1


"Bu, Ujang mau sekolah," rengek bocah berambut cepak bertubuh boncel, sedang memegang karung isi rumput di tangannya. Seorang wanita renta sedang berjongkok, menyabit sejumput demi sejumput rumput supaya karungnya penuh.

"Ujang mau gambar, Ujang mau lihat kota, bu."

Tiap kali anak itu merengek, hati wanita itu terluka. Masalahnya adalah selalu sama, uang. Pengendali keluarga mereka telah pergi, hasil kehidupan hari ini adalah ucapan syukur yang setiap hari dipanjatkan. Bisa menetap di atap gubuk tua saja sudah cukup, di beri makan setiap hari saja sudah bersyukur, kalau mau bersekolah? Wanita itu tak tahu apakah bisa melakoninya. Biaya untuk makan saja terkadang pas-pasan. Apalagi untuk membeli seragam sekolah dan peralatan lainnya?

"Jang, ibu juga mau liat kamu sekolah, tapi gimana, jang," sahut ibunya Ujang sambil menyeka peluh. Ujang bersedih, genggaman tangannya mengendur, rasanya ia telah gagal lagi.

Kalau sekolah, seharusnya Ujang kelas lima. Sudah terlalu tua memang, tapi ia tidak peduli. Selama tangannya masih bisa menggambar, sekolah adalah salah satu alternatif untuknya supaya bisa mengembangkan bakat disana. Selain itu, bertemu banyak teman semakin bisa membuktikan pada orang lain kalau ia memiliki kemampuan itu. Ujang senang sekali menggambar untuk seseorang.

Di rumah, tempelan-tempelan kertas lusuh di dinding rakit bambu itu, penuh oleh gambar-gambar Ujang.

Gambar-gambar ibunya yang sedang meniup kompor arang, sedang tertidur, sedang menyabit rumput, dan banyak lagi. Rasanya, Ujang tak bisa menghentikan tangannya jika sudah bertemu dengan kertas dan pensil. Dan juga objek.

"Jang, maafkan ibu yang nggak pernah bisa nurutin kemauan kamu ... Ibu ini memang bodoh, nggak bisa dapat uang banyak buat sekolahkan kamu, tapi kami harus percaya," wanita itu menoleh, menutup sirna kesedihan Ujang yang menyendu, "pasti Allah membukakan pintu bagi orang yang baik hati, seperti kamu."

Ujang kembali menggenggam karungnya dengan eratan semangat. Kemudian pelan-pelan tersenyum.

"Bu, tadi pagi, Ujang ke sekolah Pipit, lihat dia lagi upacara," cerita Ujang sewaktu pagi tadi menyelinap diantara terbitnya surya, menyebrangi sungai ke kampung sebelah.

"Upacara? Oh, ya Allah, ibu lupa sama upacara. Ada apa memangnya?" tangan wanita itu terus memotong tanpa lelah. Dari belakang, Ujang terlihat bersemangat.

"Upacara bendera! Terus nanti ada lomba makan kerupuk, panjat pinang ... Seru banget, bu!"

Ujang berseru penuh semangat, tak memperhatikan raut wajah ibunya yang menghela napas.

"Paling tujuh belas agustusan lagi, Jang. Duh, mending kamu bantuin ibu disini," sambung wanita itu lagi tanpa menoleh. Ujang merenggut pelan lagi. Dalam hati berpikir, mungkin ibunya tidak menyukai hal seperti itu jadi ia melarangnya. Tapi Ujang tak kehabisan akal, nanti sore ia akan pergi ke kampung pipit, bermain dan menggambar bersama teman-temannya yang bersekolah.

"Bu, kenapa sih, tujuh belas agustus itu hari Indonesia Merdeka?" Ujang yang tidak pernah sekolah itu bertanya dengan polosnya. Ibunya terperangah setengah bingung, lalu baru menyadari kalau selama ini Ujang memang tak memiliki pengetahuan tentang hal itu.

"Kamu tahu, Soekarno, kan?" Kali ini ibunya menoleh, menatap Ujang yang bermain rumput-rumput itu.

"Soekarno yang ibu sering ceritain, itu?"

"Iya. Dia itu pahlawan kita."

"Dia pembaca proklamasi, kan bu?" suara Ujang berubah semangat lagi. Ibunya menoleh heran sambil mengernyit, "tahu dari mana, kamu?"

"Pipit kemarin ulangan ips bu, dia ngajarin aku beberapa," kata Ujang sambil kembali mengingat waktu Pipit berbagi ilmu dengannya kemarin.

"Terus kemarin Ujang lihat di foto. Beliau gagah, bu. Aku sempat gambar juga buat kenang-kenangan!"

"Boleh ibu lihat?"

