5. Ijinkan Aku Marah
Selama perjalanan di dalam mobil, aku lebih banyak terdiam membisu. Seberkas luka yang nampak menganga dengan sikap Akbar membuatku merasa sakit. Apa yang sebenarnya dia sembunyikan dariku? Kenapa saat aku bertanya banyak hal dia hanya terdiam dengan seulas senyum palsu?
Bahkan sampai menginjakkan kaki di rumah, aku langsung masuk kamar dan merebahkan tubuh lelahku di atas pembaringan. Aku lelah, sangat lelah bila kuingat kebohongan yang dilakukan oleh Akbar. Dia suamiku, haruskah ada yang dia tutup rapat dariku, istrinya sendiri. Mengingat itu saja rasanya aku ingin berteriak. Melepaskan sesak karena kebohongan itu.
Aku harus mencari tahu semua ini. Daripada mati dengan rasa penasaran.
🌿🌿🌿
Sudah tiga hari ini aku lebih memilih diam daripada bermanja ria atau memasang tampang mesra padanya. Seperti biasanya, aku tak ingin memilih sikap tak acuh ini, tapi sepertinya suamiku pun juga tak peduli dengan perubahan sikapku. Aku benci keadaan ini. Sambil lalu dari balik diamku, aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak terlalu sulit, karena secara tak langsung, Tuhan seolah memberi kode dan petunjuk-Nya padaku dari semua hal yang aku alami. Aku ingin berlari dan bahkan jika perlu bersembunyi dari hadapan khalayak. Namun aku harus tetap kuat dan tak boleh lemah. Percuma aku menangis, Akbar seolah memberi garis lurus sebagai jarak bagi ikatan suci ini. Dan aku harus mencari tahu semua ini. Walaupun sakit, tapi aku tahu keadaan sebenarnya.
Sejenak kubuka ponsel dan membuka beberapa akun sosial media yang sudah lama tak kusinggahi. Beberapa ajakan pertemuan alumni dan pertemanan sosialita mengajakku. Aku yang saat ini tengah risau, mengkonfirmasi saja bahwa aku akan datang. Setelah itu, respon positif mereka berhamburan memenuhi komenanku. Aku yang biasanya tak peduli bisa juga jadi bahan perhatian untuk mereka. Aku ikut tersenyum juga. Anggaplah saja ini hiburan dengan kebosananku.
Akbar sudah sejak pagi meninggalkan rumah menuju kantornya. Tanpa menyentuh makanan yang kusiapkan dari selepas shubuh. Melihat makanan itu tak tersentuh begitu saja, aku menggigit bibir. Tega nian Akbar melakukan ini padaku. Apakah masakanku yang biasanya selalu ia tunggu mulai berubah rasa dan aroma? Atau aku yang mulai tak menarik lagi di matanya? Bolehkah aku menangis karena makanan yang beberapa jam lagi itu akan basi? Aku tertunduk dan akhirnya terduduk di lantai dengan tangisan lirih yang sulit kuartikan.
🌿🌿🌿
"Lo berhak bahagia, Mbar," ujar Sirena, kawan lamaku yang kutemui hari ini di rumahnya yang sedang mengadakan party bersama teman-teman seperjuangan dulu semasa duduk di sekolah menengah atas.
"Gue bahagia kok," sahutku datar.
Aku tak ingin menceritakan permasalahan apapun dalam hidupku. Terlebih soal rumah tanggaku saat ini. Bagiku aib rumah tangga adalah sebuah dosa besar jika aku ceritakan.
Nampaknya Sirena menatapku dengan nada sinis. Kalau begini aku jadi menyesal menghadiri pesta tak penting ini. Tapi kemudian ia merangkul pundakku.
"Gue ini kawan seperjuangan lo, Mbar. Lo jarang hadir di pesta ginian, kecuali lo lagi labil. Labil elo pasti karena sesuatu. Yah, sesuatu itu berbau masalah lah pasti," tebak Sirena membuatku hanya bisa menelan ludah.
"Biasa aja ekspresi lo, Mbar. Udah ah gak penting. Yuk! Kita temui temen-temen di sana. Hari ini lupain apapun masalah yang gabisa lo ceritain itu, kita senang-senang. Have fun for today!" lanjutnya bersemangat.
