Bab 1
Seorang gadis elf dengan rambut berwarna biru tua berdiri di depan pintu gerbang sebuah kastil. Embusan napas panjang terdengar dari dirinya. Di samping gadis itu, berdiri seorang pemuda yang menunggunya dengan agak tidak sabar. Pasalnya sudah tiga hari mereka berdiri di gerbang. Pemuda itu sudah cukup jengah mendapat tatapan ingin tahu orang-orang yang melihat mereka berdiri seperti patung.
"Penjelajah Hujan, sampai kapan kau akan berdiri di sana dan mengatur napas? Waktu kita tidak banyak. kau hanya akan mendatangkan amarah lain kaisar jika mengulur waktu," pemuda tersebut berujar pelan ... berusaha sabar menghadapi perempuan yang sekarang jadi rekan kerjanya.
Hujan tersenyum, wajahnya menoleh. Maniknya yang berwarna aqua menatap pemuda itu lekat. "Pengawas So—" perkataan Hujan terhenti ketika menyadari tatapan dari pemuda di sampingnya.
"Ehem, maksudku Pengawas ke-04-9, maafkan saya. Tuan Pengawas tahu saya masih baru di sini, tetapi harus turut mengikuti hukuman," ujarnya dan kemudian dilanjutkan dengan suara yang jauh lebih pelan, "yang bahkan hukuman itu diawasi oleh pengawas sepertimu."
Soran atau yang lebih dikenal dengan panggilan "Pengawas ke-04-9" mengerutkan keningnya.
"Apa ada keluhan?" tanya Soran dengan nada penekanan.
"Tidak ada Pengawas So—maksudku Pengawas ke-04-9!" buru-buru Hujan menjawab sembari menggelengkan kepala.
Soran tidak pernah senang dipanggil dengan nama aslinya. Lebih tepatnya, tidak ada yang berani memanggil nama aslinya setelah dia menjadi pengawas. Tidak ada yang tahu alasan di balik hal tersebut. Ada yang mengatakan karena dia seorang transenden hingga membuat orang segan, ada juga yang melebih-lebihkan cerita jika dia akan melemparkan orang yang memanggil namanya ke salah satu dunia liar yang belum memiliki pengawas.
"Kalau begitu, kita akan pergi ke sana sekarang," ujar Soran yang telah bosan menunggu. Jika dia tidak berinisiatif, maka mereka tidak akan pergi ke mana pun hingga waktu untuk mencari cerita habis. Soran tidak ingin mengorbankan karirnya hanya demi menunggu seorang elf remaja siap untuk berkelana.
Soran mengambil kertas sihir dari saku jubah lalu membakar kertas itu dengan api sihir dan melemparnya. Begitu kertas itu habis terbakar, sebuah gerbang dimensi terbentuk.
Hujan menatap gerbang dimensi itu dengan takjub. Sebagai penjelajah baru di kerajaan, Hujan baru kali ini melakukan perjalanan. Tentu ini merupakan kali pertama dia melihat gerbang dimensi secara dekat seperti ini.
Biasanya, penjelajah akan pergi melalui gerbang dimensi yang ada di kerajaan. Hanya pengawas yang memiliki cara untuk berpergian antar dimensi sesuka hati dengan kertas sihir. Lagipula, para pengawas memiliki berbagai sihir yang kuat hingga tidak heran mereka mampu melakukannya.
"Dimensi yang kuawasi tidak seperti central. Dimensi itu terdiri dari dunia yang dihuni oleh manusia biasa. Mereka tidak begitu mencolok dan perbedaan fisik mereka tidak begitu beragam. Jadi ras elf sepertimu di sana akan terlihat sangat mencolok.
"Ah! Begitukah? Kalau begitu saya akan menyamar!" Hujan berseru semangat.
Senyuman tipis hampir muncul di wajar Soran, tetapi seketika senyuman itu langsung hilang. Dia melihat Hujan mengambil jaket biru dari tas selempang lalu memakainya. Tidak lupa, tudung jaket itu dia gunakan untuk menutupi rambut biru dan telinganya yang panjang.
"Bagaimana bisa mereka mengizinkan elf yang bahkan belum matang di kalangan kalian untuk jadi penjelajah? Lihatlah, kau bahkan tidak lebih dari anak-anak," cibir Soran.
"Huh! Mana saya tahu? Mungkin keberuntungan saya sangat buruk karena menjadi penjelajah tanpa menerima pelatihan dahulu." Hujan mengalihkan pandangan dan mencebik kesal.
