Incomplete Memory in the Dark

Amara terbangun.

Jendela di samping ranjang menyoroti sebagian tubuhnya dengan sinar keemasan sementara ia mengerjap bingung. Amara yakin ia sudah mati. Mengantarkan nyawanya pada para malaikat melalui cara paling rusak yang pernah ada. Jelas, bunuh diri adalah pilihan terakhirnya demi menuntaskan berbagai jeratan masalah yang menimpanya dalam sekian tahun belakangan. Amara sudah terlalu letih dengan segala bisikkan kematian yang memintanya mengakhiri hidup---dan ia tak menyesalinya sama sekali.

Tetapi, jika benar ia telah kembali ke pangkuan Tuhan, lantas mengapa ia masih terbangun? Barangkali Amara memang mati, lalu dibangkitkan, karena sepenjuru yang tampak sama sekali asing di ingatannya. Namun, Tuhan terlampau sukses untuk mendesain lanskap di sekelilingnya tak sekusam dosa penuh kekelaman sebagaimana neraka diceritakan dari banyak mulut. Sungguh, sejujurnya Amara telah memantapkan jiwa dan raga jika memang dirinya terpelanting ke neraka. Tapi tampaknya kelindan takdir berkata lain.

Maka di manakah ia kini? Prasangka terhadap akhirat juga dibantah; langit-langit itu mengelupas pada banyak sudut, seperti diterjang hujan siang malam. Di tengah-tengahnya, tepat di pusat, terpasang lampu gantung yang nyaris sekarat. Remang, kadang menyala kadang tidak, hampir padam sepenuhnya andai kau sentuh barang seinci. Lampu itu kehilangan poros nan miring sehingga dapat mengancam kepala dalam satu kali hantaman. Jelas, itu bukan ciri akhirat yang ia tahu.

Reinkarnasi? Terlahir kembali? Rasanya tidak. Mungkin saja tempat ini merupakan gerbang yang membatasi dunia dan akhirat---kalau ruangan teramat sederhana, kumal, penuh jelaga dengan jaring-jaring laba-laba di setiap sudutnya boleh disebut begitu.

Ruangan itu terasing, keasingan yang tak jauh beda dengan ingatan Amara saat ini. Ingatan yang tak lengkap, sekejap timbul, sekejap tenggelam---barangkali ingatan itu memilih bersembunyi dalam setiap saraf otak, dengan sengaja enggan memunculkan diri.

Kendati, jauh dalam benak, Amara tahu dirinya hanyalah warga biasa yang tinggal di kota metropolitan penuh sesak dan ramai di sebuah negara yang dicemari para borjuis penelan uang rakyat. Pula, betapa kotanya dahulu amat rusak karena dikelilingi beribu pandang menyakitkan pada seorang anak yatim piatu melarat yang tinggal di sudut kota demi menghindari caci maki dari mulut-mulut kotor mereka para manusia biadab.

Amara---gadis itu tak yakin. Semua berbalut ragu dan transparan. Ia tak dapat mempercayai ingatan, barangkali ingatan itu justru penuh tipu muslihat yang memanipulasi diri.

Lantas, dalam sekejap ia terlompat duduk bagai disengat listrik. Membuat ranjang berkapasitas satu orang yang ditempati berkeriut mengerikan. Tanpa alasan jelas, ia menggigil. Jari jemarinya terasa dingin seperti direndam dalam air kutub. Kepalanya mendadak pening, berputar-putar seperti digoyang gergasi. Ia kelewat tak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Takdir macam apa yang telah dituliskan Tuhan untuk dirinya? Mengapa pula harus dirinya dan bukannya orang-orang biadab yang telah menghancurkan dirinya? Memang, balas dendam tak pernah terlintas di kepala Amara, tetapi andai kesempatan itu datang jelas ia ingin mencobanya.

