Chapter 17
Silahkan tinggalkan vote dan komen!
Part ini disponsori lagunya Intersection - Who Do You Love<3
-- Selamat Membaca --
•
•
Christy mendatangi sebuah rumah di kawasan Jakarta Selatan. Perjalanan dari Bogor menuju Jakarta membuatnya mengantuk meskipun sudah tidur sepanjang jalan. Dia terkejut saat Hans mengajaknya ke rumahnya. Jika hanya sebatas jalan-jalan biasa terserah. Wajahnya seperti orang belum mandi. Bagaimana bisa bertemu orangtuanya Hans?
"Hans! Bentar dulu, aku belum dandan. Astaga! Kamu tuh kalau mau ngajak main ke rumah orangtua kamu bilang dong! Aduh, muka aku beneran nggak oke banget!" protes Christy. Karena terlalu panik, Christy nyaris menempelkan kuas lipgloss di bagian kelopak matanya.
"Aduh! Ini mah buat bibir bukan eyeliner!"
Hans tertawa cukup keras. Perutnya sampai sakit menonton kepanikan Christy. "Chris, kamu nggak perlu dandan. Lagian mau kayak gimana aja kamu cantik kok," puji Hans.
"Tapi kalau keluarga kamu bilang muka aku sekusut baju gimana? Muka-muka bantal banget." Christy kembali mencari eyeliner-nya.
"Chris, be yourself. Kamu apa adanya lebih baik kok. Nggak masalah mau muka bantal, muka kusut, muka apa, tapi yang penting kamu jadi diri sendiri. Nggak perlu dibuat-buat. Toh, keluarga aku bukan tipe yang akan komentarin apa yang dipoles di wajah kamu atau gimana rupa kamu."
"Tapi aku takut."
"Chris, pede aja. Nggak usah merasa takut. Kalau mereka komen, aku orang pertama yang akan belain kamu."
Akhirnya Christy mengangguk setelah melihat keseriusan Hans. Begitu kepalanya mengangguk, Hans segera turun dari mobil, lalu mengitarinya guna membukakan pintu.
Baru turun beberapa detik, Christy sudah dibuat terkagum-kagum oleh rumah mewah Hans. Bangunan kokoh, tinggi, dan megah, tipe-tipe rumah orang tajir melintir yang hartanya tidak akan habis tujuh turunan. Putih menjadi warna dasar rumah mereka.
"Sebentar, Hans. Dandanan aku udah oke belum?" tanya Christy.
"Dandanan kamu nggak ada yang salah. Semua udah sempurna," jawab Hans.
"Hans, kok Christynya nggak disuruh masuk, Sayang?" Teguran itu membuat Christy melihat sosok yang baru saja berdiri di depan pintu rumah.
"Christy nggak mau masuk, Ma. Katanya malu," ucap Hans, yang saat itu juga segera dipelototi oleh Christy.
"Ya ampun... malu kenapa, Chris? Padahal Tante udah nungguin kamu, lho! Udah nyiapin banyak makanan soalnya Hans bilang mau ngajak teman perempuan yang namanya Christy. Nama kamu Christy Anastasia, kan?" sapa Mimi Winata, ibunya Hans.
"I-i-iya, Tante. Saya Christy Anastasia."
"Aduh, akhirnya ya Tante bisa ketemu sama kamu. Tante pikir Hans tuh gay karena nggak pernah bawa perempuan. Kamu tuh yang pertama ke sini," beber Mimi.
"Ma, jangan gitu dong. Masa anaknya dikira gay?" protes Hans.
Mimi tertawa kecil sembari merangkul pundak Christy. "Waktu itu Mama mikirnya gitu. Kalau sekarang sih karena ada si cantik Christy, pikiran itu lenyap. Kamu cantik banget sih, Chris. Ketemu aja Hans sama bidadari secantik ini."
Christy jamin wajahnya merah padam setelah dipuji habis-habisan oleh ibunya Hans. Apa lagi Hans tidak menyangkal, justru menambahkan pujian lain.
"Langka nih, Ma, nemu yang kayak Christy. Makanya aku ajak ke rumah supaya kalian tahu seberapa langka dan uniknya dia."
Kalimatnya Hans tuh manis banget. Bahkan manisnya melebihi madu kali. Christy sampai mikir masa sih manusia sesempurna Hans tidak pernah ajak perempuan ke rumahnya? Apalagi dengan mulut semanis madu.
"Udah yuk, kita masuk. Kasihan Christy kelamaan di luar." Ibunya Hans segera menarik Christy masuk ke dalam tanpa perlu meminta persetujuannya. Sementara Hans mengikuti dari belakang sambil tersenyum.
