-11. Bunga Plum-

Mekarnya plum membuat musim semi ini semakin hangat, meskipun udara dingin dari musim lalu masih begitu kentara. Jay duduk di bangku taman dekat-dekat daerah En-Fever, ia ada janji makan siang bersama Sunoo sekaligus memperbaiki gitarnya.

Udara semakin hangat, matahari yang mulai naik ke pembaringan membuat pagi ini terasa lebih baik dari pagi lalu. Jay memangku gitarnya sambil sesekali ia memainkan senarnya dengan ibu jari.

“Bisakah kau mainkan satu lagu untuk kakek tua ini, Anak Muda?” tanya seorang pria tua dengan rambut putih yang tiba-tiba saja duduk di sebelah Jay.

“Tentu. Kau ingin mendengarkan lagu apa?” jawab Jay sambil tersenyum.

“Apa saja,” katanya.

Jemari Jay mulai menari di atas senar juga longkap gitarnya. Melodi ringan yang ia coba mainkan membuat pria tua itu tersenyum sambil menari kecil.

Ain't No Sunshine.

Lagu itu ia nyanyikan, menggiring perasaan rindu yang sendu pada seseorang. Jay menikmatinya, begitu juga pria tua tersebut.

“Wah, bagus. Lagunya bagus, suaramu juga bagus.” Pria tua itu memuji. “Nah, untukmu, barangkali kau ingin beli roti!” Ia menyodorkan beberapa lembar uang pada Jay.

Gwaenchanayo, aku tidak bernyanyi untuk dibayar, aku tidak mengamen juga, Sonsaengnim.” Jay tersenyum ramah.

“Kau menghabiskan waktu di sini?” tanyanya.

“Aku hanya senang berjalan-jalan dan menikmatinya. Keramaian kota benar-benar hal menyenangkan,” ungkap Jay.

“Simpanlah siapa tau kau butuh!”

Gamsahamnida, Sonsaengnim.” Jay terkikik. “Kalau dipaksa begini aku akan simpan.”

“Kau bekerja?” tanya pria tua itu menatap lekat wajah Jay.

“Tidak, aku hanya pengangguran. Aku menikmati apa yang ada di bawah kakiku saat ini. Kau sendiri, sedang menikmati waktu di hari tuamu?” Jay menoleh.

Pria itu memandang jauh ke langit, kedua bola matanya tampak goyah untuk beberapa saat. Ia mengembuskan napasnya. “Ini kali pertamaku keluar dari rumah, ternyata udara pagi di taman kota menyegarkan,” jawabnya.

“Emm, benar.”

“Sejak kecil aku selalu melihat dunia sebagai ruang yang kosong, yang bisa diisi banyak hal menarik. Ibuku mengajarkan, jika kau berpikir dunia akan indah, maka semuanya akan indah pula. Aku selalu memandang langit sebagai tempat di mana harapan dan doa-doa baik akan turun.”

“Ibumu berhasil mendidikmu, Anak Muda.”

“Tapi aku kehilangannya sejak usia enam tahun. Meski demikian, aku selalu menyimpan semua kata-kata motivasinya.”

Pria itu tersenyum. “Kau hebat,” pujinya sambil menepuk-nepuk pundak Jay.

“Dulu ketika ibuku meninggalkan dunia, aku mengutuk semua hal yang ada di bawah kakiku. Aku membenci kenapa Dewa menghilangkan kebahagiaan kecilku, merenggut dunia kecilku yang berharga, kenapa kenapa dan kenapa. Aku tak bisa memaafkan semua hal yang hilang.”

Jay mengembuskan napasnya. “Aku merasa putus asa. Tapi aku ingat kata-katanya, jika kau berpikir dunia akan indah, maka dunia akan indah. Iya, mencoba memaafkan segalanya. Dunia kecil itu kembali. Bertemu orang-orang baru yang jauh lebih menyenangkan, orang-orang baru yang bisa menyayangi dan disayangi.”

“Menurutmu, jika seseorang terlambat meminta maaf atas kesalahannya, apakah ada ruang untuk dimaafkan?” tanya pria tua itu menatap nanar.

“Karena kau begitu hebat, bisa memaafkan dengan cepat,” sambungnya.

“Kata orang bijak, jangan pernah berpikir apa maafmu berguna atau tidak, yang penting kau sudah mengulurkan tangan untuk memperbaiki kesalahan itu. Jika itu aku, aku akan tetap memaafkannya. Karena sulit mengakui setiap kesalahan yang kita lakukan.”

“Kakek tua ini berharap esok akan bertemu denganmu lagi,” katanya sambil bangkit dari tempat duduk.

“Kau akan ke mana, Sonsaengnim?”

“Aku mencari toko alat musik di dekat sini. Tapi, aku tidak menemukannya meski sudah berkeliling.”

“En-Fever?” tanya Jay. “Mau aku antar? Aku juga akan ke sana untuk memperbaiki gitarku.”

“Yah, antarkanlah kakek tua ini.” Ia berseri.

“Mari,” katanya.

***

Pintu kaca terbuka, Jay berjalan di depan pria tua tersebut. Ia menggulirkan kedua bola matanya mencari Sunoo, dan laki-laki itu tengah berdiri di balik rak CD lagu-lagu barat klasik.

“Pagi, Oppa!” sapa Eun-Chae yang berdiri di dekat meja kasir.

“Pagi juga.”

“Eh, Hyung?” lontar Sunoo sedikit terkejut ketika ia menoleh.

