18. Melepaskan Rasa
Mulai hari ini tidak ada lagi cinta. Tidak ada lagi sakit. Dan tidak ada lagi namanya pengkhianatan.
Karena bagiku itu semua hanyalah omong kosong.
Biarkan hatiku membatu.
Jangan salahkan aku karena ini pilihanku.
Aku tidak pernah membenci poligami, tapi aku juga tidak akan pernah mau dipoligami.
Maafkan aku, Tuhan ....
Aku bukanlah wanita sekuat baja yang rela berbagi hati dengan perempuan lain.
🌿🌿🌿
Kini aku di kantin. Suasana jalanan bisa kulihat dari kaca di sebelahku sembari menikmati secangkir teh hijau. Jalanan itu nampak begitu ramai bersama lalu lalang orang yang melewati trotoar.
Aku masih fokus dengan secangkir teh yang kucecap perlahan di bibir cangkir. Syahdu rasanya. Entah kenapa perasaan lega kini mulai menyeruak di hati setelah melepaskan semua rasa menyesakkan itu.
Dia yang kini sudah bahagia harus bisa kurelakan. Percuma menyimpan rasa ini. Karena bagaimanapun, dia yang sudah memilih pergi akan mustahil untuk kembali.
Akbar ..., mungkin kau adalah cerita kehidupanku di masa lalu. Dan secara sah, hatiku katakan .... Melepaskanmu bersama rasa ini.
Air mataku hanya bisa menggenang di pelupuk mata. Bukan karena aku menyesal karena telah mengenalnya, tapi yang kusesali adalah kenapa aku salah dalam mencintai. Salah dalam memilih pelabuhan rasa.
Jalanan di ujung sana seperti kisah kehidupan ini. Harus terus lanjut sekalipun panas dan macet ada di mana-mana.
Mungkin aku harus belajar dari cara kerja alam dan isinya.
Sekuntum mawar berwarna merah pekat berada tepat di depan mataku. Menghalangi jarak pandangku dengan sang alam. Aku menoleh.
Ampuuunn ..., pembawa mawar merah kembali datang.
"For you. Especially for you."
Aku mengambil mawar itu dan seperti biasa mencium setiap aroma kelopaknya begitu dalam dengan memejamkan mata. Dan sang pemberi mawar tersenyum. Walaupun bukan mawar merekah yang ia beri, tapi senyum sang pemberi mawar begitu merekah.
"Makasih. Karena kamu selalu menyukai pemberianku," ucap Mas Al.
Aku mengangguk pelan dan tersenyum. Tak lupa menghapus setitik air di sudut mata.
"Sama-sama, Mas Al. Karena aroma bunga ini selalu saja membuat suasana hatiku lebih damai."
Mas Al mengangguk dan duduk di depanku.
"Kamu masih mikiri mantan suami kamu itu?"
"Hanya sekilas."
"Apa sudah bisa move on?"
"Alhamdulillah."
Aku masih memandang lekat sang bunga merah menyala di tangan. Sungguh, aku sekarang mengerti cinta pada makhluk-Nya bernama bunga dan aromanya ini. Sangat menggemaskan.
"Ambar, aku cuma ingin klarifikasi soal Anggrek. Kumohon jangan salah sangka ...."
"Itu bukan urusanku."
"Tapi aku tahu kalo Anggrek itu ...."
"Bukan urusanku."
"Ambar, Anggrek itu cuma cerita di masa lalu. Dia cuma catatan usang yang gak mungkin aku buka lagi. Jadi kumohon, jangan pernah kamu punya pikiran kalo aku akan sama dengan mantan suami kamu."
Aku yang awalnya asyik mengelus setiap kelopak mawar merah, jadi mengalihkan pandang pada laki-laki di depanku.
"Semua bukan urusanku, Mas. Mau kalian semua drama dan akan jungkir balik. Aku gak peduli."
"Aku tahu."
Mas Aldric sepertinya memilih menyerah dengan ucapanku.
Jengah.
Aku sudah jengah mendengar cerita tentang mereka.
Aku menyimpulkan diri sendiri dan menjauh. Mungkin berlari dari kerumunan cerita tentang perasaan adalah pilihan bijak.
