23. Musibah itu jawaban.


Seseorang menangis sesenggukan di luar pintu. Aku membuka mataku perlahan dan kusapukan pandangan pada sekitar. Apa ini?

Aku berada di mana?

Ruangan yang dipenuhi banyak gorden berwarna krem dan hijau pupus. Dan suara siapa di luar sana? Aku mencoba mengangkat tubuhku dari atas matras.

"Aww, sakit!" teriakku.

Kenapa tubuhku terasa berat dan sakit? Ada apa denganku? Seseorang yang masih samar dalam penglihatanku berlari mendekap tubuhku.

"Jangan sentuh aku! Siapa kamu?" bentaķku.

Dan kenapa penglihatanku sedikit rabun. Aku hanya bisa melihat warna sedangkan benda dan semuanya nampak samar.

"Ambar, kumohon, jangan banyak bergerak. Tubuhmu masih sangat lemah," ucap suara itu.

"Kamu ...?"

"Iya, ini aku Aldric. Aldric Runako Halim."

Oh, Mas Al. Nama panjang yang ada rukonya itu 'kan? Tukang usil dan tukang tebar pesona. Tukang kirim bunga berwarna merah pekat, lalu .... Oh, aku mengingat sesuatu. Dia yang tadi menangis di balik pintu. Suara dan warna bajunya sama.

"Mas Al, aku kenapa?" tanyaku. "Kenapa tubuhku terasa seperti tak punya tulang?"

"Gak pa-pa, Ambar. Hanya sedikit lemas saja. Mungkin karena efek shock."

Kudengar suara Mas Al nampak berat dan menghela napas pun terasa berat. Sepertinya ia punya masalah yang cukup rumit. Ini tidak ada hubungannya denganku, 'kan?

"Trus kenapa aku di sini?"

"Seseorang tadi menabrakmu dari belakang. Tapi tenangkan dirimu. Alhamdulillah, kamu baik-baik saja."

Perlahan pandanganku mulai menerawang dan wajah di depanku ini mulai terlihat jelas. Ujung hidungnya memerah dengan mata yang sedikit bengkak. Tanpa terasa aku menatapnya lama. Kenapa dia tadi menangis? Apakah ada sesuatu yang membuatnya sedih? Dia bilang aku tidak kenapa-kenapa, tapi kenapa dia menangis sampai sesenggukan begitu?

"Tadi dokter pesen, katanya kamu harus makan dan minum obat. Makan dulu ya? Aku suapin. Habis itu minum obatnya."

Aku hanya bisa mengangguk lemah dengan tidak melepas pandanganku darinya.

Dia menyuapiku bubur yang memang disediakan rumah sakit. Sendok demi sendok makanan itu masuk ke mulutku. Tatapanku tak bisa beralih ke tempat lain. Masih saja menatapnya.

"Mulai sadar ya kalo aku ganteng?" goda Mas Al sambil melirikku.

Aku tersenyum tipis, "Kenapa tadi Mas Al menangis sampai sesenggukan begitu?"

Mimik wajah Mas Aldric langsung berubah seketika. Ia tak menyahut dan cenderung mengalihkan pembicaraan dengan mengambil tisu dan mengelap pinggir bibirku sembari mengatakan, "Belepotan seperti anak kecil."

Aku tertawa malu. Baiklah mungkin ia tak ingin menjelaskan apa-apa. Sepertinya pertanyaanku ini tak butuh jawaban. Bukannya laki-laki memang begitu? Lebih banyak menunjukkan perbuatan daripada ucapan.

Apakah dia menangis karena melihatku kecelakaan? Jika hal itu benar adanya, berarti aku tak perlu meragukannya sedikitpun.

Mau cari calon seperti apa lagi kamu, Ambar?

Kesempatan tak selamanya akan datang dua kali.

Jika orang yang begitu tulus mencintaimu itu benar-benar pergi dari hidupmu, kau akan merasakan penyesalan melebihi penyesalan dengan kesalahan memilih pasangan.

Sampai kapan, Ambar?

Sampai kapan?

Sampai menunggu waktu di mana rambutmu memutih?

Atau sampai rahimmu sudah tak bisa menyimpan calon amanah Tuhan, investasi dunia akhiratmu?

"Mas Aldric," ucapku.

"Iya?"

Mas Al malah sibuk memberikanku pil dan air minum. Ia mengangkat sedikit matras dengan tombol yang berada di sisi matras guna mengangkat bagian atas tubuhku supaya lebih tinggi. Kuambil pil dan meminumnya. Setelah itu, Mas Al kembali menurunkan matras.

"Kenapa Mas Al mau merawatku?" tanyaku basa-basi.

