-03. Musik-
Alunan piano memenuhi setiap penjuru ruangan di bawah tanah. Sayup suara kalimba juga turut mengiring. Sunoo menikmati permainan piano sang ayah. Keduanya telah bermain musik selama dua jam tanpa henti. Memainkan berbagai lagu dari balad sampai pop. Sunoo merasakan hatinya begitu hangat.
“Terima kasih karena Appa sudah menemaniku hari ini!” katanya. “Terima kasih karena tidak menolak permintaanku!”
“Terima kasih juga karena Sunoo telah bersabar menunggu dan mendukung Eomma dan Appa. Kami sayang kamu, Sunoo-ya!”
“Yeobo, palli meogeorago!” teriak seorang wanita dari depan pintu. “Sup bogasarinya nanti dingin jika tidak cepat-cepat disantap!”
Ayah dan anak itu lekas bergegas menuju ruang makan. Sesekali Kim DongSan, pria itu mengacak-acak rambut Sunoo yang halus.
“Ayo, kapan-kapan kita juga ajak Eomma bermusik. Biarkan dia menari untuk kita!” ucapnya sambil tertawa renyah. Sunoo pun tertawa.
“Iya, harus.”
***
Sunoo tidak ingat ada berapa banyak gelas soju yang ia habiskan semalam. Yang ia ingat hanyalah canda tawa yang sempat terkubur karena jutaan kesibukan tumpah ruah semalaman. Sunoo masih meringkuk, di antara pelukan sang ibu dan sang ayah. Aroma tubuh keduanya masih sama. Masih selalu sama. Dingin di antara rindu yang mengalun kelabu.
Sampai beberapa saat ia benar-benar tak mengingat bagaimana aroma tubuh Jay yang selalu menghancurkan isi kepalanya. Ia tak ingat bagaimana wajah Jay yang selalu membuat hatinya berdegup kencang atau bagaimana suara dan permainan gitar laki-laki itu yang selalu mengacaukan atensinya. Sunoo benar-benar kehilangan ingatan soalan Jay untuk beberapa waktu.
Rasa hangat yang kedua orang tuanya berikan, sepersekian detik benar-benar membuatnya bahagia, menyapu rasa kecewa yang membuat hampa itu porak-poranda. Sunoo menikmati malamnya bersama Eomma dan Appa.
Sunoo merasakan pusat kepalanya dikecup dengan lembut. “Appa pergi sekarang, ya, Appa harus lanjut bekerja!” bisiknya.
Pipinya juga terasa dikecup dengan mesra membuat air matanya merinai. “Eomma harus menemui seseorang Sunoo-ya,” bisiknya. “Sunoo jaga rumah, ya, Eomma Appa sayang Sunoo.”
“Suatu hari nanti kita akan berjalan di jalanan kota bertiga, tanpa perlu bersembunyi lagi. Sunoo bertahan sebentar lagi, ya? Eomma sayang Sunoo.”
“Appa juga. Appa neomu-neomu haengbokhaeyo, saranghae, Sunoo-ya.”
Sunoo juga, saranghae Eomma, saranghae Appa. Air matanya bercucuran basahi seluruh wajahnya.
*
Sunoo terbangun, mendapati semua sudut rumahnya sudah bersih tanpa sampah. Ia pikir kedua orang tuanya telah membersihkan semuanya sebab Sunoo juga harus pergi bekerja bahkan sudah terlambat lima belas menit saking nyenyaknya tidur.
Sunoo bergegas mandi singkat sebelum pergi. Sayangnya, mata rubahnya yang cokelat tertuju pada secarik kertas di cermin.
Sayang, jangan lupa makan.
Terima kasih karena telah bersabar selama ini.
Jika ada waktu Appa akan mengunjungimu di
En-Fever.
Senyumannya merekah, ia menjadi lebih semangat. Hari apa pun itu, ia akan menunggunya. Meskipun mungkin itu hanya sebuah kebohongan Sunoo akan tetap mempercayainya sebagai sebuah janji kecil yang suatu saat terlupakan.
Tiga puluh menit Sunoo habiskan untuk mempersilakan diri. Ia tiba di toko dengan keadaan toko tidak terlalu ramai seperti biasanya. Tampak Jihoon-nim tengah melayani pelanggan, sedang Eun-Chae tengah merapikan rak.
