24. Bulan Madu Sederhana
Pertama membuka mata, yang kulihat di sisiku kini adalah suamiku. Tapi aku tak melihatnya kali ini. Di mana dia?
Aku mencoba membuka jendela kamar. Subuh masih berkenan tiba dalam hidupku kini. Kulirik jam di dinding. Ini memang masih subuh. Segera ķuraih air wudu dan melaksanakan sholat subuh. Tatapanku masih menyapu ruangan demi ruangan di vila berarnomen klasik ini.
Yah, Mas Aldric mengajakku menikmati suasana vila di pegunungan yang dingin selepas akad kemaren.
Kembali ke Mas Al. Di mana dia sekarang?
Jangan bilang dia ada urusan penting dan meninggalkanku di waktu gelap buta begini. Aku ingin marah atau menangis saja. Masalahnya aku sudah mencari di setiap sudut ruangan. Bahkan kolong meja. Kali aja Mas Al mengajakku main petak umpet seperti banyolannya yang kadang kurasa aneh dan garing.
Kuhempaskan tubuh ke sofa karena lelah mencari. Tadi aku sudah coba menghubungi malah tak aktif. Aku menahan tangis. Bagaimana mungkin aku begini? Masa iya baru hitungan hari menikah sudah sakit lagi?
Kumenangis juga akhirnya sendirian di sofa dengan menutup wajah. Aku paling takut sendirian. Terlepas dari kesendirianku selama ini.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Aku menurunkan tangan dan mengangkat wajah perlahan. Mas Al tersenyum lembut padaku dengan menunjukkan deretan giginya yang rapi bersih. Kulihat penampilannya dari atas ke bawah.
Suamiku mengenakan kopiah berwarna putih bersih, baju koko dan sarung. Aku mengernyitkan kening bingung. Sementara kuyakin, ia melihat air di sudut mata yang masih menggenang.
"Kenapa menangis, Istriku?" tanya Mas Al begitu lembut. Hatiku serasa meleleh dibuatnya.
"Mas Al ke mana?" Aku balik bertanya setengah merengek.
"Ke Masjid. Kenapa? Tadi kamu tidur, Sayang. Jadi Mas titip kamu ke Bi Minah saja."
Bi Minah adalah pesuruh sekaligus yang menjaga vila ini. Yang selalu menyajikan masakan lezat khas desa kepada kami selama di vila. Tapi pagi itu, Bi Mina pun tak terlihat.
"Tapi Bi Minah pun gak ada," ucapku.
"Dia sedang ada di dapur."
"Masa?"
Mas Aldric mengangguk, "Tadi Adek sudah cari aku ke dapur?"
"Nggak. Kupikir ngapain Mas Al ke dapur."
Mas Al memencet hidungku dan berkata, "Aku ikut jamaah sholat subuh di masjid dekat sini. Sekalian lama gak silaturahmi sama warga. Jadi selepas sholat masih ngobrol sama tetangga kita."
"Kenapa Mas gak pamit?" Aku merasa sedikit dongkol.
"Udah kubilang, Adek masih tidur. Pulas juga. Gak tega mo bangunin istriku. Jadi aku cuma bisa titip sama Bi Minah."
"Bi Minah sudah bangun tadi waktu Mas berangkat?"
"Sudah."
"Berarti aku yang telat. Hufh."
Aku malah dongkol sama diri sendiri. Kalah bangun subuh sama Bi Minah coba?
"Gak pa-pa, Dek. Namanya juga penganten baru," goda Mas Al.
Aku memukul lengannya dengan tangan kosongku. Malu juga dipanggil Adek. Tapi tak apalah. Karena hal ini sudah lumrah di negara ini menjadi panggilan sayang seorang suami pada istrinya.
"Eh, sekarang udah jadi suami. Dosa menyakiti suami."
Langsung terdiam diriku. Benar juga, tapi gengsi.
"Biarin!"
Kulangkahkan saja ke kamar untuk menikmati udara pegunungan yang sejuk dari balik jendela. Mas Al kini duduk di belakangku. Dari kemaren ada sesuatu hal yang mengganjal pikiranku. Ada yang ingin kutanyakan.
"Mas."
"Ya?"
Aku membalikkan tubuh menghadap suamiku, "Orangtua Mas Al ke mana waktu acara nikahan kita?"
Dengan tenang dan senyum yang lembut, Mas Al mengusap pipiku.
"Mereka akan datang hari ini. Mama papa sudah meminta maaf pada ayah ibu soal itu sebelum kita ijab sah kemaren. Mama papa ada urusan. Maafin mereka yah?"
Sebenarnya sedikit ada rasa tak nyaman di hati. Pernikahan yang begitu sakral dan penting malah mertua tak hadir dengan alasan ada urusan. Lebih penting mana urusannya dengan pernikahan anak coba? Tapi memang Mas Al, pintar sekali merebut hati orang untuk tak emosi. Jadilah aku memaklumi.
