Kidung Gulana Naga Puspa

Ya janma kang hakiki, wujud kak layanmil kondrat, jumeneng anane dhewe, suksma manuks-meng kawula, kawula nuks- meng suksma, napas sirna marang suwung, badan lebur wor bantala.

(Manusia yang hakiki, berwujud hak yang memiliki kekuasaan ada dengan sendirinya, sukma masuk ke dalam hamba, hamba masuk ke dalam Sukma, napas hilang masuk ke dalam kekosongan, badan hancur bercampur tanah).

Setelah bocah lanangnya lahir, aku tahu Arya Kamandanu akan berhenti. Kuperhatikan tindak-tanduknya banyak yang berubah. Dia sudah menetap pada satu tempat. Tak dicarinya lagi pujaan hati yang memilih pergi. Pun lawan yang bisa mengasah kemampuan diri. Saban matahari naik di timur, pekerjaannya sebatas mencari pengisi perut, sedang aku dibiarkan bertengger di dinding bilik. Biar begitu, sering dia mengelap warangkaku. Sambil mengelus dia berkata, lebih baik hidup biasa saja. Jiwa ksatria masihlah ada, dia melanjutkan, tetapi tenaga sudah dimakan usia.

Memang memakaiku butuh tenaga dalam yang besar, karena intiku berupa energi Naga Bumi yang ditanam Empu Ranubhaya. Tak tanggung, nyawa menjadi taruhan acap kali aku dikeluarkan dari warangka. Sebab itu, tak sembarang orang bisa memakaiku. Setengah mati mereka yang mempunyai kanuragan tinggi bahkan yang menguasai jurus Naga Puspa bila mengayunkanku, apalagi mereka dengan kanuragan rendah. Namun, seolah hendak memamerkan taring, para pemilik Kanuragan rendah itu turut dalam lingkar pertarungan. Tak peduli aku serupa malaikat maut yang siap menyedot sukma mereka hingga habis, yang terpenting aku bisa dimiliki.

Aku paham apa yang dikhawatirkan Arya Kamandanu. Selang beberapa purnama pergi dari dusun, sekelompok orang menghadang. Tinggi kekar mereka dan dengan lantang mengajak bertarung. Barang siapa yang menang, dialah yang berhak membawaku. Sudah lama aku tidak merasakan kemarahan dalam diri Arya Kamandanu semenjak Mpu Tong Bajil—gembong penjahat—dia habisi. Dia pergi karena ingin menyendiri, bukan mencari kawanan untuk bertarung. Sakawuni—istrinya—mati dan Mei Shin—istri yang dicintainya—tidak mau kembali. Di tengah gundah, ada bocah yang harus diasuh. Aku mengerti kenapa dia tidak meladeni mereka dengan tangan kosong seperti biasa. Semburan kemarahan itu semakin kuat. Diletakkannya si bocah dan terlepaslah aku dari warangka. Tak lama, sebagian mereka kocar-kacir dan sebagian lagi meregang nyawa. Sekujur bagianku bersimbah darah, sementara Arya Kamandanu terengah-engah. Habis tenaganya. Dan kejadian seperti itu bukan yang terakhir.

Kami tidak pernah singgah lebih dari dua purnama di desa yang dilalui. Akan berbahaya untuknya dan si bocah, jika ada lagi yang mengajak bertarung. Namun, begitu memasuki hutan di lereng gunung Arjuna, Arya Kamandanu membangun gubuk. Lebih dari enam purnama, kami tinggal di sana. Selama itu pula aku dibiarkan. Kegunaanku berubah. Sebatas barang yang digantung aku sekarang.

Malam ini Arya Kamandanu kembali mengelap warangkaku sembari bercerita. Tuturnya, akan ada yang mencariku lagi. Akan digunakan aku untuk membantai dan menghabisi banyak nyawa tidak bersalah. Dan akan bermunculan korban karena terlalu bernafsu menggunakanku, seperti para petinggi di Mongolia dan beberapa pendekar di tanah Jawa ini. Itu keresahan yang selalu dia ucapkan. Dia melanjutkan, tidak seharusnya Empu Ranubhaya membuatku. Ditambahkannya, kalau memang Empu Ranubhaya harus mati bunuh diri, semestinya aku turut dimusnahkan.

