"Kana! Aku khawatir karena Janti menyeretmu, dan rambutmu―rambutmu?"
Kusentuh rambutku yang sekarang menjadi pendek, bahkan tidak sampai menyentuh bahu. Aku memutuskan untuk memotongnya karena permen karet itu susah untuk dihilangkan. Bu Riska bilang, jika permennya tidak menyebar, itu bisa dihilangkan dengan minyak. Maliqa memang sengaja melakukannya.
Seraya tersenyum, aku berkata, "Ini keren. Iya, 'kan?"
Alif dan Azul masih terpaku akan perubahanku. Kekhawatiran terlihat jelas dari wajah mereka, dan warna biru itu semakin membuatku teringat akan rambut panjangku.
"Sudahlah. Aku, kan, belum makan siang." Aku menyeret mereka berdua, meninggalkan pintu ruang BK dan berusaha mengalihkan perhatian dengan waktu istirahat yang tinggal sepuluh menit.
Janti masih berada di dalam ruang BK bersama Bu Riska. Dia mengakui semuanya, bahkan kejahatannya di waktu SMP. Aku tidak menyangka dia akan melakukannya. Cewek yang menyebarkan gosip bahwa aku bisa membaca pikiran, menyerahkan diri begitu saja, bahkan meminta maaf dengan mata basah. Masalah Maliqa dan kawanannya, Bu Riska akan mengurusnya bersama Bu Yanti.
"Kenapa bisa seperti ini? Kana? Aku memaksa!" Alif berkata tegas saat kami menduduki bangku panjang di kantin. Azul hanya terdiam, menatapku dengan wajah sedihnya. Seharusnya aku yang sedih, tetapi kenapa dia juga?
"Itu ...." Ini bukan termasuk mengadu, 'kan? Mereka berdua temanku. Aku khawatir saat menceritakan semuanya, emosi Alif bisa membeludak. Ini di kantin. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian karena seorang cowok marah-marah. "Maliqa menempelkan permen karet―"
"Si cewek itu?!" Alif hampir menggebrak meja jika Azul tidak menahannya.
"Jangan berlebihan! Ini di kantin." Azul bahkan lebih masuk akal daripada Alif.
"Terus, di dalam BK, apa itu mereka?"
Aku menggeleng. Namun, yang pasti Maliqa dan kawanannya akan mendapat hukuman serta bentakan dari Bu Riska. Secepatnya.
Lantaran Alif masih marah, aku menceritakan semuanya dari awal. Detail, sampai pengakuan Janti.
"Syukurlah ...." Azul mengembuskan napas panjang seraya menyugar rambutnya sampai klimis.
Sama halnya dengan Alif dan Azul, teman-teman sekelasku―terutama cowok―begitu terkejut mendapati rambutku hanya seukuran penggaris patah milik Yusril dalam waktu tidak sampai satu jam. Farrel yang duduk di belakangku bertanya, "Kamu potong di sekolah? Atau kamu pergi ke salon?" Kemudian aku akan menjawab, "Tadi ada razia rambut. Sekalian saja aku minta tolong Pak Yani." Mendengar itu, Farrel langsung ketakutan, merapikan rambutnya agar poninya tidak menyentuh mata.
Namun, sepertinya Maliqa dan kawanannya belum juga mendapat panggilan dari BK. Mereka memasuki kelas dengan senyum lebar saat mengetahui rambutku. Alif marah kala melihat mereka, untuk itu aku menahannya agar tidak berlari dan mengacak-acak wajah para cewek yang sekarang ketakutan, aku bahkan bisa mendengar cibiran mereka. "Dasar pengadu!"
Beberapa menit kemudian Janti memasuki kelas. Dia menunduk dalam-dalam, dan entah kenapa aku merasa kasihan padanya. Dia masih menyendiri. Teman sebangkunya yang bertanya pun tak ia hiraukan. Melihat itu, Maliqa mendorong salah satu temannya untuk berbicara dengan Janti.
"Janti? Kamu nggak apa-apa?" Pertanyaan itu bahkan tidak dijawab sama sekali, menoleh pun tidak.
Siska―cewek suruhan Maliqa―menoleh bingung pada segerombolannya di pojok kelas. Aku tidak bisa mendengar bisik-bisik mereka, tetapi aku tahu Maliqa menyuruh Siska berusaha.
"Akhir-akhir ini kamu pendiam. Apa kami telah berbuat salah?"
Masih tidak ada jawaban. Janti justru sibuk dengan buku pelajaran.
"Ini menarik." Aku terkejut. Ternyata Alif dan Azul ikut memperhatikan apa yang terjadi di ujung sana.