🌿🌿🌿
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Mendengar suara salam dari seorang perempuan membuatku celingukan melihat ke arah luar sedangkan Mas Al sedang tidak ada di rumah. Langkah pelanku sedikit ragu untuk membuka pintu. Pikiranku ke mana-mana takut seseorang hendak punya niatan tak baik pada seisi rumah ini. Kuseret Bi Minah menemaniku membukakan pintu.
"Nyonya?"
Wajah Bi Minah berbinar seketika. Ia langsung mengambil tas koper di tangan wanita itu. Wanita itu tersenyum menatapku. Dan tak lama kemudian, dia menyambutku dengan pelukannya.
"Menantuku," ucap wanita itu.
Aku mengernyitkan kening bingung. Tak lama kemudian, seorang laki-laki tambun mengikuti dari belakang. Ia menyapaku sekilas dengan senyuman tipis dan aku menyambutnya dengan sebuah anggukan pelan.
"Nyonya Ambar, ini mama sama papa Tuan Aldric," jelas Bi Minah.
Awalnya aku yang tergagu, malah jadi bersikap ragu. Aku kikuk menghadapi dua orang yang kusebut mertuaku ini.
"Papa? Mama?"
Syukurlah Mas Aldric segera muncul di depan pintu dan menyambut kedua orangtuanya. Jika tidak, aku tak tahu bagaimana harus bersikap.
"Ambar, ini papa sama mama," ujar Mas Al.
"I-iya."
Kekakuanku menghadapi orang baru membuatku semakin salah tingkah. Untunglah Mas Al sepertinya peka akan sikapku. Ia merengkuh kedua bahuku dan mendudukan pinggulku di sofa.
"Ma, Pa, istri Aldric ini sangat pemalu. Jadi maafin Ambar yah. Kalo sedikit kaku," jelas Mas Aldric.
"Ambar, ini papaku. Panggil aja Papa Darick. Dan ini mama. Panggil aja Mama Leta. Bisa sebut nama papa sama mama?" pinta Mas Al.
Aku menoleh ke Mas Al sebentar lalu mengangguk pelan, "Maaf, Papa Darick dan Mama Leta. Ambar cuma agak kaget tadi," ucapku agak terbata.
Mama Leta mendekatiku dan menyentuh kedua tanganku, "Kamu itu menantu kami. Yang artinya anak kami." Tangannya berpindah mengusap pipiku. "Tidak usah malu. Kamu ini adalah masa depan Aldric, Sayang. Maafkan papa sama mama kemaren gak dateng ke pernikahan kalian. Kami masih di Jerman. Aldric mendadak memberi kabar pernikahannya. Padahal waktu itu kami sangat sibuk. Maafkan kami ya, Sayang?"
Aku jadi menghela napas lega, "Alhamdulillah, gak pa-papa, Ma." Mama Leta tak menyahut malah memelukku. Pelukan yang hangat dan manis.
Perlu kujabarkan di sini bahwa Mama Leta memiliki wajah oval dan mata coklat hazel. Mas Aldric pernah cerita jika kedua orangtuanya asli dari Jerman. Dialeg bahasa Indonesia mereka juga tidak menunjukkan bahwa keduanya berasal dari negeri ini.
Berbeda dengan Mas Al. Walaupun sosoknya memang seperti bule, tapi bahasa Indonesianya sangat pas dengan dialeg kewarganegaraan Indonesia. Mas Al bilang sih, mulai dari kecil ia memilih tinggal di negeri tropis ini saja.
Tapi yang kukagumi dari Mama Leta adalah wajah bulenya sangat anggun. Apalagi penutup kepalanya. Awalnya aku pikir, dia hanya mengenakan tudung kepala saja. Salah. Mertua perempuanku itu malah menggunakan hijab panjang yang awalnya tertutupi jaket berwarna cokelat tuanya itu ditambah topi pemanis yang juga berwarna coklat. Sungguh fashionable.
"By the way, kamu sangat manis," puji Mama Leta padaku.
"Terima kasih, Ma."
Yess! Akhirnya dengan lancar kubilang mama. Dalam hati kutertawakan diri sendiri.
"Aldric, apa yang kamu lakukan, Nak?" ujar Papa Darick.
"Apa, Pa?"
"Kalian bulan madu, 'kan?"
"Iya."
"Kenapa di sini saja?"
"Pa, Ambar sama Aldric sudah sepakat bulan madu di sini saja. Bulan madu yang sederhana. Menikmati udara pegunungan."
"Nein, das habe ich nicht gemeint*.
Seharusnya kalian keluar. Nikmatilah suasana pegunungan. Jalan-jalan sepuas hati kalian. Ini apa yang kamu lakukan? Kami baru tiba dan kamu meninggalkan istrimu di rumah sendirian. No! Itu bukan bulan madu namanya," tukas Papa Darick.
