12. Di manakah kebaikan?

Beberapa bulan telah berlalu. Namun bayangan Akbar masih saja menghantuiku. Hampir setiap malam aku menangis memikirkannya.

Dulu setiap malam, saat masih bersamanya, Akbar akan selalu bercerita sampai aku terlelap. Aku terbiasa mendengarkan ceritanya. Saat semua itu sudah tak ada, aku merasa kosong dan kehilangan.

Tuhan, sampai kapan aku begini? Tak tahukah Akbar, aku sangat menderita karenanya. Kian malam kian larut, aku memejamkan mata dengan memeluk boneka berbentuk donat pemberian Akbar. Saat Akbar keluar kota dulu, aku memeluk boneka donat agar bisa lekas memejamkan mata. Seperti saat ini.

Bedanya sekarang, Akbar meninggalkanku bukan lagi keluar kota yang hanya sementara, tapi meninggalkanku untuk seterusnya bersama dia, wanita impiannya.

🌿🌿🌿

Ponselku berdering. Aku mengucek mata dan melihat angka di jam dinding. Ini sudah tengah malam tepatnya jarum pendek di jam sudah menunjukkan angka satu. Setelah kuusap tanda hijau di layar ponsel. Aku mengernyitkan kening. Nomor baru dan menelepon tengah malam. Sempat membuatku bergidik. Kutahu tidak ada hantu kata Nabi, tapi memang bukan hantu tengah malam seperti ini yang kutakutkan. Bagaimana jika orang asing yang mengancam keselamatan jiwaku. Ah pikiranku ke mana-mana. Ini bukan lagi efek menjanda, tapi bisa jadi efek paranoidku sendiri. Sepertinya aku kurang piknik.

Nomor itu menghubungiku berkali-kali. Kutunggu sampai lima kali panggilan, barulah kuangkat.

"Assalamualaikum," ucap seseorang di seberang sana. Dan itu suara laki-laki.

Aku hanya terdiam. Ragu juga menerpaku. Aku tidak terbiasa menerima panggilan dari laki-laki yang bukan mahramku. Orangtuaku terbiasa mendisiplinkan soal itu padaku sekalipun kuakui, kami bukan keluarga agamis. Kata ayah ibu semua itu untuk menjaga diri saja. Bukankah aturan agama memang untuk keselamatan diri?

Kembali pada penelepon asing ini. Siapa dia?

"Wa'alaikumussalam," jawabku dengan pelan.

Suara di seberang sana menyebut kata hamdalah. Sepertinya ia cukup lega karena aku menerima panggilannya. Sebentar, apakah ini panggilan darurat dari keluarga, atau ....

"Ini siapa? Ap-apa terjadi sesuatu?" tanyaku kemudian dengan tergesa. Aku hanya ingin memastikan semua baik-baik saja.

"Iya, Nona, ada."

"Nona?"

Tidak. Ini tidak mungkin dari keluargaku. Pasti ada seseorang yang ingin main-main saja. Aku akan mematikan sambungan telepon ini saja. Tapi, bagaimana jika ini sesuatu yang penting. Baiklah. Lanjut.

"Lihatlah Nona sekarang jarum pendek di jam menunjuk angka berapa?"

"Ini sudah jam satu malam. Ada apa? Dan kamu siapa?"

Suara di seberang sana terkekeh. "Aku Al, Aldric. Masih ingat 'kan yang tadi siang menyapamu?"

Aldric?

Bukannya aku mengatakan ponselku eror? Dan dia mendiamkan saja ucapanku yang artinya dia percaya. Lalu kenapa sekarang dia tahu nomorku?

"Bukannya Mas Al gak saya kasi nomor telepon, lalu kenapa ...?"

Mas Aldric tertawa lebar. "Itu tidak sulit bagiku, Ambar. Apalagi, kamu bekerja di kantor sodaraku."

"Saudara?"

"Lewis adalah sodara sepupuku. Kami bersahabat dari kecil. Jadi kalo cuma minta salah satu nomor telepon pegawainya, pasti dia kasi."

"Lalu apa maksud Mas Al menghubungi saya? Tengah malam begini pula?"

"Aku hanya kesepian. Gak ada temen ngobrol. Seperti angka satu itu, aku sendirian. Dan sama seperti kamu yang juga sendirian."

"Apa maksud Anda?"

