-09. Rumah-

Jay tidak menyangka kalau Sunoo akan semabuk berat seperti ini, bahkan gumohnya sampai membuat seluruh pakaiannya kotor tak tertolong. Ia membaringkan Sunoo di ranjang apartemennya.

Jay memandang jam dinding, sudah pukul satu malam. Ia mencoba menghubungi Sunghoon untuk mendapatkan alamat rumah Sunoo, sayangnya laki-laki itu tidak menjawabnya, berdering pun tidak.

“Tidurlah, esok aku akan mengantarmu pulang,” bisik Jay sambil mengusap kepala Sunoo yang tidur dengan nyenyak.

*

Pagi membangunkan Sunoo, terbangun dengan wajah serta rambut kusut. Tampak seorang yang tak asing baginya berdiri di depan pintu kamar.

“Kau bangun? Maaf kalau aku membuatmu terbangun.” Ia tersenyum dengan ramah.

“Kau yang memesan piano?” tanya Sunoo dengan wajah bingung.

“Aku hanya suruhan Jay. Dia yang memintaku untuk memeriksa pianonya,” jawab Jake, yang berdiri dengan santun di depan pintu. “Pakaianmu masih di mesin cuci. Jay, bilang kau boleh memilih pakaian yang kau suka di lemari. Setelah itu sarapan lalu dia akan mengantarmu pulang.”

Sunoo seketika memperhatikan seluruh tubuhnya yang bersembunyi di balik selimut. Laki-laki itu mengernyit. “Kenapa dengan pakaianku?”

“Kau gumoh, maaf kalau tak sopan, aku mengganti pakaianmu tanpa izin.”

“Ah, aku mabuk, ya?”

Jake hanya tertawa kecil. “Bersiaplah, sup taugenya akan siap dalam sepuluh menit. Pakaiannya di lemari ini!” kata Jake sambil menutup pintu. Sayangnya, Sunoo segera berdiri.

Joesunghaeyo, di mana Jay hyung?” tanya Sunoo sambil memilin bibirnya.

“Dia sedang bertemu kenalannya. Setengah atau satu jam lagi kembali. Jika kau mau pulang sekarang, aku bisa mengantarmu. Begitu katanya.”

Sunoo tersenyum sambil mengangguk. “Baiklah aku akan bersiap,” ucap Sunoo sembari membungkuk sembilan puluh derajat.

Sementara itu, di jam yang sama Jay tengah duduk bersantai bersama seorang pria berpakaian jas rapi. Meja dipenuhi beragam amplop cokelat. Dua cangkir kopi menemani.

“Jadi, kau menolaknya?” Pria itu tersenyum kecil. Eun Jiwon, pria itu mendaratkan tangannya di punggung tangan Jay. “Tidak apa jika kau tak ingin.”

“Paman, aku rasa aku ingin tetap tinggal di sini sedikit lebih lama.”

“Baiklah, Paman akan sampaikan kepada keluarga besar Kim di Seattle. Sesekali datanglah untuk menjenguk keluarganya Chaewon,” katanya.

“Baik, Paman Eun.”

“Kau benar-benar tak akan membacanya untuk kedua kalinya? Mungkin saja kau berubah pikiran.” Pria itu tersenyum dengan lembut.

“Tidak. Aku merasa tidak pantas untuk melanjutkan pekerjaan dan jabatan Paman Kim. Meskipun aku menganggapnya sebagai ayahku, ayah angkatku yang berharga. Untuk urusan harta, jabatan, dan wasiatnnya, aku merasa tak berhak. Itu milik Noona. Aku serahkan perusahaannya kepada Paman yang lebih mengerti.”

“Jay-ya, kau adalah anak kesayangannya. Kau tak perlu merasa ragu.” Ia mengusap pusat kepala Jay. “Tapi, jika kau merasa ingin tinggal di sini, tidak apa. Paman tidak berhak memaksa, toh, Paman telah menyampaikan wasiatnya. Kuharap dia berbahagia di surga.”

“Emm, aku harap begitu. Aku hanya ingin tinggal lebih lama sebentar saja.”

“Yah, jika kau dan Chaewon sama-sama mundur, Paman berjanji akan mengemban tanggung jawab atasnya. Paman tidak akan mengecewakan keluarga Kim, termasuk mendiang Kak Kim.”

“Aku percaya padamu, Paman Eun.”

