21. Trauma
"Ini tu gak lucu!"
Aku semakin jengah melihat kedekatan Mas Aldric dengan keluargaku. Ayah, ibu, Mas Johan dan semuanya. Ia sangat pintar merebut perhatian semua orang di rumah ini. Bukannya aku tidak tahu terima kasih, tapi please, stop! Jangan bertingkah lagi.
"Tapi apa salahku, Ambar?"
Mas Aldric malah menanyakannya.
"Berhentilah berakting. Rumahku bukan rumah produksi film," ketusku.
"Ambar, jadi selama ini kamu pikir, aku cuma akting. Bayangkan saja, aku jauh-jauh datang ke sini karena kamu. Aku pengen kenal keluarga kamu. Demi kamu. Apa kurang jelas isi lamaranku kemaren? Aku mencintai kamu. Dengan tulus!"
Aku melangkah mengitari tubuhnya dengan berjingkat seperti anak kecil. Aku mendengus kesal dan melipat kedua tangan di dada, "Tapi aku gak suka."
Mas Aldric menatapku lekat dan memicingkan kedua kelopak matanya.
"Serius??"
"Ya!" jawabku mantap.
"Kasi aku satu alasan logis!" tegasnya.
"Aku sudah harus katakan berapa kali. Aku masih ...."
"Takut? Trauma? Sedih? Apalagi, Ambar? Itu alasan tidak logis buatku."
"Mau alasan apalagi?" Aku malah mengernyitkan kening. Membingungkan!
"Bukan karena gengsi?"
"Gak sama sekali."
"Jangan seperti anak kecil, Mbar."
"Siapa yang seperti anak kecil? Jangan asal menuduh! Sekarang lekas Mas Aldric angkat kaki dari rumahku!"
Lama-lama aku seperti kerasukan makhluk astral saja menghadapi bangsa dari kaum Nabi Adam di depanku ini. Bagaimana tidak. Aku ..., aku ..., ah entahlah. Aku pun bingung dengan perasaanku. Terkadang aku merasa bahagia dia ada di dekatku kini, tapi kadang aku merasa semua ini harus segera dihentikan. Kenapa? Jangan tanya diriku. Tanya saja hatiku yang pernah terluka.
Karena kuakui perempuan itu selalu memakai perasaan dalam segala hal. Dan yang kugunakan sekarang adalah bahasa perasaan yang pernah terluka.
Bisa sangat dibayangkan bagaimana saat aku berjuang sendirian menghadapi kisahku bersama Akbar. Duh, Tuhanku ..., bagaimana aku yang sangat mencintai dia begitu dalam. Selalu menuruti semua keinginannya, malah dia campakkan diriku begitu saja. Bayangkan saja menjadi perempuan yang terluka seperti aku. Rasanya aku ingin berteriak sekeras yang kubisa. Belum pulih benar lukaku, tiba-tiba ada laki-laki yang langsung melamar dan memaksaku menerimanya. Perasaan macam apa yang kugunakan? Hello! Aku hanya manusia yang memakai otak kananku untuk berpikir seribu kali ketika akan menerima laki-laki lagi dalam hidupku tentunya.
Jika aku gagal lagi karena kurang pertimbangan, siapa yang akan merasakan akibatnya? Aku lagi, 'kan?
Orang hanya bisa menasehati tanpa tahu bagaimana rasanya disakiti. Mau sampai kapan menunggu? Mau sampai kapan trauma? Dan hallo! Hatiku bukan terbuat dari batu yang dilempar berkali-kali tetap saja keras. Hatiku hanya sekumpulan daging yang lemah. Untung saja hati ini buatan Tuhan. Coba kalau buatan manusia, sudah hancur lebur karena manusia bernama Akbar itu.
Mengingat itu semua, aku semakin mendengus kesal. Tidak! Kali ini tak semudah dulu aku langsung menerima laki-laki sebagai pasangan hidupku. Tidak akan tertipu lagi. Tolong digarisbawahi, cetak tebal kalau perlu cetak miring.
Mas Aldric dengan wajah gusar hanya bisa pasrah dan mengangkat bahu, "Baiklah. Jika ini kemauanmu, Ambar. Mungkin selama ini aku yang salah menyamakan sebuah perasaan dengan target pencapaian. Perasaan itu bukanlah kekuasaan yang dengan mudah bisa kuraih. Aku menyerah!"