"Dan ...."
Aku tak merespon lanjutan ucap Mas Aldric.
"Bolehkah aku mengatakan sesuatu?"
Aku menoleh ke kanan dan kiri.
"Tidak ada aturan tertulis di sini yang mengatakan kita 'dilarang bicara'."
"Aku serius."
"Aku lebih serius malah."
"Terserah."
Aku tak mau berdebat lagi. Kali ini suasana hatiku sulit untuk dijabarkan.
"Aku mencintaimu, Ambar."
Sebentar, apa yang dia katakan tadi?
Cinta?
Di saat suasana hatiku yang kelu ini dia bilang cinta?
Bulsyit!
Aku mengalihkan arah pandangku pada Mas Aldric. Dan laki-laki di depanku ini malah tersenyum hati-hati. Aku kembali menyibukkan diriku pada tatapan ke luar sana.
"Apa jawabanmu, Ambar?"
Aku hanya membisu. Aku bangkit. Namun lenganku dicoba ditahannya.
"Jawablah," pinta Mas Aldric lagi.
"Itu juga bukan urusanku. Itu urusan Mas Al dengan hati Mas Al sendiri."
Aku segera berlalu setelah membayar ke kasir.
"Tapi hati ini juga perlu jawaban, Ambar."
Mas Al malah mengikut di samping. Sejajar dengan langkah kakiku.
Aku berhenti sejenak dan menoleh padanya. "Mas Al kan tahu, aku baru saja. Yah ..., ceritaku." Aku kembali melanjutkan langkah. Kami melewati koridor menuju ruangan kerja masing-masing.
"Tapi Ambar mo sampai kapan harus sedih? Sampai kapan?"
"Sampai kenangan buruk itu benar-benar pergi."
"Aku ingin memberi waktu, Ambar. Aku akan menunggu. Sampai kamu mau menjawab iya."
Aku kembali menghentikan langkah dan menghela napas dalam. Aku memejamkan mata sejenak seraya berpikir.
"Maaf, Mas Aldric. Masih banyak yang lebih baik dariku. Aku cuma seorang janda yang sudah dibuang sama mantan," tandasku.
Saat aku kembali melangkah, Mas Aldric berhenti. Dia hanya memperhatikan langkahku yang mulai menjauh.
🌿🌿🌿
Selepas melaksanakan sholat isya, aku merebahkan tubuhku di kasur. Terasa sekali aku lelah. Bayangan Mas Aldric dengan wajah memelasnya sulit untuk aku hapuskan.
Wajah memelas itu. Sama persis dengan wajah Akbar ketika mengharapkan perasaanku balik padanya dulu. Semasa aku kuliah dan tak tahu apa-apa tentang cinta. Karena iba, aku terima. Walaupun akhirnya aku mulai membuka hati dan menjadi sangat mencintainya.
Aku takut sejarah kelam terulang kembali. Mungkin aku terlalu naif menghadapi ini. Tapi ketakutanku cukup beralasan. Siapa orang yang mau jatuh ke lubang yang sama dua kali? Bukankah kata pepatah, itu hanyalah kerbau yang dungu? Siapa orang yang mau mengulang cerita pahit untuk kesekian kalinya? Tidak mungkin ada. Bahkan orang terkuat sekalipun.
Ponselku berdering. Dengan malas aku menerima panggilan telepon itu. Jika Mas Aldric, aku mungkin perlu menjelaskan lagi. Setidaknya jika dia benar ingin menungguku, hal itu bisa meminimalisir rasa lukanya.
"Assalamu'alaikum, Ambar."
Sebentar. Kenapa suaranya seperti tak asing bagiku. Dan yang jelas ini bukan suara Mas Aldric.
Aku melihat nomor ponsel yang tertera. Seketika aku menahan napas dengan sedikit emosi.
Ini adalah nomor Akbar dahulu yang ia bilang sudah hilang. Dan ternyata aku temukan di lemari berkaca gelap di rumah mertua.
Apalagi orang ini?
"Ada apa?" tanyaku datar.
"Apa kamu sibuk?"
"Nggak."
"Aku ingin ketemu sama kamu."
"Maaf. Aku gak bisa."
"Ambar, aku tahu kamu ...."
