20. Tak Terduga
Kamu juga berhak bahagia.
Kamu juga berhak bahagia.
Kamu juga berhak bahagia.
Dan bodohnya, kata-kata itu sudah menyihir, menghasud dan terserap merata dalam setiap syaraf di otakku. Aku terhasud untuk menuruti kemauan seorang Aldric.
Kuakui dia bersungguh-sungguh dengan perasaannya padaku. Tapi aku juga bersungguh-sungguh dalam ketidaksiapanku.
Aku berjalan hilir mudik dalam kamar kos. Pikiranku kali ini buntu. Aku tak suka keadaan ini. Ingin rasanya aku menangis. Akbar saja yang terlihat begitu baik, lembut dan setia bisa mengkhianati, menyakiti hatiku segitu dalam. Terlebih orang yang baru kukenal seperti Mas Aldric. Dia memiliki banyak hal. Kejayaan terutamanya. Dia juga sangat baik dan ramah pada semua orang. Rasanya mustahil dia mencintai wanita biasa dan pekerja bawahan sepertiku.
Setelah pertemuan kami malam itu, tak nampak lagi Mas Aldric di kantor.
"Hei, Mbar! Ngelamun aje lu."
Selfi menggoyangkan bahuku saat aku menikmati sepiring kentang goreng yang kupesan dari kantin. Aku sengaja tak ke kantin hari ini. Dan menikmati makanan kesukaanku ini di meja kerjaku saja. Tentunya setelah dari musola melaksanakan solat zuhur. Selfi menyeret kursi Andi yang tak berpenghuni dan duduk di sebelahku.
"Eh, gimana hubungan lu sama kawan si bossy?"
"Gak gimana-gimana," jawabku santai.
"Yah, terakhir aku denger katanya kamu nolak Pak Aldric. Ya Allah, Ambar! Pak Aldric tu serius ngelamar kamu. Ahh, kalo aku jadi kamu udah langsung kusamber aja tu cincin trus sok melow bilang. 'Saya terima dengan seneng ati, Pak'. Ngomong gitu doang apa susahnya sih Ambar!"
Selfi memandangku gemas. Aku hanya terkekeh geli balik gemas melihat tingkahnya.
"Yaudah kamu ambil aja kawan si bossy tuh," kataku.
Selfi ikut mencomot kentang gorengku dan mengunyahnya.
"Gue gak mo cari perkara sama suami."
Aku terbelalak, "Kamu udah nikah?"
"Sstt, jangan rame-rame. Gue lagi nyelundup bilang single. Kalo gak gitu, gue gak bisa bantuin suami cari nafkah."
Aku hanya tersenyum tipis. Jangan protes bila ucapannya kadang menggunakan 'lu gue' dan kadang menggunakan 'aku kamu'. Karena dia sama denganku, sama-sama pendatang. Bukan penduduk asli ibu kota.
"Emang apa alasan kamu nolak Pak Aldric?"
Aku mengangkat bahu. Dan terus menyodorkan kentang goreng ke dalam mulutku.
"Trauma masa lalu?" sambungnya.
Aku berhenti mengunyah dan menggeleng pelan.
"Mungkin cuma capek. Capek ngurusi hal-hal kek gitu."
"Ambaaarr, mo sampe kapan coba? Kamu mau jadi manusia jomblo seumur hidup. Kita itu butuh pasangan buat punya anak."
"Anak?" lirihku.
Aku terdiam. Dulu saat bersama Akbar. Aku sangat ingin memiliki anak. Setelah bebas dari Akbar, keinginan itu rasanya tetap tak padam. Mungkin saat ini juga aku bisa mengadopsi anak, tapi otakku berpikir bukan hanya memiliki anak saja. Aku ingin merasakan nikmatnya hamil dan melahirkan. Tapi bagaimana bisa? Sementara aku saja menjauhkan diri dari orang yang ingin menghalalkanku.
Yang kutahu Selfi adalah seorang perempuan yang memiliki suami. Namun yang kutahu pula, kehidupan rumah tangga mereka juga banyak konflik. Hal itu yang kudengar langsung dari Selfi sendiri. Salutnya untuk kehidupan rumah tangga Selfi, keduanya bertahan walaupun kadang badai sulit dibendung.
