19. Aku Berhasil Berbicara dengan Musuhku


Esoknya aku tidak bisa bertanding di babak final, padahal bulu tangkis menjadi harapan kami satu-satunya―setelah kami mengalami kekalahan di hampir semua pertandingan. Perban dan rasa perih di tanganku masih ada, dan aku tidak bisa memaksakan diri untuk membuatnya lebih buruk lagi. Karena hal ini, Maliqa senang sekali saat aku hanya bisa menonton dengan tampilan orang sakit.

Alif tidak menonton lewat ponsel Azul karena aku tidak bermain, juga karena dia harus banyak-banyak istirahat sebelum aku dan Azul mengunjunginya.

"Semuanya salah Maliqa." Yeni masih kesal setelah kejadian kemarin. "Aku nggak yakin bulu tangkis bisa masuk ke babak final."

"Siapa tahu?" Aku berucap. Menggigit bibir lantaran aku sendiri meragukannya. Yah ... walaupun aku tetap bermain, tidak pasti juga kelas kami bakalan dapat juara.

Yeni menghela napas panjang, meluruskan kakinya seolah-olah dia sungguh tidak memiliki harapan. "Kana, kamu itu terlalu baik."

"Jangan mendramatisasi."

"Serius. Dulu aku pernah berpikir, bisa-bisanya ada orang seperti kamu. Selain warna mata yang berbeda, kamu diam saja saat orang-orang membicarakanmu. Maaf, waktu itu aku berbicara buruk tentangmu."−Aku menggeleng−"Dan sekarang, kamu masih bisa diam saat Maliqa melakukan hal buruk."

Perasaan kesal sebenarnya ada. Namun, aku selalu memikirkan perkataan mama, bahwa amarah tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Aku bahkan pernah marah pada Azul. Alih-alih Azul mendengarkan, aku justru dihindarinya selama berhari-hari. Jika aku melakukan hal itu pada Maliqa, aku yakin sekali akibatnya semakin buruk.

"Awas!" Selagi memikirkan itu semua, tahu-tahu Azul berdiri di samping Yeni, sampai cewek itu mendelik tidak suka.

"Di sebelah Kana, kan, ada tempat." Yeni bersungut-sungut.

"Aku nggak suka diganggu." Azul mencari-cari alasan untuk tidak mengeluarkan kata, 'karena aku nggak suka kamu'.

Namun, perkataan Yeni selanjutnya membuatku bergidik. "Kalian pacaran? Kalau mau pacaran jangan di sini, dong." Ingin sekali aku mencolok mata Yeni yang terus berkedip-kedip.

"Kami nggak pacaran," sanggahku, tetapi Yeni tidak mendengarkan. Cewek itu sudah lebih dulu pergi ke tempat spanduk demonstran berdiri.

Saat itu juga aku memelotot pada Azul yang sudah duduk di sebelahku.

"Apa?" Azul berpura-pura tidak tahu, menonton Winda dan Janti yang berusaha keras untuk fokus pada permainan.

Padahal dia tahu Yeni tidak melakukan apa-apa terhadapku, tetapi rasa tidak suka Azul terhadap cewek itu telah membuatku kesal.

"Kana, kalau kamu suka aku, bilang, dong." Azul berubah menjadi seperti Alif, dan aku hanya menanggapinya dengan dengkusan.

"Kamu masih nggak suka sama mereka," ungkapku. "Para cewek itu."

Suasana di antara kami lengang. Aku kira Azul tidak mendengarku lantaran keadaan lapangan sudah heboh, tetapi saat aku menoleh ke arahnya, dia terus menatapku tanpa berkedip.

"Begitulah. Para cewek nggak bisa dipercaya." Azul menatap lurus ke lapangan, tidak sempat melihatku mengernyit, tetapi dia segera menambahkan seolah-olah aku akan sakit hati setelah mendengar kalimatnya. "Kecuali kamu."

"Zul." Sesuatu melintas dalam kepalaku. "Kamu pernah disakiti cewek?"

Azul mendelik. "Aku belum pernah pacaran." Azul berkata keras sampai beberapa teman sekelasku menoleh ke arahnya, lalu ke arahku seolah-olah aku telah mengatakan sesuatu yang mengejutkan pada Azul. Nembak, misalnya.

"Naksir cewek, barangkali. Tapi nggak terbalas." Aku menambahkan, kembali menonton pertandingan.

"Bukan begitu." Ada sedikit nada kesal darinya. Azul melanjutkan, "Aku cuma ... teringat perbuatan mereka dulu ke kamu. Kalau Janti nggak mengaku, apa mereka akan bersikap seperti sekarang?"

Aku terdiam, mengamati Winda memukul kok yang mengarah padanya. Aku belum pernah memikirkannya. Jika Janti tidak mengungkapkan isi hatinya serta tidak menyeretku dari perisakan di toilet, apa yang akan terjadi? Mungkin rambutku bisa sependek Alif, atau bahkan hampir gundul seperti Yuda; juga ... mungkin aku akan terus duduk di kursi penonton tanpa ikut pertandingan, tidak punya teman selain Alif dan Azul; bahkan lebih buruknya lagi ... mungkin saja aku terus mendapat perundungan, bukan hanya dari Maliqa saja.

