3. Yang Tak Kutahu
Aku setia menunggu telepon berdering yang berbunyi sebagai tanda panggilan dari Akbar, suamiku. Ponsel kuputar-putar tak henti dengan rasa malas. Seandainya saja kami sudah dikaruniai anak, mungkin aku tak akan merasa kesepian seperti ini. Tapi ya sudahlah, sesuatu yang memang sudah aku jalani, aku ikhlaskan saja. Bersabar. Lagi pula Akbar bagiku adalah sosok manusia dari kaum Adam yang tak berkekurangan dari segi kasih sayang dan perhatian. Terlalu sempurna bagiku. Mengingatnya saja membuat bibirku tak bisa melepas senyum ini. Aku hanya tak mengerti pada diriku, kenapa aku begitu mendambanya selalu. Tak ada kata bosan saat mengingatnya.
🌿🌿🌿
Aku kesal sendiri, sudah tiga hari ini nomor ponsel Akbar tidak aktif. Aku seperti orang gila mencoba menghubunginya setiap saat. Aku benar-benar takut, ada apa ini sebenarnya? Tak satu pun nomor temannya yang kutahu. Ada apa denganmu, Suamiku?
Aku menemui mertuaku dengan tergesa. Jarak tempuh rumah kami dengan rumah orang tua Akbar sekitar lima setengah jam. Cukup jauh. Sebelumnya aku tak memberi kabar apa-apa hendak ke sana. Aku hanya tak ingin mereka ikut khawatir jika aku mengatakan langsung bahwa Akbar tak ada kabar. Besar harapanku mereka tahu. Setidaknya Akbar memberi kabar pada orangtuanya karena kutahu, suamiku itu paling patuh dan mengabari orangtuanya lebih dulu jika terjadi sesuatu hal.
Aku membaca doa dalam hati tanpa henti. Semoga ada titik terang setelah di rumah Akbar. Dan mengobati kegilaan ini karena tak ada kabar darinya. Sesampainya di sana, aku disambut begitu hangat oleh mertuaku.
Dan yang membuatku terkejut adalah, suamiku sudah berada di sana. Ia tertidur di kamarnya yang dulu, sebelum menikah denganku.
Kenapa ia tak menghubungiku bila Akbar memang ada di sini? Ada apa sebenarnya? Sulitkah ia menghubungiku? Namun kuhempaskan pikiran burukku dan beralih lega melihatnya baik-baik saja dengan wajahnya yang tertidur pulas. Aku tersenyum segera melihat mimik wajah tertidur itu. Mirip seperti bayi tanpa dosa. Seandainya aku sudah memiliki anak darinya, mungkin anakku kuyakin sama persis dengan wajahnya kini. Ahh, lagi-lagi aku teringat akan seorang bayi mungil. Aku menginginkannya, sangat menginginkannya.
Aku duduk di sisi tempat tidur dan menatap wajahnya lama. Tanganku mengusap pipinya pelan. Sepertinya suamiku sangat kelelahan. Ia memejamkan mata begitu rapat. Karena gemas, aku mengecup keningnya penuh kelembutan dan kasih sayang, seperti perlakuan ia biasanya padaku. Lambat laun, kelopak bening Akbar terbuka perlahan dan mengalihkan pandangannya padaku. Dan membalikkan tubuhnya padaku.
"Adek?"
Aku tersenyum manis dan mengangguk pelan. Tanganku terjulur menata rambutnya. Ia mengusap pinggir bibir dengan punggung tangannya.
"Mas Akbar ngiler yaa?"
Aku cekikikan melihat tampang polosnya yang mengusap cairan dekat bibirnya itu. Akbar membalasku dengan senyum lebar.
Ia menggaruk rambut dan mengusap wajah. "Ini iler kerja keras, Sayang."
Aku melebarkan tawaku mendengar selorohnya. Tapi kemudian aku mengerucutkan bibir saat mengingat tiga hari ia tak memberi kabar.
"Oiya, Dek. Hape mas hilang, jadi gak sempet ngubungi kamu. Karena lebih dekat, mas pulang ke rumah papa mama dulu, gak pa-pa 'kan?"
Aku menggeleng. "Gak pa-pa. Tapi lain kali kasi kabar ya, Mas? Aku kan khawatir," rengekku.
"Iyaa, maafkan mas, Dek," ucapnya pelan.
Aku mengangguk. Hanya dalam hati, aku berharap semoga saja kejadian seperti ini tak terjadi lagi. Tak ada kabar darinya membuatku akan gila saja. Bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Mas tahu, kegilaanku karena gak ada kabar dari Mas, membuatku sampai tiba di sini. Padahal seumur-umur, aku ke sini harus dateng sama Mas."
Ia terkekeh pelan dan mengacak hijabku asal.