Ya, aku memang pembawa petaka bagi sebagian manusia. Sejak awal aku selesai dibuat pun sudah banyak nyawa melayang. Aku, pedang Naga Puspa, sudah tersohor sebagai saingan kuat keris Mpu Gandring. Digadang-gadang sebagai warisan tersakti dari Empu Ranubhaya. Dan yang mengincar tidak hanya kawanan penjahat, tetapi juga para petinggi Majapahit. Patutlah Arya Kamandanu bertambah risau.

Alih-alih digantung kembali, aku disampirkan ke pundaknya. Lama sudah tidak kurasakan cahaya rembulan di tengah angin dan pekat malam. Hendak ke mana kami? Tanpa si bocah, apa Arya Kamandanu ingin berlatih lagi? Namun, ujung dari langkahnya adalah mulut gua di lereng. Penuh kewaspadaan dia melangkah ke dalam. Hingga dijumpainya batu besar, jamung yang semenjak tadi dijaga agar tidak padam, diletakkannya di antara dua batu kecil. Cahaya api yang bergoyang dari jamung itu merambat di tanah dan dinding gua, juga membanjiri batu besar. Pelan, dia meraihku. Menarik sedikit ujungku.

Dari hela embus napasnya dapat aku rasakan keraguan dan gentar yang kental. Berulang kali dia berucap maaf pada Empu Ranubhaya. Dan dikeluarkanlah aku dari warangka. Seketika intiku dibanjiri energi. Begitu deras hingga bergetar kuat. Telah banyak purnama yang dilewati tanpa Arya Kamandanu mengeluarkanku. Itu satu dari dua alasan kenapa aku kelewat rakus menyedot, hingga berguncang kedua tangan Arya Kamandanu. Satu yang lain karena belum pernah sebesar ini dia berikan. Bukan main tingkat Kanuragan Arya Kamandanu. Pantaslah dia menguasai ilmu Naga Puspa. Karena hanya ilmu itulah yang selaras dengan inti Naga Bumiku. Ya, adalah Arya Kamandanu pemilikku yang hakiki.

Aku mengerti betapa beratnya tindakan yang dia ambil. Memusatkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki bukan perkara serupa membalikkan telapak tangan. Terlebih, disalurkannya tenaga itu ke sekujur bagianku, menjadikan getaran yang tercipta merembet hingga dinding gua. Baik kanuragan Arya Kamandanu dan inti Naga Bumiku, kami saling beradu; bercampur hingga suara serupa geledek bergema dan kilau cahaya biru terlihat dari mata pedangku. Aku serasa hancur. Dan diiringi teriakan Arya Kamandanu, ditancapkanlah aku pada batu besar di hadapan kami. Sangat dalam dia mendorongku. Seusai aku tertanam, ambruk tubuhnya. Mandi keringat dia, serta muntah darah.

Aku tahu, sekarang atau puluhan purnama lagi, Arya Kamandanu akan menyembunyikanku. Bisa jadi dia memusnahkanku. Namun, daripada masalah kanuragan, dia lebih menjunjung tinggi adab terhadap salah satu gurunya; Empu Ranubhaya. Cukup baginya membuatku lemah dan tak tampak bagi mata orang-orang jahat.

Sempoyongan Arya Kamandanu berdiri. Mengambil lagi jamung dan bergerak pergi. Jika dia sudah tidak bersedia membawaku, maka tak ada kuasa bagiku untuk menentang. Kepergiannya memberiku satu lagi pemahaman yang sama; aku memang pembawa petaka. Sudah Empu Ranubhaya, para petinggi Mongolia, dan para pendekar lainnya, yang menjadi korbanku. Kalau boleh, aku tidak ingin dibuat sebagai benda pusaka dengan kesaktian kuat. Cukup sebilah pedang yang selalu digunakan dalam keseharian.

Ya, biarlah Arya Kamandanu memetik ketenteraman, sedang aku di sini mencipta sukma yang menguap. Karena layaknya manusia yang makan untuk hidup, aku butuh menghisap energi agak intiku tidak terkikis habis.

****

Mundhak apa aneng ngayun, amadheher kaluputan, siniran ing banyu lali, lamun tuwuh dadi kekembangan beka.

(Apa guna menjadi pembesar, jika hanya menanam benih kesalahan yang disiram air kealpaan, akhirnya tumbuh pohon bencana).

Dari getar tanah yang menjalar aku tahu beberapa kali manusia datang. Namun, tidak sampai mereka ke tempatku berada. Kalaupun tinggal lima depa, tubuhnya akan berbalik; terbirit-birit. Dan tapak kaki yang sedari tadi berkesiur ini akan serupa yang sudah-sudah. Namun, dugaanku salah. Si pemilik tapak kaki sampai di hadapanku, di depan sebongkah batu besar. Lama dia berdiri sebelum akhirnya memegang gagangku yang timbul di atas batu. Mulutnya tak henti berkecumik. Semakin lama, aku merasakan sengatan halus di intiku. Lalu kemudian menjadi arus yang deras.

