28. Sebuah Kesempatan
Jika luka memang mengajarkan aku kekuatan, maka aku rela terluka sekarang. Namun setelah ini, lihatlah! Aku akan menjadi lebih kuat dari ini.
Kesakitan memberikan aku kesempatan untuk mensyukuri setiap manik kebahagiaan.
🌿🌿🌿
"Dan setiap usaha itu gak akan pernah sia-sia, Nak. Lihatlah nanti hasilnya."
Aku tak mengerti ucapan ayah saat aku menceritakan semuanya. Entah karena dia membela menantu kesayangannya itu, ataukah memang harusnya begitu.
"Yah, jujur Ambar terluka," ucapku.
Aku bahkan tak mengerti pada diriku sendiri. Begitu mudahnya aku menceritakan ini pada ayah dan ibu untuk meminta saran mereka. Sementara pada Akbar dulu, sangat sulitnya aku terbuka.
"Iya, Nduk. Siapa tahu niatnya Nak Aldric baik," imbuh ibu.
"Bu, anakmu ini terluka."
"Terluka kok bilang-bilang. Dulu aja sama Akbar gak ada cerita, moro cerai."
Aku mendengus, "Sepertinya malah kamu menikmati hidup sama mereka," tebak ayah.
Benarkah aku menikmati kehidupanku dengan mereka?
Sepertinya aku melupakan sesuatu. Aku segera bangkit dan menghubungi Mas Aldric.
"Lah, mau ke mana, Mbar?" tanya ibu.
"Mau call Mas Al dulu, Bu."
Aku bangkit dan mencari ponselku di meja. Segera kuhubungi nomor Mas Al. Tanpa ragu lagi, ia langsung menerima panggilan teleponku.
"Mas ada di mana?"
Apa dia sedang bersama Mbak Fara? Ya Allah aku merasa ..., sakit.
"Aku di kantor Lewis, Mbar. Ada apa? Kamu ijin lagi buat pulang?"
"Aku ingin menemui Mbak Fara, Mas."
"Nanti aku jemput."
Oh, ternyata dia tidak sedang bersama Mbak Fara.
🌿🌿🌿
Malam menjelang. Aku dan Mas Al menuju ke tempat Mbak Fara berada. Aku menoleh sejenak di dalam mobil pada Mas Al.
"Mas Al emang sering ninggalin Mbak Fara sendirian gini?"
Mas Al mengangguk tanpa sepatah kata pun.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Entahlah. Kami sudah terbiasa jauh-jauhan."
"Tapi 'kan Mbak Fara sakit, Mas?"
Aku justru merasa iba pada Mbak Fara kalau seperti ini ceritanya.
"Iya," jawab Mas Al singkat.
"Mas Al gak lagi tengkar 'kan sama Mbak Fara? Mbak Fara lagi sakit lho, Mas."
Mas Al tak menjawab. Ia hanya menggosok kepalaku tanpa menoleh dan memilih bungkam. Aku tak ingin meneruskan pertanyaanku lagi. Mereka berdua juga punya privacy. Oh, Tuhan. Aku harus belajar menerima ini semua karena aku sudah memutuskan suatu hal soal hubunganku ini.
Sesampainya di tempat ini. Rumah Mbak Fara. Di tempat yang sejuk dan jauh dari polusi. Di sebuah desa di daerah pegunungan. Terhampar kebun kopi. Di mana sebuah perusahaan besar dari kebun kopi luwak memilih usahanya untuk menanam kopi di sini. Tempatnya yang sejuk dengan curah hujan yang tinggi.
Aku melihat wanita itu lagi. Wanita berhijab bermental baja. Namun sekaligus berhati kapas secara bersamaan. Kuat dan lembutnya dia mampu membuat semua orang terhipnotis oleh senyumnya untuk memeluk dan menjaganya sepenuh hati. Yah, aku di sini. Kembali memeluk wanita yang juga dicintai oleh suamiku.
"Ambar! Aku bahagia melihatmu," ucap Mbak Fara.
Kenapa wanita ini begitu tulus? Di mana letak hatinya? Apa dia tidak merasa sakit melihatku datang bersama orang yang dia juga cintai? Malah senyumnya merekah begitu lebar. Aku tahu, di balik senyum Mas Aldric, semburat luka tengah memurungkan wajahnya seketika.
"Gimana keadaan Mbak Fara?"
"Aku selalu baik dan selalu bahagia," ucapnya bersemangat.
Ya rabb ....
Aku memeluknya lagi. Kali ini dengan tetesan air mata yang sulit kubendung.
"Hei! Kenapa menangis, Ambar?"
Aku menggeleng dan mengusap air mataku dengan ujung lengan bajuku. Bodoh bila dibilang aku jorok.