"Itu artinya ... Janti berperan besar." Kutatap Azul. Dia tampak keberatan dengan ucapanku, tetapi dia tidak bisa membantah. "Seharusnya kamu nggak bersikap seperti itu padanya."

Azul benar-benar tampak keberatan kali ini. "Dia mengaku seperti itu karena aku." Sesaat setelah mengatakannya, Azul terdiam, tampak terkejut akan perkataannya sendiri, jelas menunjukkan bahwa dia tidak seharusnya mengeluarkan kalimat itu di hadapanku. "Maksudku―"

"Kamu memaksa Janti mengakui kesalahannya?" Aku terlalu terkejut untuk mengatakannya, hendak melanjutkan, tetapi Azul menyela lebih dulu.

"Bukan memaksa, tapi ... menyuruhnya untuk merenung."

Aku tidak mendengarkan. "Sejak kapan kamu memaksanya? Berapa kali?" Aku mendesak sampai Azul gelagapan.

"Se−sebelum Alif masuk sekolah―eh, beberapa hari setelah aku duduk dengan Farrel." Azul masih tergeragap, tetapi aku tak membiarkannya berhenti. "Sekali, kok. Bukan. Dua. Eh, beberapa kali."

Aku menghela napas. Janti jelas akan terganggu jika Azul terus menerus mengancamnya. Akan tetapi ... saat mendengar dan melihat Janti berbicara di depan bu Riska waktu itu, aku sama sekali tidak mendapati kebohongan darinya. Janti tulus melakukannya. Bahkan lewat dua bulan ini, aku tidak melihat warna ungu darinya, atau ketakutan saat bertatapan denganku seperti sebelumnya.

"Yah, terserah kamu, deh. Aku tetap nggak percaya dengan mereka."

Aku tahu maksud Azul. Aku tak perlu khawatir akan hal itu karena aku bisa tahu siapa saja yang masih menaruh kebencian terhadapku. Sejauh ini, aku tak melihatnya pada orang-orang yang belakangan ini dekat denganku, terutama Yeni dan Janti.

"Pulang dari sini, mau menjenguk Alif?" Azul bertanya setelah beberapa menit lengang.

Di sekitarku menjadi berisik karena tim Janti kembali mencetak angka biarpun selisihnya jauh dari lawan. Aku menjawab setelah suasananya mereda. "Ya. Kemarin, kan, nggak datang."

Setelah pertandingan selesai, Yusril marah-marah lantaran kelas kami gagal mengantongi juara, aku memutuskan untuk meninggalkan kerumunan yang sedang dilanda awan kelabu, pergi ke kelas untuk mengambil tas.

Ternyata, kelas tidak dikunci. Saat aku memasukinya, aku kira tak ada orang, tetapi kaki yang tampak dari kursi belakang telah membuatku bernapas lega. Aku tidak perlu khawatir terjadi pencurian di dalam kelas.

Hanya saja, si pemilik kaki tertidur. Bisa saja ada pencuri masuk tanpa sepengetahuannya. Lantas, aku menghampirinya, berniat menegur. Namun, aku urungkan karena dia ternyata Maliqa. Dia tidak benar-benar tidur, dan aku yakin sekali mendengar ringisan darinya.

"Apa?" Suaranya terdengar seperti menahan rasa sakit. "Dikunci juga tidak ap―apa yang kamu lakukan di sini?" Maliqa baru menyadariku. Dia hendak duduk untuk memarahiku, tetapi keram perutnya tidak bisa membuatnya melakukan hal tersebut. Dia kembali berbaring menyamping sembari mendesis.

Bisa saja aku pergi meninggalkannya, tetapi yang kulakukan justru duduk di kursi depan Maliqa.

"Teman-temanmu mana?" Aku bertanya selagi mencari-cari sesuatu dalam tas. Rasanya aku tidak pernah meninggalkan benda penting itu di rumah, dan padahal tasnya tidak sepenuh biasanya, tetapi kenapa benda yang kucari susah didapat?

"Bukan urusanmu," ketus Maliqa, kemudian kembali meringis pelan. Bisa-bisanya dia bertahan dalam kondisi seperti itu tanpa pereda rasa sakit. Setidaknya, pergi ke UKS lebih baik daripada berbaring di kelas.

"Ini." Aku memberikan minyak angin padanya, hanya saja Maliqa tidak langsung menerimanya dan justru mendesis tidak suka.

"Nggak perlu. Sana pergi!" Maliqa menepis tanganku cukup keras. Kendati sedang kesakitan, tenaga Maliqa cukup untuk membuat tanganku yang terluka menjadi perih.