"Ya karena laki gue gak pernah maen perempuan. Kita sering tengkarnya karena watak kita berdua sama-sama keras. But however, mungkin karena kita berjodoh," ujar Selfi suatu hari.
Aku sangat iri akan kehidupan Selfi dan sang suami, tapi setelah kupikir lagi, tiap manusia punya cerita masing-masing akan kehidupannya.
🌿🌿🌿
Setelah kejadian itu, aku tak pernah melihat Mas Aldric lagi hilir mudik di kantor. Aku juga tak mendengar kabar tentangnya. Banyak orang mengira, ia patah hati karena ditolak olehku. Bulsyit! Kabar hoax!
Mana mungkin seorang Aldric patah hati karena perempuan biasa sepertiku? Dia bisa mencari yang lebih baik tentunya.
Aku merasa ada sesuatu yang hampa, yang kosong dari keseharianku. Aku merasa ada sesuatu yang kurang. Bahkan aku merindukan bunga mawar merah pekat yang selalu kuterima setiap hari.
Saat melewati toko bunga, kucoba membeli bunga yang sama persis yang diberikan Mas Al padaku. Setelah membayar, aku menyimpannya. Sampai di rumah kupandangi bunga yang kubeli itu dan lamat-lamat menciumi aroma setiap kelopaknya. Aromanya memang sama, tapi entah kenapa perasaanku saat menciumnya yang berbeda. Ada sebuah rasa yang tak biasa.
Aku menciumi kelopak kehampaan tanpa rasa. Berbeda dengan kelopak dari setiap mawar pekat pemberian Mas Al, mengundang suka cita dan keceriaan. Apakah mungkin mawar pemberian Mas Al mengandung endorfin? Lagi-lagi aku berpikir apa.
🌿🌿🌿
Kususuri jalanan menuju rumah dan meminta cuti tiga hari lamanya. Bukan karena menghindari perasaan yang tak menentu ini, tapi aku memang merindukan rumah dan keluargaku. Sudah lama aku tidak pulang sedangkan untuk pulang, hari minggu saja tidak cukup.
"Dan kamu menerimanya?" tanya ibuku.
Aku menggeleng pelan setelah menceritakan soal Mas Aldric pada ibu.
"Alasannya kenapa?"
Aku terdiam sejenak, "Ambar masih takut, Bu. Mas Al belum begitu kukenal. Kami masih baru dekat."
"Akbar yang kamu kenal bertahun-tahun apa bisa menjamin kebahagiaan rumah tanggamu, Nak?"
Aku tak menjawab pertanyaan ibu.
"Aku hanya takut gagal lagi, Bu."
"Gak pa-pa kalo masih takut. Tapi takutnya jangan lama-lama. Takut telat. Kalo telat, susah nyari laki lagi, susah punya anaknya," ujar ibu.
Aku bergeming karena mencerna setiap ucapan ibu.
🌿🌿🌿
Di sore yang cerah, aku duduk di teras rumah menikmati angin semilir. Damai rasanya hati ini.
Ponselku bergetar tanda sebuah panggilan masuk. Setelah kulihat ternyata Selfi.
"Assalamualaikum," sapaku pertama kali.
"Wa'alaikumussalam. Ambar? Kamu di mana?"
"Aku pulang ke rumah. Kangen sama ayah ibu," sahutku.
"Busyet dah. Lu janjian sama Bos Al lagi gak ngalir di kantor?"
"Ngalir?"
"Iya. Gue biasanya liat lu jalan ke sono ke mari. Pak Aldric juga. Entah kenapa kalian berdua malah sama-sama ilang. Awalnya aku mikir, kamu sama Pak Al lagi honeymoon berdua," cerocos Selfi.
"Ngawur aja."
"Yaudah deh. Nanti kalo Pak Al masuk, aku kabari kamu. Aku kan sahabat yang baik."
"Eh, gak usah. Lagian buat apa?"
"Udah diem. Ada kabar terbaru dan terhot apa aja, gue pasti kabari lu."