Aku melongo saja mendengar ucapan papa mertua. Dan kenapa aku baru menyadarinya? Mas Al memang mengajakku bulan madu, tapi hanya berdiam diri di rumah saja. Kupikir bulan madu memang begini.
"Dari dulu Aldric memang tak seperti Papa. Terlalu formal dan membosankan," imbuh Mama Leta melirik Aldric dengan tatapan sarkastis.
Ekor mataku melirik pada Mas Al. Ucapan kedua orangtuanya sepertinya membuka sebuah jalan. Mas Al malah menggaruk tengkuknya yang kuyakin tak gatal.
"Maaf, Ambar. Aku tak menyadari itu."
Mama Leta berkacak pinggang sebelah tangan. Dan tangan sebelahnya melambai pergi.
"Sepertinya aku perlu me-refresh-kan badan dan otakku. Yuk, Pa! Mumpung di puncak, kita ke danau biru di belakang gunung itu. Sudah lama kita tidak ke sana," ujarnya santai.
Papa Darick menuruti kemauan sang istri begitu saja. Membuatku menelan saliva saja.
Dan benar, setelah membersihkan diri dan menyiapkan segala sesuatunya, papa dan mama Mas Aldric sudah pergi ke tempat yang semula mereka rencanakan.
Mereka tidak lelah?
Mas Aldrick melirikku. Aku pun membuka mata balik menatapnya sembari mengangkat bahu.
"Oke. Kita jalan. Sepertinya kita yang lebih muda tidak boleh kalah dengan yang tua."
Aku tertawa kecil, "Papa sama mama Mas Al pinter ya kasi kode. Kode keras pula."
"Udah pinter nyindir?"
"Nggak, Mas. Tadi dicontohin sama Mama Leta."
🌿🌿🌿
Aku menutup wajah saat Mas Al mengajakku ke sebuah gua. Ia sibuk menuntunku. Katakanlah aku penakut. Suasana yang gelap dan basah membuatku tak nyaman. Kumerajuk minta pulang dan balik saja. Kenapa sekali keluar rumah malah ke tempat seperti ini.
Katanya cerdas. Cerdas mengelola banyak perusahaan. Tapi hal membahagiakan istri, gini caranya masa?
"Mas Al yakin?"
"Sangat yakin."
Sepertinya selubung cahaya mulai menyinari tutupan mataku. Kuturunkan tangan dan membuka mata perlahan.
Harus kuakui. Aku membuka mulut lebar. Bagaimana tidak. Aku sangat takjub dengan penglihatan yang ada di depanku sekarang. Pasir putih dengan air berwarna biru. Apa ini yang dimaksud Mama Leta tadi? Oke, Mas Al mungkin tak kreatif karena mengikuti jejak liburan kedua orangtuanya. Namun ini terbayarkan dengan keindahan yang ditawarkan. Sangat menakjubkan.
"Ini yang kata Mama Leta?" tanyaku.
"Heem. Tapi jalannya beda. Tadi kita melewati gua yang juga menakjubkan."
"Tapi aku tutup mata tadi."
"Kita ulangi lagi nanti."
Selepas itu, aku mengambil beberapa gambar dari danau berwarna biru itu. Pepohonan yang seolah mati, tapi tumbuh dengan sedikit daun. Kulihat di seberang sana, Mama Leta dan Papa Darick tak ubahnya remaja yang sedang berlibur dan memadu kasih.
Kehidupan akan terasa abadi saat bersama orang yang dikasihi.
Kulihat Mas Al tak henti melepas senyum memandangi kedua orangtuanya. Sejenak dia memandang dan menggenggam erat tanganku.
"Apapun yang terjadi nanti, pliz jangan pernah ninggalin aku, Ambar," pinta Mas Al.
Aku mengangguk pelan, "Insya Allah, Mas."
Lalu kusapukan pandangan pada sekeliling. Indah dan menakjubkan. Ada perasaan lapang dalam dada.
Beginikah rasanya Tuhan mengajarkan kebahagiaan sejati dengan memperkenalkan sakit dulu? Ataukah memang aku sebagai hamba ceroboh yang salah dalam memilih?
Sejujurnya kuakui, sebelum menerima Akbar dulu, tak kuletakkan kening ini di atas tempat sujud untuk sebuah petunjuk-Nya. Begitu angkuhnya diriku menganggap Akbar sudah yang terbaik. Ternyata Tuhan menetapkan jalannya padaku bahwa yang terbaik adalah dia yang kupinta petunjuk dari-Nya.
Allaah Ya Kariim Allahu Ya Rahiim ....
☕☕☕
Bersambung
Situbondo, 6 Desember 2018
NB: *tidak, bukan itu maksudku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top