8. Hidupku sekarang
Ibu mengusap bahuku pelan. Aku menoleh dan menggenggam tangannya sembari tersenyum. Bebanku seolah terlepas setelah berpisah dari Akbar beberapa bulan yang lalu. Tinggal menghapus sisa-sisa perasaan yang mendamba ini.
Tak kupungkiri kadang aku menangis saat mengingatnya. Mengingat kenangan yang sudah lama terukir dalam cerita cinta ini. Akbar, saat ini dia mungkin sudah bahagia dengan kekasihnya itu. Aku tersenyum pahit saat membayangkannya.
Untunglah aku punya keluarga yang selalu mendukungku. Seperti saat ini, Mas Johan dan Mbak Desi memilih tinggal di rumah sementara waktu hanya untuk menghiburku. Kebetulan jarak rumah Mas Johan sendiri tak terlalu jauh dari rumah orangtuaku. Jadi, dia bisa datang kapan saja.
Mas Johan menemaniku saat berada di teras rumah. Ia menatapku dengan lekat. Aku tak mengerti apa maksudnya. Dengan tatapan bingung, aku hanya mengangkat bahu tak acuh yang disambut tawa lebar oleh kakak lelakiku ini.
"Mas Johan sehat?" tanyaku meledeknya.
Mas Johan malah tertawa lebih keras dari sebelumnya. Aku bertambah bingung dan meraba keningnya dengan punggung tanganku. Aku mencibir.
"Ada yang lucu?" Aku mulai kesal dengan tingkahnya. Ia malah menggeleng cepat.
"Mas cuma heran aja, habis cerai dari Akbar, kenapa wajah kamu kusut terus sih, Mbar? Biasanya juga doyan ngomong."
Aku gagal paham pada Mas Johan. Bagaimana bisa ia bertanya seperti itu? Jelas saja ada kesedihan setelah perpisahan ini dan dia tahu betul aku sangat mencintai mantan suamiku yang sudah mengkhianatiku itu.
"Ya luculah, harusnya kamu bersyukur bisa lepas dari suami model begitu. Apa hebatnya Akbar coba? Lagian ayah sama ibu dulu juga gak begitu suka 'kan sama dia?"
Aku malah memberengut kesal mendengar celotehan Mas Johan.
"Insting orang tua itu gak pernah salah, Mbar. Kalo kata Pak Mario Teguh nih ya, orang tua itu wakil Tuhan. Jadi wajar aja ayah sama ibu dulu kurang begitu suka. Ambar aja yang ngebet pengen nikah ma cowok model begitu."
Aku geram sekali mendengar ucapan Mas Johan. Ingin rasanya kujambak rambutnya yang diberi pomade itu. Bibirku memberengut dan jari jemariku dari kedua tangan ini memekar hendak menyentuh rambutnya, namun Mas Johan malah tertawa dan berlari ke taman di halaman depan. Aku yang masih dilanda kesal mengejarnya. Kami berlarian layaknya anak masih di bawah umur. Sekilas kulihat ayah dan ibu menggeleng pelan melihat tingkah kami. Sementara Mbak Desi dan kedua bebinya malah tertawa menyoraki kami. Aku berhenti berlarian karena lelah dan juga, malu pastinya.
"Dasar Mas Johan ekap!" teriakku.
"Ikan kakap maksudnya?"
"Edan lengkap!" seruku.
Aku kembali duduk di lantai masih tetap di teras rumah. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa sekuat itu. Usiaku saja sudah melewati seperempat abad. Bulan depan sudah genap 27 tahun. Mas Johan duduk di dekatku dengan terengah-engah.
"Kalo dulu waktu masih kecil lari-larian gini sama kamu gak ngos-ngosan ya, Mbar."
Balas aku yang tertawa lebar melihat sekujur tubuh kakakku berpeluh ria. Mas Johan malah menjitak kepalaku. Biar kesal juga dia, pikirku. Mas Johan meraba saku celananya dan mengeluarkan sebuah selebaran. Aku menengok, namun malah ditarik ke samping tubuhnya.
"Apa itu, Mas?"
"Serius mau tahu?"
"Mau tempe."
Mas Johan malah tertawa mendengar jawaban spontanku. Ia menyerahkan selebaran itu padaku. Langsung saja kubaca. Setelah aku baca isi selebaran itu, Mas Johan menarik kedua alisnya ke atas.
"Tertarik?"
"Aku takut dipehapein lagi," rengekku.
Mas Johan mengusap kepalaku dengan kasih sayang.
