Kuas Milik Gadis Itu

Ah, nyaman sekali berada dalam kehangatan Tuanku. Tak pernah absen tubuhku dibuatnya menari. Betapa lihai jemari mungilnya menggerakkan tubuhku, membentuk goresan-goresan kecil. Sesuatu yang tak pernah tampak oleh retina Tuanku, tapi ia selalu bisa merasakannya. Tuanku amat sangat perasa. Bukan hanya karena berjenis kelamin perempuan, kemampuan indranya sedikit lebih jauh melebihi manusia lain.

Seperti biasanya di pagi hari, ia tadi terbangun karena cahaya fajar yang bagi kebanyakan orang sama sekali tidak terang. Tuanku langsung bergegas membersihkan diri. Kemudian, setelah beres mengepang rambutnya, ia berlari ke belakang rumah, tak lupa membawa diriku dan selembar kertas.

Di bawah pohon apel besar yang tengah berbuah, ia berselonjor. Jangan lupakan senyum manisnya kala menghadap ke arah matahari terbit. Meski ia akan pindah ke sisi seberang pohon guna menghindari silau, antusias menyambut matahari yang hendak menerangi bumi tak pernah luntur sedikitpun. Hari-hari berlalu semenjak kelahirannya, tak pernah satu hari pun ia melewatkan momen mentari terbit. Kalau boleh, aku ingin menjulukinya si penggila matahari terbit.

Setelah dirasa matahari sudah tampak seluruhnya, barulah Tuanku meletakkan kertas di pangkuannya. Digenggamnya tubuhku penuh kelembutan. Sesudah benaknya selesai melukiskan sebuah objek, barulah otot-otot tangan Tuanku bergerak merealisasikan imajinasinya. Entah goresan seperti apa yang akan ia buat kali ini, pastinya tak kalah mengesankan dari sebelumnya. Ah, betapa hebatnya Tuanku. Namun, belum selesai ia membuat satu goresan, suara langkah kaki mengalihkan atensinya.

Di hadapan Tuanku, seorang anak laki-laki membungkuk. "Kau sedang apa?"

Dengan polosnya Tuanku menjawab, "Melukis."

"Melukis apa? Di sini tidak ada objek bagus untuk dilukis."

"Ada, matahari pagi dan pohon apel."

"Kau sebut itu objek melukis? Sama sekali tidak menarik."

"Kenapa? Mereka cantik."

"Itu terlalu mudah. Kalau melukis manusia atau hewan itu lebih sulit dan hanya orang tertentu yang bisa. Seperti aku."

Tuanku tertawa.

"Apa yang lucu?"

"Tidak ada. Tapi, kau siapa? Aku belum pernah melihatmu?"

Anak laki-laki itu duduk bersila di hadapan Tuanku. "Panggil aku Leo. Apa orang tuamu tak mengatakan sesuatu tentangku?"

Tuanku mengernyit. "Tidak."

"Ibumu memintaku untuk mengajarimu melukis."

Bohong. Jelas sekali dia bohong. Dia datang kemari karena orang tuanya ada urusan bisnis dengan keluarga Tuanku. Sebenarnya dia jalan-jalan karena bosan, kemudian kebetulan saja dia melihat Tuanku di bawah pohon apel ini. Entah, mungkin dia terpesona oleh aura kecantikan Tuanku. Ah, Tuanku begitu cantik dan anggun.

"Benarkah? Jadi, kau adalah pelukis andal yang sering diceritakan ibuku?"

"Iya, benar."

Ah, tidak, Tuanku sudah terpedaya omongan bocah pembohong itu. Tidak, jangan dengarkan dia, Tuanku. Dia itu pembohong!

"Kalau begitu, bisakah kau mengajariku sekarang?"

"Itulah alasan kenapa aku kemari, Nona."

"Aku senang sekali!" Tuanku meletakkan kertas kosong di tanah. "Jadi, aku harus bagaimana?"

"Tunggu, aku ingin bertanya. Apa kau suka melukis?"

"Tentu saja!"

"Sejak kapan kau mulai melukis?"

"Belum lama ini."

Aku tidak suka tatapannya. Seolah dia meremehkan Tuanku yang tunanetra. Kau pikir seorang tunanetra tidak bisa apa-apa? Jangan remehkan Tuanku!

"Baiklah, coba kau gambarkan sesuatu. Apapun."

"Baik!"

Tanpa menunggu lama, Tuanku langsung menggerakkan tubuhku di atas kertas. Menggunakan pewarna alami dari buah-buahan yang Tuanku buat sendiri, ia membuat lukisan yang cantik. Pemandangan matahari terbit yang sangat disukainya. Lukisan yang sama seperti hari-hari sebelumnya.

Tuanku selalu melukis pemandangan matahari terbit. Memang lukisan yang biasa saja bagi sebagian orang. Namun, bukankah terlihat sangat luar biasa, bagaimana bisa seorang tunanetra yang bahkan tak pernah melihat wajahnya sendiri, bisa melukis pemandangan dan objek di sekitarnya?

