Indestructible

Terakhir kali suara manusia yang kudengar mengatakan, "Jangan bawa berlian itu. Tinggalkan saja di sini." Maka ia berakhir mati membusuk di jurang.

Benar, mati konyol. Dipikir-pikir lagi setelah berabad-abad berlalu, korbannya terhitung lima belas. Berhenti di sana, karena korban terakhir membawaku melewati hutan belantara yang sangat diragukan ditemukan keberadaannya.

Pria kurus itu memasukkanku ke tas kumal yang bau. Tidak tahu melewati kota bagian mana, sinar matahari saja tidak terlihat di dalam tas. Hingga pada suatu waktu, pria itu mengeluarkanku. Lantas diletakkan di atas dashboard mobil yang tidak terawat, selain itu mobil ini sudah tua---terbukti dari batukan berjeda dua-tiga kali dari knalpot berkarat, agaknya pria itu khawatir benda besi ini mogok di tengah jalan.

Mobil tua, mobil sampah; pria kurus yang sampah. Ingin kukutuk dia agar mati tertusuk salah satu dahan pohon atau terjepit pintu mobil, tetapi urung. Aku tidak mau mengambil resiko pecah berkeping-keping dan tidak berharga lagi.

Walau bermasalah begini, harga yang ditawarkan orang-orang dungu itu bukan main. Berjuta dolar! Orang waras mana ya yang mau memberikan uang sebegitu banyak? Sebegitu inginnya dia menghancurkan bentuk secantik ini? Biru yang bila ditenggelamkan serupa kegelapan penuh seram, kilat menawan kala tersiram kehangatan teman kita si mentari, juga semempesona bintang dengan kilauannya kala mengutuk orang. Hei, bukankah itu indah sekali?

Sial, aku benar-benar tidak mengerti. Aku itu si cantik yang berbahaya! Kenapa tidak ada yang mengerti hal itu? Ah iya, tentu saja begitu. Kepulan asap hitam pria kurus di malam hari saat ini tidak terlihat, kecuali matahari menunjukkan diri. Niat buruknya menguar begitu jelas.

Perlahan mobil mulai memelan, lalu berhenti sempurna. Pria kurus itu menyeka peluh di dahi juga tengkuk. Keringat dingin membanjiri kian deras. "Tidak apa-apa, aku bisa," bisiknya pada diri sendiri.

Tidak ada seorangpun selain kami. Di antara pohon-pohon tinggi dengan ranting menjalar menutupi satu sama lain, rembulan perlu susah payah untuk memasukkan sedikit cahaya. Sebaliknya, kedua lampu depan mobil menyinari bibir hutan. Sedikit lagi kami keluar, tetapi mobil berhenti. Aku tidak tahu mengapa, yang jelas sebentar lagi akan tahu.

Menit demi menit berlalu hingga pria kurus memantapkan hati, menyambarku dan membuka pintu. Langkahnya lebar-lebar sewaktu meninggalkan mobil yang dibiarkan menyala. Saat itulah aku tahu apa yang menunggu di ujung sana. Kegelapan.

Melewati bibir hutan membuatku bisa melihat sekitar lebih jelas. Rembulan turun dan aku terpaku, juga geram, jelas. Aku mau dibuang. Ini bahkan lebih buruk daripada semua penghinaan yang selama ini kudapatkan: diiris, dipukul, dibakar, melihat pria berjenggot dengan seragam bangsawan yang terlihat mirip gumpalan lemak, wanita berambut aneh juga gaunnya yang condong sebelah. Bagiku itu adalah sebuah penghinaan, disuruh melihat pemandangan tak mengenakkan.

Sekarang mau dibuang? Bahhh! Sialan memang.

Tangan pria kurus basah oleh keringat dingin. Sangat menjijikkan. Ia bergetar---aku belum mengutuknya. Namun, ketara sekali ketakutan terpancar jelas. Aneh, sudah tahu begitu, mengapa masih mau melakukannya? Siapa yang menyuruh pria malang ini menghilangkanku dari peradaban?

Tidakkah ia tahu ini bisa membuat Hope Diamond murka?