"Mbak Fara, Mas Al. Aku mau menerima kalian. Aku sudah putuskan ini. Aku janji akan menuhi permintaan Mbak Fara buat punya bebi. Aku ingin Mbak Fara yang menggendong dan mendekapnya untuk pertama kali. Aku akan masuk ke dalam cerita kehidupan kalian bersama anakku dengan Mas Al!" ucapku tegas.
Bukannya bersedih, Mbak Fara justru setia dengan senyum lebarnya.
"Asiiik! Akhirnya aku bisa jadi ibu!" soraknya.
Aku menoleh pada Mas Al. Dia malah berjalan menjauh dariku dan Mbak Fara. Aku tahu dia menangis. Oh, Ya Allah, seperti kataku tadi, aku harus belajar menerima ini semua. Menjadikan ini pembiasaan baru bagiku. Mbak Fara hanya menoleh pada Mas Al sekilas. Aku pun tahu ia tersenyum kecut.
"Mbak Fara sudah makan?" tanyaku sedikit basa-basi.
Mbak Fara tersenyum dan mengangguk.
"Mbak, lama-lama aku pengen bogem mentah orang deh," ujarku.
Mbak Fara mengernyitkan kening, "Siapa?"
"Itu Mas Al," tunjukku dengan mengangkat dagu pada langkah Mas Al yang semakin menjauh dariku dan Mbak Fara.
"Kenapa?"
"Dia nangis mulu perasaan."
"Dari kecil, Aldric memang gampang tersentuh. Bahkan kodoknya mati aja dulu, dia nangis. Sampai dibuatin kuburan sama Aldric. Disirami dan ditaburi bunga-bunga."
"What? Segitunya? Dia cowok tulen, Mbak. Tapi kok gitu?"
Apakah aku salah dapat suami? Gagah, tapi kok cengeng? Alhamdulillah sih gak melambai.
"Iya. Mentalnya baja, tapi hatinya lembut dan empatinya tinggi."
"Mbak Fara kok tahu banyak hal tentang Mas Aldric?" tanyaku menyelidik.
Nampak sekali Mbak Fara tertegun dan terlihat salah tingkah.
"Kami ..., kami sahabat dari kecil, Ambar." Mbak Fara menatapku. "Maafkan bila ucapanku justru menyakitimu," ucapnya kemudian.
"Oh, nggak kok. Gak pa-pa, Mbak. Justru buatku Mas Al itu tipe manusia berjenis kelamin laki-laki yang sifatnya sulit ditebak. Jadi kalo gini kan aku cukup nanya ke Mbak Fara aja."
Dan aku malah menampilkan cengiranku membuat Mbak Fara tertawa geli melihatku.
"Mbak Fara ...," panggilku pelan.
Mbak Fara menoleh padaku.
"Ada apa?"
Aku mengambil tangan Mbak Fara dan mengusap punggung tangannya pelan seraya menatapnya lekat. Aku mulai menyayangi wanita yang kusebut madu ini. Sangat menyayanginya. Dia sudah seperti saudara kandungku sekarang.
"Mulai sekarang, aku akan berusaha untuk menjadi bagian dari kalian. Maafkan aku jika Mbak Fara merasa terusik dengan keberadaanku."
Mata bening Mbak Fara berkaca-kaca, "Aku justru merasa lega. Sangat sangat lega. Aldric bisa memiliki pendamping hidup sebaik kamu, Ambar. Ketika masanya nanti aku pergi, aku tidak akan merasa khawatir Aldric akan kesedihan lagi untuk kedua kalinya. Dia laki-laki yang baik, Ambar. Percayalah!"
Aku segera memeluk Mbak Fara, "Dengan seijin Allah, Mbak. Aku akan menjaganya demi Mbak Fara. Aku akan memberinya banyak keturunan. Aku akan setia dan berusaha gak ngeluh ngurus Mas Al." Aku melepaskan pelukan itu dengan tetap memandang lekat manik mata Mbak Fara. "Aku akan hamil. Dan memberikan Mbak Fara dan Mas Al anak."
"Anakmu juga, Ambar. Aku hanya ingin memeluknya sebentar saja," ucap Mbak Fara seraya mencubit pipiku.
Kami menangis bersama dan setelah itu bercengkerama menikmati senja dengan secangkir teh hangat dan pisang goreng mentega yang sengaja kuhidangkan setelah itu.
Iya. Inilah hidupku sekarang. Memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk berkorban demi orang lain. Berkorban perasaan. Namun aku tak apa.
Jika aku pribadi ingin memilih zona aman nyaman saja, tapi maunya Tuhan begini. Baiklah. Aku yakin, ini akan berakhir membahagiakan.
👑👑👑
Bersambung
Situbondo, 26 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top