“Pagi!” sapa Sunoo. Laki-laki itu memasuki toko dengan senyuman semangat. Melihatnya demikian, Sunghoon yang berdiri di dekat rak buku musik pun menghampiri.
“Kenapa orang terlambat sepertimu masih bisa cengengesan?” todongnya. Sunghoon menyentuh sambil menyibak ujung rambut Sunoo dan membuat laki-laki itu mendesis.
“Rambutku bisa berantakan kalau kau sentuh begitu!” hardiknya menatap sewot. Sunoo lekas memakai topi bertuliskan En-Fever Boy ketika segerombolan anak remaja dengan seragam SMA memasuki toko.
“Selamat datang di En-Fever!” serunya sambil membalik badan, menyambut para pelanggan yang hadir hari ini.
“Bisakah kami melihat-lihat beberapa recorder?” tanya salah seorang anak.
“Bisa, yang seperti apa yang kalian mau?” Sunoo balas bertanya, ia berjalan menuju sudut ruangan di dekat rak kumpulan alat musik tiup.
“Yang biasa saja tapi suaranya bagus. Kami ada ujian praktik alat musik tiup, hanya dipakai satu kali sayang jika harus membeli yang mahal, kami masih harus menabung untuk membeli keperluan yang lainnya.”
“Baiklah, ayo ikuti aku, aku akan memilihkanya untuk kalian!” ucap Sunoo dengan senyuman manis.
Sunghoon berdiri di dekat Jihoon, kedua laki-laki itu berpandangan untuk beberapa saat. Sunghoon meremas jemarinya tanpa sadar membuat Jihoon terkekeh pelan.
“Hyung jemarimu mungkin bisa kusut kalau kau remas begitu!” sindirnya tersenyum nakal.
Sunghoon terkejut, ia pun memalingkan wajahnya dari Jihoon. “Aku akan memeriksa ruang perawatan, kau pastikan Sunoo bisa menangani semua pelanggannya. Jika tidak, biarkan Eun-Chae yang mengatur mesin kasir,” kata Sunghoon.
“Ne, arasseo, Hyungnim.”
Sunghoon menapaki setiap anak tangga. Kepalanya bertanya-tanya tentang Jay, sudah hampir dua bulan, iya, dua bulan sejak terakhir kalinya ia memperbaiki senar gitarnya ia tak kembali ke En-Fever. Apakah sesuatu terjadi padanya?
Sunghoon mendesis kesal. Ia tiba-tiba menghantam dahinya dengan telapak tangan. Tunggu untuk apa pula peduli. Sunoo bahkan sudah tertawa kembali. “Bodohlah, melihatnya aku bahkan cemburu! Aku merasa tak bisa sedekat itu meski kami selalu bersama!” gerutunya.
*
Seharian En-Fever penuh pelanggan bahkan sebelum tutup saja masih ada yang bertanya soal beberapa alat musik dan buku panduan bermusik juga mini album dan sebagainya.
Sunoo mengembuskan napasnya sambil menata meja kasir, Jihoon tengah duduk meregangkan otot-otot nunggunya, sedang si kakak beradik sedang berbicara di rak sambil merapikan beragam CD.
“Apa butuh bantuan?” tanya Jihoon pada Sunoo. Laki-laki itu tersenyum malu-malu.
“Tidak perlu, ini juga akan segera selesai.”
Pintu terbuka, tampak sajangnim membawa dua kantong plastik minuman juga camilan. Pria bertubuh tambun dengan marga Kang itu mendekati meja kasir.
“Istirahatlah dan makan bersama.” Ia tersenyum dengan manis. Wajah ramahnya membuat Sunghoon mengerutkan dahi.
“Jihoonie istirahatlah, esok kau akan pulang ke kampung halaman ibumu, jadi jangan buang-buang tenagamu untuk esok!”
“Ada sesuatu yang menarik sampai kau bersikap begitu baik, Pak Gembul?” Sunghoon mendesis ketus. Ia menatap pria itu dengan tatapan mendelik serius.
“Emm, piano jati di atas akan dibeli. Harganya naik tiga kali lipat.”
Semua orang membelalak tidak percaya. Sunghoon seketika mendengkus.
“Orang gila dan bego mana yang membeli piano tua seperti itu? Itu bahkan tidak pernah dilirik selama sepuluh tahun ke belakang. Sejak Paman Taeyang bekerja di sini piano itu ada dan tidak pernah disentuh.”