"Demi Tuhan, tolong lindungi aku," katanya dengan suara gemetar. Tangannya mulai teracung ke depan, sama seperti suaranya, seluruh tubuhnya ikut demikian. Aku belum mengutuknya, belum. "Maaf, maafkan aku. Ya Tuhan, tolong jangan sampai aku dikutuk."

Di ujung kalimat, jelas ia meragu. Seragu itu hingga bisa mengurungkan niatnya, tapi tidak seberani itu untuk meninggalkan tempat yang terpijak.

Harus. Dibuang.

Air mukanya mengatakan demikian, dan ia melakukannya. Bulan dan bintang terasa begitu dekat, lalu jauh di saat bersamaan. Pria tua menyaksikan itu, juga saat cahaya satelit bumi memantulkan sinarnya padaku. Berkilau indah bersamaan pupil bergetar seseorang di seberang sana. "TIDAK!" Suaranya parau parah, aku tertawa.

Selamat menikmati kematianmu, bisikku selagi kegelapan di bawah sana menyambut.

Menerobos daun pohon, semak belukar, rumput, batu, hingga terpantul ke tanah basah yang dingin. Sayup-sayup suara mobil pergi. Aku sudah memutuskan untuk menjatuhkan kutukan di jurang saat ia memutari jalan menuju kota. Tinggal esok hari kematiannya akan diselidiki, berujung padaku, lalu ada orang bodoh---payah, oh bukan, terlalu kasar. Ada orang pintar mencari berlian seharga berjuta dolar, lalu aku tidak jadi sendirian.

Sebelum hal itu terjadi, masih banyak sekali waktu tersisa. Aku memutuskan melihat-lihat sekeliling.

... gelap.

Hahh. Yang bisa kuperkirakaan hanyalah sesuatu yang kecil sedang melintasi tubuhku. Serangga menjijikan. Terlebih lagi ada dua-tiga daun menutupiku. Aduh, jika begini yang ada Hope Diamond tidak akan ditemukan lagi?

Permukaanku mulai terlihat kusam oleh hawa dingin. Menggeram gelisah, mulai merasa kedinginan. Hingga waktu yang berjalan perlahan membius benda langit tetap di sana, sementara membiarkan suara jangkrik dan hewan malam lain bernyanyi riang.

Sejujurnya mereka sangat berisik, tetapi entah kenapa rasanya menenangkan. Berada di hutan yang tidak kau ketahui sangatlah berbeda bila dibandingkan dalam kaca pelindung, dengan suara-suara kamera terus-menerus memotret.

Hawa dingin itu berangsur-angsur menghilang digantikan kehangatan ... ahh, sepertinya sudah pagi. Lalu siang, sore, malam, bertemu pagi lagi. Sampai aku tidak tahu sudah berapa lama teronggok macam sampah seperti ini. Seharusnya jasad pria kurus sudah ditemukan bahkan, sejak hari pertama. Kalau beruntung, sebenarnya. Atau tiga sampai empat hari baru ditemukan. Media telah menyiarkan kematian misterius itu, membuat spekulasi mengenai kutukan berlian. Massa akan bertindak sendirinya.

Kepercayaan diriku mulai meredup digantikan kekhawatiran luar biasa. Pasalnya bukan tidak mungkin tidak ada yang mau mencari Hope Diamond. Orang-orang di penjuru negeri telah tahu seberapa mematikannya diriku ini, tetapi sebenarnya hanya mereka saja yang terlampau bodoh. Siapa yang akan dikutuk itu salah orang itu sendiri.

Gemerisik dedaunan kering yang terjatuh, atau para pohon sedang menari ke kanan-kiri, bergandengan ranting dengan pohon lain. Aku nyaris tidak menyadari adanya keberadaan sesosok makhluk bernyawa yang belum kuketahui ia apa. Pijakannya konstan dan kuat, mampu membuat tanah di sekelilingku bergetar. Cahaya lampu menerangi sebagian tempat. Kanan, kiri, depan, bawah, hingga ia berhenti tepat selangkah dariku. Netra hitamnya menangkap kilatan di bawah sini, membawa tubuhnya turun dan menyibak daun yang menutupiku.

Dibantu cahaya senter, aku tidak bisa melihat apa-apa. Terlalu silau! Hei, singkirkan itu!