Siapakah dia yang mumpuni hingga bisa menarikku dan tak pula takut akan tersedot sukmanya? Dari aliran kanuragan-nya mirip milik Arya Kamandanu.

"Ternyata benar ada di sini. Memang ini ditakdirkan untukku." Napasnya terengah-engah. Keringatnya banyak keluar. Dan sempat dia batuk darah.

Pernah aku mengharap Arya Kamandanu kembali. Begitu lama aku sendiri. Entah seperti apa kehidupan di luar. Sekarang, setelah si pemuda memasukkanku dalam warangka dan membawaku beranjak dari gua, hajat yang aku panjatkan semoga tidak ada malapetaka.

Walau kemudian aku tahu bahwa yang mengeluarkanku adalah Tjokro, keturunan Arya Kamandanu, firasat tak enak semakin pekat. Berbeda dengan leluhurnya, Tjokro justru memiliki perangai seperti Mpu Tong Bajil; penuh nafsu dan kebengisan. Sering dia menggunakanku untuk memeras rakyat bahkan saudagar. Tak peduli jika tubuhnya lelah luar biasa, yang penting ada tuak dan wanita semalaman.

Memang, di luar sini sudah banyak yang berubah. Tak kujumpai lagi mereka yang memiliki ilmu Tapak Angin, juga wanita bertelanjang dada. Dan ada banyak manusia asing yang berseliweran. Biarpun zaman tidak lagi seperti dulu, fitrah manusia tetaplah sama. Di atas kasih serta adab yang dijunjung leluhurnya, Tjokro memilih lebih sayang pada nafsu.

Tjokro memang tidak memiliki ilmu Naga Puspa, tetapi kanuragan-nya tergolong yang tinggi. Sayang, jika dia menggunakan bukan untuk menindas dan memeras, kelak aku jadikan dia penerus Arya Kamandanu. Akan aku keluarkan Naga Puspa dan menggigitnya sebagai pengikat janji.

Tjokro terlalu buta oleh nafsu hingga tak sadar apa yang akan dilakukan gerombolan orang asing yang dia percayai. Sering mereka mengelus warangkaku. Sangat kuat perasaan ingin merebut. Dan benar saja, seusai bersanggama, Tjokro kehilangan nyawa sedang aku berpindah tangan.

Para orang asing ini bukanlah mereka yang paham akan pusaka. Mereka hanya penasaran dan ingin terlihat berkuasa. Maka, ketika salah satu mereka menarikku dari warangka, jerit yang tercipta melebihi gelegarnya geledek. Seketika semua menjauh pada tubuh yang baru saja kaku. Namun, rasa penasaran itu masihlah tinggi. Dipegang lagi aku. Satu nyawa kembali melayang.

Malam itu mereka berkoar-koar, bahkan memanggil salah seorang yang memiliki ilmu untuk memasukkanku ke warangka. Si dukun tahu inti yang kupunya. Maka, dibakarlah kemenyan dan diserukannya jampi-jampi. Itu semua tidak berguna. Belakangan aku sering dipakai dan baru saja dua nyawa raib. Jadi, setengah mati si dukun memasukkanku dalam warangka.

Kepada mereka si dukun bercerita tentang kesaktianku. Tak berapa lama, aku sudah kembali berpindah tangan. Bukan untuk dimiliki si dukun, melainkan guna menundukkan Naga Bumi-ku. Jika berhasil, akan ada upeti yang berlimpah.

Begitu banyak jiwa yang kurampas. Aku hanya mengikuti kodrat; menghisap energi dari siapa saja yang mengeluarkanku dari warangka. Namun, menyedot kehidupan dari mereka yang tak tahu apa-apa, menambah sesal sudah diciptakan. Maka, aku berharap tidak ada lagi manusia bodoh yang memisahkan aku dari warangka. Dan biarlah si dukun berkomat-kamit, menyerukan mantra, sementara intiku kembali terkikis.

NB:

Yang bahasa Jawa lama aku ambil dari: "Kumpulan Nasehat dan Saripati Kitab-kitab Lama Jawa."

(wongndeso.wordpress.com).

Dan buat para juri(g), please, jangan yang terlalu nguras otak. Kasian otakku 😭.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top