Setelah sudah berada di dalam, mereka menikmati hidangan yang sudah tersedia. Selain orangtuanya Hans, ada pula Mario yang sempat ditemuinya beberapa waktu lalu. Juga, ada adiknya Hans yang bernama Gerry Winata.
"Bagaimana makanannya, Chris? Enak dan pas di lidah kamu nggak?" tanya Samael Winata, ayahnya Hans.
Christy tersenyum senang. "Enak, Om. Aku suka. Terima kasih atas suguhannya ya, Om dan Tante. Jadi ngerepotin."
"Nggak kok. Tante senang Hans ngajak kamu ke sini. Soalnya dia rajin banget ceritain tentang kamu," ucap Mimi, masih tetap mempertahankan senyum sejak kedatangan Christy.
"Kamu cerita apa? Bukan yang jelek-jelek, kan?"
"Hans cerita katanya Christy tuh ceroboh. Makanya dia mau jagain kamu kalau lagi ceroboh," sela Mimi memberi jawaban.
Christy mendengkus sebal. "Astaga... kamu ngapain cerita itu? Ih... malu-maluin aja!"
"Nggak apa-apa biar Mama tahu kamu ceroboh," kekeh Hans sembari menjulurkan lidahnya.
Christy memukul pelan lengan Hans. Sedetik kemudian dia buru-buru nyengir menyadari kedua orangtua Hans memandanginya, takut dikira sering mukulin anaknya.
"Oh, iya, Chris. Hans suka banget sama oseng tempe. Dia bilang enak. Cumi goreng tepung juga kesukaannya." Mimi memberitahu.
"Oh, ya? Aku baru tahu kamu suka dua makanan itu." Christy melihat Hans sekilas.
"Yang paling dia suka sih kamu, Chris," timpal Mario dengan jahilnya.
"Semua yang dibilang Mama ataupun Mario benar. Biarpun kamu bukan makanan, tapi aku suka," balas Hans dengan senyum semringahnya.
"Aduh, gombal banget kamu, Nak. Mirip Papa kamu deh!"
Christy terkekeh pelan. Keluarga Hans tidak seperti bayangannya. Sombong, angkuh, dan memandangnya rendah. Tidak. Mereka justru lebih dari kata ramah. Sangat welcome.
"Eh, iya, kalau makanan kesukaan kamu apa, Chris? Kapan-kapan Tante buatin kalau main ke sini lagi."
"Christy suka spaghetti, Ma," jawab Hans.
"Wah... baru kenal udah hafal. Curiga nih jangan-jangan kalian udah jalan bareng alias jadian," ledek Gerry.
"Belum. Waktu itu mau makan terus Christy kasih tahu apa yang dia suka." Hans memberitahu alasan di balik jawabannya.
Christy memandangi Hans sejenak. Semua mantannya tidak pernah hafal apa yang dia suka. Tapi Hans? Laki-laki itu hafal walaupun mereka baru makan bareng sekali. Dia merasa spesial setiap bersama Hans. Selain itu, penyambutan hangat dari keluarga Hans menambah rasa nyamannya. Alih-alih merasa takut dibilang tidak pantas dibawa ke rumah, dia justru merasa sebaliknya.
📺📺📺
Christy duduk di pinggir tempat tidur kamar Hans yang pintunya dibiarkan terbuka. Setelah acara makan bersama, Hans mengajaknya melihat-lihat kamarnya. Di dalam kamar yang luasnya lima kali lipat kamarnya, Christy tidak melihat adanya indikasi berantakan. Semua terlihat bersih, rapi, dan wangi.
Ada banyak piagam, piala, dan penghargaan yang diraih oleh Hans yang terpajang di dalam satu rak lemari. Hampir rata-rata kategorinya menyangkut sains, atau bidang akademi lainnya.
"Chris?" Panggilan itu memaksa Christy menoleh ke sudut ruangan yang luasnya tidak terkira. Di ujung sana ada Hans yang terduduk di atas sofanya.
"Kenapa, Hans?"
"Kamu pernah ditinggal seseorang yang kamu sayang? Maksudnya bukan ditinggal pergi selamanya, tapi ya... kamu paham maksud aku."
"Pernah. Kamu sendiri?"
"Pernah juga."
Suasana mendadak hening. Christy bangun dari tempat duduknya, lalu menghampiri Hans yang terdiam setelah pertanyaan itu. Setelah bokongnya menduduki sofa, Hans terdengar mengeluarkan suaranya.
"Benar apa kata Mama, kamu perempuan pertama yang aku bawa ke sini. Sisanya cuma sekadar backstreet yang berujung tragis." Hans menatap Christy sambil tersenyum pahit. "Terakhir kali aku pacaran selama satu tahun, tiba-tiba perempuan itu memutuskan menikah dengan laki-laki lain. Ya, mungkin karena aku nggak pernah bawa dia ke rumah makanya dia pikir aku nggak serius. Padahal aku bilang akan bawa dia ke rumah untuk pertama dan terakhir sebagai pacar aku. Karena aku mau dia ke rumah sebagai istri. Tapi ternyata cara aku salah. Dia justru selingkuh. Mungkin seharusnya sejak awal aku kenalin ke orangtua aku," lanjutnya.
