Lahir dari Sebuah Kematian

Manusia adalah definisi paling pamungkas dari kesombongan dan keserakahan. Alam dan segala sesuatu yang pernah disentuh manusia akan berubah menjadi petaka, menjadi ajang mereka dalam memberi makan ego. Tangan-tangan yang terbuat dari tanah itu menempel dan meninggalkan lumpur pada benda-benda suci, dan tangan-tangan itu dinobatkan oleh Tuhan untuk menjadi perusak.

Kelahiranku di atas bumi menjadi satu-satunya hal yang berulang kali kupertanyakan pada Tuhan. Aku terlahir dari sapuan cahaya malaikat, diantar oleh tangan suci sang malaikat, ditakdirkan untuk menduduki altar pemujaan dewa, utusan-utusan Tuhan, atau Tuhan itu sendiri—aku tidak diizinkan untuk memiliki pengetahuan lebih akan itu.

Manusia, ujar sang malaikat, ialah makhluk yang mengkotak-kotakkan setiap hal berdasarkan kelompok mereka sendiri. Tidak ada yang mengetahui apa atau siapa yang paling benar, bagi mereka, kaum mereka adalah yang paling benar. Namun, mereka sama sekali tidak memahami kebenaran yang mutlak.

Malaikat melepaskanku dari tangannya yang bercahaya, menempatkanku di perut bumi. "Manusia akan menemukanmu sebagai sesuatu yang murni dan berharga," ujar sang malaikat untuk terakhir kalinya. Aku ingat mereka akhirnya menemukanku di salah satu tambang di Golconda, tambang Kollur.

Lantas aku dipahatkan di salah satu patung Dewi Sita, menduduki altar pemujaan dewa selama bertahun-tahun. Aku ingat tiap-tiap tangan yang pernah menyentuhku, juga niat yang terpancang di jiwa mereka setiap kali melihatku. Beberapa pemuja itu memiliki tatapan yang jernih, tidak ada kabut dosa yang mengikuti setiap sentuhan mereka. Tangan-tangan itu hangat seperti dinding-dinding perapian yang menyala.

Seperti itulah hari-hari yang bosan berlalu begitu saja. Aku teringat sang malaikat, dia masih sesekali datang, mengawasi pendeta yang setiap hari membersihkan patung Dewi Sita, seakan-akan terus menakar ketulusan si pendeta, atau menunggu waktu hingga si pendeta berubah menjadi serakah—cukup serakah untuk mencabutku dari altar pemujaan dan berlari meninggalkan seluruh kegiatan ketuhanan.

Namun, sang pendeta tetap di sana, menyanyikan lagu-lagu pujian setiap hari hingga suaranya berubah menjadi serak. Hingga lantas aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya tersembunyi dalam setiap tatapan kosong si pendeta? Apa yang sebenarnya ia harapkan dari dunia ini?

Dari sekian banyak manusia yang pernah menyentuhku, hanya niat sang pendeta yang tidak pernah mampu kurasakan. Sentuhannya samar, kecuali keriput tangannya dari waktu ke waktu, hangatnya darah yang mengaliri nadi pada tangan-tangan itu, aku tak bisa merasakan hal lain.

Hingga suatu saat, kusaksikan wajahnya membiru dalam usaha mempertahankanku—atau patung Dewi Sita—yang hampir saja dicuri oleh seseorang. Malam itu, sang pendeta baru saja menyalakan lampu-lampu di sekitar altar, aku ingat sentuhan terakhirnya yang nyaris seringan kapas dan dingin seperti perapian yang lama mati di tengah musim dingin.

Aku tahu malam itu sang malaikat tidak meninggalkan kuil seperti biasanya. Dia menetap di sana, dengan kilau-kilau cahaya dari balik tudungnya, mengawasi pendeta dari sudut-sudut tak terduga. Aku sudah tahu sang pendeta akan mati malam itu, tetapi aku tidak pernah mengetahui alasannya, hingga kekacauan itu benar-benar terjadi, dan nyawanya terenggut.

Separuh energi miliknya melekat dalam diriku, barulah saat itu aku bisa merasakan betapa polos dan murninya hati sang pendeta yang niatnya tidak pernah bisa kubaca semasa dia hidup. Bersama energinya yang tersisa, aku mengawasi altar kuil dari waktu ke waktu, menjadi benda mati yang semakin menggiurkan bagi tangan-tangan kotor yang memiliki niat sekelam malam.

Hingga seorang pendeta lain tiba untuk mensucikan kembali kuil yang menjadi saksi terenggutnya sebuah nyawa suci. Aku menyerap energi setiap makhluk yang pernah menyentuhku, seperti tanah menyerap air hujan. Dan hampir pasti aku bisa membaca setiap niat terdalam yang mereka sembunyikan. Namun, entah mengapa, untuk setiap pendeta yang datang dan menyentuhku, tidak satupun dari mereka yang mampu kupahami.