Alih-alih menurut, ia mengambilku dan semakin mendekatkan senternya padaku. Kesal, aku berkilat marah. Ia berjengit, aku terjatuh.

"Apa itu? Kenapa ia berkilat?" Matanya menatap awas. Aku mulai menyesal telah melakukannya ... pria paruh baya ini pastilah akan meninggalkanku begitu tahu aku Hope Diamond. "Apa karena terkena senter? Iya ya, pasti begitu."

Tangannya yang besar kembali menggapaiku. Ia melihat sejenak, tidak selama hingga aku memutuskan untuk berkilat. Dimasukkannya aku ke kantong baju. Ia mulai berjalan, dan aku lega juga bingung, dan antusias.

Aura ... auranya kenapa begitu, ya?

"Sudah pulang, Pah?" Seorang wanita dengan celemek biru bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari penggorengan di depannya. Dapur dan ruang tengah---ruang keluarga---ada dalam satu tempat. Pria yang membawaku mencopot dasi, jas, dan sepatu kemudian merebahkan diri ke sofa yang empuk.

"Ya, aku menemukan sesuatu sewaktu perjalanan pulang," katanya sembari merogoh saku baju. Wanita paruh baya, istrinya, tampak tertarik dan meninggalkan panci berisi sup ayam.

"Ini apa?" Matanya berbinar penuh antusiasme, kebingungan, dan sedikit takut yang keluar lebih dominan. Sepertinya ia berpikir kalau sangat berbahaya mengambil benda seberharga diriku. Tentu saja, berlian, orang luar akan kebingungan mengapa dua insan ini bisa memilikinya. Dengan rumah sederhana, rapih, bersih, terlihat baru dan perkiraan usia pasutri ini tidak lebih dari kepala tiga; kecurigaan mustahil tak akan membumbung. Mereka bisa saja dituduh melakukan pencurian. Sejauh ini itu skenario terburuknya.

"Berlian." Baru mengucapkan sepatah itu saja, si istri sudah berjengit mundur. Di belakang terdengar uap panas mengepul dan air mendidih memberi kesan acak terburu-buru.

Wanita paruh baya segera mematikannya, dan tanpa melewatkan sedetik yang berharga, ia mendudukkan bokong di sebelah suaminya. "Darimana kamu menemukan ini?" tanyanya, netra hitam itu masih awas melihatku.

"Jalan. Hutan yang biasa aku lalui. Di sana jalan pintas dan semua orang sering melewatinya. Kebetulan saja cahaya senter mengenai berlian ini, bersinar di tengah kegelapan. Aku agak takut sekaligus penasaran, jadi kuberanikan diri menghampirinya. Ternyata berlian," katanya. "Aku waswas karena benda ini begitu berharga, tetapi sepertinya akan tambah buruk kalau membawanya ke kantor polisi? Rasanya seperti akan disalahgunakan, atau mana ada orang yang ke tempat itu? Penduduk di sini tidak ada yang memilikinya."

Ekspresi keduanya bertambah serius. Aku juga, bukan karena memikirkan nasibku akan seperti apa. Tak lain adalah kepulan asap putih cemerlang yang terlampau bersinar. Itu bukan asap keraguan, benar-benar murni ketulusan hati. Murni tanpa keserakahan atau obsesi pada harta.

Tertegun karena baru pertama kali melihatnya, aku tidak menyimak pembicaraan. Tahu-tahu saja sudah meloncat pada ...

"... bagaimana?"

Si istri mengangguk yakin. "Kita kembalikan saja ke tempat semula. Kalau benda ini terus di kita, malah aneh dan siapa tau juga bakal ditemukan sama yang lain? Tapi aku juga nggak mau kamu ditanya-tanya kalau membawanya keluar."

Prianya tersenyum hangat. "Baiklah, kalau begitu besok malam akan kukembalikan."

Eh? Apa? Dikembalikan? Aku? Bukannya ingin disimpan? Sungguh percakapan yang mencengangkan. Bagaimana bisa kalian berpikir seperti itu? Aku benda yang berharga. Jika kalian menghancurkanku dan bukannya membiarkanku di tempat dingin itu, kalian bisa mendapatkan jutaan dolar!