Lupakan, Amara tak ingin memiliki kebiadaban seperti itu dalam jiwanya. Yang ada, sebisa mungkin ia ingin tumbuh menjadi pribadi baik yang dicintai banyak orang---ya, sebuah omong kosong yang manis, entah sebuah kebenaran atau tidak jika ia memiliki jiwa sebersih itu. Amara bersikeras untuk tidak bergetar ketika suara bisik yang janggal memasuki rungunya. Mendenging, parau, persis makhluk tak kasat mata walau Amara yakin belum pernah membuat perkara macam-macam dengan makhluk seperti itu. Dalam sesaat, suara janggal itu telah mengajukan banyak probabilitas buruk dalam tempurung kepala Amara. Membuat racau terlontar dari mulut; bahwa gadis itu telah terlelap ratusan tahun, di sini. Seabad, mungkin lebih. Oleh perkara takdir yang tak terelakkan. Mungkin tentang rasa takut, atau dendam. Juga tentang amarah dan eliminasi kehidupan.

Dikutuk. Katanya.

Dalam pikirannya, terpatri ia, dicap sinting dengan pandang nyalang yang menikam tajam dan dikekang banyak manusia. Dikerangkeng tali-tali tambang demi memblokir alat gerak tubuhnya. Lantas dilumpuhkan begitu saja di atas lumpur cokelat bekas hujan di akhir tahun. Bahkan petrikor masih tercium dalam ilusi sesaatnya.

Lantas, mengapa? Apa yang sesungguhnya terjadi?

Amara tak dapat menemukan jawabannya. Atau, belum. Gadis itu mengawasi sekeliling setelah sembuh dari keganjilan yang menimpa tubuhnya. Menatap perapian menyala yang baru ia sadari berada di pojok ruangan. Api yang menyalak ganas, membangkitkan saraf-sarafnya bergolak awas. Akalnya tentang bertahan hidup berbunyi nyaring. Tetap diam di tempat ialah fatal. Tetap bertahan akan membunuhmu.

Lari.

Secepat pikiran itu berlabuh, secepat detakan jantung dalam dada, gadis itu meninggalkan ruangan. Tersaruk menuju pintu kayu yang beberapa bagiannya tampak keropos dihabisi rayap.

Namun, kabur dari ketidakmengertian tak semudah menghunus pedang pada lawan. Karena begitu keluar, yang pertama kali disambutnya ialah pohon-pohon yang menjulang tinggi bak hendak mencakar langit. Jauh ke dalam pepohonan itu, lorong gelap yang seolah hendak menelan Amara terpatri mengerikan. Samar, sahut-sahutan suara asing menguar dari dalam hutan, bergema hingga menciptakan simfoni kematian yang berulang. Mengantarkan ketakutan tersendiri bagi Amara yang nyaris menciutkan nyalinya. Bahkan, serdadu yang bertugas menghitamkan cakrawala tampak bersahabat dengan rembulan untuk menyembunyikan dirinya di balik awan-awan kelabu seolah memang berniat untuk menekan keberanian dalam diri Amara. Menciptakan gelap, kelam yang tiada ujung.

Amara memijak penuh bimbang di ambang pintu. Antara bergulat dengan ketakutan akan tempat gelap atau ketidaktahuan yang mencekik setiap nadinya.

Tetapi, sewaktu ia memantapkan hati untuk melintasi batas antara dunia luar yang menyimpan sejuta tanya dengan ruangan abstrak yang nyaris mematikan jiwanya, lolongan serigala mengaum dari kejauhan. Sekali lagi, Amara memikirkan pilihannya untuk menembus belantara kelam di hadapannya atau tidak.

Denting bel yang berulang-ulang muncul mengiringi dersik angin yang menerbangkan rambut gadis itu---seolah mengumumkan selamat datang dengan merdu pada dirinya. Mengakibatkan insting bertahan hidupnya bergolak hebat. Jelas, bebunyiannya terdengar janggal dalam rungu membuat siapapun merasa terancam dalam kengerian.

"Nona."