Mas Al melirikku sekilas dengan senyum tipisnya.

"Kukira kamu sudah tahu jawabannya."

"Lalu kenapa Mas Al mau menyukai perempuan sepertiku?"

"Karena kamu perempuan berharga. Aku yakin, susah di jaman sekarang memiliki perempuan berhati tulus sepertimu."

"Jangan terlalu memuji."

"Yang bisa menilai kita bukan diri sendiri, tapi orang lain."

Aku mengangguk pasrah, "Dan aku hanyalah perempuan terluka karena masa lalu," keluhku.

"Aku akan mengobatinya sampai luka itu benar-benar kering dan tak berbekas. Asal si empunya mengijinkan dulu untuk membuka hati terluka itu."

Aku tertawa kecil sembari menatapnya sayu. Laki-laki ini selalu saja bisa mengubah suasana hatiku menjadi lebih baik.

"Apakah masa itu masih ada?" tanyaku.

"Masa apa?"

"Kesempatan untuk kesempatan perijinan pemilikan."

Awalnya Mas Al nampak berpikir dengan ucapanku. Lalu kemudian ia tersenyum lebar dengan mata berbinar.

"Are you sure, Ambar?"

"Jawab dulu pertanyaanku."

"Ambar, bahkan perasaanku sama kamu rasanya tak mengenal tanggal expired."

Aku pun jadi tertawa dengan sedikit pipi bersemu mungkin sudah memerah seperti tomat terlalu matang. Kenapa aku merasa malu menatapnya lagi?

"Kapan aku bisa memohon ijin sama ayah ibu?"

"Apaan sih?"

Aku malu setengah mati dengan jantung tak mau berhenti berdegup. Kenapa jantung ini sekarang malah begini? Kemaren-kemarennya silent?

"Ambar! I love you. Demi Allah, aku mencintaimu!"

Duh, kenapa jadi begini? Bolehkah aku sembunyi di kolong matras? Dan kami hanya berdua di kamar rawat ini. Aku menutup wajah cukup lama serta mengusir Mas Al. Hanya sebelum Mas Al keluar kamar, aku meminta agar ayah dan ibu dijemput. Aku tak mau sendirian. Bukan lagi karena kecelakaan, tapi karena malu menghadapi Mas Al.

🌿🌿🌿

Keadaanku yang mulai pulih tetap tak diijinkan pulang oleh dokter. Kuhanya bisa pasrah. Selfi dan Andi menjengukku sebentar. Itu membosankan. Alasan mereka sangat klise. Mereka ijin sebentar saat jam istirahat kantor.

"Ambar, kamu gak pa-pa, Nak?"

Ibu tiba-tiba saja ada di sampingku. Bersama ayah dan Mas Aldric. Aku bahagia ada ayah dan ibu.

"Ayah? Ibu?"

Aku segera memeluk keduanya dari atas ranjang.

"Ayah sudah sehat?" Tatapanku beralih ke tubuh ayah.

Ayah tersenyum, "Ayah sudah lebih baik. Ambar, gimana bisa begini?"

Aku nampak berpikir, "Ambar gak inget, Ayah. Tiba-tiba saja Ambar di sini."

Tatapan ayah beralih ke Mas Al, "Kenapa kamu bisa tahu Ambar kecelakaan, Nak Aldric?"

"Emm, tadinya saya pulang kantor. Trus liat kerumunan orang banyak. Setelah saya dari mobil dan liat korban kecelakaannya, ternyata itu Ambar. Saya langsung bawa ke sini. Kata dokter, ada beberapa tulang kaki yang patah. Jadi sementara diimplan. Tapi itu gak serius. Mungkin sebulan ini, Ambar menggunakan kursi roda dulu."

Tak kusangka ibuku menangis seraya mendekap dada ayah. Air mata yang berlinang itu membuat kami semua bergeming. Bukan hal serius kata Mas Al, tapi dia sendiri tadi sesenggukan di depan pintu.

Diimplan. Artinya kakiku patah cukup serius. Harus ada benda asing yang dimasukkan ke dalam bagian kakiku untuk menopang tulang sementara waktu. Dan aku tak yakin itu memakan waktu sebulan lamanya. Lalu bagaimana dengan pekerjaanku?

Memikirkan itu saja membuat kepalaku pening. Kupijat pelipisku.

"Ambar, kumohon bersabarlah. Yakinlah ini tidak akan lama," ujar Mas Al.

🌿🌿🌿

Sebulan telah berlalu. Dan aku sekarang di sini. Di atas kursi roda sembari menyesap jus avokad dengan tatapan yang masih serius menghitung belanja bulanan kantor.

