31. Bidadari Surga.

PoV Author.
Flashback on.

"Penyakit ini sudah merenggut kebahagiaanku, Mas!" pekik Fara.

Fara berlari memeluk dada Abu Dzar, suaminya. Lelaki sholeh yang selalu mengajarkan sang istri arti tawakkal.

Setelah 3 tahun pernikahan, Abu Dzar dan Faranisa Zahrah tak jua dikaruniai anak. Sakit yang mendera rahim Fara terus meronta menghapuskan harapan mereka memiliki anak. Padahal mereka sudah berobat dan mengusahakan yang terbaik. Namun hasilnya nihil. Penyakit Fara justru bertambah parah sampai stadium akhir dan rahimnya harus segera diangkat. Fara merasa semuanya jatuh dan runtuh. Untunglah sang suami selalu memberikan motivasi dan doa agar sang istri bisa sembuh. Keduanya tambah kompak dalam segala hal. Walaupun di tengah-tengah mereka tak ada celotehan buah hati.

"Ada Allah, Sayang. Jangan putus asa. Ingat! Penyakitmu itu sebagai penggugur dosamu. Berbahagialah, Hai wanita penyabar," ujar Abu Dzar.

Ucapan sang suami lumayan memberikan Faranisa ketenangan.

"Lalu bagaimana dengan operasi pengangkatan rahim itu? Aku gak akan bisa punya anak selamanya," rengek Fara.

Abu Dzar semakin mengeratkan pelukannya seraya berbisik di telinga sang istri, "Kita bisa adopsi anak yatim piatu. Mau berapapun, terserah Adik. Yang penting jangan menangis lagi."

"Terima kasih atas supportnya, Duhai penyambung surgaku, Suamiku. Aku semakin mencintaimu karena Allah," sahut Fara.

Abu Dzar memandang lekat penuh cinta pada sang istri, "Aku memilihmu karena kesholehahanmu, Duhai penenang kalbuku, Bidadari surgaku. Ingatlah satu hal. Kehidupan di dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, Sayang. Jadi jangan diambil serius, kecuali hal yang berhubungan dengan hubungan kita pada Allah, makhluk-Nya dan alam semesta ini."

Air mata Faranisa Zahrah berlinang dengan menatap sang suami, "Bagiku kau adalah cerminan surga, Suamiku."

Flashback off.

"Kehidupan rumah tangga Faranisa bisa dibilang sangat sempurna karena suami yang sempurna. Yang menyayanginya tanpa kata tapi. Sampai satu hari, Faranisa kabur dari rumah karena tidak kuat menanggung beban ujian yang ditimpakan padanya."

Mas Aldric nampak sangat sedih membayangkan Mbak Fara. Wajahnya memerah karena kesedihan yang kurasa sangat mendalam.

"Aku dan Abu Dzar mencari Faranisa ke mana-mana. Kami juga mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat kutemukan alasannya lewat sebuah berkas dari cek laboratorium rumah sakit barulah kumengerti. Faranisa mengalami kanker serviks yang menyerangnya setelah rahimnya diangkat."

Karena aku sudah tahu cerita ini dari Mas Al sebelumnya, jadi aku tak begitu terkejut. Yang masih menjadi pertanyaan, apa hubungan Mas Al dengan mereka? Tapi aku masih tenang mendengar kisah Mbak Fara dan suaminya bernama Abu Dzar itu.

"Kami mencari Faranisa ke mana-mana. Setelah sebuah informasi valid, akhirnya kuperoleh info kalo Faranisa menemui sahabatnya. Aku dan Abu Dzar langsung ke sana. Dan benar saja, Faranisa ada di sana. Dia memelukku begitu erat dan seakan menjauh dari suaminya."

Aku semakin tak sabar ingin mendengar kisah Mbak Fara karena kulihat, Mas Al seolah tak kuasa untuk melanjutkan ceritanya. Kesedihan mendalam itu bisa sangat kurasakan dari suamiku ini.

"Faranisa tak segera mau menemui suaminya. Ia seperti akan gila saja karena merasa tak mampu menemui sang suami. Saat itu, yang kulihat justru sebaliknya. Abu Dzar segera mendekap Faranisa begitu erat dan mengatakan bahwa ia sangat menyayangi sang istri bagaimana pun keadaannya."