Pendeta yang baru ini berusia jauh lebih muda daripada pendeta sebelumnya. Satu dua hari sejak kehadirannya, tidak ada perubahan yang berarti. Tetapi semua kedamaian itu tidak berlangsung lama, sebab pada suatu malam ia mengendap-ngendap, membiarkan lampu-lampu kuil mati sejak sore, mengeluarkan pisau yang tersembunyi di balik kainnya, mencungkilku dengan paksa, menyembunyikanku di balik kainnya yang ternyata beraroma seperti lumpur dan keringat. Tak lama kemudian, aku mendengar teriakannya, suara pisau berdenting menghantam lantai kuil, dan darah merembes ke kainnya, hampir pasti bisa kurasakan kelam dan pekatnya aliran darah itu.

Teriakannya nyaring, mengundang orang-orang berlarian memanjati undakan tangga dari muka jalanan, di tengah keramaian yang tiba-tiba itu aku mendengar si pendeta berujar dengan serak, "Seseorang telah mencuri Hope Diamond."

Sandiwara.

Pendeta yang telah mati itu memberiku nama, sebab baginya aku hadir sebagai harapan untuk membuat kuil yang nyaris mati itu menjadi ramai dan penuh cahaya. Memang, aku seperti harapan yang menyilaukan—dan juga menyesatkan. Sudah pernah dikatakan oleh sang malaikat bahwa kehadiranku di muka bumi adalah untuk menandai kemurnian, selebihnya, aku akan mengundang petaka.

Aku mendengar keramaian mengantarkan si pendeta licik itu pulang, tidak ada yang pernah tahu bahwa dia membawaku di balik kain yang berlumuran darah. Aku tidak pernah tahu tubuh bagian mana yang ia lukai demi mendapatkanku, sampai lentera-lentera di dinding kamarnya menyala redup. Dia menolak orang-orang yang berusaha mengobati lukanya dengan alasan dia tidak ingin tubuhnya disentuh oleh siapa pun. Di antara semua makhluk yang menyaksikan kejadian itu, hanya aku yang memahami dengan jelas maksud tersembunyi si pendeta. Ia tidak menginginkan saksi, tidak menginginkan seseorang mengetahui niatnya. Begitu saja, orang-orang memercayainya, meninggalkannya sendirian dalam ruangan sempit bersama ramuan-ramuan tradisional.

Lepas tengah malam, setelah dia yakin semua orang terlelap, ia mengeluarkanku dari kain, barulah aku melihat dengan jelas saat itu bahwa ia melukai perutnya sendiri, tepat di dekat tempat ia menyembunyikanku di balik kain.

"Tunggu sebentar, aku akan menyembuhkan diri, lalu akan kucari harga terbaik untukmu, Sayangku."

Kurasa pendeta itu sudah gila, karena dia baru saja mengajakku berbicara—sembari meringis memegangi perutnya. Sang malaikat ada di sana, dia selalu tahu segalanya, sepertinya Tuhan telah mengirimnya untuk menjadi saksi. "Dia tidak akan pernah sembuh," tutur sang malaikat.

Barangkali si pendeta itu bukanlah pendeta, dia hanyalah penipu yang sejak dahulu mengincarku. Selepas meninggalkan kuil, aku mendadak bisa membaca segala bentuk niatnya. Dialah yang telah membunuh pendeta tua yang selama ini menjagaku.

"Aku akan menyembuhkan diri secepatnya."

Kau akan mati pelan-pelan.

Dia akan menggenggamku di waktu-waktu tertentu, dan dia tahu, aku tidak pernah nyaman berada di genggamannya. "Kau sepanas bara setiap kali kugenggam, padahal kau selalu tersembunyi dari cahaya."

Aku terbuat dari cahaya, kau tidak bisa menyembunyikanku dari cahaya, sebab cahaya itu adalah diriku sendiri.

Luka di perutnya semakin membusuk, tidak pernah mengering. Kain-kain di rumahnya habis untuk melilit luka yang terus menerus menganga dan mengalirkan darah. Serangga-serangga merayap menaiki ranjang tempatnya terbaring. Lambat laun, dia tidak mengizinkan siapa pun untuk menjenguknya lagi, sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahui kondisinya.

Makanan-makanan basi dan mengering, mengeluarkan bau aneh dari balik pintunya. Orang-orang berpikir si pendeta melakukan puasa, tetapi lebih daripada itu adalah karena dia tidak lagi mampu bergerak dari tempat tidurnya. Tidak seorang pun tahu bahwa si pendeta telah dimakan pelan-pelan oleh keserakahannya, menggerogotinya tanpa ampun, dan mengundang petaka besar dalam kehidupannya.

Luka yang membusuk itu merusak jaringan tubuhnya perlahan-lahan, membuatnya berhenti melantunkan puji-pujian pada sang Dewi. Tidak ada seorang Dewi pun yang datang untuk memberkatinya. Sang malaikat tersenyum sinis, di atas jasad sang pendeta dia tertawa.

Bisikan terakhir sang malaikat menggelora, mengantarkan api yang menyala sebelum sang pendeta durjana mati membusuk malam itu di atas pembaringan yang juga telah beraroma busuk. "Begitulah keserakahan akan membawa manusia padamu, dan tugasmu adalah mengantarkan petaka dan menghancurkan mereka semua."

Hidup si pencuri itu berakhir, tetapi kisahku baru saja dimulai.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top