Kapak Naga Geni 212
Aku tidak tahu di mana letak salahku sampai dua kali jatuh ke tangan pendekar sinting. Mungkin saat itu tidak ada sajen atau tumbal yang diberikan saat pembuatan senjata pusaka berlangsung. Pemikiran lain, apa mungkin karena logam yang mereka gunakan untuk membentuk sisi tajam dan beracun milikku berasal logam kelas dua sehingga mereka yang berwibawa ogah menjadi pemilikku.
Entahlah.
Masih segar diingatanku saat melihat Sinto Gendeng merenggang nyawa. Saat itu besar harapanku dia akan mengucap kata sakral berupa, "Aku turunkan senjata pusakaku, Kapak Naga Geni 212 kepadamu, Mintari." Namun, sayang sekali justru nama yang terucap adalah Wiro Sableng, pria yang tidak kalah gila dengan pemilikku sebelumnya.
Sekarang genap tiga tahun lamanya aku berpindah tangan dan bersembunyi di balik baju putih kusam yang entah sudah berapa bulan tidak dicuci, aku kehilangan hitungan. Mungkin kalian pikir aku baik-baik saja berada di dalam sana, tetapi tidak! Walau aku tidak punya hidung yang secara anatomi terlihat, tetapi aku bisa menghirup udara sekitar dan sekarang tempatku disimpan tercium sangat asam.
Bayangkan saja, setiap hari Wiro akan berjalan menembus hutan yang lembab dan basah, sesekali dia akan melawan musuh yang ditemuinya hingga peluh tubuhnya ikut membasahiku. Semua itu akan menimbulkan aroma yang membuatku mual dan aku hanya bisa berdoa semoga saja dia memiliki kesadaran untuk mandi.
Seperti sekarang ini, ketika kami tengah melintas di kaki Gunung Gede. Tiba-tiba seorang perempuan berteriak meminta tolong terdengar dari balik semak. Sebagai pendekar yang terkenal hidung belang, tidak butuh waktu lama untuk pria berambut panjang sebahu itu berlari ke sumber suara.
Aku merasakan tubuhku berguncang selama beberapa menit sebelum suara beberapa pria tertangkap telinga. Mereka terdengar kesal dengan interupsi yang dilakukan oleh Wiro.
"Selamat sore, Kisanak. Sepertinya kalian sedang bersenang-senang dengan perempuan cantik di sana. Boleh aku ikut? Kebetulan sudah lama aku tidak menikmati perempuan." Aku mendengar Wiro berucap konyol, sesuatu yang sudah bosan kudengar. Terkadang aku berpikir di mana letak harga dirinya sebagai pendekar terkenal, di lutut mungkin.
"Tuan, tolong aku!" Dengan suara serak, perempuan itu kembali meminta pertolongan.
"Haha ... aku tidak masalah kalau kamu mau ikut, tapi antri. Dan jangan salahkan aku kalau kamu mendapat tubuh dinginnya setelah dia digilir lima pria berturut-turut." Suara berat seorang pria membalas perkataannya.
"Mesum jelas nama tengahku, tetapi tidak dengan sabar. Apa kalian yakin tidak bisa kompromi denganku? Aku sedang tidak ingin mengotori tanganku dengan darah kotor kalian." Aku merasakan tangan kanan Wiro bergerak, sepertinya dia sedang melakukan kebiasaannya, berlagak bodoh dengan menggaruk-garuk kepala.
Ah, aku tahu ke mana ini akan berakhir. Lima orang, huh, semoga dia bisa menyelesaikannya sendiri tanpa bantuanku.
"Percaya diri sekali, Kisanak. Apa kamu betul sehebat itu bisa mengalahkan lima orang pria bertubuh besar seorang diri?"
"Tentu saja. Walau aku sedikit gila." Wiro menjeda untuk tertawa. "Tetapi aku yakin bisa mengalahkan pria lemah seperti kalian yang hanya bisa memamerkan otot dan main keroyokan."
"Maaf, tapi aku—Saksoko—bukanlah orang lemah! Dan aku tidak pernah kompromi dengan seseorang, terlebih dengan orang sepertimu! Serang dia!"
Kali ini segerombolan pria berteriak penuh semangat mendekat. Masih bersembunyi di dalam tubuh lengket Wiro, aku berayun bersamaan dengan gerakan kasar yang dilakukannya.
Suara kepalan tangan beradu dengan bagian tubuh dan desir udara terdengar kencang saat Wiro menghindari serangan dari salah satu pria yang kakinya sempat terlihat dari sela baju putih yang tidak berkancing.
Beberapa kali aku merasakan tubuh tuanku melawan gravitasi dan berputar-putar di satu tempat, beruntung aku terbiasa diputar atau dilempar sehingga gerakan seperti itu tidak akan membuatku mabuk. Bunyi gedebuk kemudian terdengar berikutnya bersamaan dengan pekik kesakitan. Sepertinya Wiro berhasil menjatuhkan beberapa dari mereka.
