13. Perempuan Yang Terluka


Pernikahanku yang berlangsung selama lima tahun kandas begitu saja, tak bersisa. Aku tak punya "oleh-oleh" dari pernikahan ini. Anak. Buah hati yang kumaksudkan. Walaupun dalam sepi aku selalu menginginkannya. Dan yang aku lihat kemaren benar-benar membuka mataku lebar. Lima tahun aku menahan diri untuk tidak memiliki anak demi alasan klise, masalah finansial kami yang "kurang." Setelah Akbar sukses dan kami mulai berbenah diri untuk memiliki momongan, tak disangka, badai rumah tangga datang dan memporak-porandakan semua rencana kami. Hancur semuanya. Seiring hancurnya pula hati yang selama ini kujaga untuk tak tersakiti.

Wanita itu sudah mencicipi buah kesuksesan suamiku—maksudnya mantan suami. Akbar sudah setuju memiliki anak. Karena itu, wanita yang sekarang menjadi istrinya bisa hamil tanpa syarat lagi dari Akbar. Ataukah memang, Akbar tak memberi syarat apapun untuk gadis impiannya itu. Hatiku benar-benar hancur dan sakit, Ya Tuhan.

Apa salahku, Akbar??

Bukankah aku setia mencintaimu?

"Let's gone be by gone. Itu kata orang. Tapi bisa jadi obat mujarab bin ampuh buat yang belum bisa move on."

Aku menoleh dan menghela napas malas. Kenapa teman si bossy ini tiba-tiba ada di dekatku? Dia ada di mana saja. Seperti jin botol yang mengucapkan bim salabim lalu muncul seketika.

Lalu apa katanya tadi? Let's gone be by gone adalah obat mujarab untuk move on?

Hanya orang yang merasakan saja yang akan mengerti. Orang lain akan mudah mengatakan karena mereka belum mengalami. Seandainya mereka mengalaminya sendiri, takkan ada ucapan yang mudah untuk dilontarkan.

Aku tahu yang aku tabrak kemaren adalah dia. Sepertinya begitu. Dari parfum beraroma citrus yang selalu ia pakai dan dari bayangan ekor mataku, sepertinya itu memang dia. Entahlah. Di antara banyak manusia, kenapa harus selalu melihat dia, teman si bossy ini, Mas Aldric.

Dalam kesendirianku ini, aku tidak butuh teman. Justru setelah berpisah dari Akbar, aku hanya ingin sendiri. Aku takut memiliki teman. Baik teman sepermainan apalagi teman hidup. Aku tak ingin kecewa lagi. Aku sangat takut kehilangan.

Tak kurespon ucapan Mas Al. Perasaan ini masih kacau balau. Rasanya aku ingin melaksanakan puasa bisu. Seperti cerita tetanggaku yang pernah melakukannya. Dengan niatan apa aku tak mengerti. Aku tak mau berbicara sekarang. Terlalu rumit isi kepalaku. Terlalu banyak beban yang kupikirkan.

Mas Al malah mengambil kursi di depanku dan duduk. Ia menatapku lurus. Ditatap seperti itu, aku langsung menundukkan wajah. Apalagi saat ini kami berada di kantin kantor. Semua pegawai tentunya sedang memperhatikan kami.

"Ambar. Sahabat Nabi, Salman Alfarisi pernah bilang kalo pasangan hidup itu ada tiga macam tipe. Yang pertama, jodoh, tapi tak sakinah. Ada suami istri yang sehari-harinya tengkar, tapi mereka bisa punya anak. Dan kehidupan mereka terus, lanjut. Gak pisah. Karena Allah memang menjodohkan mereka. Tipe yang kedua. Sakinah, tapi gak jodoh. Mereka rukun, gak punya masalah apa-apa, tapi tiba-tiba pisah. Terus ada tipe ketiga. Rukun alias sakinah dan jodoh pula. Kehidupan mereka bahagia walaupun ada kerikil-kerikil tajam dalam biduk rumah tangga, mereka hadapi itu berdua. Dan kehidupan mereka, lanjut. Karena jodoh."

Mas Al masih menatapku saat kulihat sekilas. Dan aku tetap tak berani menatap mata tajam itu. Aku melihat ke arah lain.