Ujang mengangguk, mengeluarkan secarik kertas lusuh dari saku celananya.

Polesan halus garis tangannya terukir lihai diatas sana. Gambar Ujang memang selalu bagus. Dan diam-diam, sebetulnya sang ibu sangat bangga. Gambar-gambar Ujang adalah yang ingin ia pertahankan. Ia tak ingin orang lain melihatnya. Ia tak ingin orang lain merenggut anaknya karna bakat anak itu. Ibunya yakin, kalau suatu hari nanti, Ujang akan hebat dalam bidang itu lalu pergi ke kota, bekerja dan melupakannya. Sama seperti saudara-saudaranya.

"Jang, ibu boleh minta sesuatu sama kamu?" ibunya menyerahkan kertas itu dengan gerak lirih. Diterimanya oleh Ujang dengan heran.

"Selama Ujang anak ibu, pasti Ujang lakuin, bu."

Ibunya terdiam sejenak, membiarkan hempasan angin pegunungan membuat bisikan diantara ilalang dan daun semak-semak.

"Jangan menggambar lagi, jang. Berhenti menggambar, ya?"

Bocah itu terdiam. Senyum tipisnya menyusut, seraya lengannya yang jatuh dengan lunglai. Dahinya berkerut, hendak protes, tapi ia malah bertanya kenapa.

"Ibu nggak mau kamu ninggalin ibu," pinta ibunya. Suaranya sedikit tercekat. Sabitnya di geletakan di tanah begitu saja, membiarkan pantatnya menyentuh tanah berumput itu. Ia kelelahan.

"Kenapa Ujang harus ninggalin, ibu?"

Ujang yang polos itu hanya bisa merasakan kesedihan yang terpancar dari wajah ibunya berubah menjadi emosi yang tertahankan.

"Ujang, gambar kamu hebat. Ibu yakin, suatu hari kamu pasti bisa menggunakan bakatmu itu untuk memajukan negri. Ibu bangga, tapi disisi lain, ibu nggak mau kesepian."

Wanita itu meluruskan kaki sambil berdahi cemas. Melirik Ujang yang kira-kira akan setuju dengannya. Padahal, Ujang sama sekali bingung dengan permintaan ibunya. Kenapa Ujang harus berhenti menggambar demi membuat ibunya tidak kesepian?

"Ibu, Ujang suka menggambar, Ujang nggak bisa melepaskan itu."

Wanita itu menatapnya dan berkerut tajam.

"Ya sudah! Gambar sana! Majukan negri ini, lupakan ibumu!" wanita itu tiba-tiba marah. Ujang yang lugu itu tak bisa menerima apa-apa. Ibunya adalah segalanya. Kata-katanya adalah nasihat. Ia masih kecil. Tak bisa bertindak banyak. Menurut adalah kunci keberhasilan, dan sabar adalah aturannya. Ujang yang masih bocah itu hanya menunduk, merasakan matanya berair karna ia benar-benar tak bisa menyanggupi kemauan ibunya.

"Bu?" diam-diam Ujang menarik ingus, menyeka air mata, lalu menatap wanita di depannya.

"Ujang punya mimpi, aku bukan bocah umur lima tahun lagi. Aku sudah dua belas, ibu," kalimat itu terlontar, tak pakai aturan. Hanya terlepas begitu saja dari lubuk hati terdalamnya. Jelas membuat ibunya naik darah.

"Kamu...?!"

Ujang tergopoh-gopoh menghentikan kalimat ibunya dengan memeluknya. Ibunya terkejut.

Selama beberapa detik, Ujang merengkuh ibunya dalam-dalam, menguatkan hatinya untuk berkata-kata sambil berdoa.

"Ujang mau jadi Soekarno yang setiap hari ibu ceritakan itu. Ujang mau jadi hebat. Ujang mau menggambar untuk negri ini. Menggambar segala keindahan dan pesonanya menjadi kalimat yang tak pernah terucap oleh kata-kata.

"Ujang mau mereka lihat, kalau Indonesia indah dimana-mana. Bahkan aku mau mereka lihat keindahan Indonesia dari tangan Ujang."

Kalimat itu membuat ibunya meneteskan air mata. Tak kuasa untuk menahan betapa kuat dan besarnya mimpi putra sulungnya. Perlahan-lahan, ibunya menerima tubuh bocah itu.

"Bu, kasih Ujang kesempatan, ya? Di hari kemerdekaan ini, Ujang ingin menyentuh Indonesia lebih lagi. Ujang mau melihat yang paling dalam dari setiap makna kata-kata itu."

Bocah itu terdiam sejenak, merasakan semilir angin dan suara ringkih dahan yang bergelayut.

"Ujang mau ibu lihat perjuangan Ujang, bu. Ujang mau jadi Soekarno untuk ibu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top