"Tidak buruk. Ternyata yang kamu bilang tadi bukan omong kosong." Pria bersuara berat itu kembali terdengar.
"Oh, seseorang terdengar takut." Aku merasakan Wiro melompat-lompat kecil. Sungguh kekanak-kanakan caranya menggertak lawan.
"Kita lihat siapa yang takut. Sekarang coba hadapi ini! Pengawal, keluarkan pedang kalian!"
"Baik!" seru beberapa pria yang tersisa.
Suara pedang dicabut dari sarung terdengar melengking di antara gemuruh langkah kaki. Merasakan tubuh pria berkulit sawo matang ini meliuk ke kiri dan ke kanan sambil tertawa, menyadarkanku untuk bersiap diri. Mengingat semalaman dia tidak tidur supaya bisa mencapai kaki gunung sebelum gelap, kurasa mengeluarkan jurus yang menggunakan tenaga dalam—seperti jurus pukulan matahari—hanya melemahkannya dan terlalu berharga dikeluarkan untuk melawan kroco-kroco seperti ini.
"Kerahkan semua kemampuan kalian! Jangan katakan kalau ini batas maksimal yang bisa kalian berikan kepadaku!" Wiro Sableng terus memanas-manasi mereka sambil sesekali membalas serangan.
Sepertinya kalimat itu berhasil menyentil pemimpin mereka, karena kini Saksoko berteriak, "Lindungi aku!"
Suara menghunus pedang kembali terdengar diikuti teriakan penuh semangat dari pria itu. Tidak lagi bermain-main, kali ini kecepatan menghindar Wiro Sableng bertambah cepat dari sebelumnya. Berkali-kali tubuhku berayun ke kiri dan kanan mengikuti gaya dorong yang timbulkan Wiro. Sampai akhirnya aku rasakan sebuah tendangan yang cukup kuat mengenai sebagian mata kapakku.
Apakah sakit? Tentu saja tidak, kalian pikir terbuat dari apa aku? Walau tidak efek yang kurasakan, tetapi aku sempat merasakan gerakan kasar pada dada Wiro, sepertinya dia mendapat luka dalam.
"Tidak buruk. Akhirnya ada juga yang bisa membuatku bersemangat."
Ah, dia benar-benar tidak pernah belajar untuk menahan mulutnya.
"Mati kamu!" Pria itu kembali membara dan derap langkahnya mendekat.
Aku mendengar pedangnya membelah udara di sekitarku, kekuatan yang hebat meningkatkan rasa penasaran akan jenis senjata yang digunakan.
Setelah sempat bertahan selama beberapa detik, tubuh berotot Wiro terhempas jauh ke belakang dan menubruk sesuatu yang keras. Helaian daun yang menyisip masuk ke dalam sela baju memberiku petunjuk benda apa yang ditabraknya, pohon jati yang banyak tumbuh di kaki Gunung Gede.
"Argh!" Pria berikat kepala ini akhirnya tidak menahan erang kesakitannya.
"Ternyata kemampuanmu tidak sehebat mulutmu, huh!" ucap pria itu arogan diikuti suara tawa bawahannya.
Aku kembali merasakan tubuh Wiro terlempar ke belakang untuk kedua kalinya. Kali ini aroma darah tercium samar olehku.
"Jangan senang dulu. Aku belum mengeluarkan semua jurusku. Bahkan aku belum mengeluarkan sepersepuluh tenagaku." Wiro tidak berhenti menyalakan bara di hati masing-masing orang.
Aku merasakan tubuhnya perlahan bangkit, kemudian secercah sinar masuk saat bajunya disingkap dan di situ akhirnya aku bisa melihat siapa yang dia lawan selama ini.
Seorang pria muda berambut pendek, berwajah rupawan dengan penutup kepala berwarna cokelat berdiri tegap dengan kain sutra melapisi tubuh yang jauh lebih tinggi dan kekar dari Wiro Sableng. Senjata yang digunakannya pun tidak kalah hebat, berupa pedang panjang yang kilaunya membuat matahari iri dan kayu solid sebagai pegangan yang memperkuat tebasannya.
Membuka bajunya semakin lebar, sebuah angka 212 yang dirajah di dada Wiro terbentang dengan jelas dan menakuti sebagian dari mereka.
"Pendekar 212! Ka-kamu Wiro Sableng." Salah satu pria berpakaian layaknya pengawal mengenali Wiro dan tangannya mulai gemetaran—nyaris menjatuhkan senjatanya.
Aku melihatnya tersenyum lebar saat dengan bangga dia memperkenalkanku kepada mereka yang berwajah datar. Memamerkan kedua mata kapak yang tajam dan beracun serta peganganku yang terbuat dari gading dengan kepala naga di ujungnya.