"Jodoh itu sudah takdir. Ketika kita gak terima sama pasangan yang udah mengkhianati kita, anggap saja dia memang bukan jodoh kita. Tuhan tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Berarti, dia bukan yang terbaik buatmu, Mbar. Dia bukan jodohmu. Tapi baiknya dia buat istri dia yang sekarang. Mungkin saja begitu," lanjut Mas Al dengan santai.

Terbaik buat istri dia yang sekarang dan bukan baik buatku?

Oh Tuhan ..., benarkah begitu? Lalu, aku juga gak baik buat Akbar? Aku bukan jodoh dia? Lalu jodohku siapa? Ahh, orang ini hanya mengada-ada. Tapi Mas Al menyebut kisah sahabat Nabi. Benarkah itu?

"Mas Al jangan sok tahu."

"Karena aku memang tahu, Ambar."

"Bukan. Bukan soal pengetahuan Mas Al tentang jodoh, tapi soal kehidupan pribadiku."

Mas Al malah terdengar terkekeh pelan. Apa dia mentertawakan kehidupanku?

"Kemaren waktu aku ngeliat kamu nangis, aku jadi mikir, Mbar. Kenapa wanita sebaik dirimu harus bertemu dengan laki-laki seperti dia."

"Gak semua orang itu baik, Mas."

"Aku juga bukan orang baik. Karena itu, aku menyayangkan wanita sepertimu bertemu dengan laki-laki sebangsa kami. Yah, yang suka mainin hati perempuan."

Mas Aldric mengatakan itu seolah-olah wanita hanyalah sebuah mainan dan aku mainan yang tak pantas dipermainkan. Tetap saja dia menganggap wanita adalah mainan. Tapi sepanjang ucapannya, aku tahu niatnya bukan ke arah situ. Mungkin dia hanya menilai dirinya sendiri.

"Karena wanita yang pantas dipermainkan adalah wanita yang mau dipermainkan," tukas Mas Al.

Aku langsung berdiri dan tersinggung dengan ucapannya. Jadi dia menganggap aku adalah wanita yang mau dipermainkan?

"Sebaiknya saya pergi. Mohon koreksi lagi ucapan Anda, Pak Aldric yang terhormat."

Aku menggeser kursi ke belakang dan pergi begitu saja. Aku berlari ke toilet segera.

Mas Aldric. Dia tak tahu bagaimana menjadi seorang perempuan yang tersakiti, yang terluka. Mana ada seorang perempuan yang mau disakiti? Bahkan Tuhan pun melindungi seorang perempuan begitu hebat. Seorang perempuan diminta untuk menutupi seluruh bagian tubuhnya agar ia terhormat. Karena Tuhan ingin setiap perempuan mulia dan terjaga.

Aku meraih tisu di wastafel dan mengusap air di sudut mataku. Aku tak ingin membenci laki-laki karena Nabiku pun laki-laki. Dan kutahu, Nabi melakukan poligami hanya untuk menolong sesamaku ketika itu. Bukan karena alasan nafsu belaka.

Aku pernah mendengar kata-kata orang bijak,

Laki-laki yang mulia adalah laki-laki yang memuliakan wanitanya.

Tapi pertanyaannya, masih adakah laki-laki seperti itu saat ini?

🌿🌿🌿

Aku mempercepat langkah keluar kantor saat melihat Mas Aldric berjalan mendekatiku. Ini sudah jam pulang. Aku tergesa dan tak mau mendengar ucapan apapun lagi yang menyakiti hatiku. Sayangnya kaki jenjangku tak setinggi kaki panjangnya. Langkahku kalah cepat dengan langkahnya. Aku benar-benar gigit jari karena kesal melingkupiku.

Dia lagi, dia lagi.

"Ambar, listen to my explanation, please. Maksudku bukan begitu," ujar Mas Aldric.

Namun tak kugubris perkataannya dan terus melangkah pergi. Beberapa rekan kantor memperhatikan kami. Aku semakin ingin menjauh. Tak ingin ada gosip, fitnah atau semacamnya.