"Aku taruhan. Kalau Siska cerewet, pasti Janti meledak," tebak Azul, diam-diam aku setuju padanya.
"Ya .... Kalau itu terjadi, Maliqa ikut, dan kelas jadi heboh." Farrel menimpali. Ternyata dia juga memperhatikan.
Seolah jarum telah menusuk lengannya, Azul mendesis, "Benar juga." Sesaat kemudian karakter Ketua Kelasnya muncul, dia berdiri memastikan ke luar jendela. Karena kelas sepuluh berada di lantai satu bersamaan dengan kantor guru, memudahkan kami mengawasi ke luar jendela tanpa perlu menempelkan hidung pada kaca. "Tapi ini menarik."
Bersamaan dengan berakhirnya perkataan Azul, tahu-tahu pertengkaran sudah meledak di ujung sana. Maliqa dan kawanannya sudah bergabung dengan wajah memerah. Lantas aku terkejut saat Janti menyebut namaku dengan lantang.
"Apa untungnya, sih?! Dia juga nggak bersalah!" Janti berhasil membuat Maliqa marah, padahal mereka berteman dekat sejak masa orientasi.
"Padahal kamu sendiri yang melakukannya. Apa dia juga memengaruhimu seperti yang dilakukannya pada cowok?!" Maliqa menggeram, sementara para kawanannya terdiam memperhatikan, tidak tahu harus melakukan apa.
Janti terdiam sesaat, melirik ke arahku sekilas. Aku bisa melihat warna biru bersama tatapan penyesalan darinya. Dia benar-benar menyesal, bukan sekadar hal impulsif yang mendorongnya untuk menyerahkan diri pada bu Riska. Janti telah memikirkannya sungguh-sungguh selama dua minggu―kalau aku tidak salah menghitung.
"Aku memang yang menyebarkan gosip, kalau dia memang bisa membaca pikiran. Apa itu ada urusannya dengan kalian? Aku melakukannya karena dia sempat membuatku kesal sewaktu SMP."
Jika dipikir-pikir, aku memang telah berbuat salah pada Janti. Namun, semua itu bukan sepenuhnya salahku. Aku hanya asal berceletuk lantara Janti berbohong pada pacarnya. Sejak saat itu Janti memulai perang denganku.
"Tapi sekarang ... aku sadar. Aku yang salah. Kananta sama sekali tidak melakukan hal buruk padaku. Apa dia juga pernah melakukannya pada kalian?"
Aku terdiam. Semua orang di kelas menjadi memperhatikan pertengkaran dua―apa aku harus menyebutnya―mantan sahabat itu. Kenapa Pak Amar belum datang? Azul juga tidak mempermasalahkan pertengkaran meledak di kelas yang dipimpinnya.
"Dia ... membuatku kesal―"
"Alasan macam apa itu?!"
Kepalaku langsung tertuju pada Alif yang terkekeh, tiba-tiba masuk dalam pertengkaran. Aku bisa melihat punggungnya yang bergetar, dan warna merahnya menyala-nyala. Seketika aku merasa khawatir kalau-kalau dia berteriak atau melakukan hal yang menurutku gila.
"Membuat seseorang menderita hanya karena kau kesal?"
"A-Alif ...." Aku menyentuh punggungnya karena warna merah di kepalanya semakin membara. Seluruh kepala menjadi tertuju padanya. Kelas ini seperti panggung teater yang menyajikan aksi drama yang luar biasa seru untuk ditonton. Nenek suka sekali adegan seperti ini.
"Karena―Memangnya kamu tahu apa?!" Maliqa berseru. Dia hampir menangis mendapati orang yang disukainya kembali membentak. Saat ia memelotot ke arahku, saat itu juga aku melihat warna merah yang sama dengan Alif.
Aku hanya terdiam, tidak tahu harus membalas apa. Mereka ribut di kelas saat jam pelajaran karena aku. Apa yang harus kulakukan? Menengahi? Bagaimana caranya? Bilang bahwa aku tidak apa-apa? Bohong, namanya. Aku marah setiap kali mereka melakukan perundungan padaku. Aku ingin marah, tetapi aku tidak bisa―
"Cowok sepertimu tidak tahu masalah kami. Tiba-tiba datang dan sok akrab dengannya. Kalau saja kamu tahu dari awal dia bisa membaca pikiran, apa kamu tetap akan bersamanya?!" Maliqa menggeram, berhasil untuk tidak menangis. Warna merahnya masih menyala-nyala.
Tanganku yang berada di pundak Alif, menekan cowok itu untuk duduk. "Itu alasan kalian menjauhinya? Apa salahnya kalau dia bisa melakukannya? Kau mau menyalahkan siapa? Dia, atau Tuhan? Sudah SMA, tapi tidak punya otak."
