Devoid

"Menurutmu, apa arti dari kemerdekaan?"

Pertanyaan yang keluar dari bibir gadis itu membuatnya terdiam. Perekam suara diarahkan kepadanya, wajah berbingkai kacamata itu memandangnya lama; menunggu sebuah kepastian.

"Mungkin, kebebasan untuk mengekspresikan diri?" Pernyataan yang lebih terdengar seperti pertanyaan. Gadis yang mengarahkan perekam suara itu sedikit mengerutkan keningnya.

"Terima kasih atas jawabannya, Kak Yoga." Setelah mengatakan hal tersebut sang gadis berdiri, membuat sang lawan bicara juga melakukan hal serupa.

Belum jauh gadis itu berjalan, suara sang lawan bicara menghentikan langkahnya. "Memang apa yang kamu cari dengan menanyai hal semacam ini, Yem?" tanyanya.

Terdiam selama beberapa detik, dirinya lebih memilih menggelengkan kepalanya. "Aku ... entahlah. Mungkin hanya ingin mengetahui maknanya? Apa kemerdekaan itu berarti kita benar-benar bebas?"

.

Pagi yang terasa seperti hari kemarin membuatnya sedikit menghela napas sembari melanjutkan perjalanan. Sudut mata yang melihat orang berlalu lalang tak membuatnya sedikit terhibur. Kaki yang sakit karena sepatu tinggi, juga mata yang terasa pedih sebab lensa kontak. Gadis itu merasa ada rongga kosong di dirinya—suatu hal yang selalu orang lain katakan omong kosong jika dia bercerita tentang dirinya.

Ponselnya bergetar di saku dress mini yang dia kenakan, sebuah nama tak asing terlihat di layar ponsel.

"Aku sudah hampir sampai ke lokasi, kok," ujarnya kepada orang di sebrang panggilan. Suara gadis itu terdengar tak bersahabat, jika saja bukan karena perintah bunda, dia tak akan bertemu dengan orang yang memanggilnya saat ini.

Tak membuang waktu, dia mempercepat langkahnya, meski tumit terasa nyeri, gadis itu tak peduli—kebebasannya tak akan dia dapatkan kembali kecuali bertemu dengan orang yang diperintahkan bunda.

"Kamu lama," suara berat terdengar saat dia mendekati meja cafe. Pemuda dengan setelan rapi itu mengamati seluruh penampilannya lama. Merasa risih, gadis itu kemudian sedikit menghempaskan diri ke bangku dan memandang tajam sang pemuda.

"Tak usah basa-basi, apa yang Ibumu katakan sampai bunda memaksaku memakai pakaian seperti ini, Riq?" Sinis yang terdengar dari suaranya menghasilkan decak dari sang pemuda.

"Aku tak mengatakan apapun, kamu tahu sendiri ibu kita suka menjodohkan kita," ketusnya kemudian memandang ke arah luar cafe. "Lagipula, akupun tak mau menghabiskan waktu liburku denganmu," lanjutnya.

"Ya, ya, harusnya kamu bisa meyakinkan ibumu agar merestui hubungan kamu dan Chita dong," ucapnya kemudian mengambil segelas es teh yang sudah dipesan oleh Riq.

Berbanding terbalik dengan sang gadis yang menyesap minumannya, pemuda itu menghembuskan nafas gusar. "Akupun maunya begitu, Lemon. Tapi kamu tau sendiri bagaimana keras kepalanya ibuku."

"Apa Chita tak pernah mencoba merebut hati tante?"

"Sudah sering, selama empat tahun terakhir gadis itu sudah berusaha keras, tapi ibu masih melihatmu sebagai calon menantu terbaik. Makanya, cari jodoh sana." Pada ucapan terakhirnya pemuda itu mendapatkan tendangan di tulang kering.

Meski dia mengaduh kesakitan, Lemon tak peduli. "Enak saja, aku masih ingin bebas bekerja dan pergi ke mana-mana tau," katanya.

"Memangnya kenapa sih kalau kamu nikah duluan? Kan bukan berarti hidupmu akan ada di rumah terus?" Riq tak habis pikir, apa yang gadis di hadapannya ini pikirkan sampai tak ingin menikah kalau memungkinkan.