Mas Aldric membuka lebar kedua tangannya ke depanku, "Aku sekarang menyerah dan berjanji tidak akan memaksamu lagi." Mas Aldric mendekatiku sejengkal dan aku mundur selangkah. "Tapi aku menunggumu. Jika suatu hari kau berubah pikiran, temui aku. Dan kamu, Ambar. Akan kamu temui perasaanku Insya Allah masih berkutat buatmu."
Setelah mengatakan itu, Mas Aldric melangkah mundur sejengkal demi sejengkal menjauhiku. Wajahnya tertunduk. Aku merasa hatiku jatuh saat dia menjauh. Tapi tak apa. Mungkin ini lebih baik bila dibandingkan aku masih akan kesakitan lagi. Aku masih ingat betul kata-kata Mas Akbar bahwa Anggrek juga menyukai Mas Aldric dan mereka sempat jalan berdua. Yang kata Mas Aldric hanya untuk sebuah urusan bisnis.
Hanya Tuhan dan mereka yang tahu.
Aku hanya tak mau tertipu. Baiklah jika memang aku mulai menyukai Mas Aldric, anggap itu sebagai pengalaman semata saja. Kini kuharus mendisiplinkan diri bahwa 'Jangan dulu jatuh cinta'. Aku belum bersiap diri untuk jatuh kedua kalinya. Jatuh cinta dan kemudian jatuh sakit. Tak terbayangkan! Aku takut tak bisa mengontrol diri untuk gila atau bunuh diri, kecuali iman di dadaku yang memiliki stok seperempat kilogram ini menolongku dari ide burukku itu. Itu pun kalau imanku sampai segitu.
Andai ada neraca iman.
Aku hanya berdiri mematung melihat Mas Aldric menjauh dengan langkah gontai. Kupalingkan wajah ke arah lain di sekitar rumahku. Malam yang sunyi dan suara hewan-hewan kecil sebagai pertanda malam yang sudah makin larut.
🌿🌿🌿
Bisa kulihat Mas Aldric menyeret koper berukuran sedangnya ke dalam mobil. Wajahnya masih sama sejak semalam. Wajah tak bergairah. Aku mengantarkannya ke depan sebagai ucapan selamat pergi dari rumahku. Anggap saja dia tamu yang harus segera pulang. Tak baik di sini lama-lama. Apa kata tetanggaku nanti.
Sebuah suara dari dalam rumah seperti barang pecah belah yang jatuh mengagetkanku. Selanjutnya suara ibu berteriak meminta tolong. Aku segera berlari masuk ke dalam rumah. Aku kebingungan melihat ayah tengah terbaring lemas di lantai. Kopi di meja beserta gelasnya tumpah ruah di dekat ayah dan sukses membasahi baju beliau.
Ya Allah, ayah yang begitu kukasihi terbujur tak berdaya dengan sedikit luka di kepala dan darah di hidungnya.
"Mas Johan!" teriakku memanggil Mas Johan.
Ibu yang menangis dengan ketakutan juga tak bisa berkata banyak karena wajah kami sama-sama pias dan pucat pasi. Berkali-kali aku panggil Mas Johan tak ada sahutan.
"Mas Johan sama Mbak Raramu balik tengah malam tadi, Mbar, katanya ada kerjaan mendadak," jelas ibu dengan tersendat-sendat.
"Ya Allah, bagaimana ini, Bu?" Aku panik.
Kuberlari buta keluar rumah. Namun tubuhku menabrak Mas Aldric yang secara spontan langsung mengangkat ayah dan membawanya ke mobil.
"Kita cari rumah sakit dekat sini."
Tanpa sahutan, aku dan ibu bergegas masuk ke dalam mobil sambil memangku tubuh lemah ayah. Tak kuhiraukan baju kami yang basah karena kopi panas yang tumpah tadi. Yang jelas, ayah tertolong.
Sesampainya di rumah sakit terdekat, tanpa babibu, Mas Aldric membopong tubuh lemah ayah masuk ke ruang IGD. Setelah dirasa aman karena sudah tertangani oleh tenaga medis, Mas Al berlari menuju ke ruangan depan untuk pendaftaran dan biaya admisnistrasi.
