14. Dia lagi.


Mungkin karena musim pancaroba, badanku sepertinya mulai menunjukkan tanda tak baik. Batuk dan flu yang cukup menganggu. Tapi hari ini aku harus bekerja. Banyak sekali pekerjaan menumpuk yang harus kuselesaikan segera. Jika tidak, Pak Lewis bisa saja memarahiku, tapi kutahu, si bossy termasuk atasan yang baik, yang tidak mudah memaki karyawannya.

Setelah menempati kursiku di ruang rapat, aku mulai membuka-buka berkas laporan keuangan yang sudah kupersiapkan jauh hari. Andi yang juga admin keuangan, besertaku membuat laporan ini.

"Selamat pagi semua," sapa Pak Lewis yang baru masuk ke ruangan dan duduk di kursinya.

Keningnya nampak berkerut membaca laporan keuangan yang kuberikan. Aku sudah menyerahkannya dari seminggu yang lalu. Memang ada yang membuatnya terbebani, yaitu keuangan perusahaan. Bukannya surplus, malah minus.

"Setelah saya lihat hasil laba perusahaan, sepertinya kita butuh suntikan dana lagi. Besok, kita lanjutkan meeting ini."

🌿🌿🌿

"Mbar, sekarang perusahaan lagi gak stabil," ucap Andi.

Aku mengiyakan karena memang perusahaan sepertinya akan kolaps. Perusahaan pesaing mulai getol mempromosikan produknya, sementara produk olahan perusahaan milik Pak Lewis ini, PT. Good Foody mulai melemah di pasaran. Entah apa alasannya. Kasak-kusuk yang terdengar, kembali pada perusahaan pesaing. Mereka sepertinya lebih unggul.

Aku membuka nakas bawah hendak mengambil berkas perusahaan, tapi tak sengaja menyentuh bunga pemberian Mas Aldric. Bunga yang sudah layu. Aku hendak membuangnya saja ke tempat sampah, tapi tunggu. Aku jadi memikirkan laki-laki itu. Di mana dia sekarang? Oh, mungkin saja dia sedang berkencan dengan wanita-wanitanya. Bukankah dia sendiri yang bilang kemaren kalau hobinya mempermainkan wanita? Sudahlah bukan urusanku. Lagipula saat ini di pikiranku sudah kuhapus namanya laki-laki. Bagiku mereka sama saja. Jaman sekarang saja. Masih kuingat ucapan,

Laki-laki yang mulia adalah laki-laki yang memuliakan wanitanya.

Selain dari itu, semuanya bulsyit. Bohong dan khayalan belaka. Mungkin saja masih banyak laki-laki yang mencintai dan menghormati wanita yang menjadi istrinya. Tapi mungkin juga belum keberuntunganku saja bertemu laki-laki seperti itu.

"Mbar, ngelamun aje lu. Udah saatnya meeting nih. Lanjutan yang kemaren."

"Oh, iya. Ayuk!"

Kami berjalan melewati koridor menuju ke ruang meeting. Aku sempat melihat Pak Lewis berjalan masuk ke dalam ruang meeting dengan memijit kening dan alis yang bertautan. Ia terlihat frustasi. Mungkin karena laba perusahaan yang selalu minus beberapa bulan ini. Dari belakangku, seseorang berjalan cepat menyalip langkahku. Dia Mas Al. Sedikit pun tak menoleh padaku. Whatever. Kenapa aku harus susah? Aku menggeleng kepala cepat.

Saat memasuki ruang meeting dan duduk mengitari meja berbentuk elips, jantungku seakan hendak jatuh. Pak Lewis? Dia berbicara dengan seseorang. Tidak! Aku harus menahan napas kali ini.

Kenapa dia ada di sini, Ya Allah?

Air mataku hendak jatuh jika tak segera kusadari aku sekarang berada di ruangan ini. Seseorang yang kurindukan begitu lama sekaligus yang membuatku sakit. Aku selalu gagal membencinya. Dan kini, di sini, aku melihatnya dengan mata telanjangku.

Akbar ..., apakah Tuhan mendengar doaku untuk bertemu denganmu karena kerinduan ini?

"Ambar! Tolong bawa ke sini laporanmu."