Tapi laki-laki ini masih saja setia berjalan beriringan di sampingku membuatku semakin emosi. Aku berhenti seketika dan menghadap ke arahnya, tetapi pandanganku menatap ke arah lain sembari melipat tangan di dada.

"Aku mohon, Mas Al, kita gak usah berdebat apapun. Aku udah ngerti maksud ucapan Mas Aldric. Sudah, aku mo pulang. Terima kasih."

Aku tak ingin mendengar apapun lagi. Kecuali mendengar suara angin atau deru bising di jalanan. Itu lebih baik daripada mendengar ucapan tak bergunanya.

Mas Aldric mencoba mengejarku, tapi aku merasa, dia memberiku jeda untuk berpikir tentang ucapannya. Atau mungkin dia sedang merancang deretan kata untuk meralat ucapan otomatisnya tentang perempuan yang dipermainkan itu. Terbukti dia kemudian menghentikan langkah dan tak mengejarku lagi. Entah kenapa wajahku secara otomatis melihat ke arahnya yang berdiri mematung menatapku dari kejauhan di belakang sana.

Rasanya aku ingin berteriak saja melihat tingkah setiap laki-laki yang berniat mempermainkan perempuan. Apa saja yang ada di otak mereka? Apa mereka lupa bagaimana bila seseorang menyakiti ibu atau adik perempuan mereka, apa mereka akan terima? Atau mungkin mereka memang tidak pernah memikirkan itu?

🌿🌿🌿

"Andi? Ngapain kamu di sini?"

Aku terkejut melihat teman kantorku ini sudah berdiri di depan pintu kamar kosku. Aku menoleh ke kanan dan kiri luar kos. Bagaimana bila seseorang menganggapnya berbeda? Aku seorang perempuan dan janda pula, kedatangan seorang laki-laki yang bukan mahramku bisa saja memberikan banyak spekulasi pada orang yang melihatnya, terlebih yang kenal denganku.

"Aku cuma pengen ngasi ini, Mbar," ujar Andi.

Aku menautkan kedua alisku saat melihat amplop berwarna hijau pupus yang diberikan oleh Andi.

"Apa ini?" tanyaku.

"Pak Aldric yang nitip ini buat kamu."

Dan aku ber- "Oh" ria saja. Jika aku menolak surat ini, urusan akan jadi panjang karena pengirimnya saja suka banyak komentar.

"Makasih, An."

Andi mengangguk dan tersenyum. Kemudian ia berlalu. Tumben sekali teman kantorku itu tak banyak komentar.

Aku masuk ke dalam kos dan duduk di tepi kasur. Aku tersenyum tipis. Mendapat surat dari seorang laki-laki, sangat aneh kurasa. Kubuka surat itu.

Kata pertama yang tertuang di awal tulisan setelah salam adalah kata maaf.

Maaf.

Maaf jika ucapanku justru membuatmu semakin terluka, Ambar.

Kau tahu,

Karena wanita yang pantas dipermainkan adalah wanita yang mau dipermainkan,

Tidak, kamu bukan salah satunya, Ambar.

Jangan pernah merasa dipermainkan oleh laki-laki. Karena aku tahu, kamu adalah wanita terhormat.

Wanita yang pantas dipermainkan adalah wanita yang mau menjual harga diri, kehormatan dan martabatnya. Itu yang aku maksudkan. Karena aku bukan laki-laki baik, makanya aku mengatakan itu. Tapi aku bisa menjadi laki-laki sejati saat mencintai.

Dan itu jauh dari sifatmu, Ambar.

Yang kumaksudkan wanita yang mau dipermainkan itu sungguh bukan dirimu, Ambar. Karena kau sudah memilih kesejatian cinta melalui pernikahan, ikatan suci. Hanya saja orang yang pernah di sampingmu itu yang tak menyadari kesejatian hatimu. Kamu tidak sengaja dalam hal salah memilih pasangan.


Aku segera menutup lembar surat itu. Untuk apa pula Mas Aldric menjelaskannya? Itu tidak penting. Aku tak peduli dengan ucapan orang. Bagaimana mereka menilai seorang perempuan, bagaimana mereka menilai diriku, aku tak peduli. Not at all.


🎑🎑🎑

Bersambung.
Situbondo, 14 Agustus 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top