"Loker itu bukan Akbar," ledek Mas Johan tertawa geli. Ia diam sejenak dan melanjutkan ucapannya. "Kebetulan teman mas kerja di sana. Jabatan dia juga lumayan penting. Siapa tahu kamu minat kerja di situ, Bar. Nilai cum laude-mu kan sayang kalo gak dimanfaatin."
Aku berpikir sejenak. Jika dipikir ulang, ucapan Mas Johan ada benarnya. Sejak menikah dengan Akbar, aku memilih tidak bekerja. Hanya fokus pada keluarga. Ayah dan ibuku sebagai donatur terbesar dalam hidup dan pendidikanku pun menyerahkan semua keputusan padaku.
"Gapapa, Mbar. Pendidikan itu bukan cuma buat cari kerja, tapi memang diwajibkan bagi setiap muslim, gitu kata Nabi. Menghindari kita dari sifat malas dan kebodohan, itu makna pendidikan yang sebenarnya. Walaupun cuma jadi istri, jadilah istri cerdas bagi suamimu, Nak. Istri itu seperti penasehat raja," tukas ayah suatu hari dengan senyum bijaknya.
Mungkin inilah saatnya aku memanfaatkan ijazah sarjanaku, sarjana ekonomi. Kebetulan penawaran yang diberikan oleh Mas Johan membutuhkan jasa dari sarjana ekonomi sebagai admin di salah satu perusahaan produksi makanan.
"Akan aku pertimbangkan dulu, Mas," jawabku.
"Jangan lama-lama, entar habis lowongannya. Mumpung ada orang dalem yang mas kenal."
"Nepotisme dong, Mas," alibiku.
"Itu kalo pake uang atau atas nama dari segi keluarga. Ini kan cuma sekedar bantu doang, gak pake embel-embel apa. Lagian mas percaya, Ambar bisa kerja secara profesional di sana nantinya."
"Senangnya dipuji," ledekku.
"Maunya."
Kami tertawa bersama. Aku harus membuka diri sekarang. Setelah kupikir beberapa kali, tak ada salahnya aku mencoba untuk bekerja. Mungkin dengan banyak kesibukan nantinya, aku bisa lekas melupakan Akbar dan cerita kami.
Akbar ..., sebenarnya jantung ini masih berdetak mengingatmu, selalu. Tapi mungkin bagimu, aku hanyalah angin lalu yang sudah kau hempaskan jauh.
Aku memejamkan mata menikmati perih ini. Semoga kepedihanku akan membuka banyak pelajaran nanti bagi kehidupanku selanjutnya. Semoga.
🌿🌿🌿
Aku menunggu di depan ruang HRD. Sesuai saran Mas Johan, aku akan bekerja berbekal teman yang bisa membantunya. Walaupun kedengarannya mungkin sedikit tak baik karena mengandalkan teman kakakku, tapi aku berjanji akan bekerja dengan baik dan menjaga amanah Mas Johan agar aku bekerja dengan profesional sesuai bidangku.
Setelah namaku dipanggil, aku masuk ke ruangan HRD dan bertemu dengan Pak Bin selaku kepala bagian HRD. Sambutan dan interview yang ramah, memberiku kesan nyaman untuk niat bekerja di tempat itu.
Seminggu kemudian ....
Aku menerima sebuah surat dari perusahaan tempat interview-ku kemaren. Saat membukanya, aku cukup bersyukur ternyata aku diterima. Dan besok adalah waktuku mulai bekerja. Tepatnya masih masa training selama sebulan penuh dan itu berarti aku belum diterima sepenuhnya. Jika kinerjaku bagus, otomatis aku diterima sebagai pegawai kontrak di perusahaan itu.
Hidup itu perjuangan. Tapi perjuangan yang kumaknai sekarang adalah perjuangan melupakan Akbar dan menghapus kenangan masa lalu dengannya. Ah, Akbar lagi yang kusebut. Mengapa memori tentangnya sangat sulit terhapus.
Aku merebahkan tubuhku di atas pembaringan dunia kapukku. Rasanya sangat lelah. Pandanganku tak sengaja menatap kalender. Sekarang bulan maret. Januari kemaren tepatnya dua bulan lalu, aku masih bersamanya. Bersama orang yang kudamba setengah mati.
Akbar, bolehkah kukatakan, aku sangat merindukannya. Dua bulan lalu dia masih mendekapku dengan senyum hangatnya. Mengelus pipiku dengan ujung jarinya, membuatku merasa nyaman dan bahagia.
