Bagian X

I dig my own grave, I admit

Letting you all spit on it

Masuk melalui lubang di bagian bawah pagar lapuk di gang samping, tidak ada yang memergoki tiga anak remaja beloon ini. Taman makam pahlawan tidak mengusikku dan Magenta. Malah, Zamrud, yang menyombong suka menonton film horor sebagai asupan wajib sebelum tidur, gemetaran setengah mati.

"Aku kedinginan," dalihnya saat aku dan Magenta menyengir ke arahnya.

"Belum terlambat untuk berbalik pulang dan makan jagung bakar," ajakku.

Zamrud menggeleng kuat-kuat. "Demi kacamata."

"Demi kacamata." Magenta mengulangi seperti yel-yel. Sudut bibirnya terus terangkat jail. Ditepuknya tanganku, lalu dia berbisik, "Kapan-kapan kau mau main-main sama si cebol ini, ajak aku."

"Ayo ke sana." Zamrud menunjuk sederet makam yang dinaungi kanopi dan diterangi cahaya lampu. "Abu mungkin di sana, di tempat mencolok, supaya kita tahu di mana dia."

"Sungguh baik hati. Kedengarannya memang seperti Abu," Magenta menyindir. Namun, Zamrud tidak berbicara bahasa sarkasme.

Aku sama sekali tidak senang dengan kenyataan bahwa Zamrud bahkan tak tahu di mana Abu. Kalau sudah begini, rasanya aku jadi ikut dikerjai olehnya.

"Jadi, sekarang ini kita main petak umpet dengan Abu?" kataku. "Di kuburan."

"Malam-malam," Magenta mengingatkan.

"Kalian," ujar Zamrud sambil memeluk dirinya. "Udah, dong."

Kami mencari-cari ke makam-makam besar dan semua gazebo, menelusuri berbagai jenis dan ukuran pusara, mengarungi pagar semak dan pohon-pohon bonsai. Taman makam malah lebih indah dan bersih daripada taman kota yang dipenuhi orang hidup, kecuali satu hal ....

Apa itu yang tersangkut di atas pohon?

Siapa tadi yang tangannya dadah-dadah di sudut mataku?

Aku mungkin salah dengar, tetapi apakah yang barusan itu suara rentetan senjata di kejauhan?

Kenapa anjing yang tak kelihatan wujudnya terdengar melolong bersahut-sahutan?

Rambut di leherku berdiri tegak.

Aku mendengar sapaan, seperti 'hai' dalam bahasa daerah, tetapi tak kutanggapi. Sesekali, kuajak Magenta dan Zamrud berbelok untuk menghindari sosok-sosok berasap yang kelihatannya tak disadari oleh keduanya.

Aku mengedip berkali-kali untuk mengusir air mata. Kucengkram tanganku untuk menahan gemetar. Kenapa sepertinya hanya aku yang melihat sesuatu di sini?

Kadang, mudah sekali menganggap kalau selama ini aku hanya berimajinasi—mereka hanya kelebatan atau bayangan melesat. Yang pernah kulihat berbentuk jelas hanya penjaga perpus SMP-ku dulu yang tak berkepala dan bocah keparat berseragam pramuka. Namun, sekarang, aku bisa melihat mereka dengan jelas.

Garis keturunan keluarga kita banyak mistisnya. Suara Paman Tam mengiang di telingaku. Aku menarik napas. Hantu-hantu ini nyata, betul-betul ada, terbentuk jelas di depan mataku. Artinya ... Banyu Biru juga nyata, 'kan? Maksudku, meski dia hanya hantu sekali pun, dia bukan cuma imajinasiku, 'kan?

Zamrud menempel erat ke punggungku, tangannya menggandeng Magenta. Sepertinya Magenta dan aku hanya jadi pengawalnya di sini.

"Tidak ada hantu, kok." Magenta berdecak-decak.

Aku menarik napas dengan gelisah, menahan diri dari menjeritkan, Terus yang dari tadi jalan jongkok mengekori kita di belakangku ini apa, Magenta?