Suara itu ranum, lembut, mengejutkan Amara sewaktu dirinya berjumpa ria dengan lanskap antah berantah. Dilihatnya wanita berparas ayu yang menggenggam lentera minyak---di mana lentera itu nyaris padam---kemudian menatapnya was-was.
Belum sempat berpaling, suaranya terdengar kembali, "Anda sebaiknya tidak keluar. Cepatlah masuk kembali, ini purnama kedua belas."

Penampilan wanita yang mendadak muncul di samping Amara itu terbilang sederhana. Bertampang malaikat, wangi kamomil, ramping, dengan rambut platinum bak swarovski serta berbaju one piece putih yang tertutup jubah berbandul bros warna biru. Leher jenjangnya digantungi liontin mutiara putih yang menyala, berpendar samar saat cahaya bulan dengan malu-malu menunjukkan diri dari balik awan yang berarak. Maka sadarlah ia, denting bel itu berasal dari wanita tersebut.

Canggung, bertanya sesuatu, atau langsung melarikan diri menjauhi wanita ini. Amara tidak tahu. Kakinya seolah tertancap permanen di dalam tanah---enggan bergerak.

"Mari. Masuklah kembali ke dalam, Nona."

Permintaan; maka Amara pun menurut seolah telah dimantrai sihir gelap. Ia pun berjalan mundur dengan hati-hati diikuti wanita itu.

Amara sadar, bahasa yang digunakan wanita itu begitu asing, bahasa yang tidak ia ketahui berasal dari mana---seolah memang bukan berasal dari dunia yang ia kenal. Mungkin itu bahasa daerah, atau kuno, yang memiliki aksen unik dan berbeda dari yang lain. Tetapi, Amara secara ajaib dapat memahami bahasa aneh itu---tanda tanya lain bertambah dalam kepala gadis itu.

Demikian, pikirannya menerawang mengenai perempuan yang kini mempreteli jubah dan sepatunya setelah masuk dan membanting pintu. Matanya setenang danau, tetapi sedalam lautan. Jernih, namun kelam di saat yang sama. Umurnya kepala dua---masih praduga. Karena, sembari mencuri pandang, yang dilirik justru menyadari gerak-geriknya yang kelewat bodoh. Perangainya tampak ingin menguliti Amara hidup-hidup sekarang---walau mungkin itu hanya praduga atau sisi berpikir berlebihan milik gadis itu tengah kambuh.

Sekarang, Amara berandai; bagaimana kalau ternyata perempuan ini ialah kunci? Jalan pulang? Labirin menuju rumah? Ditinjau melalui fisik, ia mungkin seorang ibu peri pembawa keajaiban seperti dongeng-dongeng yang Amara ketahui---walau itu jelas sebuah kemustahilan.

Mengajaknya negoisasi dipastikan sukar, tapi ia mesti kabur dari keadaan menyesakkan ini sebelum jadi gila. Mungkin, asumsi dan kemungkinan buruk telah menempel sempurna sehingga ia nyaris tidak pernah berpikir baik mengenai hal-hal yang terjadi di sekelilingnya.

Karena ia bangun dari ketidakmengertian.

"Nona, Anda tengah kebingungan, bukan? Sebelum saya menjelaskannya, duduklah terlebih dahulu, saya akan bawakan sesuatu untuk dimakan. Ah, dan maafkan saya mengenai tempat ini yang sedikit kotor."

Sedikit yang wanita ini maksud bukan seperti yang dipikirkan Amara. Mereka berdua memiliki pandangan berbeda mengenai hal ini.

Interupsi nyaris terlontar sampai perempuan itu memotong, tanpa menoleh, cenderung santai, membuat Amara tertahan seketika. "Nona, sekali lagi saya katakan, jangan keluar. Tetaplah di sini, dan jadilah gadis baik. Sudah jadi tugas saya untuk merawat Anda."

