Roleplay 07 - Akhir Petualangan
Sayangnya, roda takdir tidak berpihak pada mereka. Lantai yang mereka pijak tiba-tiba bergetar. Suara ledakan juga terdengar dari lantai di bawah mereka.
Kalau begini, kabur menggunakan lift sudah tidak dapat diharapkan lagi. Padahal tadi Xi berharap bisa memperbaiki lift itu dengan peralatan yang tadi sempat dia lihat di laboratorium sebelah. Menyeret tiga orang yang tidak sadarkan diri menaiki tangga--yang belum juga mereka temukan--pun rasanya tidak mungkin.
Untunglah saat pikirannya buntu, Xi melihat jari-jari pria kekar yang tadi mereka selamatkan bergerak. Segera Xi menghampiri pria itu dan menampar pipinya keras-keras.
"Tuan! Hei, Tuan! Bangunlah!" Gadis itu bolak balik menepuk pipi si pria gondrong. "Bangun atau kami terpaksa meninggalkanmu."
Kelopak mata pria itu berkedut pelan.
Xi mengambil salah satu goloknya dan memotong kabel-kabel yang mengikat tubuh pria itu ke kursi.
"A-aku masih hidup?" Pria besar itu akhirnya terbangun. Begitu membuka mata, dia langsung menuju tubuh wanita yang tadi Xi ikat ke kursi.
"A-apa yang terjadi padanya?!" tanya pria itu panik.
Xi buru-buru mendekat. Disentuhnya pergelangan tangan wanita itu. Denyut nadi yang tadi samar terasa, kini hilang sama sekali. Xi mengernyit. Dia coba menyentuh leher serta meletakkan jari di bawah hidung si wanita cantik. Lagi-lagi nihil.
"Ku-kurasa, dia sudah meninggal."
Pria itu terhuyung lalu jatuh menubruk lantai. "Tidak....."
Sementara itu, J berhasil membangunkan pria yang satu lagi.
"Kebakaran?" tanya pria kurus berkacamata itu.
"Euh, mungkin. Tapi yang pasti tempat ini akan meledak, jadi kita harus segera pergi," jawab J, dia kemudia menepuk pundak pria besar yang masih bersedih atas kepergian rekannya. "Maafkan kami tidak sempat menolongnya, tapi kita harus segera pergi."
"Nona ... Jamur ... Teh ... Maaf...," racau si pria besar.
Xi bersyukur perkataan J berhasil menyadarkan pria itu. Tampaknya meski terluka, si pria berambut biru kehijauan itu masih dapat berjalan.
"Maaf, Tuan. Apakah kau tahu lokasi tangga darurat di gedung ini? Tadi kami menemukan lift di ujung lorong, tapi tidak berfungsi." Xi menatap kedua pria asing di hadapannya bergantian.
Pria yang lebih kurus mengangguk. "Meski denah laboratorium utama statusnya sangat rahasia, demi keamanan para saintis dan pengguna gedung, jalur darurat tetap diberi penanda, kita bisa keluar mengikuti itu. Atau ...."
Pria itu memijit kepalanya, lalu batuk-batuk. "Atau kita bisa keluar lewat pintu terdekat, semoga belum diblokade." Dia mengambil jeda sejenak, sebelum lanjut berkata dengan penuh keyakinan, "Kalian bisa tinggalkan saya."
"Tuan wartawan.... Apa maksudmu? Apa jangan-jangan kau...." timpal pria bertubuh besar.
"Oh, Tuan Silas masih hidup." Si wartawan tersenyum kepada Silas. "Karena saya belum mati, jadi ada urusan yang harus saya selesaikan.Jangan khawatirkan saya."
Kenapa pria-pria yang ditemuinya selalu saja merepotkan? Xi berusaha menahan diri untuk tidak membentak pria yang terlihat ingin bunuh diri itu.
Sambil menahan emosi, Xi berkata kepada si wartawan, "Gedung ini bisa runtuh kapan saja. Jadi, kita tidak punya waktu untuk berdebat. Kalau Anda tidak mau ikut, tunjukkan saja pada kami jalannya."
Mereka harus segera keluar dari tempat itu. Xi berharap J tidak akan bersikeras membujuk pria yang tampaknya sudah kehilangan semangat hidup itu.
"Tinggal ikuti saja arahnya, aku tidak terlalu hapal denah gedung ini, Nona. Namun, tentu saja penanda arah tidak pernah berbohong." Si wartawan tampak berpikir sebentar sebelum lanjut berbicara. "Kalau lewat jalur yang cepat, Tuan Silas bisa menunjukkan jalannya ke kalian."
"Apa benar kau yakin ingin ditinggal di sini? Urusan yang kau katakan itu, apa tidak sejalan dengan jalan keluar? Mungkin kita bisa pergi bersama?" J bertanya, memastikan keputusan pria berkacamata itu.
"Betul, kalian bisa pergi duluan. Ingat, kalian berpacu dengan waktu."
