32. Cerita Akhiŕ


Seorang wanita berhijab yang terlihat lemah menekan sebuah tombol yang terletak lurus dengan pegangan di kursi rodanya memasuki sebuah kantor megah nan mewah. Ia memandang ke atas dan sekelilingnya mencari seseorang.

Lalu tanpa sengaja seorang wanita lain menyenggol kursi roda wanita itu. Wanita dengan pakaian yang bisa dibilang modis sedikit minimalis. Rok span ketat di atas lutut dengan atasan kemeja berwarna terang yang ditutupi blazer berwarna senada dengan rok. Wanita modis itu memandang heran pada wanita di kursi roda. Tanpa meminta maaf, si wanita modis berlalu begitu saja.

"Ehm maaf. Bolehkah saya bertanya sesuatu?" tanya si wanita berkursi roda yang tak lain adalah Faranisa.

Si wanita modis berbalik dan memandang aneh pada Fara. Sementara Fara dengan tampilan senyum khasnya seperti biasa akan mendekati lawan bicaranya terlebih dahulu.

"Ada apa ya?" Wanita modis malah balik bertanya.

"Apa ...."

Sebelum Fara menyelesaikan pertanyaannya, seorang laki-laki tampan dengan sedikit janggut di dagunya dan tangan dimasukkan ke saku menyapa Fara.

"Kukira kamu gak bakal dateng," ucap Aldric.

Fara menoleh dan tersenyum, "Maaf, aku telat. Tadi macet di jalan perbatasan."

Si wanita modis yang tak lain adalah Anggrek, menatap kedua manusia di depannya yang terlihat akrab jadi bertanya-tanya. Siapakah gerangan wanita berkursi roda dan apa hubungannya dengan Aldric? Laki-laki keren yang tajir melintir itu dengannya.

Aldric yang terlihat ngos-ngosan itu pun berkata pada Fara, "Ya udah ayo ikut aku," ucapnya tanpa menoleh pada Anggrek.

Fara tersenyum seraya menekan tombol jalan pada kursi rodanya, "Ayo!"

"Tunggu!" Anggrek menahan langkah Fara dan aldric. Keduanya menoleh. "Aldric, ini siapa?" tunjuk Anggrek pada Fara.

Fara yang awalnya tertegun mulai menyimpulkan senyum miringnya. Ia menjulurkan tangan, "Kenalkan, nama saya Faranisa. Ehmm, istri Aldric."

Aldric membuka mulut. Namun tak berkomentar karena melihat Fara mengedipkan sebelah mata secara diam-diam pada sang kakak. Aldric hanya bisa menggeleng pelan dengan tingkah usil adiknya. Sementara Anggrek sendiri langsung mematung dan menampilkan arah pandangnya pada Aldric. Aldric mengangguk pelan walaupun dengan sedikit keraguan.

Tanpa mempedulikan lagi bagaimana ekspresi wajah si wanita modis, Aldric dan Fara melanjutkan langkah ke ruangan Aldric yang memang sudah disiapkan khusus dari awal kerja sama oleh si empunya perusahaan yang merangkap sahabatnya sendiri dari jaman sekolah dulu, Dean Lewis.

Setelah memasuki ruangan Aldric, Fara memeriksa meja kakaknya itu.

"Apa yang kamu cari?" tanya Aldric.

Fara bergeming sejenak seraya memandang kakaknya, "Mana foto wanita yang kakak sukai itu? Jangan-jangan ..., wanita yang tadi."

"Ayolah, Faranisa jangan mengejekku."

"Wanita model begitu yang kamu suka, 'kan, Al?"

Sapaan keduanya memang terbiasa menyebut nama dibanding menyebut adik atau kakak. Kebiasaan itu diambil karena kedua orangtua mereka selalu sibuk. Keduanya dari kecil bukan lagi seperti saudara, tapi seperti kedua sahabat yang saling membutuhkan. Entah dosa apa yang harus ditanggung seorang Faranisa hingga ia mengidap penyakit mematikan. Aldric sempat marah pada kedua orangtuanya. Namun saat melihat Faranisa yang tegar dan melarang kakaknya untuk marah, Aldric menjadi lebih tenang.

"Memangnya kamu gak mau adikmu ini lebih mudah masuk surga? Setiap sakit yang aku rasakan, setiap itu juga sudah jadi penggugur dosaku," ucap Fara suatu hari.