Tak terasa air mataku mengalir deras sampai menangis sesenggukan. Tak tahukah Akbar rasanya menjadi aku? Wanita yang tulus mendampinginya suka dan duka yang akhirnya dia abaikan.
🌿🌿🌿
Langkah kakiku berjejal bersama karyawan lain. Aku sedikit tak percaya diri melihat mereka. Dengan langkah pasti mereka menuju ke dalam meja kerja masing-masing. Jika ditilik dari penampilan, mereka terlihat sudah lama bekerja di perusahaan ini. Dandanan mereka, terutama karyawan wanita terlihat begitu menarik. Berbeda denganku yang terbiasa di rumah. Tentunya dengan penampilan dan dandanan ala kadarnya. Tidak ada alis yang terukir apalagi blush-on yang merona di pipiku. Hanya bedak tabur yang kutempelkan di permukaan wajah bersama padanan bibir dengan warna lip-tint merah muda yang kupoles tipis.
Aku masuk ke ruangan HRD kembali dengan sebelumnya mengetuk pintu dan mengucap salam. Pak Bin dengan senyum tulusnya menyambutku dan menunjukkan ruangan dan meja kerjaku. Sedikit kikuk di awal, tapi aku bersyukur lagi karena selama training berlangsung, mereka bersikap ramah dan sabar membimbingku. Terima kasih, Tuhan. Kau mempermudah jalanku mendapatkan kebahagiaan setelah kemelut rumah tanggaku usai.
🌿🌿🌿
Aku berjalan santai saat melewati koridor dengan ruangan di kanan kiri. Lengan dan bahuku dibentur seseorang dari belakang. Aku menoleh, seorang wanita dengan dandanan kantor yang casual mencoba menyanggahku saat aku hendak terbentur tembok karena ulahnya.
"Eh, maaf, Mbak. Gak sengaja," ucap wanita itu dengan tatapan bersalahnya.
Aku hanya menggeleng dan tersenyum tipis. Aku bukan manusia sosialita, jadi agak sulit bagiku membalas ucapannya. Katakanlah sulitnya aku untuk bersosialisasi dengan suasana baru. Terlebih, karena kelamaan berada di rumah mengurus rumah tangga.
"Pegawai baru ya?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan dengan sopan. Ia malah tersenyum lebar dan menyalamiku. Seperti biasa, kantor ini sepertinya berisi manusia-manusia yang hangat dan ramah.
"Kenalin, namaku Selfi. Nama kamu siapa?" tanya wanita casual bernama Selfi ini.
"Aku Ambar."
"Selamat datang di kantor ini ya, Ambar. Semoga betah. Tapi tenang aja, orang di sini baik-baik kok," seru Selfi bersemangat.
Aku hanya bisa membalas ucapannya itu dengan senyum tipis dan anggukan sopan.
"Udah, gak usah kaku gitu di sini apalagi sama aku, Mbar. Ini jam makan siang, emangnya kamu gak mau isi perut?"
Aku yang masih dilanda kekakuan jadi melongo dan otomatis melihat ke perutku. Dalam anganku, 'isi perut'. Selfi ikut melongo dan melihat ke perutku juga. Setelah tersadar, ia tertawa terpingkal-pingkal sambil menepuk pundakku.
"Ambar, maksudnya bukan isi perut yang gimana. Kita makan, makan!"
Aku menutup mulut dan baru tersadar dengan tingkah polosku. Duh, Tuhan. Segitu poloskah aku ini karena kelamaan jadi bidadari dalam sangkar emas?
Selfi segera menyeret lenganku menuju kantin. Sesampainya di sana, ia malah memperkenalkan aku pada beberapa karyawan temannya sendiri. Aku tersipu malu. Namun sebisa mungkin mencoba untuk membiasakan diri.
"Ambar. Moga betah yaa kerja di sini."
Itu ucapan yang selalu mereka ucapkan. Membuatku merasa semakin betah bekerja di tempat ini. Sedikit mengurangi ngilu di jiwaku.
Akbar, seandainya kau tahu. Saat ini, aku sudah memiliki kehidupan baru setelah lepas darimu. Namun dalam keramaian ini, entah mengapa aku masih memikirkanmu.
Akbar, bagaimana kabarmu di sana? Bagaimana dengan makanmu yang harus kusuapi tiap pagi sebelum berangkat ke kantor? Jika tidak begitu, kau tidak mau sarapan.
Akbar, apakah kau bahagia bersama selain diriku di sisimu?
🎑🎑🎑
Bersambung.
Situbondo, 7 Juli 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top