23. Akhirnya Aku Menemukan Warna yang Hilang
Hampir satu tahun ini, aku dihadapi banyak masalah. Salah satunya Tanteku yang keras kepala. Padahal aku sudah menolaknya secara terang-terangan untuk tidak ikut dengannya ke Bandung, tetapi wanita itu masih saja datang dan berbicara tidak karuan hingga terjadi pertengkaran hebat dengan Kakak sampai Mama harus melerai. Lantaran Tante yang 'kalah jumlah', memutuskan untuk pergi sebelum menghina Mama. Begitu seterusnya sampai rasanya kesal dan bosan secara bersamaan.
Masalah lainnya: perundungan. Aku yang---bisa dibilang---semi-senior (jika memang ada istilah seperti itu) dari korban bullying, menghadapi banyak masalah selama sekolah. Beruntungnya, para perisak itu tidak terlalu parah merundungku. Maksudku, dihina, diganggu, tidak membuatku sampai gila dan memiliki keinginan bunuh diri. Aku masih waras, belajar dengan baik dan mendapat nilai terbaik. Para perundung juga takut terkena hukuman yang berat. Makanya mereka tidak melakukan hal yang sampai membuatku terluka secara fisik.
Beruntungnya, salah satu masalahku yang ini terselesaikan, bahkan sebelum aku lulus sekolah. Janti yang dulu sangat membenciku lantaran aku yang menyebabkannya putus dengan pacarnya, sudah menjadi temanku. Disusul oleh Maliqa. Cewek yang sangat membenciku itu akhirnya memberanikan diri untuk meminta maaf secara langsung, berkali-kali---mungkin sekitar dua puluh kali. Azul belum puas akan itu. Dia menyuruhku untuk menunggunya sampai keseratus kali, tetapi aku tidak enak hati melihat wajah sedih Maliqa.
Satu masalah lagi yang sampai membuatku memiliki kantung mata selama hampir dua minggu: Alif.
Beberapa hari setelah mengetahui bahwa Alif pindah ke ruang perawatan, aku semakin dilanda ketakutan lantaran masih belum mendapati kelap-kelip di sekitar kepalanya. Dia juga tidak bergerak, tetapi dokter meyakini bahwa Alif akan segera bangun. Namun, apa yang kulihat selalu membuatku takut. Berkali-kali aku berusaha untuk berpikir positif, tidak mengaitkan warna abu-abu yang kulihat tempo lalu dengan kondisinya saat ini.
Aku gagal.
Dua minggu belum mendapat kabar baik tentang Alif telah membuatku tidak bisa tidur dan belajar dengan benar. Saat kami berusaha mengunjunginya, hal mengejutkan telah membuat kami sangat marah. Azul hampir membuat keributan di rumah sakit jika aku tidak berusaha menenangkannya. Ini sudah sangat keterlaluan! Dalam waktu yang cukup lama kami menunggu kabar Alif sampai dihantui rasa takut, tahu-tahu kami mendapat kabar bahwa Alif sudah tidak ada lagi di rumah sakit itu. Lantas, ke mana? Dia sudah keluar? Bahkan saat kami mengunjungi rumahnya, tak ada seorang pun di sana.
Azul tidak bisa menahan emosinya, lebih-lebih lagi tak ada jawaban saat ia menghubungi papanya Alif, berkali-kali. Dia berteriak di depan rumah Alif sampai tetangga terheran-heran melihatnya.
Hingga entah ke berapa kalinya Azul mencoba dan menjadi orang menyedihkan yang duduk di depan gerbang rumah Alif, akhirnya papanya Alif berbicara dan memberi tahu kami bahwa, "Alif harus pindah ke rumah sakit di ibukota. Dia baik-baik saja, kok."
Seharusnya aku tenang karena itu, tetapi rasa takut terus memeluk diriku di setiap harinya.
"Kamu melamun lagi."
Aku sedikit tersentak akan kedatangan Yeni. Peluh di dahinya menandakan bahwa dia telah berusaha berlari demi mendarat dalam jarak lebih dari satu meter. Hari ini, Pak John telah mengeluarkan keluhan dari para cewek dengan praktik lompat jauh di tengah lapangan saat matahari bersinar terik. Padahal terdapat genangan air yang menyebar di tengah lapangan akibat hujan deras semalam, tetapi Pak John bersikeras menyuruh para cowok meletakkan matras di tengahnya. Kepuasan Pak John ialah menyiksa para muridnya di cuaca panas.
"Sekolah ini katanya banyak penghuninya." Yeni memberi tahu.
Lantas aku berceletuk, "Kalau nggak ada, sekolah ini bakalan ditutup."
"Bukan itu."
Aku mengikuti arah yang ditunjuk Yeni. Di sudut lapangan, di bawah tanaman melati (aku yakin cowok itu yang meletakkan pot besar itu di sana), Azul duduk termenung, tidak bergerak. Dia bahkan lebih parah dariku.
"Sana. Aku takut dia jadi gila. Eh, tapi kamu jangan ikut melamun, ya." Yeni menarikku berdiri, mendorong sampai hampir terjatuh.
Saat aku menepuk bahunya keras dan duduk di sampingnya, Azul tersentak, tampak bingung. Dia mengerjap beberapa kali, terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berucap, "Oh .... Aku melakukannya lagi."
Aku tidak bisa menyalahkannya karena memang aku juga sering begitu.
"Aku mengkhawatirkan banyak hal." Azul meluruskan kakinya, menyingkirkan daun kering di bahunya. Dia tidak sendiri, aku juga mengkhawatirkan banyak hal sampai rasanya ingin berteriak di tengah jalan raya. "Alif selalu tidak masuk sekolah. Bisa saja dia tinggal kelas."