Mendengar pertanyaan Riq, Lemon terdiam. Gadis itu memainkan sedotan esnya, bersama netra yang fokus kepada es teh, suara gadis itu terdengar. "Kamu pasti pernah dengar perkataan 'Untuk apa anak gadis sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya balik ke dapur juga'? Meski di jaman sekarang katanya hal semacam itu tak terjadi, tapi tak sedikit orang yang tetap memegang pemikiran itu.

Buat apa sih anak gadis sekolah tinggi-tinggi? Buat apa anak gadis lebih fokus pada pekerjaan dibandingkan mencari pendamping hidup? Nggak malu jadi perawan tua kah? Buat apa istri tetap kerja padahal ada suami yang menafkahi, tugas istri kan hanya mengurus rumah, merawat anak dan suami.

Banyak komentar lainnya yang bahkan lebih menyakitkan dari yang kusebutkan di atas. Berkat R.A Kartini, para wanita bisa setara dengan pria; mereka bisa mengenyam pendidikan yang sama, bekerja di bidang yang sama, dan lainnya. Para wanita sudah merdeka. Namun, apa benar kaum wanita merdeka? Lantas, jikalau kami memang merdeka, kenapa pendapat-pendapat itu masih tercap di diri wanita? Seakan-akan merdeka yang para wanita hebat dulu dapatkan hanyalah sebuah formalitas—cukup tertutupi oleh pemikiran kolot para kaum tua." Ucapan panjang lebar Lemon membuat Riq terdiam. Tak ayal, memang masih banyak di luar sana orang yang memandang perempuan hanyalah sebatas istri orang, ibu orang, ataupun anak orang. Mereka hanya memandang mereka sebagai kepunyaan orang lain—bukan sebagai dirinya sendiri.

"Lantas, apa yang ingin kamu lakukan dengan segala pemikiran itu?" Pemuda itu pada akhirnya buka suara. Matanya memandang lama teman masa kecilnya, meski dia bisa menebak apa yang perempuan itu pikirkan, Riq ingin mendengarnya secara langsung.

Lemon tersenyum, gadis itu hanya membalas dengan sebuah gelengan. "Entahlah, yang pasti aku akan mencoba mengabaikan pendapat mereka. Ini hidupku, aku merdeka dari segala kecaman mereka—bahkan komentar dari ibuku sendiri."

.

"Sampai berapa lama kamu ingin bermain-main dengan mereka?" Suara berat terdengar dari belakangnya. Dengan perasaan tak enak, dia menoleh, mendapati seorang pria paruh baya memandangnya lekat.

"Aku nggak sedang bermain-main, Pa," ujarnya pelan, berharap tak mendapatkan respon negatif

"Halah, kalau kamu tak  bermain-main mana mungkin kamu sedang di sini dan menulis cerita tak jelas semacam itu. Ngibul kamu." Nada suara keras itu membuat sang gadis tersentak. Dia ... memang tak sedang bermain-main, gadis itu sedang menghabiskan waktu istirahat belajarnya dengan menulis cerita. Namun, apalah dayanya, gadis itu tak punya kuasa.

"Maaf, Pa, Er salah." Pada akhirnya dia hanya bisa meminta maaf, sebuah kata yang terasa pahit di lidahnya. Seusai menerima permintaan maaf itu, sang pria pergi berlalu. Meninggalkan Er dengan buku catatan penuh coretan yang hendak dia jadikan cerita.

"Pada akhirnya, apa seorang anak tak bisa memilih hal yang ingin dia lakukan, ya?" gumamnya pada angin yang berhembus pelan. Anak rambut yang sedikit mengenai matanya tak dia pedulikan, pikiran gadis itu berkelana pada sejuta pemikiran.

_Apakah pada akhirnya seseorang tak bisa memilih impian yang dia inginkan dengan bebas? Apa keputusan orang tua memanglah satu-satunya jalan dan restu Tuhan?_

Terlena dalam pemikiran itu Er tak menduga sudah saatnya dia masuk ke dalam rumah—bangunan yang tak pernah terasa hangat meski memiliki orang tua yang lengkap.

.

"Ayah bilang, anak lelaki tak boleh menangis." Pemuda itu memandang temannya lama, Kakak tingkat yang lebih tua setahun, tetapi rasanya mereka sudah sangat dekat sampai tak mempedulikan panggilan hormat kepada yang lebih tua.