Anak laki-laki itu termenung memandangi bagaimana Tuanku melukis dengan lihai. Sesuatu yang langka baginya bisa melihat Tuanku melukis. Kejadian sekali seumur hidupnya, mungkin.

"Bagaimana? Apakah lukisanku bagus?"

"Kau memang jenius seperti kata ibumu."

"Hm?"

"Boleh aku pinjam kuas dan kertasmu?"

"Apa kau akan melukis juga?"

"Iya, Nona. Aku ingin membandingkan lukisanku dengan punyamu."

Jangan bercanda. Lukisan Tuanku adalah yang terbaik. Lukisan Tuanku tiada duanya.

"Leo."

"Ya?"

"Apa kita sepantaran?"

"Mungkin kau lebih muda sedikit."

"Apa kau suka apel."

"Sedikit."

"Apa kau suka melukis?"

"Sedikit lebih banyak darimu."

"Apa ibumu juga memaksamu untuk belajar?"

"Sedikit lebih keras dari ibumu."

"Apa—"

"Berhenti bertanya. Semua pertanyaanmu sama sekali tidak berkaitan."

"Apa kau tahu matahari pagi sangat hangat? Memang agak silau, tapi aku suka."

"Kau tidak mendengarkanku, ya? Lagipula, aku tidak suka."

Tuanku berdiri dan menepuk-nepuk gaun putihnya. "Apa kau menciumnya? Alfa baru selesai membuat roti apel. Ayo, kita kesana!"

"H-hei, tunggu!"

Tuanku sudah berlari kecil menuju rumahnya. Meninggalkan anak laki-laki yang sibuk membereskan peralatan melukis. Anak itu memasukkanku ke dalam saku celananya dan menggenggam kertas di tangan kirinya. Lalu, dia segera menyusul Tuanku.

"Kenapa buru-buru? Aku belum menyelesaikan lukisanku."

"Ayo kita makan roti apelnya selagi hangat. Alfa juga sudah memanaskan susu."

"Kau tak mendengarku."

Tuanku sudah berlari menuju dapur sambil jejingkrakan. Sementara anak laki-laki itu diam di tempat, memperhatikan Tuanku sambil mendesah panjang.

"Leonardo!"

Anak itu mematung di tempat, di belakangnya ada seorang wanita anggun yang menatap tajam ke arahnya.

"Iya, Ma..."

Belum sempat wanita itu mengeluarkan sepatah kata, Tuanku muncul membawa dua potong roti selai apel.

"Leo, ayo kita makan rotinya di sana!" seru Tuanku sambil berlari menarik tangan anak laki-laki itu.

"Hei, Nona, hati-hati! Nanti kau jatuh!"

"Tidak akan."

Mereka pun berhenti di hadapan ladang gandum. Mulai menikmati roti apel.

"Kata Alfa, gandum itu yang akan diolah menjadi tepung untuk membuat roti."

"Aku tahu."

Suasana hening. Baik Tuanku maupun anak laki-laki itu, keduanya sama-sama menikmati semilir angin musim semi dan sinar mentari pagi. Suasana sepi tapi begitu damai, seolah tak ada siapa pun lagi di tempat ini selain mereka berdua.

Namun, tak lama kemudian, anak laki-laki itu dijemput oleh ibunya. Setelah berpamitan dengan Tuanku, dia pergi meninggalkan kedamaian di sana. Air mukanya berubah sendu. Kalau boleh memilih, kurasa anak laki-laki itu tidak ingin tinggal bersama ibunya lagi, tapi sayangnya dia tidak bisa.

Omong-omong, aku masih ada di saku celana anak laki-laki itu. Sepertinya kepemilikan diriku akan berpindah ke anak laki-laki itu. Ah, selamat tinggal Tuanku yang manis, maaf aku tidak bisa menemanimu lagi.

Anak laki-laki itu–Tuanku–kini sudah berada di kamarnya. Dia merebahkan diri, sambil menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang. Dia teringat gadis itu tadi pagi.

"Oh, kuasnya!"

Dia langsung merogoh sakunya dan menemukanku di dalam sana. Dia berjalan ke jendela, mengamatiku lekat-lekat.

"Kuasnya sudah tua. Jelek. Kotor. Bulunya sudah rontok."

Maaf saja kalau aku tidak cantik seperti dulu. Tapi, pengalamanku sudah tidak diragukan lagi. Kalau kau menggunakanku, maka akan aku pastikan lukisanmu menjadi bagus dalam sekejap.

"Apa aku buang saja, ya?"

Jangan, kumohon. Jangan buang aku. Aku masih ingin menjadi alat lukis.

Dia pun meletakkanku di sebuah kotak, bersama kuas-kuas lain dan berlari keluar kamar. Baiklah, kalau aku dibiarkan menganggur di dalam kotak ini, sepertinya tidak masalah. Setidaknya aku tidak begitu kesepian. 

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top