Sekarang, kekhawatiranku bertambah setelah mendengarnya.
"Apa? Jangan menatapku seperti itu." Azul berkelit, kemudian menekuri bulu di kakinya.
Aku mencoba berpikir positif untuk ke sekian kalinya. Dari awal semester, Alif memang jarang masuk sekolah. Guru-guru tidak ada yang menanyakan keberadaannya karena memang mereka sudah tahu alasannya. Sekarang, semester genap sudah berjalan selama satu bulan lebih. Kendati alasannya sudah jelas, kehadiran dan nilai yang kosong tidak memiliki bukti kuat untuk menulis kata NAIK KE KELAS 11 di rapor.
Namun, aku berhasil menenangkan diri sendiri dengan menjawab, "Alif, kan, pintar. Buktinya di semester pertama dia berhasil mendapat peringkat tujuh."
Azul hanya menanggapiku dengan gumaman, jelas menunjukkan bahwa dia memiliki alasan kuat pasal ketidaknaikan Alif ke kelas sebelas.
Malamnya aku benar-benar kepikiran. Entah kapan Alif bisa kembali sekolah, sudah pasti dia akan tinggal kelas. Jika memang begitu, bagaimana kami bisa---
Tidak! Aku yakin sekali Alif bisa kembali sekolah, secepatnya. Siapa tahu besok dia nongol sambil menagih janjiku.
Berkali-kali aku mengucapkan kalimat ajaib itu di setiap malam, tetapi wajah menyebalkan Alif tak kunjung menampakkan dirinya di hadapanku. Kursi di sebelahku sudah disewa Azul, dan aku sering kali mendapatinya tidur, lalu terbangun karena sesuatu mengusik mimpinya.
Pesan grup di setiap malam menjadi sepi selama ini, tetapi aku bersyukur Azul mau meluangkan waktunya untuk mengobrol denganku lewat pesan teks. Teman-teman sekelasku mengira, aku berpacaran dengannya. Aku tak memedulikan akan hal itu. Aku terlalu lelah hanya sekadar memarahi mereka. Yah ... beruntungnya Janti tidak termakan gosip rendahan seperti itu sehingga dia tidak membenciku lagi.
"Kana! Mau aku tinggal?!"
Buru-buru aku memakai sepatu. Aku melamun lagi. Sepertinya aku memang harus pergi ke psikiater seperti yang Kakak bilang. Dia tidak mau mempunyai adik yang gila, dan aku tidak mau punya Kakak yang cerewet.
"Kana!"
"Iya!"
Setidaknya, Kakak masih memiliki hati untuk tidak membiarkan adiknya pergi ke luar kota dengan Tante yang super menjengkelkan. Akhir-akhir ini dia juga perhatian, membawaku ke mal untuk menonton film kendati ucapannya selalu membuatku kesal.
"Nah! Pas sekali, pacarmu turun dari angkot." Kakak memberi tahuku tepat saat aku turun dari motornya, di depan gerbang sekolah. Namun, sebelum aku bisa membalas perkataannya, dia sudah lebih dulu menjalankan sepeda motornya pergi.
Saat aku berbalik, tahu-tahu Azul sudah berdiri di hadapanku. Belum sempat aku menyapa atau bahkan membaca perasaannya, Azul langsung menarik lenganku, berlari terburu-buru menuju kelas. Aku bersyukur kelasku ada di lantai satu, sehingga kakiku tidak perlu menendang kaki Azul.
Pertanyaanku diabaikan. Mungkin dia mau menyalin PR-ku. Namun, aku dibuat terheran-heran saat kelas menjadi ramai. Teman-teman sekelasku yang sudah datang, berkumpul menjadi satu. Mereka heboh, tetapi aku tidak tahu apa yang membuat mereka seperti itu.
Azul mendorong Janti sampai cewek itu menabrak punggung Yusril. Aku tidak sempat meminta maaf lantaran Azul terlalu keras menarikku sampai pergelangan tanganku sakit.
Aku ingin protes dan memukulnya dengan sapu yang dipegang Yuda. Namun, sesuatu telah menahanku untuk tidak bertindak demikian.
"Kita jadi kencan, 'kan?"
Suara familier itu telah membuatku menabrak punggung Azul. Hidungku sakit, dan yang bisa kulakukan hanya terdiam bersama debar hebat di jantungku. Tidak salah lagi. Aku sedang tidak berhalusinasi atau apapun itu sejenisnya. Aku masih waras.
"Eh, pacaran saja gimana?"
Bahkan suara siulan dan godaan yang menjengkelkan di sekitar tidak membuatku kesal dan membubarkan kerumunan. Aku masih terdiam, sampai sesuatu yang hangat menuruni pipiku, dan aku mulai tersadar.
Alif sudah kembali ... bahkan kelap-kelip di sekitar kepalanya telah membuatku tanpa sadar berlari ke arahnya, kemudian memeluknya.
Masa bodoh dengan netizen yang menonton sembari bersiul seperti kera, aku sedang merasa senang karena sahabat baikku sudah kembali.[]
1276 Words (~‾▿‾)~✨
Akhirnya ...! //Guling-guling//
Btw, makasih banyak yg udah baca cerita ini sampe tamat ❤️ walau sebiji, dua biji, aku tetep seneng.✨✨🫂❤️❤️❤️✨✨
Ohiya. Cerita ini punya kelanjutannya.
Kelas 11, POV Alif, judulnya Rufescent 🌼
Yok, silakan yg mau baca kehidupan mereka melalui pandangan Alif di kelas 11 ✨❣️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top