06. Aku Mendapat Sekotak Nasihat

Bisa saja aku balas dengan menimpuknya. Keberanianku sudah muncul berkat Alif dan Azul. Namun, aku tidak bisa melakukan tindakan bodoh hanya karena kesal dan marah. Jadi, aku mengabaikannya biarpun Maliqa memanas-manasiku. Janti yang duduk di kursinya, hanya menyeringai, tidak berbuat apa-apa. Kendati demikian, dialah yang menjadi dalang di balik semua hal buruk yang terjadi padaku.

"Senang, ya, sudah punya teman―Oh! Jangan bilang kamu mau pacaran dengan salah satu dari mereka."

Mengabaikannya tentu lebih baik. Sudah ada beberapa orang di kelas, tetapi para cewek itu justru mencemooh melalui tatapannya.

"Hey! Kalau orang lagi ngomong, dengarkan. Kamu, kan, anak baik. Kesayangan guru. Ternyata sikapnya nggak sopan." Maliqa berdecak-decak, dan cewek-cewek tertawa, menimpalinya dengan celaan untukku.

Maliqa, yang punya hobi menggangguku, mendudukkan dirinya di sampingku. Dia memelukku erat dari samping dan menggerak-gerakkanku dengan heboh sampai aku hampir terjatuh.

Cewek itu mendesis, "Kesal banget, tahu nggak? Kenapa nggak pindah sekolah saja. Berhenti sekolah kalau bisa. Gara-gara kamu aku―aduh!" Kepalanya kena lemparan buku tulis, lantas membuatnya segera menjauh dariku, mengira Alif sudah datang, tetapi yang berdiri di belakangnya justru Farrel.

Cowok itu selalu berwajah tenang, saat melihatku, warna ungu muda seketika muncul di kepalanya. Farrel menghampiri kami, berhenti tepat di hadapan Maliqa untuk memungut bukunya, dan sesaat kemudian dia memukul pelan kepala Maliqa dengan bukunya.

"Apa lagi ini?! Mau jadi pahlawan?" desis Maliqa. Dia berdiri, kemudian mendorong Farrel yang masih tenang. "Waktu itu kamu diam saja. Tapi sekarang, tiba-tiba membela. Apa ini? Kamu terkena mantra dari dia." Nada suaranya jelas menunjukkan bahwa ia begitu marah, dan pasti kebenciannya terhadapku semakin meningkat.

Aku terkesiap saat Maliqa menghentakkan kakinya sembari melotot ke arahku sebelum bergabung bersama Janti. Tanpa sadar aku mengelus dada, menghela napas lega. Kulihat Farrel menduduki kursinya, kemudian bertanya, "Kamu baik-baik saja?"

"A−ah, iya. Ma−makasih." Padahal Maliqa sudah biasa melakukan hal seperti itu padaku, tetapi entah kenapa sekarang aku menjadi takut. Kata-katanya beberapa menit lalu telah mengetuk sesuatu dalam diriku, seolah-olah Maliqa akan melakukan hal yang lebih buruk dari yang aku kira jika aku tidak segera mangkat dari sekolah ini.

Waktu itu, aku memang pernah berkeinginan untuk pindah sekolah. Aku tidak mau dirisak. Cari sekolah yang tak ada satupun alumni dari SMP-ku dulu. Hingga aku tersadar, aku bukan lagi anak kecil. Mama bilang, aku harus bersikap dewasa. Bukan hanya dalam menanggapi mereka yang merundungku, tetapi dalam berbagai hal.

"Nih!" Farrel mengulurkan bungkus cokelat padaku. "Ambillah. Bukan sogokan, kok."

Baru saja aku hendak mengambilnya, tetapi seseorang lebih dulu merebutnya.

"Makasih ...." Alif mendudukkan dirinya di sampingku dengan kasar, mengamati bungkus cokelat seolah-olah mengandung komposisi berbahaya.

"Sialan! Itu buat Kana!" Farrel menggeram.

"Ini pasti modus. Sudah dibilang, cari cewek lain saja." Alif membuka bungkus cokelat, lantas memakan isinya tanpa rasa bersalah.

Farrel tidak punya pilihan lain. Jadi, dia hanya bisa pasrah.

Kulirik sekumpulan cewek, mereka curi-curi pandang ke arahku, kembali bergosip, dan aku yakin sekali mereka pasti akan menyebarkannya ke kelas lain. Aku tidak peduli. Asalkan aku tidak sendirian, mereka tidak berani melukaiku. Terutama Maliqa. Rencana apapun yang ia buat, tidak akan bisa sampai padaku jika ada Alif dan Azul.

Sekarang, kesannya aku memanfaatkan mereka berdua.

"Kana?"

Aku sedikit tersentak, tahu-tahu tanganku di atas meja sudah Alif genggam dengan erat. Lantas, aku menarik tanganku dengan cepat.