"Kita menuju berita selanjutnya. Diketahui mobil yang terjun ke jurang adalah mobil yang membawa Hope Diamond. Banyak orang menyerah menyingkirkannya, karena itu seorang atasan yang tidak diketahui namanya, memerintah korban ntuk membuang Hope Diamond. Padahal bila bisa dihancurkan, orang itu akan mendapatkan 350 juta dolar AS yang setara 5,7 trilliun. Wahh, jumlah yang sangat banyak ya. Kenapa bisa Hope Diamond dihargai setinggi itu? Karena ia adalah berlian terkutuk, ia sudah membunuh lima belas orang. Jangan percaya pada namanya. Tidak ada yang pernah memegang Hope Diamond dalam dua hari untuk selamat dari kematian."

Berita di televisi sangat mencengangkan dan sekejap, mengguncang pasutri ini.

"Trilliun?" Keduanya saling pandang dengan bibir terbuka. "Astaga, benda ini sangat berbahaya. Besok kamu harus menyingkirkannya!"

"Tapi ... "

"Bukan, bukan karena dia membunuh. Aku tidak percaya yang seperti itu, yang kumaksud adalah repotnya kita dan hancurnya berlian itu! Bagaimana kalau kita meletakkannya di atas loteng? Tidak ada yang ke sana."

"Ide bagus. Kita taruh saja di sana."

Dan ... aku kembali sendirian.

Sialan! Mana bisa seperti ini!

Berdebu, bau, hangat tapi sumpek. Kemarahan serta merta memuncak, sedangkan urung tatkala ingat betapa murninya aura dua manusia itu. Benar-benar putih, mereka baik, dan yang terpenting: tidak serakah juga terobsesi.

Aku ingin memberitahu mereka bahwa Hope Diamond sebenarnya baik. Jadi kurencanakan esok siang mereka akan kedatangan kabar bahwa, mereka menang undian antah berantah.

Namun belum genap rencana itu terpenuhi, derap langkah terdengar memenuhi loteng. Muncullah si istri. Ia mengambilku, mengendap-endap, padahal suaminya sudah pergi bekerja. Dia berjalan ke tempat aku jatuh sesuai cerita suaminya semalam.

Ekspresinya sendu. Terlihat enggan juga takut di saat bersamaan. Diletakkannya aku dengan hati-hati. "Maaf ya, aku terlalu takut membiarkanmu bersama kami." Senyumnya tampak menawan. Helai rambut hitamnya tersiram mentari pagi, kemudian darah mengucur dari lengan bajunya---tunggu, apa?

"AAAAAAA!" Wanita itu berteriak, aku terkejut setengah mati. Dua orang lain, pria, terlihat begitu tubuh ringkihnya jatuh terduduk. Membungkuk kesakitan.

"Cepat habisi saja," ucap salah seorang dari keduanya. Yang disuruh mengangguk, siap menghujamkan pisau berlumuran darah ke jantung korban.

Tentu saja aku tidak akan membiarkannya. Niatnya sangat baik. Aura putih itu terkotori oleh ambisi dua pria tak dikenal ini. Melihatnya saja sudah menjengkelkan. Segera kubuat pisau itu tidak mengenai si wanita, selagi rekan satunya merampas dan dengan kasar memasukkanku ke saku celana.

"Hei! Ngapain kalian?!" Teriakan itu cukup membuat dua manusia sampah ini kocar-kacir berlari.

Terakhir yang kudengar adalah si wanita berkata dengan susah payah, "Jangan bawa berlian itu. Tinggalkan saja di sini." Yang tak dihiraukan sama sekali.

Kita sama-sama tahu apa yang terjadi selanjutnya. Setelah orang yang berteriak tadi membantu si wanita, kuberikan kutukan pada si penjahat. Terjun ke jurang. Membusuk, dengan aku yang benar-benar rusak.

Tengahku patah terkena benturan batu yang tajam. Batu itu tidak hanya menewaskan dua penjahat, tetapi juga membelahku jadi dua.

Itulah harapan terakhirku. Bagaimana? Harapanmu terwujud, 'kan?

Si wanita tersenyum terlampau tipis, mengerti apa yang terjadi begitu kabar itu tersebar di seluruh penjuru.

"Dia benar-benar Berlian Harapan."

Dan kamu satu-satunya manusia yang menjadikanku Harapan. 

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top