Binatang yang Terbuang

Apa yang lebih aku ketahui tentang manusia daripada manusia itu sendiri?

Segerombolan makhluk yang membual jika diri mereka adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna namun masih membual bila di antara satu sama lain mereka ada yang lebih unggul. Bagiku mereka tidak lebih mirip seperti makhluk hina yang suka sekali mempermainkan Tuhan. Mengambil paksa beberapa anak pribumi dengan dalih akan dirawat dan dibimbing untuk menjadi seorang utusan Tuhan, para orang tua tentu saja tidaklah bodoh bila sekali lagi itu hanyalah dalih belaka.

Anak-anak itu tidak pernah kembali. Tidak pernah terlihat lagi setelah para perwakilan datang dan membawa mereka. Tapi bagiku itu jauh lebih baik daripada mendapatkan kabar bila putra mereka meninggal dan peti yang datang tidak dapat dibuka.

Intinya kembali atau tidak, anak-anak itu tetap sama artinya dengan mati. Hanya saja semakin banyak yang tertinggal, semakin banyak pula rasa sedih yang dimiliki. Bahkan lembar foto hitam putih para anak pribumi yang mengenakannya pakaian warga golongan kelas menengah justru membuat keluarga mereka meraung tidak terima.

Tapi marilah kita tinggalkan 'Balada Budak Pribumi' dengan kisah baru yang membuatku semakin muak melihat manusia.

Sebuah keluarga.

Dua kata yang hangat? Seharusnya dan pada umumnya begitu, tapi keluarga ini, Oh astaga! Bolehkah aku mengucapkan sesuatu yang kasar?

Ah, tidak ya.

Barang hina seperti diriku ini memang punya hak apa untuk menghujat? Meski sebenarnya aku tidaklah benar-benar hina, ada lebih dari satu golongan manusia yang derajatnya direndahkan hingga miris sekali berada di bawahku.

Mereka mirip seperti binatang yang terbuang.

Sedari awal penciptaanku di dunia, aku tidaklah terlalu banyak menaruh harapan pada siapa aku akan berakhir. Tangan manusia macam apa yang akan menggerakkanku bagai boneka kayu yang dijual dengan harga melunjak tinggi tiap kali ada pawai. Kisah tentang harapan yang berada di dasar kotak Pandora agaknya menjadi sebuah motivasi agar aku tidak terlalu berpikir kalau hidupku ini dipenuhi kesengsaraan.

Meski memang sengsara.

Tapi pada satu titik, aku bersyukur karena bisa bertemu dengan seorang yang hidupnya jauh lebih sengsara dariku.

Tuanku sendiri.

Kabar tentang siapa dirinya dan dari keluarga mana dia berada sebenarnya cukup simpang siur dan tidak sekali dua kali menjadi buah bibir para pelanggan toko kain. Sosok yang mempertahankan sisi misteriusnya itu tidak pernah memberikan barang sebuah klarifikasi, mencoba meluruskan kesalahpahaman juga tidak pernah, seakan tidak terganggu dengan keributan yang menyelipkan namanya dalam tiap kecap bibir. Alhasil, jangan salahkan para pedagang informasi yang menyebarkan beragam berita yang entah bohong atau benar, karena tidak ada yang tahu.

Aku juga tidak tahu.

Sesuatu yang terbilang paling populer dan bisa dikatakan paling masuk akal adalah rumor jalanan tentang Tuanku yang kemungkinan adalah seorang anak di luar pernikahan. Di dasarkan pada nama keluarga yang disematkan oleh Tuanku yang tak lain adalah nama salah satu daerah, nama keluarga yang tidak sembarang bisa disematkan sebenarnya. Dan karena tidak ada tuntutan ataupun bukti bila kehadiran Tuanku di dunia ini tergambarkan pada lukisan pohon keluarga, siapapun itu tentu akan curiga bila sosoknya benar-benar anak di luar pernikahan.

Rumor mengatakan bila ayahnya adalah seorang notaris kaya yang mana bisa terlihat dari rekam jejak Tuanku sebagai salah satu murid di studio Verrochio dan cerita rumit tentang dirinya yang pergi mengembara setelah menjadi pengikut setia Sforza.

