-04. Kolase-
Kim Tae Ri, wanita dengan pakaian anggun agaknya santai itu—kemaja putih yang dipadukan blaster biru muda dan rok hitam—memasuki sebuah mansion dengan dekorasi serba perak dan rose gold. Kakinya menjajal sebuah tangga di dekat bangunan utama yang terhubung ke griya tawang dengan beragam hiasan bunga yang segarkan mata.
“Selamat siang, Ayah?” katanya.
“Ah, Tae Ri-ya. Kau pulang?” Pria tua di balik jendela kaca yang sedang memandang bunga-bunga di depannya berbalik.
“Iya, bagaimana kabarmu, Ayah?” Wanita itu mengecup lembut pipi pria dengan rambut penuh uban dan hampir bongkok itu.
“Baik, anakku. Ibumu juga.” Pria itu menoleh ke arah sebuah potret wanita tua dengan hiasan bunga mawar putih di dekatnya.
“Aku akan menginap, apa Ayah mau dibuatkan makan malam?” tanyanya.
“Bagaimana dengan latihanmu? Kapan Ayah bisa melihatmu kembali menari di atas es? Ayah rindu!” Pria itu menatap dengan sendu.
“Ayah ….” Ia merengek pelan. “Sejak aku cedera tulang punggung, aku tidak menari lagi di atas es. Ayah, sudah hampir berapa belas tahun aku hanya menjadi seorang pelatih.”
“Tapi Ayah rindu tarianmu di atas es.” Pria itu gusar. “Jika bajingan itu tidak menyentuhmu, Ayah yakin karirmu masih bagus. Jika saja bajingan itu ….”
“Ayah, tenanglah, tenang tarik napas dan tenang, ya.”
“Bajingan Kim DongSan!” Pria itu naik pitam. “Dia membuat karir putriku hancur sementara dia masih sibuk menjadi seorang musisi dan terus mengeluarkan album. Putriku yang malang!”
Kim Tae Ri, ia hanya menunduk sambil menitikan air mata. “Ayah, tenanglah. Aku akan membuatkan makan malam.”
“Jika kau menemuinya Ayah akan membunuh pria bajiangan itu! Ayah akan mengarak kepalanya di jalanan. Ayah akan mengirim potongan kepalanya ke neraka.”
“Ayah, aku bahkan merelakan mimpiku demi Ayah. Aku pergi dari gelanggang dan mulai berlatih dan melatih balerina itu demi Ayah. Agar Ayah tau berapa seriusnya aku menjalani hidupku sebagai seorang penari. Aku bahkan merelakan DongSan. Aku tak ingin Ayah turut campur lagi. Lagi pula Ayah sendiri yang ingin aku meninggalkannya? Aku telah pergi darinya. Ayah ingin aku menggugurkan anaknya? Aku menggugurkan!” Maaf aku harus berbohong. Aku sayang anakku Sunoo juga suamiku DongSan. Maaf Ayah maafkan aku.
“Ayah sendiri yang membuatkan rumah untukku di sini. Dan aku benar-benar tinggal di sini bersamamu. Aku pergi ke tempat menari hanya untuk berlatih selebihnya aku tinggal untuk menemani Ayah dan Ibu.”
Maafkan ibumu, Sunoo. Untuk saat ini tetaplah tinggal di rumah dan jangan pernah pergi terlalu jauh. Eomma sangat mencintaimu.
“Yah, sudah, ya, aku tidak ingin Ayah demikian. Itu bahkan sudah lewat berbelas tahun. Ayah melihat, kan, anak-anak muridku banyak yang sukses menjadi figure ice skating dan menjadi balerina ternama. Sudah, ya, Tae Ri terluka jika Ayah masih berpikiran buruk.”
Pria itu menangis sambil memeluk putrinya. “Tae Ri-ya, jangan kecewakan Ayah lagi, jangan buat Ayah menangis lagi. Perasaan sakit itu sampai membuat Ibumu terluka. Ayah menderita sejak kematiannya.”