"Keluarga kita adalah keluarga sempurna, Istriku. Jadi seperti janji Allah, la takhof wa la tahzan, innaLlaha ma'ana. Jangan takut dan janganlah bersedih. Sesungguhnya Allah bersama kita. Kita hadapi ini berdua. Janganlah merasa sendirian seperti ini, Sayangku," ucap Abu Dzar.

"Aku iri melihat kehidupan rumah tangga mereka. Abu Dzar adalah pemimpin rumah tangga yang menyamai hati malaikat. Dekat dan semakin mendekat sama Allah, semakin dia menjadi malaikat tanpa sayap bagi Faranisa. Bagaimana senyum tulus itu bisa lepas dari seorang Faranisa, Mbar, Istriku tersayang," lanjut Mas Al.

Kisah ini begitu unik dan seperti dongeng bagiku. Untunglah aku sempat bertemu dengan Mbak Fara yang memang ketulusannya di atas rata-rata. Jadi aku percaya saja. Lalu bagaimana dengan Abu Dzar? Sepertinya harus kutunggu dengan sabar dulu Mas Aldric menyelesaikan ceritanya.

"Mereka masih menjalani kehidupan yang membahagiakan. Hidup berumahtangga dengan sempurna. Sampai suatu hari ...."

Mas Al seketika tak bisa melanjutkan kisahnya. Ia malah memelukku erat yang segera kutangkap. Ia menangis di bahuku.

"Ada apa?" tanyaku kemudian.

"Malam itu adalah malam bulan ramadan yang diyakini Abu Dzar sebagai Malam Lailatul Qadar. Ia izin pada Faranisa keluar selepas sholat malam untuk sekedar berjalan-jalan keluar rumah sembari mengagungkan nama Allah. Itu cerita Faranisa kemudian padaku. Namun sayang, nahas menimpa Abu Dzar. Beberapa orang tak dikenal tega menghabisi nyawa Abu Dzar entah dengan alasan apa. Padahal yang kutahu, seorang Abu Dzar tidak mungkin memiliki musuh."

"Ap-apa? Abu Dzar meninggal?"

Mas Al mengangguk perlahan dengan tangisan pilu.

"Ia tidak meninggal di tempat kejadian. Seseorang menemukan tubuhnya tergolek tak berdaya di tanah dan membawanya segera ke rumah sakit. Hebatnya, saat Abu Dzar dibawa ke rumah sakit, ia menolak untuk diinfus atau diberi minum. Dalam keadaan luka dan selemah itu, ia menyemburkan semua makanan atau minuman yang coba dimasukkan ke dalam mulutnya. Faranisa yang berada di sisinya kala itu mengingat sebuah ucapan yang dikatakan suaminya."

"Jangankan aku sakit, Istriku. Demi Allah, bahkan akan meninggal saja, aku tak akan pernah melepas puasaku."

Tangis Mas Al pecah. Begitu pun denganku. Aku membuka tangan seraya dalam hati mengagungkan nama penciptaku. Ada orang yang sudah sedemikian sekarat masih menomorsatukan ibadahnya. Aku ikut menangis mendengarkan kisah haru ini.

"Saat sakaratul maut itu hendak menjemput, Abu Dzar membisikkan sesuatu yang sangat pelan pada Faranisa. Yang mampu membuat Faranisa tersenyum sampai ajal menjemputnya kemaren."

"Aku menunggumu di surga-Nya, Istriku."

"Setelah mengatakan kalimat toyibah Lailaha illaLlah, Abu Dzar menutup mata untuk selama-lamanya. Sejak itu, Faranisa bisa sebegitu tegar menikmati sakit yang ia derita."

"Apa karena itu Mbak Fara tidak mau diobati, Mas?"

"Itu kan cuma sangkaanmu aja. Seorang muslim dilarang putus asa. Aku dan kedua orangtuaku bahkan sudah bolak-balik Singapura buat pengobatan Faranisa."

Orangtua Mas Aldric bahkan sedekat itu pada Mbak Fara. Entah kenapa aku merasakan kecemburuan itu sekarang. Mbak Fara berarti sangat dekat dengan keluarga Mas Al.

Mas Al menoleh padaku sambil tersenyum. Mungkin karena melihatku bungkam seketika. Ia seolah mengerti bahasa perasaanku dengan cara mendekap tubuhku.