Merasa ditekankan kepadanya, benak gadis itu dijejali pertanyaan untuk ke sekian kalinya. Jika bisikan ganjil sebelumnya ialah benar, bahwa Amara adalah sesosok terkutuk nan sinting; terbangun di tempat mencurigakan begini pastinya untuk menunggu eksekusi datang menjemput nyawanya. Tentu ucapan itu hanyalah guyonan bodoh yang dijejali sarkastis, ucap-ucap manis sebelum mati.

Bertanya ia, "Aku? Memang kenapa jika keluar?"

Lantas, perempuan itu tersenyum kecil. "Ini malam purnama kedua belas, tidak ada gadis yang boleh keluar rumah. Ingat itu, atau Anda akan menyesal." Katanya, lugas, lalu mengangguk kecil sebelum pergi dengan ekspresi keras---mungkin menahan dongkol karena telah berulang kali menyambut ketidakmengertian Amara.

"Tapi, tadi kau berada di luar dan kau juga seorang gadis. Tunggu, atau kau bukan seorang gadis? Malam purnama---atau apalah itu, bukankah itu hanya dusta belaka? Hei! Jawab aku!" Amara berdecak muntab, tetapi perempuan itu sudah hilang di balik pintu yang lain.

Jangan pergi.

Namun, meski dikatakan sedemikian jelas, Amara tentu menjungkirbalikkan ucapan perempuan itu sampai ke titik terendah. Keparat cantik itu tentu berdusta padanya, menggaris takdir palsu agar ia terjebak dalam takdir lain yang lebih kejam. Walau semestinya Amara tetap jadi gadis baik seperti yang diucap perempuan itu, Amara enggan. Entah akan berakhir tersesat dalam ambang kekelaman atau disambut nyanyian keberuntungan, ia harus pulang. Terbangun kembali bersama ingatan utuh dalam keadaan normal atau tidak sama sekali. Sisi dalam dirinya telah memberontak, mendobrak dinding ketakutannya.

"Jalannya akan kutentukan sendiri."

Semula menyipit, menelisik lamat-lamat jauh ke depan, Amara bersiap pergi setelah menetralkan debar jantungnya yang tiba-tiba menggila.

Tak ada halangan setelahnya.

Membelakangi perapian yang masih menyalak, Amara melangkah mantap. Meninggalkan ruangan yang kini digerogoti kebisuan yang ia tinggalkan.

***

Obor-obor bermandikan api merah itu datang bergerombol. Jumlahnya tak kuketahui, terlalu banyak. Para obor itu mengiringi malam jelaga yang pekat, nyaris hitam nan kelam. Api menyalaknya kontras di tengah rimbun pepohonan yang menjulang. Mereka membara, bergejolak, menggetarkan seluruh tubuhku.

Ketika menyaksikan sekumpulan obor itu, harusnya aku segera sadar akan kebodohanku. Meyakinkan diri akan baik-baik saja di tengah kemelut yang mengancam justru telah salah sejak awal. Tak seharusnya aku melangkah keluar dari tempat itu. Dari tempatku berawal. Kini tiada sesal yang patut kuutarakan, semua telah lebur bersama seonggok nyali yang kini mengendur. Aku jelas telah jatuh ke lubang nestapa yang sesungguhnya. Kini, bukankah saat yang tepat untuk melucuti keberanian yang sebelumnya kuagungkan?

Datang. Datanglah mereka dengan segenap ancaman yang nyata.

Ini mengerikan. Aku dikelilingi obor-obor yang menyala panas. Membuatku berharap secuil pertolongan akan hadir menyambutku. Tetapi, jelas itu mustahil. Wanita itu---satu-satunya manusia waras yang baru kukenal---telah kuolok-olok mengenai peringatannya. Tentu ia tak akan sudi untuk berbaik hati menolong seorang gadis yang telah mengkhianatinya. Maka, sekaranglah saatnya aku merasakan akibat dari kecongkakanku.

Mereka berkedok kain bercorak serta berbaju merah yang gemerlap ditimpa sinar bulan, mengerubungiku yang dilanda kengerian. Menyanyikan lagu aneh beserta puja-puji dalam bahasa yang tak kumengerti seolah aku telah dijadikan bahan persembahan kepada iblis. Atau mungkin, memang itulah niat mereka.