Yang kulihat di pesta ini adalah semua orang menampilkan wajah semringah dan bahagia berapi-api. Anggukan kepala senada dengan hentakan kaki mengikuti alunan musik perpaduan reggae dan hiphop yang ditambah dengan racikan nada musik oleh seorang DJ yang masih kawan Sirena, nampak begitu mereka nikmati. Sirena, si empunya rumah menyeretku ke tengah mimbar dan mengajakku berdansa. Aku yang sedikit tahu tentang dansa menikmati saja. Biarlah sejenak aku melepas penat ini. Toh, kekasih hati yang selama ini aku puja dan bangga mulai tak memperhatikanku. Sakit ini biarlah kubawa dengan kegilaan ini. Aku sadar, hanya aku yang mengenakan hijab dan pakaian paling sopan di sini, namun apa peduliku. Saat Sirena mencoba menyodorkan secangkir kecil minuman beralkohol, langsung saja kutenggak. Sedikit memabukkan, namun bisa kunikmati. Teriakanku membahana di ruangan ini. Orang lain yang mendengarnya mungkin menganggap itu adalah teriakan kebahagiaan, kepuasan dan kebrutalan, tapi dalam gendang telingaku sendiri, ini adalah teriakan kenestapaanku, kepedihan dan luka yang menganga. Bolehkah aku berteriak memanggil namanya?
Akbar! Aku mencintaimu! Aku bahkan melupakan keberadaan diriku saat bersamamu! Bahkan Tuhan pun mungkin cemburu dengan rasa yang menghamba ini.
Ingin rasanya kuteriakkan itu, tapi mana bisa? Sementara lidahku kelu karena sakit yang dia torehkan. Apa tujuan dia membohongiku? Aku tahu ada yang Akbar sembunyikan, semoga tak lama lagi aku mengetahui semuanya jika itu memang terbaik untukku.
Seseorang menambahkan lagi minuman beralkohol itu padaku. Dia Aldi, teman lelakiku yang pernah kumaki karena pelanggaran kelas yang ia lakukan semasa sekolah dulu. Ia ketahuan membawa beer dan rokok ke dalam kelas. Apa peduliku? Langsung saja kutenggak lagi, lagi dan lagi. Entah berapa gelas sudah yang kuminum. Ruangan ini semakin lama semakin meredup dan akhirnya gelap. Aku hilang dan tak ingat apa-apa lagi.
🌿🌿🌿
Aku mengusap kedua kelopak mataku bergantian. Rasanya berat untuk membukanya. Kepalaku juga terasa pening. Aku hanya bisa mengaduh dan meraba sekelilingku. Kasur empuk. Tunggu, aku di mana? Kupaksakan membuka mata. Aku bersyukur, ini kamarku dan ini tempat tidurku, tapi yang membuatku terkejut adalah laki-laki yang duduk di dekatku. Raut wajahnya merah padam nampak menahan amarah. Aku mengalihkan wajah ke jam dinding. Ini masih tengah hari.
Akbar. Dia ada di sini? Bukannya jam segini dia di kantor?
"Apa ini kerjaanmu saat aku berada di kantor, Bar?!" Bertanya dengan setengah berteriak. Tak bisakah ia memelankan suaranya seperti biasa?
Aku tergagu untuk menjawabnya karena takut saat melihatnya marah begini. Akhirnya aku memilih tertunduk dan bergeming.
"Jawab, Bar!" bentak Akbar.
Tuhan, perlukah luka yang menganga ini masih disiram air cuka? Tak tahukah dia rasanya sangat perih.
Aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi tanpa menghiraukannya. Aku lelah, Tuhan .... Beritahu padanya, aku lelah.
Setelah keluar dari kamar mandi, ia menungguku di kursi kamar dengan tatapan yang masih tersulut amarah. Kenapa harus seperti ini jalan cerita ini? Aku melangkah perlahan mendekatinya. Memandangi kelopak bening itu begitu dalam seakan memberikan ribuan bahasa kesenduanku, kesakitan dan kekecewaanku. Entah mengapa ia seolah tertunduk, namun mata itu masih lurus padaku.
"Aku minta maaf, Mas. Aku lepas kontrol," ucapku lemah.
"Kenapa, Dek? Kenapa Adek ngelakuin ini? Mabuk dan keluar dengan teman-teman gak jelas gitu? Apakah rumah ini mulai terasa membosankan buat Adek?" tanya Akbar.