"Ya, mungkin cara kamu salah, tapi itu nggak membenarkan dia untuk selingkuh. Udah dapat kamu yang sebaik dan sesempurna ini, masa dia nggak bersyukur? Tapi, aku juga pernah. Pacaran selama dua tahun, sering bawa ke rumah, dan nyatanya aku diputusin dengan alasan hubungan kita udah nggak bisa dipertahankan." Christy ikut bercerita. Ada helaan napas setelah kalimat terakhirnya.
"Berarti mantan kamu nggak bersyukur punya kamu, Chris. Kamu apa adanya. Satu hal yang menurut aku susah ditemuin di perempuan lain." Hans berkomentar. "Aku yakin dia nyesel putus sama kamu," tambahnya.
Christy tertawa kecil. "Kok kamu tahu? Setelah minta putus, tiga hari kemudian maksa balikan. Pada saat itu pekerjaan dia belum sebagus sekarang. Dia bilang nggak mau balikan sama aku nanti-nanti. Maunya harus hari itu juga karena katanya, kalau nanti seleranya bukan aku lagi. Lucu ya? Ngajak balikan maksa dengan kalimat sombong begitu."
Hans berdecak. "Dia bilang gitu? Pedenya tinggi amat. Dia pikir siapa? Pangeran Harry? Syukurnya kamu nggak balikan sama dia. Kalau ngomong suka nggak mikir itu menyakiti kamu atau nggak."
Christy kembali tertawa. "Aku nggak merasa sakit hati kok digituin sama dia. Justru aku aminin biar Tuhan yang membalas. Mau nyumpahin gagal move on eh, sampai sekarang pun dia masih gagal move on."
"Jadi masih ngejar sampe sekarang? Wah, sakit tuh orang."
Christy mengendalikan tawanya sampai berhenti. "Masih dan ngebet pingin ketemu. Tapi aku males. Eh, tunggu-tunggu. Tadi kayaknya bahas mantan kamu. Kenapa jadi bahas mantan aku yang sinting itu?"
"Cerita kamu lebih menarik untuk disimak. Kalau cerita aku kayaknya basi. Toh, aku juga yang salah."
"Tapi bahas soal mantanku itu, aku punya alasan kenapa tadi aku bilang takut sebelum masuk ke sini."
"Kenapa? Aku penasaran."
"Kakaknya mantan aku pernah bilang aku biasa aja kalau dibandingkan mantan pacar sebelumnya. Aku takut keluarga kamu berkomentar kalau aku nggak secantik bayangan mereka atau aku nggak pantas dibawa ke sini."
Hans menggamit tangan Christy, lalu menggenggamnya seerat mungkin. Ada tatapan yang begitu dalam yang ditawarkan oleh Hans saat mata mereka bertemu.
"Chris, keluarga aku nggak akan berkomentar kayak gitu. Mereka nggak pernah membahas soal fisik orang lain. Itu nggak penting. Yang paling penting itu kebaikan hati kamu. Untuk apa cantik kalau hatinya buruk? Untuk apa cantik kalau nggak punya tata krama? Untuk apa cantik kalau nggak peduli sama orang lain? Percuma cantik kalau diajak ngobrol nggak nyambung," ucap Hans.
Christy diam memandangi Hans yang begitu meyakinkannya.
"Cantik itu bukan segalanya. Cantik nggak menjamin kamu menjadi sosok yang langsung disukai atau diprioritaskan orang lain. Aku justru lebih suka perempuan kayak kamu yang apa adanya. Ceroboh iya, lucu iya, gemesin iya. Kamu paket komplit yang selalu bisa buat aku terkesima sama diri kamu, Chris." Hans menyampirkan sehelai rambut Christy yang jatuh ke daun telinganya. "Kamu ya kamu. Aku jatuh hati dengan diri kamu yang begini. Ini bukan gombalan, aku memang berkata jujur."
"Makasih ya, Hans. Nyesel nih mantan kamu. Padahal kamu baik begini."
Hans memang paling bisa membuatnya melayang. Anehnya perasaannya kepada Hans tidak seperti yang dia rasakan untuk Essan. Padahal jika membandingkan dengan Essan, dia melihat Hans lebih terbuka padanya.
📺📺📺
Jangan lupa kasih vote dan komen ya semuanya ^^
Follow IG: anothermissjo
Dapet bonus tatapan Hans yang melelehkan segalanya<3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top