Pak Lewis memanggilku dan otomatis laki-laki itu melihatku. Padahal di awal melihatnya, aku ingin bersembunyi di kolong meja atau mengubah diri menjadi nyamuk saja agar ia tak melihatku balik. Namun tak tahu kenapa, Akbar tercekat melihatku. Saat tatapan kami bertemu, kami bertukar pandang cukup lama.

"Ambar?" panggil Pak Lewis lagi membuyarkan lamunanku.

Aku segera mempercepat langkah mendekati Pak Lewis. Dan Akbar masih memperhatikanku.

"Oiya Pak Akbar, kenalkan, namanya Ambar, admin laporan keuangan di sini. Ambar, kenalkan ini Akbar. Calon rekan kita," ujar Pak Lewis.

Saat Akbar menjulurkan tangannya hendak menjabat tanganku, aku menangkupkan tangan dengan senyuman tipis tanpa melihatnya. Aku tidak lupa bahwa dia bukan siapa-siapaku lagi.

"Mari silakan duduk semua," ucap Pak Lewis kemudian.

Aku memang tidak tenang berada satu ruangan dengan mantan. Tapi apalah daya, aku tetap harus profesional. Yang membuatku paling kesal adalah jantung ini seolah masih setia berdegup untuknya. Dari ekor mata, aku melihat Akbar terus memandangku. Dan sebagian hatiku yang lain merasa jengah melihat sikapnya.

Akbar, kau hanyalah angin di musim kemarau. Dan sekarang sudah musim semi. Jadi pergilah bersama kemarau.

"Seperti kita semua tahu bahwa perusahaan ini akan kolaps. Kita butuh suntikan dana. Semua perusahaan cabang juga mengalami hal yang sama. Demi kemajuan perusahaan ini, demi keberadaan perusahaan ini, saya sebagai pemilik perusahaan ini memutuskan untuk meminjam sejumlah dana lagi dari bank berbeda. Kita tahu kalo perusahaan ini sudah memiliki utang pada satu bank. Jadi saya pikir apa salahnya kita meminjam lagi pada bank dengan menggadaikan surat-surat berharga perusahaan. Bagaimana menurut kalian?" tanya Pak Lewis.

Sebenarnya itu hak veto Pak Lewis. Tapi sikap moderat dan terbukanya pada pegawai cukup kuacungi jempol. Lihat saja, ketika dia hendak mengambil keputusan masih menanyakan dulu pada pegawainya.

Semua yang hadir dalam rapat mengangguk setuju, kecuali tanganku yang menunjuk ke atas. Entah kenekatan model apa ini. Aku tidak punya posisi berarti di sini dan pun aku hanya pegawai yang masih terbilang baru. Belum setahun aku bekerja di perusahaan ini.

"Iya, Ambar. Ada apa?" tanya Pak Lewis.

Aku menurunkan tanganku sedikit ragu. Tak percaya juga apa yang akan aku utarakan. Dengan menelan ludah kelu karena semua tatapan orang yang ada di ruangan ini mengarah padaku, kuberanikan diri saja. Aku benar-benar gagu kali ini hendak memulai ucapanku dari mana. Saat aku melihat sekeliling, tatapan mereka masih setia padaku.

Bismillah, ucapku dalam hati.

"Saya kurang setuju, Pak."

Yah, hanya aku satu-satunya manusia di ruangan ini yang tidak setuju usulan si bossy.

"Kenapa, Ambar?"

Dan Pak Lewis mengernyitkan kening. Abaikan! Toh, Pak Lewis sendiri yang bertanya. Sekarang biarkan aku memberi jawaban berbeda dan baiklah akan aku jelaskan.

"Perusahaan ini sudah kolaps, Pak. Perusahaan cabang memiliki nasib yang tak jauh berbeda. Kita butuh dana untuk biaya produksi, gaji karyawan, dan lain-lain. Tapi kalo kita meminjam ke bank lagi, kemungkinannya ada dua. Kalo hasil produksi ini berjalan normal, anggaran perusahaan tetap defisit. Kita tetap harus membayar bunga bank setiap bulan. Kecuali laba produksi memang besar. Tapi mari kita berpikir realistis dulu. Utang pada Bank Aksa masih banyak. Dan itu harus tetap dibayar dari anggaran perusahaan, Pak. Yang saya takutkan adalah bila hasil produksi perusahaan ini minus. Dapat kita bayangkan saja, Pak."