Selfi mematikan sambungan teleponnya sepihak. Aku menaikkan alis dan kemudian tersenyum geli.
Dasar bocah yang terperangkap di tubuh orang dewasa.
Aku kembali terdiam memandang langit. Ya Allah, ada apa dengan perasaanku ini? Kenapa bayangan Mas Al masih saja mengusik benakku. Apakah mungkin karena aku kasihan karena sudah menolaknya? Lalu apa yang harus aku lakukan?
Ponselku berdering lagi. Selfi lagi.
"Ya, Sel?"
"Mbar! Kali ini ada berita hot beneran! Baru juga diomongin."
Aku terkekeh pelan, "Apalagi?"
"Itu temen si Miranda, Nyonya Anggrek yang sok kecakepan."
Aku langsung terdiam. Aku tak suka pembahasan tentang wanita itu.
"Emang kenapa sama dia?" tanyaku datar.
"Dia datang sama Pak Al tau gak? Ih, jijai bener gue liat tu perempuan."
"Ya udah biarin aja. Kali aja Pak Al puter arah ke Anggrek. Kan Alhamdulillah gak ganggu aku lagi."
"Masalahnya Pak Al marah-marah karena si Anggrek sok kecakepan itu ngerangkul lengan Pak Al di depan banyak orang. Dan si Anggrek malah nangis-nangis gitu. Idiih, air mata bawang tau gak? Gak tau malu dasar jadi cewek. Eh, Mbar, lu tau gak?"
"Gak tau."
"Belom."
Aku malah ingin tertawa saja.
"Kabar yang beredar si Anggrek udah punya suami. Tapi kok masih cari laki lain lagi. Mo poliandri kali tu orang ya?"
"Itu bukan urusan kita, Selfi sok wartawati," sindirku.
Giliran Selfi di seberang sana yang cekikikan.
"Keknya aku punya game seru deh buat perempuan sok kecakepan itu. Bentar. Lu mesti dengerin. Gue gak matiin teleponnya."
Aku ingin memaki atau tertawa, entahlah. Kupasang headset daripada berlama-lama memegang ponsel menunggu aksi si ratu gosip kawan setiaku ini.
"Pak Al makin lama makin keren aja. Ups, ada Mbak Anggrek. Oiya Pak Al, ada salam nih dari Ambar. Katanya dia pulang kampung, kangen sama bapak ibunya. Bapak mo oleh-oleh apa katanya?"
Aku yang awalnya terkekeh karena menganggap Selfi bercanda hanya mencibir.
"Apa aku boleh bicara dengan Ambar?"
Otomatis aku langsung terbelalak mendengar percakapan di seberang sana. Selfi tidak main-main. Dasar Selfi. Sekarang inginnya kumemaki.
"Hallo, Ambar. Assalamualaikum."
Aku tercekat salivaku sendiri. Aku menggosok keningku karena bingung dan ..., entah perasaanku seperti es campur. Yang jelas seperti terselip sepintas bahagia mendengar namanya.
Apa yang aku pikirkan? Ya Allaah.
"Wa'alaikumussalam, Mas Al," jawabku ragu.
"Kok kamu gak bilang kalo mau pulang? Aku kan bisa nganterin. Mau seminggu juga gak usah ijin. Biar aku yang ijinin sama Lewis. Setelah itu biar gampang ngomong sama bapak ibu di sana buat ngelamar kamu. Menghalalkanmu."
"Apaan sih, Mas," gerutuku.
"Ambar, aku mendirikan banyak perusahaan dengan kerja keras dan pantang putus asa. Apalagi buat masa depan bersama anak-anakku dari rahimmu nanti, aku akan berusaha lebih ekstra lagi untuk mendapatkan hatimu. Pertama dengan merebut hati orang tuamu. Gak salah, 'kan?"
"Gak usah gombal!" sinisku.
"Aku tahu gombal itu hanya serbet. Sementara aku serius gak pake serbet, Mbar. Emm, gini aja. Kirim peta lokasi rumahmu melalui chat ya, biar aku gampang ketemu sama calon mertua."
"Selfi mana, Mas?"
"Ini ada di dekatku."