Aku menghela napas panjang dan duduk di depannya. Bahuku bergetar, aku tak bisa berlama-lama menahan air mata ini. Aku tak sanggup menahan pilu. Laki-laki di depanku ini adalah malaikat hatiku. Andaikan mampu, ingin kutulis ribuan pujiku untuk mendendangkan aku sangat mencintainya.
"Mas, kenapa harus berbohong?"
"Maksud kamu apa, Dek?"
Aku tertunduk. "Mas bilang hape Mas hilang. Ternyata aku menemukannya di rumah mertua."
Yang kulihat, Akbar seakan menelan ludah kelu. Sejenak ia nampak bingung mencari alasan.
"Ah, itu, itu hape, baru aku temukan ternyata ada di dalam tas. Dan ...."
"Dan di hape itu, Mas selalu menghubungi nomor cewek? Cewek yang sama. Bernama Anggrek? Yang Vero bilang, dia itu teman masa kecil Mas Akbar. Dan satu lagi. Mas masih menyimpan fotonya."
Aku sudah tak tahan untuk menyampaikan semua, bukan semua, tapi hanya beberapa hal yang kutahu. Karena mungkin masih ada yang belum kutahu di sini. Aku bangkit dan menatap bisu manik mata orang yang aku cintai mati-matian itu.
"Sekarang bolehkah aku marah, Mas?" tanyaku.
"Apa yang perlu Adek marahi? Dia memang cuma masa laluku," sangkal Akbar.
Aku yang sudah tak kuat dengan ucapannya yang terus menutupi kesalahannya, langsung membanting vas berisi air dan bunga kering di atas meja. Akbar terkejut dengan perbuatanku. Ia hendak marah, namun kutahan dengan jari telunjuk yang lurus mengarah pada wajahnya.
"Mas selingkuh!" pekikku.
Aku berlari keluar kamar, bahkan sampai keluar rumah. Katakanlah aku serius kali ini gila. Kegilaan mencintainya mengantarkanku pada kegilaan yang sesungguhnya. Aku menyetop taksi, tanpa tas dan dompetku. Aku sudah tak peduli lagi dengan keadaan.
Ponselku berdering dari dalam saku baju. Kuusap layar ponsel, ternyata Sirena menghubungiku.
"Hallo."
"Lo udah bangun, Mbar. Maafin gue udah buat lo mabuk begitu. Oya, lo pasti dimarahi sama laki lo, 'kan? Duhh, pliz maafin gue, Mbar," ucap Sirena.
"Gak pa-pa kok."
Aku langsung mematikan sambungan telepon tanpa berkata apa-apa lagi. Aku tak tahu sekarang harus ke mana. Aku bingung. Sementara tak ada sepeser pun uang dalam saku yang hendak kubayarkan pada taksi.
"Pak, berhenti di sini," ucapku.
Aku buka gelang emas yang melingkari pergelangan tanganku dan menyerahkannya pada sopir taksi.
"Semoga ini cukup, Pak."
"Ini malah lebihnya banyak, Neng."
"Buat Bapak aja kembaliannya."
"Makasih ya, Neng. Semoga Allah membalas kebaikan Neng."
"Aamiin ...," sahutku. Setelahnya aku beranjak pergi.
Hari ini ada dua perasaan yang meliputi jiwaku. Rasa lega seakan ada saat jauh dari Akbar , tapi juga rasa sakit yang tak bisa dibayangkan lagi. Aku tak sanggup melihat manik matanya. Saat mengingat pengkhianatannya, itu membuatku semakin sakit. Aku tahu, saat aku ke pasar bersama mama mertua, dia sedang jalan berdua dengan perempuan bernama Anggrek. Aku tahu itu awalnya bukan dari Vero, tapi seorang tetangga di rumah mertua mengatakannya padaku. Entah apa alasannya memberitahuku. Awalnya aku menganggapnya biasa saja. Tapi setelah adanya beberapa bukti, aku sadar, Akbar bermain api dengan bunga bangkai tanpa sepengetahuanku.
Foto gadis yang Akbar simpan, setelah kucari tahu, ternyata dialah yang bernama Anggrek. Teman masa kecil Akbar, yang masih ia sayangi. Lalu ke mana Anggrek selama ini? Mengapa setelah Akbar bersamaku, ia muncul dan membuat warna baru dalam hidup Akbar?
Akbar, tak sadarkah ia, betapa akulah yang paling mencintainya?
🎑🎑🎑
Bersambung.
Situbondo, 23 Juni 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top