"Kenapa beliau bilang begitu?"

"Karena anak lelaki itu pemimpin keluarganya di masa depan, jadi kita tak boleh menangis." Pemuda yang mendengarkan perkataan sang kakak tingkat lebih memilih diam. "Tapi, apa benar lelaki tak diperbolehkan menangis? Bahkan saat dia kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya?" Baju hitam yang kakak tingkat itu kenakan sedikit kusut karena dia remas kuat.

Mendekati sang kakak tingkat, pemuda itu sedikit menepuk punggungnya. "Aku turut berduka, Kak Drew," ucapnya. Andrew yang mendengar ucapan sang pemuda hanya mengangguk sebentar. Air mata menggenang di kelopak mata, dadanya terasa ditusuk beribu duri tipis, membuatnya hampir kehilangan napas.

Tak jauh dari posisi mereka berdiri, rombongan manusia dengan pakaian hitam mengelilingi lubang dengan peti mati di dalamnya. Hujan yang mulai turun tak membuat mereka beranjak dari posisi berdiri.

"Hei, Rian. Kemerdekaan itu memiliki arti kebebasan. Lantas, apa lelakiku dibebaskan untuk mengekspresikan dirinya, tanpa dicap lemah dan tak pantas?"

.

"Apa yang kamu dapatkan dari melihat sepenggal cerita mereka, Yem?" Suara seorang gadis terdengar dari arah sampingnya. Yemi menoleh, mendapati rekannya sudah ada di sampingnya.

"Entahlah, Kak Sura. Rasanya aku masih tak menemukan jawabannya," jawab gadis itu kemudian. Matanya memandang pada setiap gelembung yang melayang, ada berbagai macam emosi dan kenangan di sana—menunggu untuk ditelusuri secara menyeluruh.

"Padahal kamu sudah mencari selama dua tahun terakhir, loh. Waktumu hampir habis, Yem." Kali ini, suara seorang pemuda yang masuk ke sistem pendengarannya.

Seorang pemuda dengan gadis mungil di sampingnya berjalan mendekati kedua gadis itu.

"Jangan begitulah Kak Kripik, kita harus memberikan waktu pada mereka," sela sang gadis mungil.

"Bukankah kamu sudah memberikan kesempatan lebih banyak dengan mengorbankan keberadaanmu di dunia manusia?" Kripik membalas, hal itu hanya ditanggapi dengan tawa kecil dari si gadis mungil.

"Biarlah hanya nama Chita yang terkenang di hati mereka. Aku sudah puas menikmati hidup sebagai manusia dan siap menjalani sisa waktu sebagai penuntun mereka," ucapnya sembari menunjuk Yemi dan Sura.

"Dasar, ada-ada saja kamu." Pada komentar Kripik, Chita tertawa. Gadis itu kemudian berlari mendekati Sura dan Yemi.

"Kita mau mencari ke mana lagi, ya?" tanyanya dengan antusias.

Mendengar ucapan Chita, kedua gadis itu berpikir. Mata Yemi kemudian menjelajahi satu demi satu gelembung. Langkahnya terhenti pada satu gelembung yang tak menampilkan pemandangan apapun.

"Eh, tumben tak ada pemandangan apa-apa di dalam gelembung ini?" Chita berkomentar, membuat Kripik dan Sura mendekat.

Seakan paham, Yemi segera mengangguk. Gadis itu menunjuk gelembung hitam sembari tersenyum. "Ayo kita masuk ke dalam sini saja!" Serunya dan dalam sekejap mereka tersedot di dalam gelembung.

_Kemerdekaan memiliki arti keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tak terjajah lagi, dll) dengan kata lain, sebuah kondisi di mana mereka bisa berdiri sendiri tanpa kekangan. Meski begitu, apakah pada arti sebenarnya manusia mendapatkan kemerdekaannya? Jika pada akhirnya mereka terhambat oleh pemikiran orang lain, keputusan orang lain, dan lainnya, apakah hal tersebut masih bisa disebut kemerdekaan?_

"Hai, apa ada yang ingin kalian tanyakan?" Suara dari gadis yang muncul di hadapan Yemi, dia  tersenyum lebar kepada mereka.

End.

🍀🍀🍀🍀🍀

Penulis : Catrella2

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top