The Last Memory
Aku tidak tahu persis bagaimana aku dilahirkan. Yang kuingat cuma ... bum! Aku bisa melihat dan tahu-tahu punya banyak teman yang cerewet. Kepalaku yang masih suci—dan juga kopong—dijejali dengan banyaknya fakta yang mampu membuatku cuma berkata, "Oh ... begitu."
Dari situ aku tahu bahwa: aku terlahir dari potongan bangkai makhluk hidup. Bukan hanya satu, tetapi lebih. Materi yang lebih dominan di tubuhku yang ramping ini, mampu membuatku mengingat kehidupan si bangkai. Awalnya samar-samar, kemudian sedikit demi sedikit cahaya menerangi sisi dalam diriku. Lantas ... aku tidak peduli. Toh, aku sudah bukan si pohon tua lagi. Lihatlah diriku yang sekarang—cantik dan punya rambut.
"Dengar-dengar, menjadi spesies kita itu tidak enak," kata salah satu temanku, entah dia mendengar gosip itu dari mana—tetapi kusimpulkan itu sebagai paranoianya yang pernah hidup sebagai pohon pinus di ibu kota. Rambutnya lebih lebat dari kami, dan itu membuatnya sombong. Dia melanjutkan, "Bahan kimia membuat rambut kita mekar dan rontok. Dan lagi ... para manusia itu memperlakukan kita seperti sampah."
Benar-benar sampah omongannya. Setelah mengatakan itu, tahu-tahu kami diangkut. Si rambut lebat terus merengek sampai rambutnya menampar wajah teman di kanan-kirinya. "Gawat! Kita bakalan rusak! Rusak paraaah?!" Sampai ketakutannya itu perlahan menjalari badan kami. Lebih-lebih saat kotak yang kami tempati dibuka. Si Lebat semakin histeris, tetapi ia tidak bisa bergerak seperti sebelumnya.
Pria. Mungkin usianya sekitar ... seratus tahun? Entahlah, aku tidak tahu lantaran hidupku di dekat manusia belum lama. Yang pasti, dia memiliki rambut yang lebih lebat dari siapapun yang pernah kulihat di sekitar bibir dan kepalanya, nyaris seperti pemilik toko kami yang sudah sepuh. Kudengar teman-temanku masih merengek, tetapi tidak bisa bergerak karena si pria masih mengamati kami dengan mata birunya yang agak juling—mungkin karena dia sering mengintip.
Saat si pria berbicara tentang betapa tuanya rupa kami, teman-temanku semakin berceloteh, kesal. Namun, beberapa saat kemudian, celotehan mereka berganti menjadi persetujuan.
"Nah, Pak Tua. Rupanya Anda mengerti soal kualitas, ya?" Si Lebat, temanku berbicara keras-keras, padahal ia tahu usahanya tidak akan ditanggapi. "Makanya, tempatkan kami di dalam kotak cantik. Rambut kami sudah bagus, jadi tidak usah pakai pewarna beracun milik Anda untuk kesehatan kami, ya. Makasih, Pak! Pak, makasih!"
Seperti halnya yang sering terjadi pada kami dengan para manusia, si Pria Tua tentu saja tidak mendengarkan. Seberusaha apapun kami untuk menghindari cairan kimia yang katanya berbahaya, tubuh kami yang tidak punya kuasa untuk bergerak lebih jauh, apalagi di hadapan manusia, membuat kami hanya bisa pasrah sambil menjerit-jerit saat rambut kami berubah warna.
"Biadab!" Temanku, si Rambut Lebat masih menjerit saat rambutnya menyapu kanvas yang kini sudah penuh warna, sementara si manusia tak menghiraukannya dan malah bersenandung kecil. Kata-kata kasarnya terus keluar, sempat kukira dia bakalan kehilangan suara, tetapi justru suaranya semakin kuat.
"Berlebihan," komentar si Rambut tipis nan Lancip di sebelahku. Pandangannya mencemooh, bukan pada si manusia, tetapi pada si Rambut Lebat. "Kita sudah digunakan berkali-kali, tapi tetap saja dia seperti itu."
Entah sudah berapa lama, yang pasti sudah banyak sekali tangan si manusia menggerakkan kami di atas kanvas, menandakan bahwa ocehan teman kami tidaklah benar pasal rambut yang rusak parah. Pria itu, yang sering kali dipanggil da Vinci, memperlakukan kami dengan baik. Menyapu rambut kami dengan lembut sampai menghasilkan maha karya yang luar biasa untuk dipandang, kemudian si asisten akan membersihkan kami sampai terlihat seperti baru.