Sebenarnya jika melihat latar belakang keluarga Aldric dan Fara, mereka bukanlah berasal dari keluarga agamis. Namun sejak Faranisa menikah dengan laki-laki bernama Abu Dzar yang baik dan agamis, Fara mulai memantapkan hati belajar agama lebih baik. Sholat lima waktu tanpa telat dan seperti jagung kena ulat lagi. Termasuk di dalamnya Aldric yang ketularan sang adik karena keduanya yang memang seperti sahabat dari kecil.

"Aku bukan kerbau dungu lagi, Faranisa. Jangan mengejekku," sahut Aldric.

Fara tertawa sampai deretan giginya yang berjejer rapi terlihat jelas. Bagaimana tidak. Membayangkan sang saudara kandung di masa lalu saja itu sudah membuatnya miris sekaligus meninggalkan senyum. Senyum karena akhirnya sang kakak memberikan kabar bahwa ia sudah jatuh cinta lagi pada seorang wanita.

"Sekarang ceritakan, wanita seperti apa yang kamu sukai itu," pinta Fara pada Aldric.

Aldric bergeming berpura-pura berpikir, "Dia baik, cuek, sedikit pemalu, tapi cerdas."

"Umm, sepertinya dia itu wanita yang unik, tapi aku perlu mengujinya dulu."

"Menguji apa?" Tatapan Aldric menandakan curiga.

"Bagaimana kalo aku berpura-pura jadi istri pertamamu."

"Jangan bercanda, Faranisa. Dia itu pernah menikah dan dikhianati oleh suaminya. Kalo rencanamu itu dilendingkan, bisa-bisa dia lari. Kamu mau aku patah hati lagi?"

Fara menekan tombol di kursi rodanya dan mendekati Aldric.

"Aku hanya ingin memastikan sekuat apa dia sebagai istrimu."

"Kali ini aku gak setuju. Aku gak akan biarin air matanya menetes sedikit pun. Bagiku dia wanita berlian. Aku yakin dia wanita berhati emas bahkan sebagai emas murni."

Kali ini Fara tertawa lagi dan lebih lebar sampai mulutnya terbuka.

"Abangku yang polos dan pecinta sejati. Itulah kelemahanmu. Dulu kamu bilang Bintang Rahayu seperti itu. Bintang adalah gadis polos. Bintang adalah cewek dambaan yang dicari semua pria karena selain cantik, setia dan lugu, Bintang adalah gadis cerdas. Dan kamu bisa rasakan setelah itu, setelah Bintang menikah denganmu, Kakak Aldric, Bintang yang terbiasa dengan belaian dan hartamu, dan kamu jatuh bangkrut, apa yang dia lakukan? Hmm?"

"Lagipula wanita tadi pasti akan bilang sama wanitamu bukan? Kalo kamu udah punya istri? Menurutmu gimana, Aldric?"

"Itu bisa aku jelaskan padanya nanti," sahut Aldric.

"Dan itu sama aja kalo kamu mengatakan si wanita berkursi roda ini penipu."

"Kalo kenyataannya memang begitu, Faranisa."

"Aldric, apa aku perlu mengingatkanmu lagi soal pemaafanmu terhadap Bintang yang ketika itu aku pasrah dengan keputusanmu dan lihat akhirnya? Dia mengkhianati lalu mengkhianatimu lagi, lagi dan lagi. Memangnya enak dikhianati kek makan biskuit?" ejek Fara.

Lalu Faranisa memasang wajah intimidasi pada Aldric, "Dan memang cuma kerbau dungu yang jatuh ke lubang yang sama dua kali, Kakakku tercinta. Jadi sekarang setelah kalah telak. Pliz jangan menolak ideku untuk menguji wanita bernama Ambar itu sebelum aku meninggalkanmu sendirian di dunia ini, Aldric."

Aldric langsung menelan salivanya yang dirasa pahit dan memejamkan mata cukup lama, "Jangan mengatakan itu, Faranisa. Takdir kematian tak harus dari penyakit. Bisa jadi aku yang lebih dulu meninggalkanmu, seperti ..., Abu Dzar," lirih Aldric.

Kemudian Aldric membuka matanya yang mulai basah seraya memeluk dan mencium ujung kepala sang adik yang tertutup hijab.

"Baiklah, aku setuju dengan idemu. Tapi kuminta, lakukan rencanamu ini setelah kami menikah. Aku ingin memilikinya. Dan semoga ia kuat melewati ujian darimu," ucap Aldric pasrah.