Aku menghentikan ucapanku. Diamnya kita terkadang memberi jeda untuk berpikir pada lawan bicara kita. Aku melirik sekilas pada Akbar. Aku tahu dalam hatinya pasti kesal. Jika dia bisa mendapatkan nasabah dari perusahaan besar seperti PT. Good Foody ini, bisa jadi ia akan naik jabatan. Kupastikan itu. Maaf, Akbar. Ini bukan dalam rangka balas dendam, tapi memang aku memikirkan masa depan perusahaan ini. Perusahaan ini sekarang lebih berjasa padaku dibanding dirimu.

Sepertinya Pak Lewis menimbangkan usulanku. Dan kali ini aku tahu, dia punya pertanyaan besar yang hendak dilontarkan padaku.

"Ada usul pasti ada solusi kan, Mbar?" Akhirnya Pak Lewis menanyakan itu.

Aku kembali melirik pada Akbar. Dia juga nampak melihat padaku. Segera kupalingkan wajah dan memilih fokus menjawab pertanyaan Pak Lewis.

"Usul saya adalah bagaimana jika produksi kita minimalisir dulu sementara guna menghemat biaya produksi. Kita tekan biaya seminimal mungkin. Mungkin kita bisa ubah kemasan hanya untuk menarik konsumen."

"Saya kurang setuju, Pak. Bagaimana pun juga, kita tetap butuh suntikan dana. Mustahil biaya produksi tanpa suntikan dana lagi. Apalagi mengubah kemasan. Itu biaya lagi," sahut seorang pegawai bernama Aldo dari divisi pengawas produksi.

"Aldo, yang perlu kita pertimbangkan juga adalah trust. Gak mudah menanamkan trust pada konsumen, terutama masyarakat luas. Produk kita kalah saing dengan ..., maaf, perusahaan baru itu, pesaing kita. Kita butuh pengenalan lagi. Sedikit biaya dan sedikit produksi," ucapku tak mau kalah.

Kulihat Mas Al membisiki sesuatu pada Pak Lewis. Pak Lewis mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Entah apa yang Mas Aldric bisikkan.

"Baiklah semua. Saya berterima kasih pada Ambar dan Aldo atas usulannya. Terutama pada Ambar yang cukup kritis akan hal ini. Saya melihat dia peduli pada perusahaan ini. Pak Aldric sebagai kawan sekaligus salah satu investor di perusahaan ini, sedikit memberi usulan. Kita akan mencoba usulan dari Ambar dengan meminimalisir biaya produksi. Produksi produk-produk kita akan dibatasi. Salah satunya dengan mengubah kemasan sebagai pengenalan lagi pada konsumen. Ini langkah percobaan. Dan bila hal ini gagal, kita rapatkan lagi. Bagaimana yang lain? Apa ada usulan lagi?" tanya Pak Lewis.

"Bagaimana dengan promosinya, Pak Lewis? Bukankah memperbarui kemasan artinya kita harus mempromosikan lagi?" tanya seorang pegawai lagi.

"Hal itu saya rasa bisa diatur lagi."

Kali ini Pak Lewis menjawab sendiri. Sepertinya dia sudah bertekad untuk mencoba usulanku.

"Ada yang bertanya atau memberi usul lagi?"

Aku menyapukan pandanganku ke sekeliling peserta rapat. Tak ada komentar. Hening. Dan sepertinya mereka setuju saja dengan keputusan si bossy.

Tatapanku berhenti pada manik mata bening itu. Oh, Tuhan. Kenapa dia harus menatapku seperti itu? Aku segera memalingkan wajah ke arah lain. Malah tatapanku kini bertemu dengan Mas Al yang tengah tersenyum padaku. Aku segera menundukkan wajah dan mencoba menyibukkan diri dengan membuka kertas-kertas di depanku.

Ya Allah, beri hamba-Mu ini petunjuk.