Mataku tanpa sengaja menyapu salah satu pohon kamboja. Aku melompat ke depan saat melihat sosok yang berdiri di bawahnya. Bukan Abu.

Itu Banyu Biru.

"Kenapa, La?" tanya Zamrud.

Aku tidak menjawab. Kukerjapkan mataku, yakin bahwa sosok itu akan hilang. Namun, Banyu Biru tak kunjung pergi. Dia masih berdiri di sana, bertelanjang kaki, mengenakan seragam kecokelatan yang sekilas mirip baju pramuka yang dulu sering dikenakannya. Rambutnya pendek seperti terakhir aku melihatnya di lapangan olahraga SMP-ku. Di bawah sorot lampu taman terdekat, ekspresi wajahnya tampak dingin dan tidak mirip Banyu yang dulu kukenal. Pucat.

Dengan gerakan yang begitu nyata dan terlihat, Banyu berbalik dan menghilang di belakang batang pohon.

Aku berlari menyusulnya. Kudengar Zamrud dan Magenta memanggil namaku, tetapi aku sudah telanjut memisahkan diri dari mereka.

Saat aku sampai ke pohon itu, tidak ada siapa pun di sana.

Tak jauh dari pohon itu, dekat lampu taman, tampak seonggok nisan yang masih baru. Mataku refleks membaca nama yang terukir di sana.

Jantungku mencelus.

Mungkin akan lebih baik kalau aku mendapati nama 'Banyu Biru' di sana—setidaknya aku mendapat kejelasan tentang dirinya. Namun, aku tidak mengerti ... kenapa harus nama ini yang terukir di nisan? Sejak kapan?

Aku merasa kebas. Kueja nama beliau lamat-lamat seolah itu bisa menghidupkannya kembali—Fairuz Badru Pirus.

Guru SMP-ku, yang pernah sangat kuhormati, lalu tak pernah kutegur lagi sejak interogasi di ruang guru. Aku lulus SMP tanpa mengucap salam berpisah atau meminta maaf pada beliau. Namun, aku yakin beliau masih hidup saat aku pergi.

Aku berjongkok di depan nisannya, mati-matian menahan air mata. Otakku masih tidak bisa mencerna apa yang terjadi di sini.

"NILA, KAMU KENAPA?" Zamrud menjerit sampai suaranya pecah.

Aku ingin balas berteriak kepadanya, untuk tidak teriak-teriak di kuburan, tetapi suaraku tidak mau keluar. Kututupi telingaku dengan tangan, tetapi ada bisikan-bisikan yang menembus masuk ke kepalaku. Bisikan-bisikan yang tak bisa kutangkap maknanya—seolah seratus orang asing dengan seratus bahasa berbeda mengucapkan hal yang sama, berulang-ulang.

Zamrud dan Magenta menghampiriku. Keduanya menepuk-nepuk bahuku dan berbicara dengan ngeri.

"Ayo, keluar dari sini." Meski suaranya terdengar datar, kurasakan tangan Magenta berkeringat di lenganku. "Persetan sama kacamata!"

Bisikan-bisikan itu berhenti.

Aku baru akan berdiri dan lari terbirit-birit, enyah dari sini sebelum kengerian lain menyusul. Namun, suara sirene ambulans terdengar pecah, bergaung di udara, membuatku terduduk lagi dengan lutut lemas dan tungkai yang ketar-ketir. Aku hampir menangis di sana, tetapi kemudian menyadari bahwa surara sirene ini berbeda dari bisikan-bisikan tadi. Suara sirene ini ... entah bagaimana aku tahu saja bahwa yang ini sama sekali tidak berasal dari yang gaib-gaib.

"Kenapa ada suara sirene?!" Zamrud sesenggukan. "Nila, kamu kenapa? A, Abu di mana—"

"Sekali lagi bilang nama setan itu, kuampelas kau!" bentak Magenta.