Aldric tertunduk membisu seraya menyisir kuat rambutnya dengan kelima jari. Gambaran kesedihan Ambar tak bisa ia bayangkan. Namun permintaan sang adik juga tak bisa ia elakkan. Hanya doanya dalam hati, semoga sang pujaan hati nanti adalah wanita yang benar-benar kuat. Tak seperti mantan istrinya dulu yang begitu lemah karena ujian harta benda. Wanita masa lalunya itu pun kembali berkelebat dalam benaknya. Bintang Rahayu. Gadis cantik dan polos yang ia nikahi sepenuh hati. Ia berikan semua pada sang merpati putih pendamping hidupnya itu.

Perusahaan Aldric sempat jatuh dan semua aset disita oleh Bank. Termasuk rumah yang ia tempati bersama sang pujaan hati. Namun sayang, sang merpati tak cukup kuat menahan kepakan sayap saat jatuh ke bumi. Hingga ia tega meninggalkan sang pemilik hatinya dan mencari istana baru untuk bernaung dari sengatan sang surya. Begitulah gambaran kehidupan masa lalu seorang Aldric. Sudah jatuh tertimpa tangga.

Fara yang geram pada Bintang ikut mengusir istri sang kakak. Padahal Aldric sebenarnya sudah memaafkan Bintang dan mau menerimanya lagi walaupun Bintang sudah pernah meninggalkannya dengan laki-laki lain.

"Gak, Aldric! Sebaiknya wanita itu pergi aja. Biarin dia cari laki-laki itu! Dia gak pantas lagi jadi istrimu!" geram Fara.

"Faranisa, Bintang mungkin khilaf. Maafin dia." Aldric memohon pada sang adik yang bersikukuh hendak mengusir sang ipar dari rumah Aldric. "Fara, ikut denganku. Bintang, kamu tunggu di sini dulu ya?"

Aldric mengajak Fara sang adik untuk berbicara empat mata. Bicara dari hati ke hati. Ia tak mau sang adik bersikeras begitu.

"Biasanya juga seorang Faranisa berhati lembut dengan senyum manisnya. Kenapa sekarang jadi keras begini?" rayu Aldric.

Faranisa merajuk. Ia melipat tangan di dada dan melihat lurus ke depan tanpa menoleh pada lawan bicaranya.

"Dari awal aku gak suka sama Bintang, Aldric. Terlalu banyak tingkah. Dan sekarang, dia selingkuh. Ini perkara serius. Selingkuh itu fatal. Gak bisa dimaafkan!" tukas Fara. "Dan kamu Aldric, mau maafin Bintang yang udah ternoda kesetiaannya sama kamu? Liat saja, dia bakal ngulangi lagi perbuatannya."

Aldric yang mencoba bersabar menghadapi keangkuhan Fara, berbicara sekali lagi pada sang adik.

"Setiap orang pasti pernah bersalah dan berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua, Fara," ucap Aldric lembut.

"Perselingkuhan itu pengecualian, Kakakku tersayang," sahut Fara ketus dengan tangan masih terlipat di dada. Namun kemudian ia berbalik dan memandang lekat manik mata sang kakak. "Baiklah. Ini hidupmu, Aldric. Aku hanya ingin mengingatkan saja. Setelah ini, aku gak mau ngurusi urusanmu dengan si Bintang Durjana itu lagi."

Faranisa keluar dari rumah Aldric dengan perasaan kesal. Ia menyayangkan sikap Aldric yang terlalu lemah dalam mengambil keputusan hanya karena perasaan cintanya. Aldric hanya bisa pasrah. Ia pikir, orang yang ia cintai punya kesempatan kedua untuk memperbaiki sikap. Sementara bagi Fara sang adik, selingkuh adalah kesalahan terbesar yang tak punya alasan untuk dimaafkan apalagi mendapat kesempatan lagi.

🌿🌿🌿

"Itulah kenapa, Fara mempunyai ide gila dengan membohongimu dan mengatakan kalo dia adalah istri pertamaku."

Aku jadi berpikir sesuatu, "Lalu apa hubungannya pengkhianatan karena harta seperti yang mantan istrimu lakukan dengan drama poligami itu? Bukannya itu jauh berbeda? Gimana kalo suatu saat aku mengkhianati Mas Al karena harta juga? Apa itu tak terpikirkan oleh kalian? Bisa aja kan aku dendam dan mengkhianati Mas Al?" Sepertinya aku perlu menanyakan ini. Sebenarnya hal itu jauh dari bayanganku.