"Terima kasih, Istriku. Sudah menjadi bagian terindah dalam ceritaku. Semoga aku tidak kalah sabar dari Abu Dzar dalam membimbing bidadari surganya."

"Kalian sedekat itu," ucapku pelan.

Mas Aldric yang awalnya seolah bersedih, berbalik tertawa hebat melihatku langsung murung, "Duhai Sayang, pendengar yang baik juga punya hak sebagai penanya yang baik. Kenapa gak nanya aja?"

"Apa?" Aku pura-pura tak mengerti. Mas Al memencet ujung hidungku.

"Dari tadi penasaran 'kan siapa Faranisa? Istri keduaku itu?"

Dengan ragu atau setengah malu, aku mengangguk pelan.

"Sebenernya Mbak Fara itu siapanya Mas Al? Apalagi Mas Al keknya deket sama Mbak Fara, sama suaminya juga. Orangtua Mas Al juga dekat sama Mbak Fara. Bahkan aku pernah, eh sering melihat Mas Al meluk Mbak Fara. Nyium kening Mbak Fara di depanku. Papa mama Mas Al juga pulang paling akhir di pemakaman kemaren."

Mas Al tersenyum tipis seolah mengenang wanita itu, "Kenapa? Cemburu?"

"Nanya aja. Penasaran akut. Kan Mbak Fara bukan mahram Mas Al?"

"Dia itu mahramku, Mbar. Dari mulai dia bayi aku yang suka gendong."

"Kok bisa?"

Karena kesal, aku mencubit kuat lengan dalam Mas Al. Mas Al menjerit kesakitan. Biarkan. Aku sedang dilanda penasaran akut.

"Karena Faranisa Zahrah adalah adik kandungku."

Sumpah! Demi Allah! Aku seakan mau jatuh pingsan mendengar itu.

"Ap-apa!? Lalu, lalu, selama ini? Kalian?"

Aku kesal. Aku mau menangis. Aku akan menjerit. Apa bahagia. Apa sedih. Intinya aku terkejut. Lalu tanpa sengaja aku berteriak.

"Mas Aldriiiiiic!!!!"

Tangisku pecah seketika. Aku tak tahu perasaan apa yang menyelubungi hatiku. Kalian! Benar-benar memainkan perasaanku. Tapi aku bahagia mendengar ini. Tangisku semakin meledak. Mas Al segera memelukku. Seraya berbisik, "Aku tak pernah menduakanmu dengan siapapun, Sayang. Karena aku tahu, wanita sepertimu pantas untuk diistimewakan." Mas Al mencium keningku dengan mata yang basah.

"Sekarang ikut denganku lagi. Ada surat terakhir dari Faranisa untukmu."

🌿🌿🌿

Assalamualaikum, Ambar.

Hai, apa kabarmu? Bagaimana keadaanmu sekarang?

Semoga kau selalu sehat. Jauh dari derita dan luka lagi.

Pertama kata dariku adalah maaf. Mungkin aku tak sempat meminta maaf langsung.

Maafkan aku.

Maafkan kelancanganku mempermainkan perasaanmu.

Ini demi kakak tersayangku, Aldric.

Aku ingin dia bahagia bersama istri berhati malaikat sepertimu.

Tapi aku tak langsung yakin dengan pilihannya.

Dia pernah salah pilih pasangan hidup yang hampir membuatnya gila dan itu membuatku amat sangat kesal.

Sekali lagi kukatakan, aku tahu, kau pasti baik. Tapi itu tidak membuatku yakin.

Sebelum aku pergi selamanya. Kujamin kedua orangtuaku tidak punya anak yang gila lagi. Apalagi karena seorang wanita yang tak bertanggungjawab.

Biarlah yang menceritakan kisah ini adalah si empunya sendiri, kakakku tersayang, suamimu yang pernah salah pilih pasangan itu, Aldric Runako Halim.

Mungkin ketika kau membaca surat ini, aku sudah pergi untuk selamanya.

Sungguh, demi Allah! Maafkan aku.

Maafkan aku, Ambar.

Wassalamualaikum.

Dariku,

Faranisa Zahrah.

🗻🗻🗻

Bersambung
Situbondo, 9 Januari 2019

Follow IG mawarmalka😄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top