"Kasikan sama Selfi, Mas."
"Apanya?"
"Ponselnya. Maunya?"
"Kirain hatiku. Udah gak bisa pindah lagi soalnya."
Aku jengah mendengarnya dan memutar bola mata malas.
"Hallo, Mbar. Gimana? Mas Al minta peta lokasinya nih."
"Bilang aja nanti aku kirimi peta buta. Dan aku sekarang pengen memaki! Selfi! What have you done!?"
Aku langsung mematikan sambungan telepon sepihak. Setelahnya aku bangkit dan menggaruk kepalaku yang tak gatal. Selfi ini apa-apaan! Membuatku malu setengah meninggal.
Ibu melihatku sekilas dan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Wajahnya yang lembut sembari menghidangkanku secangkir teh hangat dan pisang goreng mentega susu kesukaanku.
"Minum dulu, Nak."
"Makasih, Bu."
Kucecap teh yang dihidangkan ibu. Dan menyodorkan pisang goreng yang ibu buat ke dalam mulut setelah membaca bismillah.
"Ini pisang goreng yang tiada duanya, Bu. Ambar selalu kangen pisang goreng ini."
Aku mendekap tubuh ibuku begitu erat.
"Kamu kenapa sih? Tumben lebay begitu?"
Aku cengengesan, "Gak pa-pa, Bu. Lagi terbawa suasana sore aja."
"Lagi bahagia ya?"
"Alhamdulillah. Ambar sekarang bahagia. Apalagi Ambar udah bisa move on dari Mas Akbar."
"Jangan disebut-sebut lagi mantanmu itu. Yang penting cepetan temuin penggantinya."
"Gak segampang itu, Bu. Doain aja."
"Ibu selalu doain tanpa disuruh."
"Percaya kok."
🌿🌿🌿
"Mas Al, ngapain ke sini? Bukannya aku belum kirim peta lokasinya?"
Laki-laki di depanku ini tersenyum kecil lalu menyalami ayah dan ibu. Aku masih tak percaya masa iya laki-laki ini sudah ada di sini saja.
"Temennya Ambar ya?" tanya ibu.
"Iya, Bu. Teman hidup. Calon teman hidup," sahut Mas Al.
Otomatis tanganku melayang memukul lengannya dengan gulungan koran. Saat itu aku tengah memegang koran yang baru kuterima. Ayahku biasa langganan koran pagi. Mas Al tak marah malah hanya tersenyum kalem padaku. Aku merasa ..., illfeel.
Ayah yang melihat tingkah kami berdua malah tersenyum lebar.
Yang aku herankan, berani sekali laki-laki ini menemuiku di rumah orangtuaku. Ya Allah.
Pagi itu, ibu sudah menyiapkan makanan di atas meja makan. Ibu dan ayah mengajak Mas Al turut serta. Tak lupa ada Mas Johan juga yang datang bersama istri dan anak-anaknya.
Tak perlu banyak waktu, acara makan pagi selesai. Kulihat Mas Johan dan Mas Al tengah berbincang asyik. Sepertinya mereka cepat saling mengenal.
Aku masih setengah tak percaya. Apa yang dilakukan Mas Al ini benar-benar di luar dugaan.
"Udah, gak usah bingung. Pak Bin, HRD kantor si Lewis 'kan kenal sama Mas Johanmu. Alamat di sini tinggal tanya sama Pak Bin, tapi yang nanya Lewis, bukan aku. Urusan kecil. Cuma kemaren beberapa hari aku emang bingung kamu ke mana. Gak ada yang tahu. Alhamdulillah berkat kecentilan temenmu si Selfi itu, dia bilang kalo kamu di rumah mertua. Jadi aku langsung mendarat ke sini," terang Mas Al.
Hah??
Aku masih kebingungan. Dia melakukan hal tak terduga sama sekali.
Sampai segitunya?
"Mas Al garai illfeel tau gak?" sahutku sinis.
"Gak pa-pa illfeel. Lama-lama juga lovefeel."
Kembali kupukul lengannya dengan kemucing yang kupegang.
🎑🎑🎑
Bersambung
Situbondo, 15 November 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top