Belum selesai Akbar bicara di seberang sana, aku sudah memutus sambungan telepon.
Mau apa coba?
Akbar kembali menghubungiku. Lagi dan lagi. Cukup kupasang mode diam dan setelahnya aku tak menghiraukannya lagi.
Kupeluk guling dan memejamkan mata. Sudahlah. Masa lalu adalah masa lalu. Alangkah hinanya dia yang sudah jadi masa lalu bagiku.
🌿🌿🌿
Hari ini aku bersiap ke kantor. Saat mengaktifkan ponsel, ponselku tak kunjung hidup.
"Ya Rabb, malah lobet."
Aku menepuk jidat. Segera kuambil charge ponsel dan memasukkannya ke dalam tas berikut ponselnya.
Saat kulihat arloji, sepertinya aku sedikit terlambat. Kubuka pintu kos. Aku terkejut bukan main.
Orang gila!
"Ngapain Mas Akbar di sini?!"
Aku menoleh ke kanan dan kiri. Aku takut ada orang melihat dan malah jadi fitnah.
"Ambar, semalaman aku coba menghubungimu. Tapi kamu gak angkat-angkat," ucap Akbar melemah.
"Buat apa?? Mas sudah punya istri! Jangan temui aku!" pekikku.
Aku segera berlari menjauh. Kesal benar bertemu dengan orang ini.
Mungkin beginilah maksud Allah dalam kalam-Nya. Kita bisa mencintai sesuatu padahal ia tidak baik buat kita. Dan firman Allah itu terbukti di depan mataku sekarang.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)
Namun saat aku berlari malah dicegat olehnya.
🌿🌿🌿
Kami sekarang berada di sini. Di dermaga yang pernah kami singgahi dulu. Aku sudah menghubungi Andi dan ijin kerja setengah hari.
Bagaimana lagi. Akbar memaksaku untuk bicara. Jika tidak, dia mengancam akan menculikku. Walaupun terdengar gila, tapi kusanggupi. Dengan syarat, ini adalah pertemuan terakhir kami. Aku tak mau lagi bertemu dia setelah ini.
Cukup! Ini yang terakhir!
"Ambar ...."
Sepertinya suara Akbar terdengar serak dan dipenuhi luka. Benar saja, setelah itu dia malah duduk di depanku dan bersimpuh dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Aku terhenyak dan membuka mulut lebar.
Kegilaan apa ini, Akbar?
"Jangan gila, Mas Akbar!" bentakku.
"Maafkan aku, Ambar. Inilah dosaku padamu."
"Bangun, Mas!" paksaku.
Akbar bangkit dan kembali duduk di sampingku.
"Aku gak bahagia dengan Anggrek."
"Jangan mengarang! Anggrek sudah bisa memberikanmu anak," ketusku.
"Yah, aku sudah punya anak sekarang. Dari Anggrek. Bukan dari rahimmu. Itulah kesalahan terbesarku. Tapi Anggrek menyia-nyiakan anak kami. Dia menitipkan Maryam, anak kami pada neneknya. Sama sekali ia tak mau merawat apalagi menyusuinya dengan alasan demi karir."
"Itu urusan Mas Akbar sama dia. Bukan urusanku!"
"Aku terbiasa bercerita padamu, Ambar. Ijinkan kali ini aku melepas semuanya dengan bercerita padamu."
"Gak! Itu bukan urusanku! Bicarakan itu dengan istrimu!"
"Plis, Ambar. Sekali saja. Aku benar-benar seperti akan gila."
Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dalam hati ini sebenarnya aku iba, tapi Akbar bukan apa-apaku lagi. Setelah kupikir lebih tenang, baiklah. Ini yang terakhir. Setelah ini aku akan menganggap masa laluku bersamanya benar-benar cuma angin yang pernah kuhirup sejenak dan setelah itu, sudah harus kuhempas begitu saja.
Aku mencoba tenang dan mengangguk pelan.
Kami terdiam cukup lama. Entah apa yang ada di pikiran masing-masing.