Mungkin kesadaran dirinya datang terlambat, si Rambut Lebat baru bisa menerima takdirnya saat si manusia terus menggunakannya. Lantas, dia mulai menyombongkan diri. "Wah .... Aku hebat, ternyata. Bisa menghasilkan karya terindah sepanjang masa." Padahal, dia tidak benar-benar membuatnya. Maksudku, si manusia tidak terlalu sering menggunakan temanku itu, tetapi akulah yang menjadi perantara dari semua kegeniusan si da Vinci.
Kami memiliki perbedaan mencolok di bagian rambut, dan milikku yang tidak lebat ataupun tipis, telah membuat si manusia sering menggunakanku di setiap lukisannya. Berkat itu, aku sudah tidak lagi terlihat indah. Rambutku masih bagus, tetapi tidak dengan tubuh rampingku. Aku selalu diejek lantaran warna-warna di kepala besiku tidak bisa hilang, atau goresan di tubuhku yang tidak bisa ditutupi. Meski begitu, aku senang.
Tuanku, si manusia yang genius, lebih sering menghabiskan waktunya bersamaku demi menyelesaikan sebuah lukisannya yang paling indah selama aku bersamanya. Berkat itu aku tahu bahwa, mata julingnya bukan dikarenakan ia sering mengintip, tetapi karena dia memiliki pandangan lain dengan semua karyanya.
Saat satu lukisan sederhana selesai, dia melanjutkan lukisan lainnya yang sempat ia tunda. Begitu otak geniusnya lelah berpikir dan mata julingnya tidak memiliki pandangan menarik, ia akan berhenti melukis. Tidak benar-benar berhenti, maksudku. Dia hanya menunggu sampai sesuatu dalam kepalanya bersinar, menandakan bahwa setiap lukisannya memiliki makna, dan aku percaya dia menyimpan rahasia di dalam karyanya. Nah, itulah kenapa karya-karyanya begitu menarik perhatian banyak bangsawan.
Salah satu yang menjadi favorit da Vinci sendiri dan juga aku, ialah potret seorang bangsawan wanita muda. Namun, seperti yang aku katakan sebelumnya, karya itu belum juga rampung. Orang-orang yang awam mungkin mengira lukisan indah itu sudah selesai, tetapi otak genius da Vinci tidak demikian. Entah berapa lama, akhirnya dia bisa menyelesaikan potret indah itu dengan sangat sempurna, sampai aku mengira kanvas itu memiliki dua wajah yang hidup.
Selain penglihatan unik akan bakatnya sebagai pelukis, mungkin juga si genius da Vinci punya penglihatan masa depan yang bagus—tetapi aku menyebutnya dengan 'suram'. Dia mulai melukis wajahnya sendiri, dibantu dengan asistennya yang setia. Walau hasilnya tidak seindah karya-karyanya yang terkenal, potret wajahnya yang tua itu telah membuatnya begitu puas.
"Nah ...! Aku banyak membantu, nih, di wajah si Tuan." Si Rambut Lebat kembali berbangga diri, padahal si Rambut Tipis nan Lancip-lah yang berperan besar kali ini. Kemudian kesombongannya semakin memuncak kala da Vinci kembali mendapat tawaran melukis, lebih-lebih lagi pada teman-teman barunya.
Seorang pria. Da Vinci Menyebutnya "Yesus sebagai Juru Selamat Dunia". Si Lebat kembali dibuat sombong atas lukisan Tuhan tersebut walau kenyataannya dia cuma berperan sebagai pengoles warna dasar. Justru akulah yang selalu menjadi bintangnya.
Meski sudah lama aku bersamanya, Tuanku da Vinci dan juga asistennya, selalu memperlakukan kami dengan sangat baik. Kendati wujudku sudah tidak indah seperti pertama kali datang, tangan emasnya selalu memilihku di semua karyanya yang mengagumkan, dan itu telah membuatku sadar bahwa, hidup ini akan terasa begitu indah jika kita melakukan hal-hal yang disenangi. Aku senang saat melihat mata biru tuanku begitu fokus pada pekerjaannya, atau saat ia menuntunku mengoleskan warna pada kanvas, lantas nyaris meledak dalam kekaguman setelah melihat hasil akhir yang begitu indah.
Aku, si Kuas Utama, telah menemukan jalan hidupku. Bukan lagi si pohon tua yang menunggu waktu sampai tubuhku lapuk dan memudar, tetapi sebagai kuas sang Seniman Hebat yang melahirkan banyak karya yang luar biasa.
Tak apa rambutku rontok dan menjadi onggokan sampah, asalkan aku telah membantu banyak pada kesenangan tuanku.
Tak apa aku menggelinding di bawah lemari dan tidak ditemukan, asalkan aku sudah menemani tuanku membuat karya hebat.
Tak apa ....
Tak apa .... Asalkan aku sudah menemaninya bersenang-senang sampai Salvator Mundi itu menjadi karya terakhirnya.[]
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top