"Istirahat, jangan kecapekan," ujar seseorang di sampingku.

Dia adalah laki-laki yang setia mendampingiku di kantor. Sejak peristiwa kecelakaan itu, dia memintaku untuk menikah, tapi aku menolak. Aku sudah mau membuka hatiku padanya. Dan aku berterus terang soal itu. Tapi demi menjaga kehormatan, setiap hari dia menyuruh sopirnya mengantarkan ke kosku. Tidak masuk akal memang. Aku masih ngotot bekerja dengan keadaan yang tak memungkinkan begini. Karena itu, Mas Al memintaku pindah kos dan menyewa asisten rumah tangga.

Pertanyaannya, kenapa kami tidak menikah saja kalau sudah begitu?

Alasannya bukan karena masih trauma dengan masa lalu lagi, bukan. Tapi aku ingin menikah dengan keadaan yang sudah baik-baik saja. Menyiapkan segala keperluan suamiku dengan tanganku sendiri. Mas Al setuju saja akan hal itu. Karena dia sepertinya bisa sabar dengan keputusanku.

🌿🌿🌿

Aku memang bukan seorang anak bangsawan dan bukan pula anak seorang priyayi. Tapi kini, di sinilah aku, menangis sendirian, sesenggukan di dalam kamar yang didampingi ibuku.

"Bagaimana, Saksi, sah?"

"Sah!"

"Sah!"

"Sah!"

Setelah ucapan sah itu, aku memeluk ibu dan ibuku pun menyambutnya. Air mata kami sama-sama berderai akan keharuan ini.

Dia yang pernah menatapku lama saat kutemui Pak Lewis di ruangannya.

Dia yang selalu menyetujui ide-ide kecilku dalam rapat.

Dia yang kemudian mengirimkan beribu buket mawar berwarna merah pekat setiap hari.

Dan dia yang akhirnya melamarku yang kubalas dengan penolakan keras karena alasan masa lalu.

Ternyata Tuhan tidak diam.

Dengan segala alasan keangkuhanku, Tuhan menjadikannya malaikat penolongku.

Tuhan sudah menunjukkan bahwa kesabarannya merawatku selepas kecelakaan menjadi bukti bahwa dialah yang sudah Tuhan pilihkan untukku.

Allah ...!

Maafkan aku akan pilihan-Mu yang tak segera kuiyakan. Sampai Kau menegurku dengan musibah kecelakaan untuk membuka mata ini bahwa dialah yang begitu sabar menunggu.

Nabiku, Muhammad!

Kau bahkan meminta ummatmu untuk menikah karena bangga dengan banyaknya kaummu di hari kiamat nanti. Yah, aku pernah membaca itu. Seperti yang pernah kau sabdakan, "an-nikahu sunnati, faman raghiba an-sunnati, falaisa minni."

"Menikah itu sunnahku, maka barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku, maka dia bukanlah termasuk ummatku."

Aku terus saja mematut diri di depan cermin. Bukan karena melihat setelan busana yang kukenakan berwarna peach terang bermodel baju kurung besar ini, bukan, tapi karena menangis terharu melihat diri yang sudah memiliki pendamping hidup lagi.

Ibu segera keluar kamar dan membimbing seseorang menuju ke arahku. Aku tertunduk malu melihat seorang laki-laki memakai setelan jas rapi berwarna peach terang senada dengan warna busana yang kukenakan. Ibu meninggalkan kami berdua di kamar.

Ampun!

Rasanya aku mau pingsan! Aku sangat malu melihatnya. Kutundukkan wajah. Tangannya terjulur memintaku menyalaminya. Setelah kucium punggung tangan laki-laki yang kini sudah sah menjadi suamiku itu, tangan dinginnya menyentuh kepalaku dan berdoa kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Aku memejamkan mata tak kuasa menahan tangis haru. Entahlah kenapa sedari tadi aku menangis terus. Perasaan dengan Akbar dulu rasanya tak semelow ini. Ahh, sudahlah kenapa menyebut masa lalu yang sudah kuhapus?

"Ambar, terima kasih sudah mau menjadi istriku," ucap Mas Al sembari menatapku lembut.

Mataku pun perlahan menatapnya dengan malu. Sungguh, aku tak bisa menatapnya lama.

Ucapan Mas Al memang sekejap, tapi aku membalasnya dengan anggukan dan air mata yang tak bisa kubendung lagi. Aku hanya mengangguk dan tak bisa berkata apa-apa.

Air mata ini terlalu rumit untuk dijelaskan, tapi sungguh ini membahagiakan.

🎎🎎🎎
Bersambung
Situbondo, 30 November 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top