Mas Al malah tertawa, "Aku juga sempat menanyakan hal itu pada Fara. Tapi apa jawaban cerdasnya?"

"Apa?"

"Sebenarnya yang membuat orang berkhianat itu bukanlah objeknya, Aldric. Seperti Bintang yang mengkhianatimu karena harta atau Akbar yang mengkhianati Ambar karena cinta masa lalu. Bukan. Bukanlah karena alasan. Tapi karena mental. Mental pengkhianat itu adalah mental remahan kerupuk. Yang aku uji dari istrimu adalah mentalnya. Sesederhana itu. Manusia yang mempunyai mental buruk, biasanya tidak memiliki keteguhan prinsip dalam hidup. Dan itu saling bersinggungan, Kakakku yang cerdas!"

Aku tertunduk dan mengiyakan ucapan Fara. Perselingkuhan adalah jalan buruk karena mental yang lemah dan tak memiliki prinsip hidup. Kuakui Faranisa adalah wanita yang benar-benar cerdas.

"Aku dan Fara memiliki pandangan yang sama, Mas. Itulah kenapa, saat Akbar mengkhianatiku, aku langsung pergi darinya. Sementara dirimu, sudah berusaha jujur pada istri pertamamu. Istri pertama drama." Aku pun tertawa. Lalu kukatakan, "Kejujuran itu adalah yang paling utama."

Aldric mengangguk tanda setuju, "Seandainya pun aku memiliki istri pertama, pasti dari awal menikah, aku akan jujur padamu, Ambar. Tapi karena ini hanya sebentuk sandiwara, aku diam dan ikut terluka melihatmu menangis. Dalam hati aku berdoa, semoga kau kuat menjadi istriku. Aku sudah ikhlas dengan yang namanya jodoh tak ke mana. Semoga kita berjodoh dunia akhirat dan ujian apapun yang terjadi dalam rumah tangga kita akhirnya adalah bunga rumah tangga yang pada akhirnya membuat kita bertambah mesra," ujar Mas Al.

"Ada satu hal yang masih mengganjal perasaanku, Mas," sahutku.

"Apalagi?"

"Aku belum bisa memberikanmu anak, Mas. Aku takut kamu ...."

Mas Aldric menatapku lekat. Di balik manik mata yang berkaca-kaca itu, ia mengatakan sesuatu yang membuat hatiku tersentuh.

"Jangan mengadakan suatu perkara yang memang belum ada. Slowly aja dulu, Sayang. Kita jalani yang semestinya sambil terus berďoa dan berusaha. Insya Allah, Allah kasi jalan. Percayalah soal itu." Setelah mengatakan itu, ia merengkuhku dan dalam lirih, Mas Al mengucapkan terima kasih atas semuanya. Aku membalas ucapan terima kasihnya dengan ucapan yang sama dengan air mata tersembunyi yang berlinang tentunya.

Dalam hati aku mengamini setiap doa yang terpancar dan meyakini setiap harapan akan hadir di depan mata.

Bahwa setiap masalah kehidupan dipastikan memang selalu ada. Karena takdirnya, kehidupan memang ladangnya ujian.

Karena itu aku selalu tenang walaupun hatiku sama besar gemuruhnya dengan masalah yang tengah menerpaku.

Karena aku meyakini akan jalan lurus menuju pada sebuah kebaikan.

Kebaikan yang kita jalani akan dibalas dengan kebahagiaan. Begitu pun sebaliknya. Keburukan akan berbalas dengan kehinaan. Percayalah soal itu.

Takkan mudah melukai hati khususnya hati seorang perempuan. Karena yang Tuhan jaga dan pelihara dari setiap jasad adalah hati itu sendiri.

Percayalah! Luka seorang perempuan yang terkhianati akan berbalas kebahagiaan jika perempuan itu tegar dan menikmati setiap luka dengan doa dan rasa syukurnya.

Luka seorang perempuan, bagaikan daun kering yang jatuh dari dahan dan berganti menjadi tunas kebahagiaan baru. Nantikan tunas itu menjadi buah kebaikan.

Inilah kisahku_
Ambar Sari.

☕☕☕
Bersambung
Situbondo, 23 Januari 2019

Follow IG mawarmalka😄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top