"Aku sudah tahu identitas lengkap dirimu, Ambar. Oke, lupakan soal masa lalu. Karena masa lalu itu hanya cerita dan anggap saja hanya mimpi."

Jujur, aku tak suka bila ada seseorang mencari tahu tentang diriku, terlebih soal masa lalu dan semua tentangku. Aku bukan artis atau politisi. Jadi kumohon jangan bahas soal kehidupanku.

Aku ingin mengatakan itu, tapi sudahlah. Biarkan laki-laki di telepon ini berbicara dan aku menjadi pendengar yang baik saja. Bukankah dia mencari teman untuk mendengarkan ceritanya?

"Ambar, apa kau tidur?"

Aku mulai malas menanggapi. Kupikir di awal, teman atau saudara si bossy ini pendiam, dingin dan jaim. Ternyata malah pemikiranku berbanding terbalik dengan kenyataan.

"Tidak, Mas Al. Aku hanya mengantuk. Sebaiknya kita lanjut besok-besok saja. Karena besok, saya harus berangkat pagi."

"Datang terlambat pun tak apa. Sesekalilah. Nanti aku yang bicara pada bosmu."

"Maaf, Mas Al. Saya terbiasa disiplin. Assalamualaikum," ucapku kemudian sembari menutup sambungan telepon.

Setelahnya aku menghela napas panjang. Kulihat layar ponsel. Aku bersyukur, Mas Aldric tidak menghubungiku lagi. Sepertinya dia mengerti aku yang kelelahan.

🌿🌿🌿

Aku tercengang saat sebuket mawar merah menyala bercampur sedap malam ada di atas meja kerjaku. Aku meraih dan menciumnya sejenak dengan senyuman. Bagaimana bisa seseorang meletakkan bunga kesukaanku di sini? Tapi kenapa harus ada bunga sedap malam juga? Tak apalah. Aku menyukai harumnya.

Mungkinkah ini milik seseorang yang tertinggal di atas mejaku?

Aku menoleh ke kanan dan kiri. Ini masih sangat pagi. Bahkan Andi pun belum datang. Aku membuka kertas kecil di balik buket bunga.

For you, Ambar.

Aku tergagu. Ini milikku. Seseorang meletakkan bunga ini di atas meja kerjaku. Dan ini memang untukku. Aku berdiri dan menoleh ke kanan dan kiri. Ruangan masih sepi. Hanya ada beberapa pegawai yang datang. Aku memang biasa berangkat pagi karena menghindari macet.

Apa peduliku? Aku menyukai bunga ini. Bahkan Akbar pun tak pernah menghadiahiku bunga. Walaupun hanya sekuntum saja. Bukannya pelit. Tapi ia tak menyukai bunga. Akbar lebih suka memberiku hadiah emas atau barang mewah lainnya.

Aku mengambil vas kosong di laci bawah dalam nakas dan menyusun bunga-bunga itu. Aku meraih tas dan mengambil air mineral dalam botol. Setelah kutuangkan ke dalam vas berbentuk botol yang lebar di bagian bawah, kuletakkan vas di atas meja dekat komputer. Sesekali aku meliriknya dan tersenyum kecil saat tengah membuka data-data di komputer.

"Sepertinya aku berhasil mengubah mood seorang wanita dengan bunga."

Aku menoleh saat seorang laki-laki beraroma citrus tengah berbicara di dekatku.

"Mas Aldric."

Laki-laki ini lagi. Padahal baru kemaren kami bertemu. Tapi ia sudah seperti bayangan saja.

"Aku tak perlu bertanya karena sudah tahu jawabannya. Kamu suka bunga itu. Terima kasih."

"Saya yang terima kasih, Mas Al, untuk bunga ini."

Mas Aldric hanya mengangguk sejenak dengan seulas senyum. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku, kemudian ia pun berlalu. Aku melihatnya berjalan menuju ke ruangan Pak Lewis.

Andi yang baru datang terdiam melihat bunga merah menyala di atas meja kerjaku. Ia meletakkan tasnya di atas mejanya dengan pandangan tetap lurus pada bunga.

"Tumben kamu kasi bunga di atas meja? Ada apa gerangan? Apa hatimu sedang berbunga-bunga, Mbar?" ledek Andi.

Aku tersenyum tipis. "Ini dikasi."