"Jangan berbicara omong kosong. Aku tahu kau nyaris tidak pernah mengikuti pelatihan karena kesalahanmu sendiri. Aku sudah melihat profilmu, jadi jangan mencoba melawanku." Soran menatap lurus Hujan dengan pandangan tajam. Terdapat ancaman pada manik matanya yang berwarna cokelat gelap.
"Uhhh, yah, karena Anda tahu saya elf belum matang ... serta selalu bolos pelatihan, Anda juga pasti tahu jika saya tidak bisa sihir penyamaran, bukan?" Dengan tidak tahu malu, Hujan mendekati Soran dan menarik-narik lengan jubahnya. Dia memberikan senyum semanis mungkin dengan harapan Soran akan menuruti keinginannya entah karena pemuda itu muak ataupun luluh.
Lagi, suara gemelatuk gigi terdengar dari Soran. Dia menjentikkan tangan kemudian secara perlahan penampilan Hujan berubah menjadi manusia. Telinga gadis itu memendek, rambut birunya berubah warna menjadi hitam pekat, dan manik aqua-nya berubah warna menjadi cokelat.
"Wah, seorang transenden memang berbeda," ujar Hujan kagum.
Setelah mengubah penampilan Hujan, Soran melangkahkan kakinya ke gerbang dimensi. Dia tahu akan sangat membutuhkan waktu jika pemuda itu menunggu hingga mental Hujan siap untuk pergi mengerjakan tugasnya sebagai pengumpul cerita.
"Jika kau tidak mengikutiku, maka aku tidak akan bertanggung jawab jika nanti kau tersesat di sana. Aku tidak akan mau repot-repot mencarimu." Soran menunduk ke belakang untuk menatap Hujan yang masih mengagumi penampilan barunya.
Mendengar perkataan Soran, buru-buru Hujan menyusul Soran. Dia memegang erat jubah Soran hingga tubuh Soran hampir terjatuh ke belakang. Dia hanya bisa menggeleng sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
"Perbedaan waktu di sana dan Central cukup besar. Satu hari di sana sama dengan sepuluh hari di sini. Jadi, setidaknya aku sudah meninggalkan tugasku selama tiga puluh hari di sana. Apa kau paham seberapa besar masalah yang kau buat hanya karena tidak siap?" Soran berujar dingin. Ekor matanya melihat Hujan yang menggenggam erat jubahnya dan merapatkan diri karena takut tersesat.
Mendengar perkataan Soran, Hujan hanya bisa memajukan bibirnya cemberut. Dia tidak ingin mengakui, tetapi apa yang Soran katakana benar. Namun, Hujan tidak ingin mengakui kesalahannya. Lagipula dia tidak sepenuhnya salah sekarang, jadi tentu saja dia tidak akan mengakui hal ini.
"Saya tidak tahu jika perbedaan waktunya selama itu. Anda yang selama tiga hari ini diam saja menunggu saya, Tuan Pengawas," ujar Hujan membela diri.
Memang benar, selama tiga hari ini, Soran tidak pernah mengatakan sepatah kata pun selain memperkenalkan dirinya dan misi Hujan. Dia hanya akan berdiri diam seribu bahasa di samping Hujan. Pemuda itu bahkan tidak berbicara sepatah kata pun ketika memberikan makanannya pada Hujan setiap pagi, siang, dan malam.
Soran mengerutkan dahinya. Dia bertanya, "Jadi ini salahku?"
Segera, Hujan mengalihkan pandangan, tidak berani menghadap Soran yang menatapnya.
"Um, mungkin saja? Yang jelas bukan salahku," ujar Hujan tidak tahu malu.
Soran memijat pangkat hidungnya. Dia tidak dapat membalas perkataan Hujan karena dia tidak sepenuhnya salah. Dari awal, Soran yang tidak memaksa gadis itu untuk pergi. Hanya saja, dia tidak tahu Hujan sangat gugup hingga mengulur waktu terlalu lama. Hal baik, atau malah buruk, dari dirinya hanya dia yang terlalu pandai menimpali kata-kata Soran. Pemuda itu sampai tidak tahu harus merespon apa setiap kali Hujan menimpali kata-katanya. Pantas saja dia bisa menjadi seorang penjelajah. Mungkin karena dia terlalu pandai berbicara, ralat, menimpali perkataan orang.
Soran tidak menyangka akan mendapatkan penjelajah seperti ini di bawah pengawasannya. Pemuda itu berusaha mengingat-ingat apa saja dosa yang pernah dia lakukan hingga hal seperti ini terjadi. Namun, seberapa keras pun mencoba, Soran tak bisa menemukan jawaban apa pun. Dia merasa selalu mengerjakan tugasnya dengan baik dan dia tidak merasa ini adalah karma baginya. Jika bukan karma, lalu apa tandanya kejadian sekarang adalah ujian?
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top