*

Jay menanggalkan sepatu juga jaketnya, ia sedikit terperanjat melihat Sunoo mengobrol santai dengan Jake di ruang tamu sambil membungkus beberapa nasi kepal dengan plastik wrap. Kaki Jay memasuki ruang tamu lebih dalam, duduk di sofa dengan diam-diam.

“Kalian akrab sekali!“ seloroh Jay membuat Jake dan Sunoo terkejut bukan main.

Ya … gapjagi!” sentak keduanya bersamaan.

Jay hanya tertawa kecil, tangannya mencomot satu bulatan nasi kepal yang dibaluri serpihan rumput laut kering. “Wah, aromanya wangi!” ucap Jay sebelum menyuapkan bola nasi tersebut.

“Sunoo yang membuatnya, ini resep bola nasi buatannya.” Jake tersenyum, sembari turut menikmati bola nasi di tangannya.

“Tapi, untuk apa kau membuatnya?” tanya Jay seraya menoleh pada si empunya nama. “Kupikir kau sudah pulang.”

“Untuk makan siangmu, Jake-nim mengatakan kalau kau akan pulang siang nanti sebelum pulang aku hanya ingin menyiapkan makan siangmu, karena Jake-nim sudah bekerja keras sejak pagi. Tapi kau pulang lebih awal.“

Jay menyentuk pusat kepala Jake. “Kau membuat seorang tamu memasak,” katanya.

“Aku tidak menyuruhnya. Sunoo-ssi yang memaksa.” Jake menjulurkan lidahnya.

Sunoo menyentuh punggung tangan Jay. “Aku membuatnya, karena aku ingin kau makan dengan baik hari ini. Kemarin malam kau hanya makan sepotong pangsit goreng dan minum dua kaleng bir. Kata Jake-nim, pagi tadi juga kau melewatkan sarapan. Aku hanya ingin kau makan dengan baik,” ungkapnya.

Ne, ne, arasseo. Gomawoyo,” kata Jay sembari menepuk-nepuk pusat kepala Sunoo.

***

Sunoo tidak menyangka jika ia akan bertemu dengan Sunghoon di jalanan dekat rumahnya. Kedua laki-laki itu memutuskan untuk pulang ke rumah Sunoo. Sunghoon bilang ia akan tidur siang di rumah Sunoo karena rumahnya dikunci. Sebagian keluarga Hong pergi ke Nakdong untuk jalan-jalan.

“Jadi kau tidak pulang?” tanya Sunghoon sambil tersenyum kecil. “Hebat.”

“Memalukan bukan hebat. Katanya aku muntah-muntah parah bahkan sampai membuat seluruh pakaianku kotor, pakaian Jay hyung juga kotor, parahnya sampai membuat beberapa furnitur di apartemennya juga kotor.”

“Memang kau minum berapa botol?” Sunghoon merangkul Sunoo sambil menatap dengan saksama.

“Aku tidak ingat. Aku terlalu larut menikmati ceritanya soal Seattle dan Hungaria. Aku benar-benar merasa beruntung bisa mendengar ceritanya soal perjalanan yang dia habiskan selama dua bulan di Hungaria bersama keluarganya.” Sunoo tersenyum.

“Aku merasa lega ternyata dia pergi untuk berlibur,” sambungnya.

“Dia mengatakan begitu?” tanya Sunghoon. “Oh, iya, mungkin dia rindu keluarganya.”

“Emm.”

“Sunoo-ya, apa Jay benar-benar mengatakan kalau dia pergi berlibur?” Laki-laki itu mengangguk, Sunghoon kembali membuka suaranya. “Tidak ada yang lain? Apa semuanya tentang cerita bahagia?”

”Iya, dia bilang, dia menghabiskan banyak waktunya bersama sang ayah angkatnya. Dia tersenyum ketika menceritakan ayahnya. Aku bisa melihat betapa dia menyayangi keluarganya.”

“Ah, syukurlah jika begitu.” Sunghoon terdiam, ia hanya tersneyum tipis. Dalam hatinya, mungkin Jay benar-benar tak ingin membuat Sunoo terluka dan bersedih. Sudahlah.

Keduanya tiba di depan pintu rumah kediaman Sunoo. Belum keduanya melangkah untuk membuka pintu utama. Langkah kaki nan tegas mendekat, seketika tamparan keras mendarat di pipi Sunoo.

“Ke mana saja kau?!” bentak wanita paruh baya di depan Sunoo. Tae Ri, wanita itu kembali menampar Sunoo. “Sunoo, ke mana kau semalam!?”

