1. Kata Pisah


Aku mematung memandang ombak yang berkejaran itu. Dulu, aku paling suka melihat suasana sore ini. Awan yang berarak dengan mega merah di ufuk barat sana menyambut datangnya matahari tenggelam bersama deru angin yang mengempaskan sisi wajahku. Saat aku masih bersamanya, seorang laki-laki yang aku sebut sebagai suami.

Sebulir air bening menitik di sudut mataku. Kenangan itu begitu indah bersamanya. Aku tersenyum manja pada dia. Dia yang kini sudah mengabur dari kehidupanku.

Aku mendengar derap langkah mendekatiku. Tenang dan ragu. Sifat langkah yang kudengar. Aku tak menoleh karena aku tahu siapa pemilik langkah itu. Tanpa satu patah kata pun, ia duduk di sampingku. Tepatnya di bangku panjang berbahan besi dingin di sebelahku yang menghadap lurus ke laut. Di dermaga ini. Dan mungkin akan menjadi pertemuan terakhir kami.

"Aku minta maaf." Dia mulai membuka pembicaraan.

Maaf. Maaf yang menyakitkanku. Aku menahan sesak dan kunormalkan isi alam pikiranku untuk tenang.

Laki-laki di sampingku menoleh dan menatapku lama. Aku tahu itu dari ekor mataku. Dia. Di mana hatiku sudah tertaut lama dalam mata dan raga itu. Dia. Yang tak mengerti bahasa perasaanku.

"Aku juga minta maaf, Mas," sahutku. Setelah itu aku tak tahu lagi harus berkata apa.

Aku dilahirkan dari keluarga bahagia. Ayah dan ibuku sudah terbiasa memanjakanku. Mereka tidak pernah memarahi apalagi menyakitiku. Aku dilahirkan bukan dari keluarga berada. Namun penuh dengan tata krama. Kehidupanku yang berjalan mulus bersama kedua orangtuaku mengajarkan bagaimana lurusnya kehidupan ini.

Namun saat ini, aku benar-benar tak mengerti kesakitan ini. Mengapa begitu menyakitkan? Andai aku bisa menceritakan semua ini pada kedua orangtuaku, aku pasti sudah bercerita panjang lebar. Tapi kutahan. Aku tak ingin melihat wajah pilu mereka. Biarlah kesakitan ini kusimpan sendirian.

"Dek, aku tahu ini menyakitkan, tapi sungguh aku tak berniat untuk menyakitimu. Pertemuan kami juga tidak sengaja. Aku sudah memberimu pilihan. Memang aku tidak bisa dan tidak akan bisa adil, tapi aku akan usaha, Sayang. Kamu tahu, aku sayang sama kamu. Aku tak mau kehilanganmu. Tapi juga aku sulit mengabaikannya. Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku ...."

Akbar menunduk. Aku tahu dalam maaf lirihnya, dia terisak pelan. Aku menemukan sedikit luka dalam ucapannya. Namun aku tak mampu menjalaninya. Aku tahu, dosaku terlalu besar meminta perpisahan ini. Tapi aku berharap, Tuhan mengerti isi hatiku yang egois mengharapkan dia untukku satu-satunya.

"Poligami bukan jalan hidupku, Mas. Karena itu maafkan aku."

Aku sudah tak kuasa lagi berucap. Bagiku ini sangat sakit. Luka ini sudah terlanjur menganga. Mengapa dia yang aku sayangi, memilih kasih sayang dari bunga di luar sana? Apa kurangku?

Kupikir, aku sudah menunaikan kewajibanku menjadi istri dengan baik. Tunduk dan patuh padanya. Sekalipun mungkin Tuhan marah karena mengabaikan salah satu anugerah yang Dia siapkan. Buah hati, buah cinta yang seharusnya sudah ada di tengah-tengah candaan kami.

🌿🌿🌿

"Apa kamu yakin dengan keputusan ini, Ambar?"