"Sekarang saatnya kita bermain dengan serius dan imbang, haha ...." Wiro berlari dan melempar tubuhku ke arah pepohonan yang kemudian memantul ke barisan musuh dan melukainya.
Suara teriak kesakitan terdengar dan aroma besi menguar saat sisi tajamku melukai leher dan lengan dua dari tiga orang yang tersisa. Luka yang didapat jelas tidak akan membunuh mereka, tetapi tidak dengan racun yang perlahan membunuh mereka.
Kembali ke tangan tuanku, suasana berubah mencekam. Di tengah-tengah pancaran hangat cahaya jingga matahari sore, Saksoko dan Wiro berdiri berhadapan dengan senjata bersiaga di masing-masing tangan. Suara desir angin yang menggesek dedaunan dan kicau burung di langit menghitung mundur gerakan mereka dan ketika bunyi itu menghilang mereka maju dan mulai beradu mengandalkan senjata dan keahilan mereka masing-masing.
Klang klang.
Suara logam beradu terdengar tinggi di antara tendangan dan pukulan. Beberapa kali aku dan si pedang panjang berbenturan dan membentuk percik api yang membakar semangat mereka berdua.
Setelah beberapa lama beradu kekuatan, pria besar itu melompat tinggi dan menghunjamkan pedang ke arah kepala Wiro yang segera ditahannya menggunakan aku. Rasa panas kurasakan saat sisi kiri mata kapak terus bergesekkan dengan pedang musuh. Sedikit demi sedikit aku bisa merasakan tubuhku maju semakin dekat ke wajah musuh yang mulai panik dengan keringat sebesar jagung membasahi wajah.
"Mati kamu!" Kini giliran Wiro berteriak penuh semangat dan suara retakan terdengar bersamaan dengan bertambahnya energi yang dikeluarkan.
Aku ikut tersenyum saat melihat wajah musuh berubah pucat pasi. Dalam hitungan detik pedang pecah berkeping-keping dan musuh jatuh tersungkur di tanah.
"Oh, tidak, aku menghancurkan pedangmu. Berapa harganya? Kuharap ucapan maafku bisa membayarnya." Wiro menyeringai lebar, sama sekali tidak tampak kelelahan.
Membalik tubuhnya, musuh menjejakkan kaki ke tanah guna memberi jarak yang cukup jauh dengan Wiro yang tetap bergeming di tempatnya. Wajah kaget Saksoko saat melihat serpihan pedang sangat berharga untuk dilihat.
"Si-siapa kamu?" tanyanya terbata-bata.
"Kalau tidak salah tadi salah satu pengawalmu sudah mengatakannya, bukan? Yang pasti aku bukan Paduka Raja Yang Mulia." Enggan menjawab, Wiro berlagak bak raja dengan menaikkan pandangannya ke atas dan melipat kedua tangan di pinggang.
"Kamu gila! Suatu saat aku akan membalasmu, ingat itu!" Dengan cepat dia bangkit dan berlari mejauh ke barisan pepohonan yang segera menyamarkan bayangannya.
"Aku tunggu!" Wiro balas berteriak dan menghapus bercak darah di sudut bibirnya.
"Hemm ... Tuan terima kasih untuk bantuannya." Suara lembut perempuan terdengar tak lama setelah musuh kabur.
Wiro berputar—masih denganku di tangan kanannya—dan seorang perempuan cantik berambut panjang dan bertubuh sintal mendekat dengan malu-malu. Kebaya biru yang nyaris transparan dan jarik kecokelatan yang melilit ketat pantat seksinya membuatku mengerti kenapa pria tadi tidak bisa menahan diri.
"Sama-sama, Nona—"
"Lestari, Tuan."
"Ah, nama yang cantik. Persis seperti pemiliknya," gombal Wiro yang memuakkanku.
Tak lama, dia kembali memasukanku ke sela baju putih yang bertambah kotor dengan pertarungan tadi. Namun, aku rasa dia tidak peduli, karena kini mereka mengakrabkan diri dengan beberapa kalimat-kalimat sanjungan.
"Hai, Nona. Kamu punya waktu untukku malam ini? Aku sedang tidak ingin sendiri, terlebih setelah kelelahan melawan musuh tadi."
Jangan terima ... jangan terima. Aku terus berdoa semoga perempuan itu jijik dengan bau badan Wiro dan memutuskan untuk menjauhinya malam ini. Namun, sayang sekali dia berkata lain.
"Apa pun untukmu, Tuan, sebagai ungkapan rasa terima kasihku."
Oh, tidak! Telingaku! Telinga polosku! Mereka akan melakukan hal itu.
"Ah, di mana kamu tinggal? Kamu ... tinggal sendiran, kan?"
"Tenang saja, Tuan. Aku jamin tidak akan ada yang mendengar kita," jawabnya yang membuatku berharap tidak lagi bisa mendengar sekeliling.
Seseorang tolong selamatkan aku dari pemilikku saat ini! Siapa pun, tolong aku!
-TAMAT-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top