"Kamu melamun. Sudah pasti cewek itu melakukan sesuatu padamu, 'kan? Woy, Farrel. Si cewek itu ngapain?" Alif beralih menyentuh bahuku, memaksaku untuk menghadapnya sementara matanya memelototi Farrel.

"Apa, sih? Mana aku tahu. Cewek, kan, banyak." Jawaban Farrel tanpa sadar membuatku tersenyum, hampir tertawa, lebih-lebih lagi melihat wajah aneh Alif.

Tepat saat Alif menggumamkan kata-kata kasar untuk Farrel, Azul datang, berhasil melepaskanku dari tangan Alif. Cowok itu tampak berantakan, jelas menunjukkan bahwa semalam ia begadang hingga tak sempat menata rambutnya seperti biasa. Kantung matanya bahkan membuat Alif meringis.

"Kamu nggak sempat mandi, ya?"

Azul memukul Alif dengan tasnya. "Aku nggak tahu kalau hari ini ada PR."

"Sebentar ...?"

Sontak, kami menoleh pada Farrel. Cowok itu tampak bingung sekaligus katakutan. "Waduh!" ringisnya. Sudah pasti dia lupa mengerjakan tugas, dan aku tak heran kenapa para guru selalu mengomelinya.

Farrel panik, menatap kami satu persatu, tetapi dia tahu, kami bukan orang yang tepat untuk dimintai contekan. Jadi, dia lebih memilih memaksa Yusril daripada harus berdebat dengan Alif dan berakhir sia-sia.

"Rel, waktunya lima menit lagi!" Alif berseru, memecah konsentrasi Farrel menyalin jawaban Yusril yang jumlahnya mencapai dua lembar penuh. Cowok itu uring-uringan, menyempatkan diri untuk memberi jari tangannya pada Alif.

"Selamat pagi, Bu." Azul ikut-ikutan, dan Farrel panik bukan main.

"Bajingan!" Farrel menimpuk Azul dengan pulpen milik Yusril, tetapi melesat dan mendarat di wajah Alif.

Fokus Farrel selalu terganggu, ditambah kepanikan yang semakin membuatnya lamban menyalin jawaban. Ekspresi paniknya itu, tanpa sadar membuatku tertawa.

Namun, tawaku menguap kala melihat Alif terus menatapku dengan senyum idiotnya. Cowok itu menutup bibirnya seolah-olah telah mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya, lalu berbuat ulah. "Kamu, kok―ya, ampun .... Aku makin jatuh hati kalau kamu banyak senyum."

Berusaha keras aku menahan diri untuk tidak melemparkan sesuatu padanya.

Namun, Azul mewakilkanku untuk melakukannya. Dia melempar kertas pada wajah Alif sampai senyum tololnya berganti. "Sudah dibilang jangan bertingkah menjijikkan!"

Alif berdecak, memungut gulungan kertas dari lantai, kemudian balik melemparnya pada Azul. "Menjijikkan bagaimana?" Alif menatapku sampai rasanya aku ingin mencolok matanya. Dia bertanya, "Emang iya?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jadi, aku memilih untuk berpura-pura sibuk dengan tasku, mengeluarkan buku Bahasa Indonesia.

Sejak perkataan Alif barusan, sepertinya aku harus lebih berhati-hati untuk mengendalikan ekspresi. Bahkan saat Azul diomeli bu Yanti lantaran tidur saat jam pelajaran, atau saat suara perut Azul yang menggemparkan seisi kelas. Aku hanya bisa menggigit bibir sementara ruangan diisi suara tawa.

✨✨✨✨✨


Azul sepertinya benar-benar bangun telat pagi ini. Karena aku merasa kasihan melihat kantung mata dan suara perutnya yang terus berbunyi, bekal buatan mama aku berikan padanya. Saat Azul menolak, aku memaksanya sebelum Miss Julia datang untuk mengajak.

Kendati demikian, perut Azul masih saja berbunyi. Jadi, mau tak mau Alif membayarkan mi ayam untuk Azul yang kelupaan membawa uang saku.

Penderitaannya seolah belum usai sampai di situ, tahu-tahu dia mendapati pesan di ponselnya. Entah apa. Yang pasti itu bukan hal menyenangkan. Warna ungu muda selalu terlihat di sekitar kepalanya setiap kali matanya bertemu denganku.

"Ada masalah?" Tanpa sadar aku bertanya, lantas menggigit bibir saat Azul menghentikan suapan minya. "Eh, maaf. Aku cuma ...."

"Ada, sih. Tapi nggak perlu khawatir. Kakakku cuma kelupaan memakai kaus kaki di tempat kerja." Azul berbohong. Warna ungunya tidak bisa disembunyikan. Bahasa tubuhnya cukup meyakinkanku bahwa dia sedang tak ingin membahasnya.

Tiba-tiba saja aku merasa asing dengan suasana lengang di antara kami. Azul sedang tidak ingin berbicara, dan Alif―sialan! Seharusnya aku mengawasinya untuk tidak terus menatapku dengan senyum idiotnya. Aku terlalu fokus pada Azul sampai-sampai mengabaikan Alif.