Alif hendak berdiri lagi, tetapi aku kembali menahannya. Mama bilang, emosi seseorang akan meningkat jika orang itu berdiri. "Apa Kana pernah melakukan kesalahan pada kalian? Justru sebaliknya. Kalian masih saja tersenyum setelah membuat seseorang menderita. Setelah apa yang―"
Alif menghentikan kalimatnya lantaran bu Yanti sudah berdiri di ambang pintu, membuang napas panjang kala mendapati muridnya bermain peran. Aku bukannya bingung dengan kedatangan tiba-tiba bu Yanti, tetapi karena murid-murid di kelas terdiam tidak sibuk berbenah, bahkan yang duduk di atas meja tidak kunjung beralih ke kursi. Aku juga melihat Maliqa masih berdiri marah.
"Maliqa, dan semua perempuan kecuali Janti dan Kana, pergi ke depan ruang guru sekarang. Jangan banyak tanya. Jangan menyalahkan orang. Berhenti menggerutu. Cepat pergi atau Ibu seret?!"
Aku tidak tahu bu Yanti bisa semarah itu. Beliau memang selalu bertanya padaku lewat pesan pribadi, mastikan apakah aku baik-baik di sekolah. Beliau tahu aku dirisak. Janti pernah kena omel bu Yanti, tetapi hanya itu. Aku tidak tahu dengan Maliqa dan yang lainnya.
"Jadi, Maliqa yang membuat rambut Kana dipotong?" Aku bisa mendengar Farrel berbisik pada Azul setelah para cewek keluar kelas sembari memelototiku. "Tapi, kenapa Janti nggak ikut?"
"Berisik!" Azul mendesis, membuat Farrel berdecak.
Janti di ujung sana, sendirian. Belakangan ini dia rajin membaca buku. Setelah apa yang telah dilakukannya, menggerakkanku untuk mendekatinya dan berbicara. Aku meloncat melewati kursi Alif, mengabaikan tatapan para cowok, lalu menduduki kursi kosong di sebelah Janti.
Aku berhasil mengalihkan perhatiannya dari buku Matematika Wajib. Bukan lagi kalimat yang membuatku kesal yang keluar dari mulut Janti, tetapi senyum kecil dan sapaan "hai" berhasil menggantikannya. Kemudian, aku kembali mendengar kata "maaf" sampai aku merasa tidak enak.
"Ka−kamu sudah mengatakannya berkali-kali." Aku berkata dengan gugup, tidak terbiasa dengan raut wajah penyesalan dan warna biru itu.
Janti memang sudah tidak meminta maaf lagi, tetapi justru suasana lengang ini menjadi terasa membebaniku. Aku tidak terbiasa memulai percakapan, tidak bisa bersosialisasi, bahkan hanya sekadar mengucapkan terima kasih pada seseorang pun terkadang susah kulakukan.
"Apa tidak apa kamu di sini?"
Eh? Sesaat aku mengira Janti keberatan dengan keberadaanku yang mengganggunya, hingga sesaat kemudian aku menyadarinya.
"Alif terus melotot ke sini." Janti memberi tahu. Saat menoleh ke barisan para cowok, aku bisa melihat Alif memperhatikan kami berdua. Warna merahnya masih ada, kemudian bercampur dengan warna kuning saat aku menoleh padanya.
Tanpa menghiraukan Alif, aku kembali pada Janti. Jangan sampai tujuan awalku tak tersampaikan hanya karena sifat anti sosialku.
"Aku mau bilang ... te−terima kasih ...."
"Eh? Kamu nggak perlu berterima kasih," timpal Janti, membuatku kaget lantaran tangannya menggenggam tanganku. "Aku tidak melakukan apa-apa sampai membuatmu mengatakannya."
"Tapi, berkat kamu, Maliqa dan yang lainnya ...."
"Tidak. Aku melakukannya karena aku menyesal. Aku yang telah menyebarkan gosip tidak mengenakkan tentangmu, artinya aku yang membuatmu tidak punya teman. Bahkan, pengakuan seperti itu tidak cukup untuk menebusnya. Sekali lagi aku minta maaf."−Melihat aku protes karena mendengar permintaan maafnya, Janti menggeleng−"Maafku bahkan belum cukup. Kalau diperbolehkan ... aku ingin menebusnya dengan menjadi temanmu―maksudku, aku−aku tidak akan bergabung dengan kalian bertiga, kok. Maksudku―kalau kamu mau pergi ke toilet, atau kamu bu−butuh―"
Entah bagaimana caranya, aku terkikik sampai menghentikan kalimat gugup Janti. "Ya. Tentu saja." Aku juga tidak tahu kenapa kalimat itu meluncur semudah air mengalir.