Hanya ada tangis yang membuat sosok Kim Tae Ri menggigil. Jika ia mengatakan jika anak yang belasan tahun itu minta digugurkan dan masih hidup, lalu pria ini membunuhnya. Tae Ri tidak bisa berpikiran jernih. Bagaimana pula jika DongSan benar-benar dipenggal olehnya. Tae Ri benar-benar ingin mati seketika.
“Aku tak akan mengecewakanmu.” Air matanya mengalir lembut bahasi punggung tangan pria tua tersebut.
***
Sunoo terjatuh dari tangga dan membuat kakinya terkilir bengkak. Melihat itu Sunghoon seketika berlari ke arahnya.
“Kau baik-baik saja?” tanya laki-laki dengan alis tebal itu. “Harusnya kau lebih hati-hati. Makanya sebelum melangkah periksa dulu tali sepatunya!” Ia membentak.
“Aku baik-baik saja, tidak perlu seheboh itu!” kata Sunoo dengan tatapan menyerang.
“Permisi?!” Seorang laki-laki dengan masker hitam memasuki toko. Ia berjalan sambil membuka penutup wajahnya tersebut.
“Atas nama Sim!” Ia berucap dengan semangat.
“Ah, kau yang akan memeriksa pianonya?” lontar Sunoo sambil berdiri tertatih-tatih. Ia menatap dengan saksama wajah laki-laki di depan. Matanya bulat dan bening, dengan potongan wajah tirus, bibir kecil kemerahan dan rambut agaknya jabrik berponi.
“Iya, bisakah aku memeriksanya sekarang? Aku hanya punya waktu lima belas menit sebelum bekerja.” Ia menatap dengan harap-harap cemas.
“Baik, lewat sini!” ajak Sunoo sambil melangkah menuju anak tangga. Padahal kakinya masih tampak bengkak, dan ia berjalan dengan keadaan pincang.
“Apa kakimu baik-baik saja?” tanya laki-laki itu sambil mengernyit, sementara Sunghoon juga turut berjalan di belakang.
“Iya, tentang saja.” Sunoo tertawa.
“Oh iya, Tuan Sim … apa kau juga akan memeriksa keadaan suaranya?” tanya Sunoo sembari menoleh.
“Wah, mana aku tau. Aku tidak mengerti,” jawabnya tampak dongo.
“Eh?” Sunoo terkejut bukan main. “Lalu?”
“Aku hanya dimintai majikanku untuk memeriksa pianonya, agar aku bisa mengukur tempat di mana pianonya bisa diletakkan. Majikanku baru akan pulang lusa.”
“Ah, begitu rupanya.”
“Dia yang akan mengambilnya besok. Mungkin dia akan memeriksa suaranya besok sekalian diambil begitu?” Ia menarik bibirnya canggung.
“Baiklah, kalau begitu.”
Sunoo menuntun setiap langkah, ia membawa laki-laki yang mengenalkan diri sebagai Sim itu ke lantai dua, di sudut ruang tepat di bawah lampu gantung.
“Ini pianonya.” Sunoo menyingkap penutupnya kain yang menyelimuti tubuh piano jati tersebut. Ia juga membuka bagian penutup tutsnya.
“Pernisnya masih berkilau, tutsnya juga masih begitu halus. Kau mau menyentuhnya?” tanya Sunoo.
“Tidak perlu, sudah cukup untukku. Baiklah sampai jumpa besok, aku pamit!” ujarnya. “Terima kasih.”
“Ne,” jawab Sunoo dengan suara lembut.
*
Sunoo terkulai, ia memegangi tangan Sunghoon dengan erat ketika kakinya berdenyut begitu nyeri. Ia meringis sambil menggigit bibirnya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Sunghoon sambil menatap saksama. Namun, Sunoo tak menjawabnya. Sunghoon berjongkok di depan Sunoo. “Naiklah, kakimu bisa semakin bengkak!”
“Tidak mau!” katanya dengan bibir manyun.
“Naiklah cepat, atau kakimu akan diamputasi karena bengkak!” desak Sunghoon. “Aku akan hitung sampai tiga!”
“Ah, Jay hyung turunkan aku!” pekik Sunoo ketika Sunghoon mengangkatnya dengan paksa. Laki-laki itu terkejut setelahnya.