"Oke. Pastikan kau keluar dengan selamat ya." J tersenyum kecil pada pria itu sebelum akhirnya menghampiri Silas. "Perlu bantuan untuk berjalan?"
"Bisa tolong dorong saja kursi beroda itu? Saya akan duduk di sana. Lebih efektif bagi kita bergerak di lantai yang masih mulus ini. Nanti kalau kita bertemu reruntuhan, baru saya akan berjalan." Silas bergerak terpincang ke arah kursi dan duduk di atasnya. "Terima kasih."
Gedung itu kembali bergetar hebat, bahkan kali ini diiringi suara benda-benda yang jatuh dan pecah. Mungkin sebenatar lagi giliran bom di lantai mereka yang akan meledak.
"Tadi, kami menemukan lift di ujung lorong. Namun, kami belum berhasil menemukan pintu menuju tangga darurat. Mungkin tidak ada salahnya kita mengecek lagi ke sana." Xi membuka pintu dan menahannya agar J dan pria bernama Silas itu bisa lewat.
"Yang jelas, kita tidak bisa terus berdiam diri di sini." Xi menatap sekilas ke arah pria berkacamata, tetapi tidak mengatakan apa-apa.
"Pergilah, jangan kebanyakan lihat-lihat." Si wartawan terkekeh sambil mengisyaratkan mereka untuk segera pergi dengan mengibaskan tangannya.
"Yang jelas, kita tidak bisa terus berdiam diri di sini." J mengangguk kecil dan mendorong kursi itu keluar dari ruangan.
"Kita mau ke mana? Mana tanda petunjuk arah?" Silas menoleh ke sekeliling mencari lambang merah yang biasa diletakkan untuk petunjuk arah saat keadaan darurat. "Apa ada yang melihat?"
"Sepertinya tadi aku melihat beberapa tanda panah di dekat lift," jawab Xi sembari mempercepat langkah. Dia memimpin jalan menuju ujung lorong yang tadi sempat diperiksanya.
Sesekali dia menoleh ke belakang untuk memastikan J dan Silas masih mengikutinya.
Langkahnya terhenti di depan lift. Kini, lampu di bagian itu semuanya telah padam. Mungkin akhirnya aliran listrik di lantai itu telah seluruhnya terputus. Namun, Xi kini dapat melihat lebih jelas petunjuk arah yang berpendar dalam gelap. Saat pertama kali ke sana, dia pikir garis-garis itu hanya sekadar dekorasi saja.
Garis-garis itu mengarahkan mereka ke salah satu pintu di seberang lift. Xi buru-buru mendorong pintu tersebut, tetapi tidak terjadi apa-apa.
"Pintunya macet," seru Xi panik.
"Macet?" J melepaskan pegangannya pada kursi dan menghampiri pintu. Dia mencoba mendobrak pintu itu.
Brak!
Bunyinya cukup keras, namun tenaga J tidak cukup untuk membuka pintu itu.
"Coba kita dobrak bersama," usul J sambil menatap Xi.
Xi mengangguk. Mungkin pintu itu akan terbuka jika didorong dua orang.
"Satu ... Dua ...Ti--" Xi memberi aba-aba, "...ga!"
Brak!
Pintu itu berbunyi lagi bersamaan dengan J yang hampir terjatuh karena pintu yang tiba-tiba terbuka.
"Terbuka!" J bersorak senang.
"Terima kasih banyak," ucap Silas dengan rasa bersalah tercermin di wajahnya.
"Kau bisa berterima kasih kalau kita sudah sampai di atas," timpal Xi sambil mengamati deretan anak tangga yang seolah tanpa ujung. Dia kemudian menoleh pada Silas dan berkata, "Kurasa sekarang kau harus berjalan, Tuan."
Silas mencoba berdiri. "Baik. Jika terjadi sesuatu dan saya menghambat, tinggalkan saja saya di belakang. Lebih baik kalian menyelematkan diri duluan daripada mencoba menyelamatkan saya yang sudah cedera."
J meraih tangan Silas. "Kita coba saja dulu untuk keluar bersama," ucapnya dan perlahan membantu pria besar itu menaiki tangga. Setelah beberapa langkah, J menoleh kepada Xi. "Apa kursinya perlu kita bawa?"
"Biar aku yang bawa." Xi menawarkan diri. "Kalian naik dulu, aku akan menyusul."
"Oke." J menjawab pendek dan lanjut menaiki tangga.
Gedung terkadang kembali bergetar diiringi suara ledakan. J terus melangkah menaiki tangga, sesekali dia menoleh untuk memastikan Xi masih di belakangnya.
Meski sedikit kerepotan karena harus menaiki tangga sambil mendorong kursi, Xi berusaha untuk mengimbangi langkah J dan Silas.
Mereka melewati satu pintu. Artinya, mereka telah tiba di lantai berikutnya. Sepintas Xi sempat melihat tulisan B1 berpendar di atas pintu itu.
