Mereka yang Memilih Mati

Saat ini, mungkin tubuhku sudah tidak tersisa; terlebur dalam air dan mengambang seperti plankton, atau menjadi makanan mikro organisme laut. Namun, kupikir kisah ini pantas didengar, tentang kapal laut terbesar pada masanya.

Saat itu, tanggal 1 April 1912, di Southampton, RMS Titanic memulai pelayaran perdananya. Kapal yang paling besar, megah dan canggih di masanya. Sebagian besar mereka yang menumpang adalah orang-orang terkaya, yang ingin mengadu nasib di Amerika. Mereka naik dengan bangga dan merasa bahwa mereka akan selamat, tanpa tahu bahwa kepongahanlah yang akan membuat kapal itu karam di samudra Anlantik Utara.

Aku benci menceritakannya, bagaimana kesombongan begitu membinasakan. Atau, bolehkah aku menyebutnya kebodohan? Atau kekonyolan? Karena sungguh bodoh mereka membawa sekoci lebih sedikit dari yang seharusnya, atau awak kapal yang tak sempat—atau mungkin meresa tak perlu—dilatih ketika sekoci harus digunakan, atau karena para penumpang, yang entah terlalu nyaman, atau terlalu bodoh untuk segera merespons marabahaya, atau aku pernah mendengar dari seseorang, bahwa Thomas Andrew, sang perancang Titanic berkata bahwa kapal ini tidak akan tenggelam bahkan oleh Tuhan.

Saat itu, aku hanya melihat orang-orang berkerumun menyerupai semut. Gegap-gempita yang diiringi suara mesin kapal dan uap yang mengepul dari tiga corong kapal—dan yang satu hanya jadi pajangan. Bising, namun wajah mereka sungguh bahagia.

Tapi kau tahu, dalam lima empat belas hari pelayarannya, ada banyak kisah tercipta. Kami, para pintu senang memerhatikan dalam diam, dan pintu di depanku bercerita tentang ruangan, orang, atau sebuah kejadian yang sempat ia tonton dan dengar. Atau sebuah berita yang mereka dengar dari mereka yang bicara sambil berlalu-lalang.

Aku pun punya kisahku sendiri, tentang nona kaya yang berniat bunuh diri namun takut mati. Tentang Rose yang hendak melompat dari kapal namun gagal karena termakan bujuk rayu pemuda tampan, dan entah bagaimana terpeleset dan berteriak ketakutan. Ia hampir meninggal. Aku rasa itu agak menggelikan.

Setelah itu aku tak lagi mendengar kabar mereka. Tentu saja aku bisa bertanya kepada pintu di depanku, dan ia bisa bertanya kepada pintu lain, dan pintu itu bertanya ke pintu lainnya lagi. Bagi kami para pintu, tidak ada rahasia dalam kapal ini. Namun yang kami pahami, tak semua hal harus kami ketahui, atau kami ceritakan.

Sampai akhirnya tragedi itu terjadi, Titanic menabrak gunung es. Aku melihat orang-orang kaya itu begitu tenang. Mereka enggan menaiki sekoci, karena mungkin mereka merasa aman dalam kapal besar. Lalu, sekoci diturunkan dalam keadaan setengah penuh. Di saat itu aku berteriak. Namun tak peduli seberapa lantang, mereka tak bisa mendengar.

Aku menangis sesegukan. Kami para pintu tahu seberapa mengkhawatirkannya semua ini. Tentang seberapa besar kerusakan lambung kapal, atau para awak yang tunggang-langgang mengendalikan kondisi yang memang tak terkendali. Air merembes, memenuhi kabin, dan perlahan membuat kapal miring. Pada saat itulah mereka sadar, bahwa kapal akan tenggelam.

Di saat inilah segala hal jadi tampak mengerikan. Tentang mereka yang berteriak, berlari dan mencari anggota keluarga masing-masing, atau yang sempat kembali ke kamar mereka dan mengepak barang berharga. Sungguh, kenapa mereka begitu tolol?

Aku sungguh sedih, takut dan bahkan marah, melihat orang-orang macam Bruce Ismay yang memilih menyelamatkan dirinya. Aku rasa hatinya terbuat dari batu. Bagaimana ia bisa meninggalkan mereka yang ketakutan dan putus-asa?