✨✨✨✨✨
"Mengesankan! Siapa tahu dia hanya berbohong. Itu triknya agar bisa dekat dengan Azul."
"Apa? Kenapa aku?"
"Bukannya Janti suka kamu, ya?"
Azul bergidik ngeri sampai langkahnya terhenti. "Mimpi buruk. Jangan mengatakannya lagi!"
Kami terkikik selama perjalanan menuju halte, sementara Azul terus menahan diri untuk tidak memukul Alif yang masih menggodanya.
Janti sama sekali tidak berbohong. Sudah kubilang dia serius meminta maaf sampai menangis. Pulang sekolah ini, aku berinisiatif untuk mengajaknya ke halte bersama, tetapi kandas karena Alif langsung menyeretku. Selain karena Alif masih marah dengan Janti, Maliqa dan yang lainnya terus memelototiku sampai-sampai aku mengira mata mereka akan copot.
Setelah pemanggilan para cewek ke depan ruang guru―dan mungkin saja Maliqa beserta kawanannya masuk ruang BK sebab mereka berempat datang ke kelas paling akhir―alih-alih pertentangan surut dari wajah Maliqa, yang ada justru sebaliknya. Aku senang akhirnya mereka kena marah. Dengan begitu, perisakan ini tidak akan terjadi lebih parah lagi, bukan? Bu Yanti sudah memastikan, aku juga mendapat informasi bahwa mereka berempat mendapat surat pemanggilan wali murid. Sepertinya bukan cuma Janti. Aku juga harus berterima kasih pada Farrel. Yang dikatakannya waktu itu benar. Aku terlalu khawatir dengan pikiran dan pengalamanku.
"Kana, itu Kakakmu, 'kan?"
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Alif saat kami sudah keluar gerbang sekolah. Tidak sulit mencarinya karena kakak langsung menjalankan sepeda motornya begitu melihatku, dan berhenti tepat di hadapanku. Dia datang langsung dari kampus.
"Naik!" Kakak memerintah sesudah keterkejutannya melihat penampilanku. Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba berada di depan sekolah. Mungkin saja mama memberitahunya untuk menjemput setelah mendapat telepon dari sekolah.
Sebelum duduk di belakang kakak, aku menoleh pada Alif dan Azul yang mengangguk, hingga sepeda motornya langsung jalan sebelum aku siap.
Aku bahkan belum siap saat mama memelukku dan menjerit tertahan melihat rambut putrinya yang panjangnya hanya sejengkal tangan orang dewasa. Hingga kehebohan itu kembali terjadi di meja makan saat papa pulang di malam harinya.
Esoknya, aku dibuat takut oleh mama yang memaksa akan datang ke sekolah, seperti yang dilakukannya saat mataku bengkak parah karena ketidaktahuan Janti. Karena hari ini wali murid dari Maliqa dan kawanannya juga ke sekolah, aku takut mama akan terlibat pertengkaran sampai menjadi tontonan satu sekolah. Untuk itu aku menenangkan mama. Masalah bisa selesai tanpa kehebohan mama di ruang guru.
Setelah kejadian kemarin, prospeknya kecil sekali untuk Maliqa tidak merisakku lagi. Cewek itu masih saja memiliki dendam padaku, dan dendamnya semakin berkobar setelah apa yang terjadi. Kendati demikian, Maliqa tidak bodoh. Dia lebih memilih bersabar dibandingkan mengamuk hingga terjadi keributan yang menyebabkannya kembali ke ruang BK.
Alif mengawasi. Kebenciannya terhadap Maliqa sama besarnya seperti cewek itu padaku. Sesekali aku berusaha menenangkannya agar tidak mengamuk sampai menjambak rambut berkepang Maliqa.
Demi menggantikan warna merah pada Alif, aku memberanikan diri untuk mengajak mereka berakhir pekan sebelum bertempur dengan lembaran kertas. Karena hal tersebut, warna kuning pada Alif langsung berkobar seolah-olah seseorang telah mengaktifkannya dari dalam kepala cowok itu.
"Ayo kita ke taman hiburan. Bersenang-senang sampai duit papaku sekarat!"
Lantas, aku memelotot. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu dengan ekspresi senang yang berlebihan. Aku langsung memukul bahunya dengan buku tulis sampai ia terdiam walau hanya sesaat.
"Kita tetap belajar. Lihat jadwal. Hari Senin ulangan apa?" Aku memperingati.
Alif yang sudah menghafal jadwal yang tertempel di kaca dekat pintu, menjawab, "Bahasa Indonesia dan Ppkn."
"Bawa buku itu besok. Jangan membantah!"[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top