“Ddeonu-ya, Kakek ini ingin mencari gitar untuk cucunya, kau … bisakah kau menemukannya untuk beliau?” tanya Jay sambil memegangi pergelangan tangan pria tua tersebut.

“Tentu.”

“Kalau begitu aku akan ke studio,” kata Jay pamit sambil berjalan setelah Sunoo membawa pria tua itu ke bagian rak gitar.

Sunoo memandang ramah pria tua tersebut. “Gitar seperti apa yang Anda cari, Tuan?” tanyanya.

Mollayo, aku bahkan tidak tau seperti apa gitar yang disukainya. Aku bahkan tidak tau apa yang dia suka.”

Sunoo hanya tersenyum manis. “Ehh, jika aku boleh tau cucu Anda usia berapa tahun, Tuan?” tanyanya.

Pria tua itu tampak berpikir keras. “Seusiamu, mungkin,” jawabnya dengan ekspresi memirsa saksama wajah Sunoo.

“Dia laki-laki atau perempuan?” Sunoo bertanya sambil memilah beberapa gitar yang dipajang di rak.

“Laki-laki.”

“Anda ingin membelikannya gitar listrik atau akustik?”

“Sudah kukatakan, aku bahkan tidak tau. Mungkin pertemuan ini akan jadi yang pertama. Pria tua bau tanah ini benar-benar tidak tau!” Ia menggerutu dan membuat Sunoo tertawa renyah.

Ne, ne, arassemnida. Aku akan merekomendasikan gitar akustik untuk cucumu, karena lebih sederhana.”

“Menurutmu, selain gitar apa lagi?” Pria tua itu tampak melihat-lihat rak lainnya.

“Apa, ya, aku juga bingung. Karena ini pertama kalinya Anda akan bertemu dengan cucu Anda, bukankah alangkah baiknya Anda bicara dulu dengannya? Seperti mengenalkan diri satu sama lain, mencari tau apa yang dia sukai, atau mungkin … bukankah lebih baik kalau Anda membelinya bersama cucu Anda secara langsung?”

Pria tua itu terpaku di depan sebuah biola hitam di dekat dinding. “Aku takut bertemu dengannya,” kata pria itu.

“Kenapa? Bukankah itu cucu Anda?” tanya Sunoo sambil mengernyitkan dahi.

“Aku tak pernah bertemu dengannya, aku benci dirinya, aku bahkan mengutuknya, aku takut ketika bertemu dengannya justru aku ingin memenggal kepalanya.”

“Kenapa Anda berpikir demikian? Bukankah itu hal buruk? Merampas kehidupan seseorang yang meskipun Anda tidak pernah bertemu dengannya. Anda tidak tau bukan apa yang dia lalui? Bagaimana jika sebenarnya dia juga ingin bertemu dengan Anda, bedanya dia ingin memeluk Anda.”

Pria itu menitikan air matanya ketika menyentuh tubuh gitar di tangan Sunoo. “Mungkin saja sebernarnya aku telah membunuhnya selama bertahun-tahun.”

“Tidak ada yang terlambat, Anda mungkin berpikir ingin memenggal kepalanya karena kebencian yang Anda punya, tapi pada kenyataannya Anda pergi ke tempat ini karena Anda ingin melihatnya hidup dan tersenyum ketika mendapat hadiah, bahkan untuk hal yang tidak Anda ketahui.”

“Siapa namamu, Anak Muda? Hari ini aku bertemu dua anak muda hebat. Kau dan anak yang tadi.”

“Namaku Sunoo. Kim Sun Oo. Nama lahirku Kim Seon Woo.”

Pria itu tersenyum kecil. “Gitar mana atau alat musik mana yang kau sukai, Sunoo-ya?” tanyanya.

“Yang ini, bagus. Mungkin cucu Anda juga akan suka.” Sunoo tersenyum lebar.

“Belilah, belilah untukmu, pria tua tak tau malu ini akan membayarnya.”

Sunoo membelalak. “Eh, tidak benar, itu tidak benar. Aku tidak bisa menerimanya.” Sunoo menggelengkan tangan juga kepalanya. “Anda tidak boleh bicara begitu.”

Ia tersenyum lagi, bedanya kini lebih lebar. “Aku membelikannya karena kau … karena ucapanmu membuat hatiku terasa lebih hangat. Anggap saja sebagai hadiah dari seseorang yang merasa telah dihidupkan kembali.”

“Tuan, itu tidak benar.”

“Sunoo-ssi, kau anak yang hebat. Cucuku pasti sehebat dirimu!” Dan kau … kau cucuku.

“Aku tak bisa menerima gitarnya, aku hanya akan mengambil pujiannya. Cucu Anda pasti bangga mempunyai kakek seperti Anda. Anda orang yang manis dan lembut.”

”Kalau begitu, tolong bungkus untukku, aku akan mengirimkannya kepada cucuku. Bukankah katamu dia juga akan suka?”

Sunoo mengangguk antusias. “Iya, dia pasti suka. Karena Anda membelinya dengan rasa cinta dan rindu Anda.”

“Ah, kau pandai menggoda!” Tangannya membelai pusat kepala Sunoo dengan lembut. “Kakek tua ini tetap akan membayarnya dengan uang.” Keduanya tertawa dengan nikmat.

Anak cakep anak baik anak manis, kamu harus bahagia, ya.
Dalam hati mau ngomong gitu, ya tapi dahlah dramatik.

Sumpah sayang batt sama Kakak Jay!!

Draft book 2 : 27 April 2023
Publikasi 5 Mei 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top