"Apa? Aku bakalan pergi kalau kamu terus menatapku seperti itu," kataku risi.

Alif tersenyum lebar, sempat mengira dia akan tertawa. "Pulang sekolah mau nggak aku traktir di kafe dekat sekolah?"

Aksi menghambur-hamburkan uang dimulai. Alif sepertinya berniat untuk menghibur Azul, tetapi cowok itu justru menjawab, "Aku nggak dulu, deh. Adikku punya tugas kelompok di rumah. Aku harus membantunya."

"Loh ... kok, begitu? Tapi Kana mau, 'kan?"

Aku menggeleng. Aku tidak mau pergi berdua dengan Alif.

Cowok itu tampak kecewa, tetapi hanya sesaat. "Baiklah. Kita kencan lain kali saja―Heh! Apaan?!"

Aku dikejutkan oleh sebuah tas yang tersodor di hadapanku. Itu tasku, dan pelakunya adalah Farrel.

Belum sempat aku bertanya, cowok itu lebih dulu mendesak, "Periksa isinya. Apa ada sesuatu yang hilang atau bukan milikmu?"

Aku bingung dengan perkataannya, tetapi tanganku tetap membuka tas dan memeriksanya. Buku-bukuku ada semua, bahkan pulpen dan tipe-x. Tunggu, tempat pensil ini milik siapa?

Lantas, aku memelotot pada Farrel, hendak marah, tetapi cowok itu segera menjelaskan, "Maliqa membuka tasmu. Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukannya. Jadi, aku bawa saja ke sini. Apa ada barang yang hilang?"

Kukeluarkan kotak pensil yang entah-milik-siapa. "Ini bukan punyaku."

Alif menggebrak meja, dia menggeram, "Cewek itu!"

"Sebaiknya laporkan saja ke bu Riska―"

"Ja−jangan." Seketika itu tiga pasang mata menatapku heran. "Maliqa memang melakukan kesalahan. Tapi, masalah ini bisa diselesaikan tanpa campur tangan guru, 'kan?"

Lengang. Mereka bertiga masih terus menatapku. Aku berkata seperti itu karena belajar dari pengalaman. Masalah tidak akan selesai setelah panggilan ke ruang BK. Alih-alih, justru dendam mereka semakin meningkat dan hal yang lebih buruk lagi datang padaku.

"Tapi, Kana. Mereka sudah keterlaluan. Kamu harus―"

"Farrel. Ini masalahku."

Farrel terdiam, menggigit bibir dalamnya, tampak kesal dengan jawabanku. Aku tidak punya pilihan lain selain menyakiti hatinya. Membuatnya kesal dan muak denganku merupakan pilihan yang tepat demi menghindari hal buruk. Aku ini memang egois.

"Kana, Farrel benar." Alif menyentuh pundakku. "Ini sudah ke sekian kalinya mereka melakukan hal buruk padamu. Pem-bully-an. Mereka layak mendapat hukuman."

Aku kembali terdiam. Mereka benar, hanya saja ... aku tidak bisa melakukannya karena kognisi selalu menghampiri benakku setiap kali aku dirundung. Aku tahu Maliqa itu seperti apa, dan melaporkan pada guru tidak akan membuatnya berhenti.

"Aku nggak bisa. Maksudku ...." Kalimatku menggantung di udara, menciptakan keheningan dengan tiga pasang mata yang memakuku. "Ini wajar."

Farrel berdecak, masih kesal.

"A−aku akan melaporkannya jika mereka melakukan hal buruk lagi padaku."

"Mengulur waktu," celetuk Farhan. "Itu memberi mereka kesempatan. Kana. Kamu itu terlalu baik atau bodoh?" Farhan gemas, mendudukkan diri di sampingku sampai meja bergeser.

"Kamu takut mereka melakukan hal yang lebih buruk lagi setelah kamu melaporkannya ke guru?" Dia menebak dengan tepat. "Oke. Tindakan mereka kali ini bisa diselesaikan tanpa campur tangan orang dewasa. Tapi kalau mereka melakukan hal buruk lagi, segera lapor guru. Kalau kamu nggak melaporkannya, biar aku sendiri yang melakukannya."

Setelah mengatakannya, dia berdiri, mengambil tempat pensil yang-entah-milik-siapa dariku. Sebelum dia benar-benar pergi, aku berkata, "Makasih."

Farrel menghentikan langkahnya, berbalik. "Aku nggak terima itu."

Seolah jarum yang sebelumnya sempat kutusuk pada dada Farrel, berganti menusukku.

"Kalau kamu mau nerima aku di klub belajar kalian―"

"Apa?! Enak saja!" Alif menyela.

Namun, aku justru menjawab, "Baiklah. Ajak juga Farhan. Cuma dia."

Aku bisa merasakan hawa dingin di sampingku. Masa bodoh. Aku yang berkuasa di klub belajar ini, bukannya Alif.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top