Namun, dalam carut-marut situasi kapal yang mulai tenggelam, tetap ada mereka yang memilih bertahan, mendahulukan yang lemah. Memilih mengalah. Mereka adalah sekelompok pemusik yang tetap memainkan instrumen dalam ingat-bingar, menutup mata, dan menyebarkan ketenangan melalui suara, meski aku tak yakin para penumpang dapat mendengarnya akibat terlalu paniknya mereka. Tapi, aku bisa merasakan bahwa jantung mereka bergaung lebih lantang, melawan ketakutan-ketakutan mereka sendiri. Bersiap meninggalkan segalanya, harta, anak dan mungkin istri.

Tentang seorang istri yang memiih bertahan dengan suaminya di geladak kapal sambil bergandengan tangan, menahan tangis, dan saling menguatkan. Suaminya menolak naik sekoci di hadapan wanita dan anak-anak, dan istrinya menolak pergi tanpa dia.

Tentang seorang wanita yang menolak diselamatkan selama ada nyawa-nyawa yang masih bertahan.

Tentang pendeta yang memilih tetap di kapal dan berdoa, mendengarkan pengakuan dosa dan memberikan pengampunan bagi mereka yang tertinggal di kapal.

Tentang para insinyur yang memilih bertahan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa.

Namun, ada pula pemuda kaya yang memilih duduk tenang, menyesap tembakau dan menunggu kematiannya, dan orang-orang putus asa yang melompat dari kapal dan mati karena hipotermia.

Dan memang, pada akhirnya kapal itu pun patah dan tenggelam. Aku terlepas karena benturan air yang keras, mengapung, sampai seseorang memegangku, dan kusadari Rose—gadis yang saat itu berniat bunuh diri—berusaha memanjat dan tertidur di atasku, bersama pemuda yang sama, yang kini menemaninya dengan seluruh badan terendam air es kecuali bahu dan kepala. Memegangi lengannya.

Aku yang melihat bagaimana teriakan-teriakan itu bergaung memenuhi malam yang dingin, lalu perlahan menghilang, bagaimana kecipak gerakan tangan dan kaki itu akhirnya terdiam. Menyisakan mayat-mayat yang mengapung di atas air yang tenang dan menusuk.

Pada akhirnya tim penyelamat datang, dengan sekoci kecil mereka, memgang senter, meniup pluit, dan berteriak berulang kali apakah ada di antara mereka yang selamat? Aku diam, karena kupikir ini akhirnya. Tak ada lagi yang selamat, lalu akhirnya Rose bergerak. Ia bangun. Kepalanya terangkat kaku. Ia melihat Jack menyandarkan lengannya padaku.

"Jake." Dia memanggilnya. Menyentuh lengannya yang sedingin es batu. Bukankah seharusnya ia memanggil penyelamat itu?

"Jake," ia memanggilnya lagi.

"Jake," dan lagi. Berkali-kali, dengan suaranya yang kecil dan serak, juga seluruh tubuhnya yang sakit. Ia ingin pergi bersama Jack, menuju tim penyelamat itu.

Di saat itulah aku sadar, bahwa mereka mencintai satu sama lain lebih dari diri mereka sendiri.

Karena itu, aku ingin berteriak, memanggil para penyelamat, bahwa nona ini masih di sini. Hidup.

Namun kau tahu, setelah dia diam, aku tahu bahwa dia sadar jika Jack tak lagi bernpas. Dan mungkin, melihat bagaimana ia membiarkan orang-orang itu berlalu, ia memilih untuk ikut mati bersama Jack.

Tapi, ketika ia mengangkat kepalanya untuk kedua kali, kulihat sorot kehidupan di sana, dengan segenap kekuatan, ia lepaskan genggaman jack yang kaku dari tangannya, melepasnya, dan melihat bagaimana pria itu tenggelam ke dasar samudra. Aku tahu ia ingin berteriak, dan menahan tangisan begitu keras.

Kemudian Nona itu berteriak, "Tolong!" Sekali, dua kali, namun suaranya tak keluar. Ia memutuskan untuk berenang menuju seorang mayat yang berkalungkan pluit. Rose meniupnya. Ketika seseorang menoleh dan mengarahkan senter ke arahnya, ia tahu bahwa ia akan diselamatkan.

Ia akan hidup, seperti yang Jack mau.

Dan kau tahu, aku tetap di sini, meski aku yang menopangnya. Pada hakikatnya sejak awal aku sudah mati, dan akan tetap mati, karena aku benda mati. Aku telahd ditakdirkan di sini, bersama orang-orang yang juga telah mati, bersama Jack, sang Pendeta, suami dan istrinya yang memutuskan mati bersama, dan banyak orang berhati mulia.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top