"Sejak melahirkan, Anggrek ingin kembali bebas seperti masih belum menikah. Dia meminta ijinku untuk menitipkan Maryam pada neneknya. Namun jelas aku menolaknya. Aku meminta Anggrek resign dari kantornya, dia tetap tak mau. Tanpa sepengetahuanku saat aku masih di tempat kerja, ia pulang ke rumah orangtuanya dan menitipkan Maryam. Padahal aku merindukan tangis pecah bayi dalam sebuah hubungan. Mungkin ini juga hukuman karena aku pernah menghalangimu memiliki anak. Aku tahu bagaimana rasanya merindukan anak dalam dekapan," ucap Akbar dengan air mata meluruh ke seluruh wajahnya.
"Setiap akhir pekan, kusempatkan pulang untuk bertemu Maryam. Dia tumbuh seperti anak tanpa orangtua. Meringis aku melihatnya. Aku ingin membawanya pulang. Namun siapa yang akan menjaganya? Akhirnya aku mengikhlaskan Maryam bersama orangtua Anggrek," lanjut Akbar.
Akbar memijit tulang hidungnya sembari tertunduk lemas. "Yang membuatku paling bersedih adalah Anggrek sekarang sering membangkang padaku. Aku mencari informasi bahwa dia sekarang menyukai seorang laki-laki di kantormu. Bukan kantor laki-laki itu, tepatnya rekan kerja bosmu."
Mas Aldrickah yang dimaksud Akbar?
"Mas Akbar tahu dari siapa Anggrek begitu?"
"Seorang teman pernah melihat mereka jalan berdua. Bahkan sering."
Tapi Mas Aldric bilang, Anggrek hanyalah masa lalunya.
"Aku bersimpati untuk semua itu, Mas. Semoga Mas Akbar segera menemukan jalan keluar dari perjalanan rumah tangga Mas."
Akbar menoleh padaku sejenak dengan tatapan terluka.
"Ini karma karena aku sudah membuatmu terluka, Ambar. Wanita sepertimu memang emas. Segala perih kamu tanggung sendirian."
Akbar melemparkan pandangannya ke laut lepas dengan menghela napas panjang.
"Aku tahu, kamu dulu sering menangis sendirian sambil memandangi foto-foto bayi. Aku tahu, kamu merindukan kehangatan bersama mereka. Tapi kamu gak pernah protes padaku."
Aku tertunduk. Air mataku mulai menggenang saat mengingat itu semua. Yah, aku memang merindukan tangis pecah seorang anak dari rahimku. Aku ingin merasakan bagaimana lelahnya mengandung dan menyusui. Aku selalu berangan tentang itu semua. Tapi anganku hanyalah angan yang kosong. Aku ikhlaskan itu semua. Seperti yang pernah kukatakan, poin dari pernikahanku dulu adalah kami bahagia. Walaupun sebenarnya di satu sisi, tetap aku yang terluka.
Air mataku akhirnya luruh juga. Perlahan menyeruak mengalir sampai ke dagu. Aku segera menghapusnya. Dan bangkit dengan menengok arloji di tangan.
"Ini masih jam kantorku, Mas. Sebaiknya kita cukup di sini aja. Kita kembali ke tempat hidup masing-masing. Ini sudah jadi pilihan kita. Alangkah bijaknya kita menerima apa yang sudah kita pilih. Permisi."
Setelah mengatakan itu, aku melangkah menjauh dari tempat itu. Aku menoleh sejenak pada Akbar yang mematung dengan masih menatapku dengan tatapan terluka.
Duhai angin yang menerbangkan setiap angan.
Bolehkah aku bercerita?
Seperti inikah jalan cerita kehidupan?
Dia yang menanam, diakah pula yang menuai?
Aku tak pernah mengharapkan orang yang melukaiku juga akan terluka.
Tapi aku juga tak pernah mendoakannya bahagia.
Karena aku sudah melepas semua asa dan rasa ini.
Menerbangkan angan kosongku tentang bahagia dan cinta.
Aku ikhlaskan semuanya ....
Sesampainya di pangkal dermaga, aku tertegun sejenak karena melihat seseorang di depanku. Mas Aldric berdiri tepat di depanku. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
Kalian semua, tahukah?
Kalian semua sama sekali tidak penting bagiku!
🎑🎑🎑
Bersambung
Situbondo, 7 Oktober 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top