"Sekali-kali belajarlah tanpa aku, Dek. Kalo suatu saat nanti Adek jauh dari aku, Adek harus bisa mandiri."
Aku mencubit lengannya keras sampai ia mengaduh kesakitan.
"Memangnya mau jauh ke mana?" ucapku sebal.
"Umur kan gak ada yang tahu, Sayang."
Ucapannya seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku segera memeluk tubuhnya dan mengangkat wajah memandangnya lama.
"Jangan bilang gitu, Mas. Aku sudah berdoa siang malam. Umur kita sampai nanti, sampai kakek nenek dan melihat anak cucu kita di dunia ini."
"Adek, jangan terlalu lebay ahh, manusia cuma berusaha dan berdoa, tapi Allah Yang punya Kuasa. Berdoa saja, semoga semua hambatan apapun dalam hidup ini, dapat kita atasi, oke? Jangan sedih lagi, Sayang," tuturnya lemah lembut.
Aku kembali mengembangkan senyum mendengar nasehatnya. Selain karena dia begitu mempesona bagiku, pemikirannya yang dewasa selalu saja bisa membuatku tenang.
"Di Al-Qur'an itu, kita disuruh cari pasangan yang bisa jadi qurrota a'yun, penenang hati kita, dan aku bisa dapatkan itu dari suamiku," ujarku menggodanya.
Akbar tertawa lebar mendengar selorohku. Selalu saja begitu. Tak lama kuta bercanda di dalam kamar, Akbar segera ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sementara aku membantu ibu mertua menyiapkan makan siang.
"Mas Akbar kapan datang, Ma?" tanyaku pada mama Akbar. Bukan sekedar ingin berbasa-basi, tapi tadi aku lupa menanyakannya pada Akbar.
"Semalem, Bar."
Aku mengangguk tanda mengerti dan kembali sibuk mengaduk kuah sop buntut dalam kuali. Ini juga salah satu makanan favorit Akbar.
"Kamu tumben berani dateng ke sini sendirian? Bukannya takut kalo naek kendaraan umum jauh-jauh?" tanya Mama Ira, mama Akbar.
"Mas Akbar tiga hari gak ada kabar, Ma. Karena itu aku langsung dateng ke sini sendiri. Nekat sih, namanya juga bingung. Gak tahunya Mas Akbar sudah di sini. AlhamduliLlaah," sahutku.
Mama Ira seperti terkejut mendengar ucapanku. Dia diam sejenak sebelum kembali sibuk memotong daging.
"Trus kata Akbar, kenapa dia gak ngubungi kamu?"
"Hapenya Mas Akbar ilang, Ma. Tapi yang aku heranin, kenapa Mas Akbar gak beli lagi ya, Ma? Apa uangnya gak cukup? Aku takutnya, uang dia juga habis. Aku punya simpenan sih. Nanti saja aku tanya ke Mas Akbar."
Ibu mertuaku kembali sibuk memotong daging dan melumurinya dengan bumbu setelah dicuci bersih. Ia seolah tak menanggapi ucapanku, tapi aku melihat sejenak anggukannya.
Setelah semua makanan siap, aku segera membersihkan meja dan menata makanan dan peralatan makan sedemikian rupa. Mama Ira memanggil penghuni rumah mertua. Papa Akbar dan kedua adik Akbar yang sudah kuliah dan masih SMA yang bungsu. Aku memanggil Akbar langsung ke kamarnya. Tapi ia tak berada di sana. Aku mencari ke mana dia. Ternyata dia dari depan rumahnya.
"Kukira Mas ke mana," ucapku.
"Ke depan, Dek, bentar."
"Ngapain?"
Dia nampak ragu menjawab. "Itu, lagi pengen santai aja di depan. Duduk di kursi teras."
Aku ber- "oh" ria. Kupikir dia sedang apa sampai terkesan ragu begitu berbicara padaku. Mungkin efek baru bangun tidur. Membayangkan saja membuatku terkekeh geli. Aku segera menyeret lengan dan mendudukkannya di kursi tempat makan. Kuambilkan piring; mengambilkan lauk dan sayurnya. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dari sikap Akbar pagi ini. Cuma tak kutahu itu apa. Tapi ya sudahlah, mungkin itu hanya peradaanku saja. Rada bimbang ditinggal tanpa kabar kemaren mungkin jadi salah satu pemicunya.
Tuhan ..., andaikan aku boleh meminta lebih, aku hanya ingin dia dan dia, suamiku, yang sudah menjadi ikatan hati suci ini untuk tetap bersamaku. Rasa ini begitu tulus sampai tak ada yang lebih istimewa kecuali dia, Akbarku.
🎑🎑🎑
Bersambung
Situbondo, 20 Juni 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top