“Bibi, dia bersamaku!” sela Sunghoon sambil menarik Sunoo ke belakang punggungnya.

“Bibi tidak bicara padamu.” Wanita itu mencoba menarik Sunoo, sayangnya Sunghoon dengan sigap menjaganya di balik punggung.

“Sunoo bersamaku!”

“Masuk kamar tak ada makan untukmu, tidak ada ruang bermusik, tidak ada ponsel dan tidak ada aktivitas lainnya. Kau dihukum.”

“Tapi Sunoo bukan anak kecil lagi, Bibi. Berhentilah bersikap demikian! Itu benar-benar tidak menyenangkan!” Sunghoon membelanya.

Sunoo melengos, berjalan dengan santai memasuki rumahnya. Bagi Sunoo, hal demikian memang sering terjadi, bahkan sejak ia kecil dan bersahabat dengan Sunghoon. Sekalipun keduanya hanya bermain di teras, jika itu membuat sosok wanita dengan marga Kim itu marah, Sunoo akan mendapatkan hukumannya.

Sunghoon menarik tangan Tae Ri. “Bibi, ini keterlaluan!” pekiknya.

“Dia pergi jauh dari rumah. Kau pikir kenapa aku marah padanya!” Ia balas memekik lebih keras.

“Tapi dia masih di Seoul. Tidak pergi ke mana pun. Lagi pula, dia bersamaku, bersama seseorang yang dia kenal.”

“Apa kau lupa kalau orang itu juga ada di Seoul?”

Sunghoon memegangi tangan wanita itu dengan lembut. “Bagaimana mereka tau soal Sunoo, jika selama berpuluh tahun ini kau bahkan tidak pernah mengatakan pada dunia kalau dia anakmu? Bagaimana mereka tau kalau keberadaannya tidak diketahui. Kau dan Paman bahkan berpura-pura tidak saling mengenal, kalian berpura-pura berpisah padahal kalian masih bermalam bersama. Apa yang dunia lihat? Kalian tidak memeliki sesuatu untuk dicemaskan.”

“Bibi tetap takut.”

“Rasa takutmu membuat hidupnya tidak bahagia. Cobalah untuk berpikir hidupnya yang setiap waktu bertambah dewasa, dia akan menjadi dewasa, dia akan menjalani kehidupannya sebagai seorang pria dewasa. Dia bukan anak-anak lagi.”

Wanita itu memenangi kaki Sunghoon, bersimpuh sambil menangis. “Bibi takut kehilangannya.”

“Aku akan memastikannya kalau dia benar-benar akan pergi dan kau akan kehilangannya!” kata Sunghoon sembari berjalan ke dalam rumah Sunoo.

Sunghoon memijat keningnya, berjalan gontai menuju kamar laki-laki itu. Pintu diketuk dengan lembut. Tampak Sunoo di baliknya sambil tersenyum tipis.

“Pipimu baik-baik saja?” tanya Sunghoon, si empunya kamar mengangguk. “Kau yakin? Pipimu memerah!”

“Emm. Dibanding rasa sakit aku merasa bahagia. Semalam adalah waktu paling menyenangkan untukku, rasanya belum berkurang. Bisa berada di dekatnya sepanjang malam, ini tidak masalah.”

“Kau benar-benar menyayanginya?”

Sunoo mengangguk. “Dia orang asing pertama yang mengajakku bicara. Dia orang asing pertama yang kulihat di rumah, setelah kedua orang tuaku. Dia orang asing pertama yang mengajakku bermain. Dia orang asing pertama yang membuatku percaya jika dunia tidak seperti yang Eomma katakan.”

“Yah, aku mengerti.” Sunghoon membelai pusat kepala Sunoo dengan lembut. “Suatu saat nanti, dunia harus tau kalau Sunoo juga adalah bagian dari dunia yang besar ini.”

🦋

Vibes si Acill. Bayangkan dia pagi-pagi udah nabur bawang sambil nabur remahan gula tanghulu anggur hijau. Nano nano.

Oh, iya, aku akan up sampai bab 12 langusng. Karena aku mau sok sibuk sebentar akakak sambil merangkai spin-off cerita Hoon untuk mengisi waktu luangku.

Jadi, okelah. Semoga kalian makin penasaran sama endingnya.

Draft book 2 : 25 April 2023
Publikasi 5 Mei 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top