"Kurasa, lantai berikutnya adalah jalan keluar. Perhatikan apabila ada pintu lagi, J," teriak Xi berusaha menyaingi suara gemuruh dari lantai di bawahnya.
"Oke!" J balas berteriak. Dia tidak sempat menoleh ke belakang, tangga yang dipijaknya kini sedikit bergoyang, dirinya sibuk mempertahankan keseimbangan dirinya dan pria besar di sampingnya.
J terus berusaha menaiki tangga, berharap tangga itu tidak roboh terlebih dahulu sebelum sampai di lantai berikutnya.
Mata J menangkap pintu dengan tulisan GF berpendar di atas pintu itu, dia sumringah. "Itu pintunya, Xi!" Serunya sembari sedikit mempercepat langkahnya.
"Ayo, kita bergegas. Tinggalkan saja kursinya! Itu menghambatmu bergerak!" Silas menoleh ke arah Xi dengan sorot khawatir.
"Kursi ini mungkin bisa berguna," jawab Xi dengan napas terengah-engah. Asap dari lantai bawah mulai membuatnya sesak.
"Apa kau bisa buka pintunya, J?"
"Aku coba dulu." J menurunkan pria besar itu di samping pintu dan mendorong pintunya.
Diluar dugaan, pintu itu tidak macet seperti pintu sebelumnya. "Pintunya sudah dibuka! Ayo masuk, Xi!" seru J berseru pada Xi. Sembari menahan pintunya, J mengulurkan tangan kepada Silas untuk melanjutkan perjalanan.
Belum pernah Xi sesenang ini melihat lantai putih mengilat dan datar. Akhirnya dia tidak perlu kerepotan menyeret kursi lagi. Segera diletakkannya kursi berat itu dan menepuk-nepuk alas duduknya yang berdebu. Dia tidak terlalu memperhatikan apa yang sedang Silas ucapkan.
"Anda bisa duduk lagi, Tuan Silas. J bisa mendorong Anda sambil mencari jalan keluar. Dan kalau Anda tidak keberatan, saya ingin menitipkan ransel ini sebentar," ucap Xi sembari menurunkan ranselnya dari punggung.
Sebenarnya ransel itu hanya berisi jurnal, sedikit perbekalan, dan beberapa pisau Edda. Tidak berat. Namun, Xi merasa sedikit kesulitan bernapas karena terlalu banyak menghirup asap dan debu. Dia tak berhasil menemukan masker gasnya, mungkin terjatuh saat bertarung melawan pemberontak tadi.
Suara ledakan terdengar lagi, juga suara berondongan peluru yang entah berasal dari mana.
"Kita harus keluar! Xi, masih bisa berlari?" tanya J sambil menoleh padanya.
Xi menutupi hidungdengan ujung jubahnya, jubah pemberian Raz. Debu dan asap makin pekat di udara. Xi merasa bodoh sekali, bisa-bisanya tidak sadar bahwa telah kehilangan masker gasnya, padahal sejak dulu dia memang tidak tahan dengan bau asap.
"Lihat ke depan, J!" omel Xi di sela batuknya. "Jangan sampai Tuan Silas terjungkal dari kursi!"
Xi berusaha terus berlari. Dia adalah salah satu pelari tercepat di kelompok Messenger, tetapi hari itu tungkainya terasa begitu berat.
Rasanya dia ingin berhenti sebentar untuk beristirahat. Namun, bongkahan beton yang mulai berjatuhan dari langit-langit tidak memberinya waktu. Dia harus berhasil keluar dengan selamat dari gedung itu. Ada janji yang harus dia tepati, kepada Raz dan dirinya sendiri.
Dengan susah payah, Xi terus mengayun kakinya. Punggung J makin jauh. Suara dentuman justru terasa makin dekat.
"Semua baik-baik saja?" Seseorang berteriak dari kejauhan. Suara itu begitu familier bagi Xi karena beberapa malam terakhir terus menggema di kepalanya.
Xi berhenti sejenak. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum paling lebar yang pernah dia ukir. Gadis itu merasa lega sekaligus senang.
Semoga saja aku tidak sedang berkhayal.
Seperti menemukan suntikan tenaga, Xi kembali berlari. Dia tidak sabar ingin memastikan bahwa Raz benar baik-baik saja dengan mata kepalanya sendiri.
KRAAK!
Langkah Xi kembali terhenti. Dia membelalak menatap lantai yang tengah dipijaknya. Sebuah retakan yang terus merambat tampak membentang di bawah kakinya.
"J! Lari!" Teriakan Xi melengking tinggi, berusaha menyaingi bunyi retakan yang makin kencang terdengar. Jantung Xi seakan berhenti berdetak.
Semuanya terjadi begitu cepat. Retakan yang timbul terus membesar, lalu membentuk lubang yang menganga lebar.
Kedua tangan Xi menggapai udara, berusaha mencari pegangan saat kakinya kehilangan pijakan. Sayangnya, tangan Xi hanya dapat menggapai angin sementara lubang itu lebih cepat menelan tubuh mungilnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top