Proud, Lucky, and Sinking
Di sinilah aku, meratap pada langit tentang betapa sialnya nasib ini. Padahal tadinya aku bangga karena telah terpilih dan berkumpul dengan barang-barang mewah lainnya, walau aku sendiri tak yakin bisa disebut mewah. Sejenak kuperhatikan langit, sebab tak dapat kulihat hal lain di sini selain langit dan ... laut. Terombang-ambing tak jelas. Sampai kapan hingga aku sepenuhnya hilang?
Siang berganti malam, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak ada apa pun yang bisa kupatri dalam ingatan. Tidak, kecuali suara sang bayu dan bahar yang menemaniku di sini. Mereka seolah mengasihaniku yang tertimpa kemalangan. Ingin rasanya kukatakan pada mereka bahwa dulu aku berada di tempat yang layak, berdiri kokoh dan megah. Saking bangganya sampai kusematkan sendiri gelar layak berada di lingkup kelas atas.
Tapi, semua itu sirna kala tirta masuk dan menenggelamkan semuanya. Kawanku yang lain, tempatku, bahkan manusia-manusia yang menggunakan kami, semuanya seakan-akan dipaksa untuk pasrah ditelan tirta.
Memori itu masih teringat dengan jelas. Kenangan pahit yang harus kuterima. Ya, mau bagaimana lagi? Nasibku sudah begini.
Sang bayu berbisik, sesuai dugaanku dia mengasihaniku. Namun, di akhir giliran sang bahar yang berbisik menanyakan mau ke mana aku sekarang. Toh, aku sudah tak punya tujuan lagi, jadi kukatakan saja ke mana pun boleh.
Sambil ditemani mereka, aku lagi-lagi teringat kenangan itu. Ternyata, melupakan itu sulit ya? Eits, tapi jangan mengasihaniku. Biar kuceritakan dulu bagaimana aku, si Pintu Mewah dari kapal Titanic memulai kenangannya di sana. Baru setelah itu kau boleh memujiku.
Kapal itu katanya kapal terbesar dan termegah yang diciptakan manusia. Meski aku sangsi kalau suatu saat nanti manusia pasti menciptakan kapal lebih besar lagi, dan mungkin kapal yang bisa terbang seperti burung di atas sana.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku bangga bisa berada di kapal itu. Menjadi bagian interior mewah dan berkelas, salah satu dari wujud keinginanku ketika pertama kali dibuat. Hal lain yang paling kunantikan adalah ketika melihat para manusia dengan pakaian-pakaian mengilap serta topi bulu-bulu yang amat cantik. Benar-benar sangat indah untuk dipandang. Alunan musik yang terdengar setiap saat, melengkapi hariku sebagai pintu. Untung saja aku ditempatkan di deck kelas atas, setiap hari aku bisa menikmati apa yang dilakukan manusia-manusia itu.
Sungguh, aku merasa beruntung. Pagi dan malam digerakkan, menyambut mereka-mereka yang katanya berdompet tebal. Aroma parfum yang begitu menyengat sampai menempel padaku. Dengan sangat apik dan lembut, seorang pria yang setiap saat bergantian berdiri di dekatku, menarik gagangku untuk mempersilakan orang-orang kaya ini masuk menuju aula.
Oh, jika seandainya aku bisa berjalan sesuka hati layaknya mereka yang menciptakanku, mendatangi aula dipenuhi musik akan menjadi tujuan utamaku. Namun, apa daya, diriku ini hanyalah pintu. Menyerap energi lalu mentransformasikannya menjadi memori, itulah yang bisa kulakukan.
Suara anak-anak berseru ceria, obrolan manusia dewasa, canda tawa, musik, bahkan sampai gema sepatu mereka yang berkelotak pun aku ingat.
Aku pikir hal-hal seperti ini akan menjadi rutinitasku. Jadi, seharusnya aku mensyukuri nikmat ini, bukan? Sebagai pintu yang bangga akan posisinya, tak perlulah aku takut jikalau suatu saat nanti kebiasaan ini mendadak lenyap. Sebab, aku yakin sepenuh hati akan tetap berada di sini dalam waktu yang lama.