"Dikasi? Emejing? Siapa yang ngasi? Cewek ato cowok? Pasti cowok ya?"

Aku hanya mengangkat bahu tak acuh dan tak menggubris teman biang gosip ini. Andi tahu aku seorang janda. Ia pernah membaca curriculum vitae-ku. Jadi ia tak perlu bertanya lagi statusku apa. Sekali lagi mengingat statusku, aku tersenyum kecut. Bukan karena status janda, tapi statusku karena Akbar. Akbar yang masih kucintai dan entah di mana sekarang.

Ya Allah, lagi-lagi aku merindukannya.

"Aldric!"

Itu suara Miranda. Tumben wanita itu memanggil Mas Al? Biasanya ia akan menangis dan mengejar Pak Lewis? Aku yang awalnya fokus pada layar komputer, otomatis menoleh ke asal suara.

"Hai, Miranda sayang. Apa kabar?" Terlihat Mas Aldric menyapa Miranda dengan mesra.

"Kapan kamu pulang? Kok gak kabar-kabar?"

"Kemaren lusa."

Dan setelahnya mereka berdua berlalu. Terlihat sangat akrab. Syukurlah ada Miranda. Setidaknya sepupu si bossy itu tidak mengganggu pekerjaanku.

🌿🌿🌿

Sore ini setelah pulang kerja, aku memutuskan tak langsung pulang ke kosan, tapi berbelanja bulanan seperti biasa.

Setelah sampai di mall, waktu azan maghrib sudah berkumandang. Aku memutuskan ke musola mall dulu untuk melaksanakan sholat maghrib. Sholat maghrib adalah waktu terpendek dari empat waktu sholat lainnya. Jadi aku segera melaksanakannya.

Masuk ke mall dan menghabiskan waktu berbelanja mulai dari bagian market sampai ke bagian baju kulewati. Aku butuh semua bahan dan barang itu untuk keseharianku.

Setelah puas berbelanja sendirian, aku menjejakkan kaki menuju keluar mall.

Tapi ..., tunggu. Aku melihat sesuatu yang menyentil hatiku. Entah siluet orang itu benar atau tidak. Aku menajamkan pandangan. Dan benar saja itu Anggrek. Wanita yang kini sudah sah menjadi istri mantan suamiku. Saat perempuan itu semakin dekat dari jarak pandangku, aku menurunkan tatapanku dan membuka mulut seketika. Anggrek tengah hamil?

Entah beban apa yang menggelayuti dadaku. Rasanya sangat sesak. Tapi tunggu, aku akan menghitung jari. Ini belum genap lima atau enam bulan usia pernikahan mereka, tapi mengapa perut Anggrek sudah sangat besar? Apa Anggrek hamil di luar nikah? Atau Anggrek hamil dengan orang lain? Aku tahu bagaimana Akbar. Dia laki-laki yang menjaga sekali kehormatan perempuan. Semasa menjalin asmara denganku saja sebelum menikah, Akbar bahkan tak berani menyentuh kulitku. Lalu, itu anak siapa?

Aku tak berani menatap pemandangan di depanku setelahnya. Air mataku keburu terjun bebas. Dengan berlari kuusap air mata ini. Tak kuasa aku menatapnya lagi.

Ya Allah, Ya Tuhanku, kenapa hidupku harus sepahit ini?

Kenapa orang yang paling kucintai justru yang paling menyakitiku?

Tuhan tunjukkan kebaikan dari semua ini.

Agar aku mampu menghibur diriku dalam kesendirian ini.

Agar aku masih memiliki harapan untuk bisa bahagia.

Aku melihat mereka. Mesra sekali di tengah ramainya orang. Mereka tak sadar, ada satu manusia di sini yang terluka.

Akbar mencium kening dan perut wanita hamil itu dengan hikmat.

Aku terus berlari sembari mengusap air mata yang masih nakal terjun ke pipi ini. Badanku menabrak tubuh seseorang. Belanjaanku di tangan terjatuh. Aku segera memungutnya. Orang yang kutabrak membantuku. Sepertinya orang itu melihatku menangis tersedu. Segera kuusap lagi air mata yang deras mengalir ini dan segera berlalu tanpa mempedulikan tatapan orang itu setelah mengucapkan terima kasih.

🎑🎑🎑

Bersambung
Situbondo, 6 Agustus 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top