“Aku tidak peduli mau kau teriaki Jay, Joy atau siapa pun. Aku tetap akan menggendongmu!” ucapnya dengan ketus.
Sunoo terdiam sambil menundukkan kepalanya ke dekat leher Sunghoon. Laki-laki dengan alis hitam tebal itu bisa merasakan deru napas Sunoo bergumul di dekat wajah juga tengkuknya.
“Jay benar-benar tidak mengabarimu?” tanyanya mendelik agak sewot.
“Kami tidak berkomunikasi lewat ponsel. Kami tidak bertukar kontak,” jawab Sunoo dengan bibir bawah manyun beberapa senti.
“Bajingan itu tidak bertukar kontak denganmu? Gila!” pekiknya dengan wajah memerah masak.
“Lagi pula tidak setiap kedekatakan dibangun atas kepercayaan. Tidak semua hal bisa dibagi bersama juga, bukan?”
“Tapi keterlaluan!” makinya.
“Kalaupun iya juga, Hyung apa kau lupa kalau ponselku dibatasi? Hanya ada nomormu, orang tuaku dan sajangnim. Aku bahkan tak punya kontak adikmu!” cebik Sunoo sambil menggulirkan bola matanya jenuh.
“Ah, mian, aku lupa.”
“Aku hanya berpikir, mungkin setiap kata hai belum tentu berujung selamat tinggal. Karena perpisahan bisa terjadi tanpa harus mengucapkan salam,” bisiknya sambil menyandarkan kepala ke bahu Sunghoon.
***
Sunghoon mendapati Kim Tae Ri baru saja hendak membuka pintu rumahnya. Ia terkejut melihat Sunoo tidur di punggung Sunghoon.
“Dia mabuk lagi?”
“Tidak, dia hanya kelelahan setelah keseleo.”
“Bibi titip rumah lagi. Jika ke Shinefate berlatihlah sendiri, Bibi juga akan mengoreksi latihanmu di gelanggang. Lagunya sudah kau siapkan?” tanya wanita itu.
“Sudah, pelatih Hwang yang mengurus,” jawab Sunghoon sambil membuka pintu rumah Sunoo. “Hati-hati di jalan. Aku juga tidak bisa menginap, karena ada keperluan.”
“Bangunkan saja, jika itu perlu. Bibi berangkat, ya, Hoon!” pamit wanita itu buru-buru.
Sunghoon membawa Sunoo ke kamarnya. Seperti biasa, ia membaringkan Sunoo dan membungkusnya denhan selimut tipis. Sunghoon tidak berharap Sunoo akan mengigau lagi. Setidaknya, ia tak ingin mendengar soal Jong Seong dari mulut kecil Sunoo.
“Tidurlah, aku akan kembali malam nanti. Itu pun kalau urusanku sudah kelar!” gumamnya.
Ia melangkah menuju pintu, sayangnya mata hitam sayunya tertuju lada sebuah buku catatan bertuliskan Lights di meja belajar. Sunghoon mendekatinya lalu membuka lembar per lembarnya.
Bagaimana bisa aku melupakanmu,
Jika aromamu masih selalu dan senantiasa tercium di sekelilingku.
Bagaimana bisa aku melupakanmu,
Sejauh apa pun kau pergi, langkah kakimu selalu terasa mengiringi.
Bagaimana bisa aku melupakan setiap ucapanmu, ataukah aku yang terlalu berharap dan menunggu?
Terkadang aku benci aroma studio, aku benci melihat ratusan kotak senar di rak, aku bahkan benci jika seseorang memperbaiki gitarnya padaku. Itu selalu mengingatkanku padamu, Jay hyung.
Sunghoon menatap Sunoo yang tertidur pulas. “Aku akan pergi, jaga dirimu, Sun,” bisiknya.
🐈
R
ubah kecilku kesepian. Ice prince kita tidak baik-baik saja huhhh.
Draft book 2 : 5 April 2023
Publikasi 22 April 2024
Mukenyee lucu batt lagi nyanyi I Need The Light. Aku nggak kasih pic Hoon dan Shim nanri aja kalau mood wkwkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top