Aku benci keadaan seperti ini. Aku jengah melihat mantan suamiku di sini. Memang hati ini, jiwa ini, masih mendambanya. Ada sebagian dari hatiku bahagia melihatnya di sini, di dekatku. Tapi aku sadar, ini hanyalah kebahagiaan semu yang harus segera kuusir dari dalam hati. Sebelum mengakar dan malah membuatku semakin terpuruk.

Setelah rapat selesai, aku langsung keluar ruangan dengan memeluk beberapa berkas penting. Kupercepat langkah dan tak mau membahas apapun dengan mantan.

"Kenapa harus tergesa, Ambar? Bukannya kamu bahagia ketemu sama mantan?"

Suara ini benar-benar menggangguku. Rasanya kepalaku akan mengeluarkan tanduk.

"Bukan waktu yang tepat membahas mantan, Mas Al."

"Jalani seperti biasa saja. Dia sekarang sudah liat kamu lebih hebat. Bukan sekedar menjadi istri di rumah semata."

Tahu dari mana Mas Al soal kehidupanku dulu? Aku tak pernah menceritakan kehidupanku pada siapapun.

"Jangan menerka-nerka, Ambar. Aku cuma lihat curriculum vitae-mu. Kamu tak punya pengalaman kerja sama sekali. Jadi bisa kutebak, kamu cuma pengangguran dulu."

Aku berbalik dan mulai kesal dengan ucapan laki-laki ini.

"Sebaiknya Mas Al gak usah mencampuri urusanku. Kita beda alam."

Aku mempercepat langkah. Mas Al tetap melangkah berada di sampingku.

"Yap, kita beda alam. Kamu adalah bidadari yang baru saja turun ke bumi," ujar Mas Al. Setelah itu ia tertawa lebar.

"Ngece!"

Aku menggelengkan kepala dan lekas berlalu sebelum perbincangan ini membuatku naik pitam lagi pada Mas Al.

Saat tiba di depan lift, seseorang menyamakan langkahnya denganku masuk ke dalam lift. Ini Mas Al seperti bayangan saja. Dan di dalam lift ini kami hanya berdua. Aku menghela napas panjang berkali-kali karena udara di ruang kecil lift ini terasa sesak mengingat diriku hanya berdua bersama laki-laki yang bukan mahramku.

"Mas Al. Sebaiknya kita bicara nanti lagi," ucapku hendak menekan tombol lift yang paling dekat dengan pintu keluar. Namun pergerakan jariku terhenti saat mendengar suara di sampingku.

"Selamat ya, Ambar. Kamu sudah menemukan tautan hatimu. Aku ikut bahagia."

Apa?

Aku menoleh. Ternyata yang dari tadi bersamaku adalah Akbar. Ya Tuhan ..., kenapa harus di dekat dia lagi? Dia tersenyum. Tapi aku merasa itu senyum luka atau entah itu senyum apa. Senyum yang sama persis ketika kami sepakat berpisah saat bertemu di dermaga dulu.

Akbar, kamu salah paham.

Tapi penjelasan takkan berguna apa-apa pada hubungan kami. Jadi kudiamkan saja. Seolah mengatakan iya. Walaupun sejujurnya ingin kujelaskan bahwa aku dan Mas Aldric hanya sebatas kenal.

Akbar, melihatmu tersenyum seperti itu, entah kenapa hatiku pun rasanya terluka.

Kenapa harus ada perpisahan antara kita jika hatimu masih bersemi untukku?

Aku hanya terlalu percaya diri.

"Selamat juga karena istri Mas Akbar sudah hamil besar. Sebentar lagi Mas Akbar akan memiliki anak dari dia."

Sungguh aku tak maksud menyindir Akbar, tapi karena ucapanku itu, Akbar seperti tercekat dan membisu.

"Aku duluan, Mas."

Aku segera memencet tombol lift dan keluar menuju toilet. Aku menangis sejadinya. Kenapa takdir mempertemukanku lagi dengannya?  Padahal aku belum bisa melupakannya. Tapi aku terima. Selesai sudah ceritaku dengannya.

Kau bukan jodohku, Akbar.

🎑🎑🎑

Bersambung
Situbondo, 30 Agustus 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top