“Hei, itu antik!” kata pria bermarga Kang tersebut sambil mengernyit kuat-kuat. “Meski sudah tua, pernis kayunya masih sangat indah.”
“Emm, pernisnya masih sangat berkilau.” Sunoo turut menimpali.
“Nah, Sunoo-ya, Bos percayakan sisanya padamu. Besok atau lusa orangnya akan datang untuk memeriksa dan membawanya. Bos harap kau bisa sedikit memperhalus suaranya atau apalah agar tidak mengecewakan.”
“Ne, arasseo.”
“Jja, meogeora!” ajak pria itu kepada para pegawainya. “Esok, Yoona-ya akan menggantikan tugas kasir Jihoonie. Tolong bantu dia untuk hari esok saja.”
“Sajangnim, esok aku juga libur, aku ada kelas poppin dan sinkronisasi grup. Kau pasti tidak memeriksanya!”
“Tidak apa, Hoon akan bekerja dari pagi sampai malam bersama Sunoo. Mereka paling mengerti soal En-Fever,” katanya dengan santai.
“Harusnya kau naikkan lagi upahku. Jika tidak aku benar-benar akan kembali ke gelanggang. Jelas-jelas bayarannya lebih tinggi. Secara aku ini atlet nasional!” Sunghoon keki.
“Aku siap menemanimu, jangan khawatir aku akan mengerjakan tugasnya dengan baik!” ujar Sunoo membuat bahu Sunghoon sedikit kendur.
“Ya, bekerja keraslah seperti kuda. Pak Gembul di sebelahmu tidak akan peduli!” cebiknya.
“Sunoo putra tunggal Tuan Kim DongSan, jadi upah di toko tidak seberapa. Iya, 'kan? Kekayaan Tuan Kim bahkan bisa membeli dan membangun empat ataupun lima cabang En-Fever.”
Baik Sunoo, Sunghoon dan Eun-Chae juga Jihoon tersendak.
“Eyeh, bicaramu Pak Gembul, jika aku jadi Sunoo sudah kubogem dirimu!” sindir Sunghoon kesal. Sementara itu Sunoo hanya terdiam dengan senyuman kecil yang membuat pipinya memerah.
“Bos percaya Sunoo anaknya baik. Dia lembut seperti buah persik yang manis, tidak seperti kau … seperti seorang algojo. Menyeramkan!”
Sunoo tertawa dengan nikmatnya, membuat seluruh kulit wajahnya memerah. Air mata menghiasi kedua sudut kelopak matanya yang tajam lembut bagikan mata rubah. Tangannya yang canggung sesekali menghalangi bibirnya.
Sunoo selalu terlihat lebih menawan saat tertawa. Itu membuatku gila. Jay, apakah kau benar-benar ingin anak ini kembali menangis? Di mana kau bajingan, ponselmu bahkan tidak pernah berdering lagi.
“Teruslah tertawa, aku suka suara itu,” gumam Sunghoon sebelum meneguk kembali kaleng birnya.
🐧
Draft book 2 : 1 April 2023
Publikasi 22 April 2024
Masih dalam rangka menyambut dan memperingati ultah Sunjay.
INGAT INI BUKAN LAPAK B×B!
Sini kenalan sama jiun dulu.
Kalian kenal sama anak trejo satu ini nggak?
Park Jihoon, bener kaka Ji, Appa Jihoon, leader trejo juga barengan ucup.
*Kalau kalian dulu ikut nonton YGTB pasti nggak asing kenapa Jihoon dan Ucup jadi leader ehehe.
Oke, kenapa Jihoon-nim aku pakai kaka ji, soalnya dia tuh lucu aja gitu. Btw, Jiun seumuran authornya wkwkwkw.
Terus kalau kalian nonton Tmap eps teriak dalam hening beh dia heboh banget aku suka idol yang anti kalem kalem klub. Sama tmaps episode kedai tteokbokki yang Jiun anter pesanan terus doi nari di depan yang belinya sumpah ih lucu parah. Sama eps YGTB (YG treasure box / antara Treasure dan Magnum, pas tim Jihoon bawain lagu Wanna One Boomerang sumpah itu pecah banget barangan ucup)
Dah, segitu aja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top