"Pendatang! Pendatang! Gadis ini pendatang!"

Ada serentetan kata yang kukenal samar-samar, mengataiku pendatang.

"Kutukan! Dia terkutuk!"

Selanjutnya, telingaku menangkap kata tersebut dalam percakapan bising mereka. Kutukan, aku mungkin memang telah dikutuk---oleh malapetaka.

Demikian, detik-detik di mana aku enyah dari dunia.

Karena, aku dibawa pergi. Bersama jeratan rantai besi berduri yang menghujam seluruh tubuh.

Api merah masih mengiringi, tetapi bukan sebagai perantara cahaya atau berdiam di atas obor, melainkan untuk memanggangku hidup-hidup.

Puluhan obor itu membakarku, serentak. Terasa panas dan menyakitkan. Puja-puji gila mereka masih kudengar, elegi melantunkan diri mereka melalui dersik angin. Aku habis. Tubuhku mati rasa. Perlahan, kusaksikan rembulan yang keluar dari balik awan---warnanya merah, bak darah, hal yang baru kusadari detik itu juga. Barangkali bulan itu berniat mengucap salam perpisahan kepadaku yang dirundung maut.

Maka bersamanya, aku pergi, menyambut tangan-tangan malaikat menuju akhirat---akhirat yang sesungguhnya. Jiwaku melayang.

Aku meregang nyawa, dengan begitu cepat---secepat detakan jantung berbunyi. Seperti itulah aku berakhir, bak seorang pujangga yang membubuhkan titik pada akhir karyanya---berhenti, sampai di situ.

Kusaksikan langit jelaga yang menghitam. Tiada bintang maupun arak-arakan awan kelabu, hanya sang rembulan yang menggantung angkuh di atas sana; merona, memerah, bak mawar berduri.

Namun, kejadian abstrak kembali terjadi. Menyaksikan penghuni langit sementara jiwaku masih bergeming---terdiam dan membisu. Mengapa tangan-tangan para malaikat tak segara mengangkut ruh tanpa raga ini menuju alam kematian? Pertanyaan yang lain kembali bermunculan.

Lantas di tengah gelapnya malam, di antara belantara yang menjunjung langit berunsur jelaga, langkah kaki yang berpijak terdengar mengudara. Bunyinya melekat pada rungu yang kupikir tak lagi berfungsi, menandakan seseorang mendekat.

Dersik angin kelewat kencang ketika cipratan cairan merah berbau anyir bermunculan sesaat setelah denting logam beradu dengan sesuatu. Habis sudah suara-suara mereka yang melantunkan nyanyian sakral yang mengantarkanku menuju maut.

Seraya langkah yang kembali mendekat padaku yang kini dirundung api merah, orang itu serta-merta berucap, "Maafkan keterlambatan saya, Nona," Aku kenal suara itu. "Sekarang, mari pulang bersama saya."

Dwi manik itu memancar, mengirimkan sinyal euforia ganjil kepadaku yang masih bergeming. "Dan bangkitlah kembali, seperti sebelumnya."

Sungguh, ketidaktahuan itu mengerikan, mengunci diriku dalam ruang ketidakberdayaan yang absolut. Tiada kata yang terucap walau sejuta tanya hadir mengisi benak. Maka kutatap ia sebagai pengalihan, juga pengganti angan akan datangnya jawaban.

Bersama sepenggal kalimat, ia berkata, "Pembalasan akan segera terjadi."

Kujawab, sesuatu yang tak pernah kupikirkan akan terucap, "Termasuk menghancurkan sesuatu?"

"Apa kita pernah melewatkan hal itu sebelumnya? Ah, benar, Anda tidak mungkin ingat." Ia mengulas senyum tipis, "Tentu saja, Nona-ku yang manis."

Selanjutnya, kurasakan jiwaku yang mengudara.[]

***

Kianana15
17 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top