Pertanyaan dari ayah membuatku hanya bergeming. Dari mana aku harus memulai cerita ini sementara saat ini hatiku tengah terluka. Luka yang sedang menganga lebar yang sedang kubalut susah payah dengan air mata tersembunyi.

Aku hanya mengangguk pelan. Tak tahu lagi harus kujawab apa bila ayah dan ibu bertanya lagi.

Ayah terlihat menunduk dan menggelengkan kepalanya pelan. Ibu yang berada di sisinya hanya bisa mengusap pelan bahu ayah. Aku hanya bisa tertunduk dengan menatap samar keduanya. Sungguh, jiwaku terguncang melihat kemurungan mereka saat ini.

"Nak, ibu sama ayah gak tahu permasalahan apa yang membuatmu ingin berpisah gini dari Akbar. Bukannya dulu kamu yang memaksa kami sampai merajuk sedemikian rupa supaya lamarannya diterima? Usia pernikahan kalian masih lima tahun. Belum apa-apa. Kalo kalian ditimpa masalah, sebaiknya dirembuk dulu dengan kepala dingin. Bukan dengan jalan memutus pernikahan seperti ini, Ambar. Ingat! Perceraian adalah perlakuan yang halal tapi dibenci Allah, Nak," seru ibu menasehatiku dengan menggebu-gebu.

Aku tak bisa menahan diri lagi. Aku tak ingin mereka melihat kepedihan dan air mata yang kupendam susah payah di depan mereka.

"Aku ke kamar dulu, Bu," ujarku.

Aku segera berlari menuju ke arah kamar. Aku tahu ibu hendak mengejarku. Namun ditahan oleh ayah.

"Dia butuh waktu sendirian, Dek," ucap ayah yang samar kudengar.

Aku segera masuk kamar dan menutup pintu rapat. Menghempaskan tubuh ini di atas kasur empuk milikku. Dulu, di kamar ini, aku seringkali menerima panggilan telepon darinya, Akbar. Perhatian yang selalu ia berikan membuatku begitu menginginkannya menjadi milikku seutuhnya.

Laki-laki berperawakan sedang dan berkulit sawo matang itu sudah menarik perhatianku. Sinar mata akan kejujurannya membuatku luluh dan yakin, dialah calon pemimpin idaman setiap kaum hawa. Tutur lembut dan sikap santunnya membayangkanku akan keindahan bersamanya.

Dia——Akbar Hermawan——yang sudah menjadi tautan hati ini sejak pertama melihatnya. Nama kami yang hampir sama semakin meneguhkan keyakinanku bahwa dialah jodoh dunia akhiratku.

🌿🌿🌿

Ketukan palu dari hakim itu sudah cukup mewakili keputusan kami dalam perpisahan. Dia..., masih terlihat menawan bagiku saat terakhir pertemuan di pengadilan agama ini. Ingin rasanya aku berlari dan mendekapnya erat menyandarkan wajah pada dada bidangnya, lalu mengatakan, jangan pergi dariku, kumohon. Namun percuma ..., dia sudah pergi tanpa menoleh padaku lagi. Sesak rasanya dada ini bila mengenang kebersamaan kami dulu. Dia ..., yang biasanya ada menemani dalam hari-hariku, kini hanya menjadi bayangan belaka. Aku tak menangis, karena air mata ini sudah tercekat luka yang begitu dalam.

Selamat tinggal hari bahagia bersamanya. Setelah cerita ini usai, aku harap segera bisa melupakannya.

Aku menengadah ke atas langit. Menyeka air mata dan luka dengan seribu kedipan mata yang kubendung. Lihat, Tuhan! Dia sudah pergi dengan harapan kebahagiaannya. Ikhlaskan aku saat ini melepasnya jauh bersama dambaannya.

🍂🍂🍂
Bersambung

Situbondo, 13 Juni 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top