Aku kesal, ingin meninggalkannya, tetapi sesuatu menahan diriku untuk tetap bertahan. "Kamu sebenci itu padaku?"

Terdengar desisan keras. Maliqa lebih kesal dariku. "Mau merengek minta dimaafkan?"

Aku bisa menahan diri, kembali memberikan botol minyak angin padanya secara paksa. "Kamu membenciku karena Alif, 'kan?" tanyaku pada akhirnya. Tidak ditanya pun, aku tahu alasannya. Selain karena Alif, Maliqa memang sudah membenciku di awal pertemuan. Dia berpendapat bahwa orang aneh sepertiku tidak harusnya satu sekolah dengannya.

Maliqa menerima botol minyak angin dengan terpaksa. Rasa sakit di perutnya tidak bisa membuatnya bertahan lebih lama lagi dalam rasa gengsi. "Pergi sana!" Dia kembali mengusirku setelah perutnya merasakan hangat.

Namun, aku tidak akan pergi sebelum memberitahu sesuatu padanya. Sudah lama sekali aku ingin mengatakannya, tetapi terhalang karena ketidakberanianku. "Asal kamu tahu saja, karena sifatmu itulah Alif membencimu."

✨✨✨✨✨

Alif terlihat senang saat kami mengunjunginya selepas sekolah. Dia duduk di atas brankar sembari mencamil potongan apel yang telah dikupas.

"Aku kira kalian nggak datang." Alif duduk di atas ranjang, memperhatikan kedua tanganku yang masih diperban.

Aku yang menyadari hal itu, berpura-pura mengambil sesuatu di dalam tas.

"Biar kulihat." Alif menjulurkan tangannya, membuatku bingung padahal aku hanya berpura-pura saja. Tasku kosong, hanya ada satu buku latihan Biologi. Namun, Alif melanjutkan, "Tanganmu."

Nada suaranya jelas menunjukkan bahwa dia bersungguh-sungguh. Jadi, aku menunjukkan kedua tanganku yang diperban. Alif menyentuhnya dengan hati-hati, seolah-olah jika memberi penekanan sedikit saja, aku bisa melolong kesakitan.

"Apa sakit?" Alif bertanya sementara aku mengalihkan pandangan pada Azul yang memakan apel jatah Alif.

"Nggak." Aku tidak sepenuhnya berbohong. Sekarang, tanganku baik-baik saja, tetapi saat perbannya dibuka dan mencuci tangan, rasa perihnya terasa menyakitkan.

Alif masih mengamati tanganku selama satu menit penuh, lantas kusadari niat culasnya. Aku menarik tanganku cepat sampai Alif terkejut.

Cowok itu tersenyum menampakkan giginya dan berceletuk, "Tanganmu lembut."

Bibirku berkedut. "Tanganku, kan, diperban."

"Biarpun begitu, aku masih bisa merasakan kelembutannya."

Aku harus berusaha keras menahan diri untuk tidak meraih apel dan melemparnya ke wajah menyebalkan Alif, mengalihkan pandangan pada Azul yang sekarang mengambil apel utuh.

"Berhenti bersikap menjijikkan seperti itu. Kapan kamu keluar rumah sakit?" tanya Azul.

Pertanyaan yang selalu berputar dalam kepalaku beserta harapan besar setiap kali memikirkannya.

"Sebentar lagi." Alif menjawab.

"Sebentar itu kapan?"

"Yah .... Pokoknya sebentar." Alif sepertinya tahu apa yang tengah aku pikirkan, dia meluruskan kakinya sampai sesuatu yang janggal membuatku tertegun. Alif yang menyadari kesalahannya, lantas langsung menutupi kakinya yang membengkak.

"Efek obat," katanya.

Bagaimana aku bisa percaya itu? Kakinya tiba-tiba saja membengkak padahal ini baru tiga hari .... Apa dia ...? Aku lantas menggigit bibir kuat. Alif tidak berbohong. Kakinya seperti itu akibat dari efek samping obat yang dikonsumsinya.

"Kamu ... sakit apa, sih?" Aku bertanya ragu-ragu, dan seketika itu suasana menjadi hening.

Tiga hari bukanlah waktu yang singkat bagiku, lebih-lebih lagi bayangan akan kepanikan bu Yanti di lapangan waktu itu telah membuat benakku diliputi rasa khawatir. Mama bilang, Alif mungkin mengalami kelelahan, atau depresi sampai harus ke rumah sakit. Inginnya aku percaya, tetapi benakku tidak bisa menerimanya.

Saat kami masih menunggu Alif menjawab, aku tidak melihat warna apapun selain kelap-kelip di sekitar kepalanya. Dia tampak bingung harus menjawab dari mana, atau ... dia bingung bagaimana cara menyembunyikannya.

"Cuma nyeri dada. Entahlah. Tapi jangan khawatir. Dokter bilang, kalau aku selalu minum obat, aku bisa cepat pulang."

Alif tidak berbohong, tetapi entah kenapa aku meragukannya.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top