Ya ... kecuali jika tikus atau rayap menggerogotiku. Ah, tapi masa iya di kapal mewah seperti ini ada tikus? Masa iya mereka tak membiarkan pintu semewah diriku yang diukir oleh ahli ukir profesional habis digerogoti rayap. Konyol sekali.
Namun, justru itulah yang tak pernah aku duga. Siapa sangka jika manusia-manusia ini rupanya ceroboh. Gunung es pun ditabraknya hingga menyebabkan bagian depan kapal membiarkan celah terbuka untuk sang tirta masuk. Mengisi ruang penuh udara, menjadi ruang untuk tirta bersemayam.
Entah aku yang harus merutuki manusia ceroboh yang tak melihat gunung es, atau takdir yang kejam membiarkanku harus berakhir ditelan tirta?
Kesal, kesal, kesal. Padahal baru saja meniti karir sebagai barang mewah, malah harus bernasib apes di tengah samudera. Kalau begini, aku tak akan pernah berguna lagi. Gelar kebanggaanku akan hilang, tenggelam di dasar samudera atlantik. Kemudian, gelar baru menjadi 'puing-puing kapal Titanic yang tenggelam' akan disematkan padaku. Tidak sampai seminggu aku menjadi pintu mewah berkelas, tahu-tahu sudah menjadi barang rongsok tak bernilai.
Anehnya, kukira takdirku akan berakhir saat kapal itu tenggelam. Rupanya, entah keajaiban atau kesialan, aku justru terpisah dengan teman-temanku. Meski pada pagi yang masih gelap dapat kulihat manusia-manusia yang sibuk menyelamatkan diri, berteriak meminta pertolongan, tetapi suaranya terbang dibawa bayu. Kemudian, kulihat sekoci-sekoci putih melewatiku dengan mengiba. Katanya, hanya sampai di sana perjalananku dan kami berpisah.
Masih terukir jelas dalam ingatan, sekoci-sekoci itu membawa para manusia yang tampaknya sudah putus asa, sedih karena kehilangan orang terkasih, dan bersyukur sang pencipta masih mengizinkan mereka bernapas. Tak sampai sehari aku menemani mereka, sebelum sebuah kapal besar membawa serta para manusia selamat atau tepatnya beruntung itu. Meninggalkanku beserta puing-puing yang tak ikut tertelan tirta, juga manusia-manusia beku yang mengapung tak tentu arah.
Sebenarnya aku kasihan pada mereka yang tidak beruntung, tetapi mengingat kecerobohan mereka aku jadi tidak kasihan. Lagi pula, apa mereka yang beruntung dan meninggalkanku sendirian di tengah samudera juga berpikir demikian? Tentu saja tidak.
Siapa yang membutuhkan sebongkah pintu tak berguna yang engselnya saja sudah rusak dan seluruh tubuhnya basah? Tidak ada. Barangkali kalaupun aku bisa dibawa ke daratan, fungsiku berubah dari pintu kapal mewah menjadi kayu untuk perapian. Berguna, sih, tapi habis itu aku tak jadi apa-apa lagi. Hanya abu yang bisa dibuang dan kenangan tentang diriku si pintu beruntung, pemilik gelar pintu mewah kapal Titanic akan lenyap selamanya.
Sudah. Begitulah kenangan yang terserap olehku. Tak ada lagi yang bisa kuceritakan, sebab tak ada energi lagi yang bisa kuserap selain ratapan bahar dan bayu tentang kejadian-kejadian menyedihkan yang mereka saksikan. Beruntung, kejadian menyedihkan yang kusaksikan hanya sekali. Tak mau lagi kulihat hal yang serupa lebih dari sekali.
Nah, sekarang, kusudahi saja meratap tentang nasib sial. Percuma juga meratapi kalau ujung-ujungnya tidak ada yang berubah. Maka dari itu, aku si pintu dari kapal Titanic hanya akan menyimpan memori selama yang aku bisa. Kubawa mengarungi samudera, semoga kelak suatu saat nanti saat aku bisa mencapai daratan bisa kuceritakan pada benda lain yang kutemui. Itupun kalau sempat.
Aku sungguh merasa beruntung kala itu. Sebuah kebanggaan untukku menjadi bagian dari kapal Titanic. Kisah kapal tenggelam yang mungkin akan dikenang oleh banyak orang dari masa ke masa.
SELESAI
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top