Kuangkat diriku. Kukuatkan pijakan kakiku di tanah.

"Ini bukan—" Aku menyeka air mata dan sisa cairan di bawah hidung. Kutatap Zamrud yang sudah tertungging ketakutan di rerumputan dan Magenta yang sepucat bulan purnama di atas kepala. "Ini bukan berasal dari mana-mana, bukan hantu. Suara sirene ini pasti Abu—"

"Dari mana kamu tahu?"

Aku mendongak. Suara sirene langsung mati dan senter di tangan Abu menyala, memberi kami penerangan lebih. Kemarahan mengisi dadaku saat melihat Abu duduk di atas cabang pohon. Tape recorder kecil dengan dua speaker di sisinya tersandang di bahunya—benda terkutuk itu sudah cukup untuk membuat kuburan jadi ajang dangdutan.

Wajahnya malah lebih galak daripada aku. Dia menatapku dan Zamrud bergantian, tetapi cahaya senternya mengarah ke wajah Magenta. "Kukira, perintahku sudah jelas—ajak Nila, jangan yang lain. Kamu enggak sayang nyawa, ya, Zamrud?"

"A—" Zamrud tambah gemetaran. Sepertinya, sosok hantu dan Abu sama buruknya bagi Zamrud.

"Kenapa kamu bisa tahu sirene ini dariku?" tanya Abu lagi. Sorot senternya mendesak wajahku sampai aku mesti berpaling memejamkan mata. "Sebegitunya, sampai bisa membedakan mana suara yang dibuat orang hidup dan orang mati? Sebelum aku menyalakan suara sirene ini, kamu kenapa mendadak kayak orang mau muntah di situ? Tapi, kamu santai saja waktu mendengar suara sirene yang kunyalakan? Berarti, yang terjadi waktu kita kelas 7 itu ... memang ulahmu, 'kan?"

Abu melompat turun. Dia menekan tombol pada tape recorder-nya, mengeluarkan kasetnya. Kalau aku yang terbaring di bawah salah satu nisan ini, Abu sudah kusumpahi bisulan polkadot di sekujur tubuh.

"Kamu kelewatan," desisku. Di sampingku, Magenta seperti siap mencabut pohon kamboja dan memukul Abu sampai home run.

Abu berdecak. Satu tangannya merogoh saku, mengeluarkan kacamata Zamrud, lantas melemparkannya ke kakiku. Kacamata itu sudah patah jadi dua, salah satu lensanya hilang, dan lensa lainnya retak.

Zamrud memungut kacamata itu tanpa berkata apa-apa. Aku jadi marah sekali melihatnya. Kalau Abu dongkol dan dendam padaku gara-gara ucapan tololku, ya sudah, aku bisa apa? Namun, yang dia lakukan ke Zamrud ini sudah keterlaluan—iblis saja bakal minder dengan kelakuannya.

Kuraih batu dekat kakiku dan melemparkannya sampai mengenai tungkai Abu.

Meski kakinya berdarah, Abu bahkan tidak berjengit. Dia menyipitkan matanya. Rahangnya mengejang. "Seharusnya, iblis yang dilempari batu."

"Artinya, lemparan Nila sudah benar." Magenta terdengar berang sungguhan.

Abu memungut batu yang sama dan melontarkannya sampai mengenai lampu taman. Kami menjerit sambil merapat ke tanah saat lampu itu pecah, menghujani kami dengan berkeping-keping kegelapan.

Abu kedengaran puas saat dia tertawa. "Kalian pantas mendapatkan itu—"

Abu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya saat lampu kuning menyorot terang ke arah kami. Kami semua mengangkat tangan untuk melindungi wajah. Aku mesti menyipitkan mata saat melihat sumber cahaya, di mana belasan pria, beberapanya masih bersarung dan bersandal jepit, berdiri dengan murka.

Kami terciduk.

Adakah yang mungkin ingin menebak/berteori kenapa Abu terus-terusan ganggu Nila? ('-')/

(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top