih menjadi seorang ayah. Mengurus ketiga putri kecil yang beda satu tahun itu.
Dia sadar bahwa dia mungkin melakukan salah. Tapi mentalnya sekarang lebih stabil. Ia ingin mengulang waktu. Hanya ingin menggendong ketiga putrinya saat masih kecil. Dia ingin saat ketiganya masih nakal, susah untuk diatur, dan membuat mereka tidak harus menjadi seperti sekarang, dewasa lebih dulu tanpa didampingi dua orang tua mereka.
Suara tangis Kripik tertahan. Menyatu dengan hujan. Dia tidak bisa bohong bahwa ia khawatir, begitu risaunya pada tiga putrinya. Ia ingin menguncir rambut para putrinya bersama Chacha juga membedaki mereka kala selesai mandi sore hari setelah bermain.
Rintikan air dari langit meredam kecewanya Kripik pada dirinya sendiri. Payung yang dia tahan menutupi diri dari hujan tak mampu membendung sedihnya.
"Bapak kenapa hujan-hujanan?"
Suara Ana, putri bungsu membuat Kripik menengok ke arah asal suara. Ketiga putri mereka ternyata keluar dari arah garasi mobil yang bahkan tak Kripik sadari. Apa mungkin mereka telah sampai lebih dulu tapi takut dimarahi olehnya?
"Gapapa. Kenapa baru pulang?"
Ana dan Ayaka membisu. Suara gerimis yang menabrak payung tak kuasa membuat dua adik Rei menangis. Rei gelagapan karena adiknya menangis, menghampiri ayahnya seraya melepas payung.
Dua payung telah gugur. Memeluk Kripik yang tertegun menghadapi kecanggungannya. Rei masih tetap pendiriannya. Dia tidak boleh menangis sebelum masalah keluarganya selesai.
"Kakak."
Suara Kripik terdengar hangat.
"Kakak mau peluk ayah?"
Rei menggeleng kencang. Ayaka dan Ana bergetar merasa luluh pada suara tegas itu.
"Ayah nggak marah?"
"Kenapa harus marah?"
"Kita pulang malam."
Kripik tersenyum lebar. Rei menahan langkahnya. Pelan-pelan hatinya mendorong maaf. Payung itu tegap menaungi Kripik yang berhasil meluluhkan mereka. Rei sebagai kakak pertama menumpahkan segalanya pada tangisnya. Kripik mengusap lembut pipi Rei hingga Rei tenang.
Chacha melenggangkan langkahnya. Berlari. Tak peduli akan pakaian dasternya yang lusuh. Mata sembab juga kantong matanya hanya menunjukkan seberapa capai ia dengan bertaruh maaf. Penyesalannya disaksikan oleh semesta sebagai lelahnya ia bertarung dengan egonya sendiri.
-----
Suasana perkemahan di SMA Four-Leaf Clover. Anak-anak dari keluarga Eris dan Kripik mengikuti perkemahan tahunan tersebut. Kelas mereka dibagi-bagi untuk dijadikan tempat menginap. Namun, yang paling ditunggu oleh anak-anak setiap tahun diadakan perkemahan pada tanggal 16 bulan Agustus, di mana anak-anak akan makan bersama di tengah lapangan.
Lilin di pinggir tempat alat makan mereka serta malam berisi lautan bintang. Lauk pauk yang sudah sediakan dari sekolah. Mereka bisa berkelompok baru bila mau. Cindy dan Rei tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menjadikan acara sebagai sarana mendekatkan keluarga mereka.
Mezu semakin akrab dengan Elin. Cindy tak mempermasalahkannya bahkan bersyukur dua adiknya semakin dekat setelah kejadian terjatuh di sumur saat itu. Rei dengan semangat menceritakan keluarganya yang baru dari Jepang untuk menyapa para penggemar ayahnya di Tokyo.
Hari berikutnya, para anak-anak melakukan upacara kemerdekaan. Beberapa sambutan juga datang dari para alumni. Tepat di hari itu beberapa anak bersemangat mengawali hari baru mereka lewat perlombaan antar kelas.
"Merdeka!" Ibu Rav sekaligus kepala sekolah menyorakkan semangat melalui microfon.
"Merdeka!"
"Ini anak-anaknya kok pada loyo gini? Mana suaranya?! Merdeka!"
"MERDEKA!!"
Tiada sorakkan paling semangat di antara peserta lomba balap makan kerupuk, selain semangat Mezu dengan tangan mengepal plastik berisi satu sayap ayam geprek.
-Selesai-
🍀🍀🍀🍀🍀
Penulis : Rizalraihan24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top