Sementara jejak dari si Ibu terkesan sangatlah bias. Ada yang mengatakan bila sosok itu adalah seorang pelayan namun ada pula yang mengatakan jika sang Ibu adalah seorang budak yang dimabuk cinta. Bukan sesuatu yang mengherankan, ini adalah zaman dimana ada kalanya seorang perempuan melahirkan putra majikannya. Ada banyak bangsawan yang berlaku seperti itu, bahkan aku tidak yakin para putra putri dari saudagar maupun Baron yang ada di kota ini adalah benar-benar anak kandung mereka.

Karena akhir-akhir ini sedang terkenal di golongan bangsawan kelas atas budaya untuk menitipkan anak haram mereka pada sebuah keluarga bangsawan miskin sambil berlindung di kata "Mereka adalah keluarga yang kami dukung".

Menyambungkan pada alkisah "Bangsawan Bejat itu adalah Ayah Tuanku".

Ya, benar.

Ayah biologis dari Tuanku memang bejat.

Aku mengetahui hal ini bukan dari belah bibir para pelayan kedai kopi di pusat kota. Tapi langsung melihatnya, membaca barang satu atau dua lembar buku catatan Tuanku tentang masa kecilnya.

Seorang penasihat tua pernah berujar dengan lantang di tengah-tengah pacar yang ramai selepas ibadah hari Minggu. Niat awal sosok itu ingin melerai perkelahian seorang Ayah dengan putranya yang menurut bisikan kanan kiri tengah membantah. Entah membantah dalam urusan perkara apa, aku berada di antara tidak peduli atau pada saat itu peduli namun kini lupa. Namun itu memang bukan sesuatu yang penting, ucapan si penasihat itu lebih penting.

"Wahai anak muda, percayalah padaku. Dirimu haruslah bersyukur karena diberikan kesempatan untuk tetap memijak bumi ini alih-alih tertidur di dalam bumi selayaknya teman-temanmu."

Perilaku apa itu? Menormalisasi penekanan harapan yang teramat tinggi pada seorang anak?

Dua pertanyaan itu mungkin menjadi sesuatu yang terlintas di pikiran Tuanku kala itu. Terlihat dari gesturnya yang meremat pelan bagian depan dari tudung yang dia kenakan. Tudung yang sebenarnya dimodifikasi dari karung goni yang dicuri dari lumbung padi milik warga kota yang sebelumnya di singgahi. Bukannya tidak punya uang, hanya mencoba untuk berhemat sebagai seorang yang mengembara.

Padahal aslinya tidak lebih mirip seperti di buang keluarga.

Dalam buku catatannya aku tahu bila dia menghabiskan beberapa tahun tidak berarti dengan sang Ibu sebelum akhirnya menjalani simulasi ujian menuju neraka di rumah keluarga ayahnya. Sang ibu tiri yang menurut pandangan Tuanku diam-diam menaruh rasa padanya namun berujung pupus karena perempuan itu lebih dahulu menemui ajal. Hanya berselang tiga tahun dan sang Ayah kembali menikah dengan seorang gadis muda. Berusia dua puluh tahun di saat Tuanku berusia enam belas tahun. Kala membaca hal itu jujur saja aku bila secara manusiawi bisa dikatakan ingin sekali berteriak.

Dan lagi-lagi, sosok sang istri meninggal tanpa pernah memiliki seorang anak.

Tuanku bukanlah keturunan resmi. Mungkin itu alasannya untuk pergi dari rumah setelah istri baru ketiga, yang tentunya seperti selera sang Ayah yang sebelum-sebelumnya sebagai pecinta gadis muda, berhasil bertahan hidup hingga melahirkan seorang anak.

Tuanku pernah menuliskan sebuah ungkapan bela sungkawa entah untuk siapa. Namun tidak sampai satu tahun aku menyadari jika yang sebelumnya adalah ucapan bela sungkawa untuk si istri ketiga dan keenam orang anak perempuan itu yang kini mungkin akan bernasib seperti Tuanku.

Sang Ayah menikah lagi.

Wahai Tuanku, tangan ringkih yang tidak memiliki kuasa untuk mengangkat sebilah pedang.

Kuas hina ini bersumpah untuk menjalankan abdi pada Tuan hingga sisir bulu terakhir yang dimilikinya.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top