Aku hanya bisa menangis dan memeluk ibu.
"Ada apa dengan ayah, Bu?" tanyaku.
Ibu menggeleng, "Beberapa hari ini, ayah memang mengeluh sakit di bagian kepala dan dadanya."
"Dan ayah gak periksa?"
"Ayah gak mau, Mbar. Ayah bilang paling cuma masuk angin," terang ibu. Dengan masih terisak pilu.
Aku hanya bisa menepuk pelan kening seraya menggeleng pelan. Sakit seserius itu, ayah tak mau ke dokter dan ibu mengiyakan saja? Tapi ya sudahlah. Sudah lewat juga.
Aku benar-benar takut kehilangan sosok ayah yang selama ini kukasihi. Jarang, bahkan hampir tidak pernah ia memarahi atau mengatakan sesuatu yang tak nyaman padaku.
🌿🌿🌿
"Apa?! Stroke ringan, Dok? Tapi selama ini, ayah baik-baik saja. Makanan di rumah kami sehat dan ayah juga, setahu saya tidak memiliki masalah berat."
Aku dan ibu yang menemui dokter hanya bisa menggeleng pelan karena tak percaya. Stroke dan hipertensi. Apa itu? Selama ini, ayah tak memiliki penyakit yang berhubungan dengan darah. Dan dalam hal ini, dokter pun hanya bisa mengangkat bahu.
"Bisa jadi karena faktor usia atau riwayat keturunan. Banyak faktor dalam hal ini. Semua penyakit tidak harus disebabkan karena makanan atau pola pikir," jelas Dokter yang menangani ayah.
Selagi ayah ditemani Mas Aldric, kami menuju apotek rumah sakit untuk menebus obat. Tak perlu waktu lama, hanya sebentar, kami kembali ke kamar rawat ayah.
Sesampainya di sana, aku melihat pemandangan yang membuat hatiku sedikit terselip lega. Mas Aldric menjaga ayah dengan memberinya beberapa suap makanan halus yang memang sudah disediakan rumah sakit. Wajah ayah sudah lebih segar dan tak pucat lagi. Kuucapkan hamdalah berkali-kali dalam hati.
"Makasih, Mas Al udah jaga ayah," ucapku pelan dengan sedikit gengsi.
Mas Aldric hanya membalasnya dengan senyum tipis. Tangannya mengusap puncak kepalaku yang tertutup hijab.
"Lain kali jangan suka ngusir orang yang memang sudah jadi takdirmu, Ambar. Nanti kualat lho," goda Mas Al.
Aku kembali memukul lengannya dengan gulungan kertas resep obat yang kupegang sedari tadi. Mas Aldric malah tertawa mengejek.
Ekor mataku tak sengaja melirik pada ekspresi wajah ayah dan ibu. Mereka malah tertawa kecil melihat tingkah kami. Aku mendengkus.
"Oiya, Ibu. Tadi dokter sempat ke sini sebentar. Dokter bilang, ayah gak boleh mengonsumsi makanan yang mengandung kafein dan lemak tinggi. Ayah bilang tadi, terakhir kali beliau makan opor ayam sama kopi," jelas Mas Al.
Ibu menepuk keningnya seolah melupakan sesuatu.
"Ayah makan sate kambing juga kemaren lumayan banyak. Gegara Johan naik pangkat. Johan nyembelih kambing buat tasyakuran. Padahal ayah sudah ngeluh sakit kepala dari kemaren-kemarennya," ujar Ibu.
"Ayah? Ambar gak bisa jaga ayah. Mulai sekarang ibu masakin ayah rumput aja ya, Bu?" pintaku serius.
Rumput yang kumaksudkan adalah sayur-sayuran hijau saja. Mendengar seruanku, ayah, ibu dan Mas Al malah tertawa.
"Kalo kita menikah nanti, biar ayah sama ibu tinggal di rumah baru kita saja, gimana?" bisik Mas Al di dekatku.
Aku kembali hendak memukulnya. Untungnya dengan gesit, Mas Al bisa menghindar. Jadinya aku hanya bisa memukul angin.
🎑🎑🎑
Bersambung
Situbondo, 20 November 2018
Follow IG mawarmalka😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top