Roleplay 05 (B)

Liberte perlahan muncul di cakrawala. Langit yang perlahan memerah menjadi latar dari asap hitam yang membumbung tinggi dari koloni yang seharusnya tampak asri.

Di sekeliling mobil tampak tanaman tercabut dan bangunan yang rusak atau dijarah. Sementara di depan terlihat kelompok massa sedang berusaha menerobos pertahanan Liberte yang dijaga oleh sekelompok penjaga beserta barikade. 

Mobil yang mengerem mendadak membuat tubuh Xi terguling ke samping. Belum genap kesadarannya, bak mobil berguncang karena kambing-kambing yang berderap gelisah.

"Kenapa ini?" gumam Xi sambil mengumpulkan kesadarannya yang terserak. Terbangun dengan cara seperti itu sungguh cara paling ampuh untuk merusak suasana hatinya.

"J, kemasi barang-barang. Aku akan mengecek ke luar sebentar." Xi memberi instruksi.

Gadis itu kemudian mendorong karung-karung rumput tadi untuk menjadi pijakan. Dengan sedikit berjinjit, dia mengintip melalui bak truk. Wajahnya memucat saat melihat kerumunan massa yang beringas berusaha mendesak masuk ke Liberte.

Para tentara yang berjaga awalnya hanya bertahan, tapi satu letusan tembakan entah dari mana berhasil menyulut emosi semua orang. Massa mulai melempar batu ke arah barikade, sementara suara tembakan juga mulai saling bersahut-sahutan.

Tiba-tiba, suara tembakan terdengar disusul teriakan yang saling sahut menyahut. Burung J berkoak panik, sedangkan J terkejut, menoleh ke arah sumber suara.

Xi menatap J. Dia berusaha tidak terlihat panik. "J. Sepertinya, kita harus turun di sini."

"Sepertinya sudah terjadi, ya? Revolusi itu? Baiklah, ayo turun." J menarik napas panjang, lalu melompat turun dari truk dengan susah payah.

Burung yang panik karena suara tembakan itu langsung hinggap di kepala J, lagi. "Ah, sepertinya aku akan kesusahan berlari." J berkata miris mengingat beban yang di bawanya tidak sedikit.

Sejak tadi Xi penasaran apa isi ransel J. Tampaknya berat sekali. 

"Apa yang kita lakukan terlebih dahulu? Mencari Ducky dan Raz?" J bertanya kepadanya.

Xi mengawasi keadaan sekitar. Situasi masih cukup terkendali. Massa belum menyadari kehadiran mereka.

"Kita tidak bisa mencari mereka kalau kita mati. Lebih baik kita bersembunyi dulu."

Saat memeriksa ruang kemudi, Xi tidak melihat siapa pun. Tampaknya sang sopir sudah kabur lebih dulu. Sementara itu, kambing-kambing di bak makin panik. Beberapa mulai menyeruduk dinding bak, berusaha melepaskan diri.

Tiba-tiba, suara berdebum terdengar dari dalam bak truk disertai dengan bunyi-bunyi kambing yang panik.

"Kasian sekali kalian." J bergumam sembari mendekati bak itu. "Bagaimana membukanya, ya?" Dia mengedarkan pandangan, hingga menangkap kunci selot yang berada di ujung atas kanan dan kiri. J mendekatinya, melompat dan membuka kunci itu, begitupula dengan yang satunya.

BRAK!

Pintu bak truk itu langsung jatuh berdebum begitu kunci terakhir terbuka. Kambing itu satu persatu turun dengan buru-buru.

Xi hanya bisa terperangah saat melihat puluhan kambing melompat turun dari atas truk.

"A-apa yang kau lakukan?" tanya Xi dengan suara tersekat. Matanya membelalak menatap J. 

"Me-membebaskan mereka?" J menjawab dengan ekspresi takut.

Untungnya Xi urung memarahi J. Dia mengayunkan tangan, memberi kode agar mengikutinya. "Tinggalkan barang-barang yang tidak terlalu berguna," desis Xi.

Gadis itu kemudian mengendap-endap ke arah tembok tinggi yang memagari Liberte. Orang-orang terlalu fokus pada gerbang utama, jadi penjagaan di sisi tembok yang lain tidak terlalu ketat. Berdasarkan pengalaman Xi, selalu saja ada celah tersembunyi yang biasa dipakai untuk menyelundupkan barang-barang. Dia harus segera menemukannya.

Miris sekali rasanya saat Xi melihat tembok tebal itu penuh coretan dan bekas gosong kobaran api. Sepertinya sebelum menyerang gerbang, para pendemo sempat melakukan vandalisme di bagian tembok yang tidak dijaga. Tapi lubang-lubang yang timbul hanya melukai bagian luarnya saja, tidak dapat digunakan untuk menyelinap.

Xi sudah hampir menyerah. Mungkin alih-alih mencari jalan masuk, harusnya dia mengajak J pergi dari tempat itu, menjauhi kerusuhan. Namun, keberuntungan sedang di pihak mereka. Sebuah ukiran yang sangat familier tertangkap matanya.

Untuk memastikan, Xi melompat ke parit kering yang memisahkan daratan dengan tembok. Dengan ujung goloknya, dia menyibak semak belukar yang berada tepat di bawah logo kaum Messenger itu.

Ketemu!

Xi pikir Pratt hanya membual saat berkata, bahwa Messenger punya akses sendiri ke Liberte. Selama ini, pengiriman barang ke dan dari Liberte secara resmi hanya ditangani AYX. Namun, ada desas-desus yang menyebutkan bahwa beberapa petinggi Messenger bekerja sama dengan orang Liberte untuk menyelundupkan barang-barang tertentu.

Xi memandangi petak-petak batu yang warnanya sedikit lebih gelap, lalu coba mengetuk-ngetukkan gagang goloknya ke sana. Pasti ada kunci tertentu untuk membuka akses ke sana. Tapi, apa?

Tiba-tiba sebuah ide gila melintas di kepala Xi. Di balik tembok itu harusnya sudah lubang yang biasa digunakan sebagai jalan masuk ke Liberte. Satu atau dua peledak harusnya bisa meruntuhkan pintu rahasia itu. Atau ...

Xi menoleh pada J dan rombongan kambing yang masih mengikuti mereka. "J. Apa kau bisa menyuruh salah satu kambing itu menanduk bagian tembok yang ini?" tanya Xi sambil meringis.

J berkedip beberapa kali mendengar pertanyaan Xi, pandangannya berganti menatap gerombolan kambing yang tidak jauh darinya.

"Euh..." J masih menatap kambing-kambjng itu, bingung harus menjawab Xi dengan jawaban apa. "E-entahlah? Mungkin bisa dicoba?" J berjalan mendekati gerombolan kambing itu dengan ragu.

Sembari membungkuk, J memulai bicara pada kambing itu. "Euh, maaf, kambing? Euh, bisa ... euh ... robohin batu-batu itu?" J menunjuk tempat Xi berdiri, di dalam parit. Tapi kambing itu tetap bergeming.

Tiba-tiba saja burung di atas kepala J berkoak-koak dan terbang menuju gerombolan kambing itu. Merasa nyawa mereka terancam, kambing-kambing itu berlari menuju parit tempat Xi berdiri sedangkan burung kondor itu seolah menuntun gerombolan kambing menuju tempat yang J tunjuk, tumpukan batu yang ingin Xi hancurkan.

Namun, bukannya menyeruduk tembok yang Xi maksud, kambing itu malah berlari ke arah sebaliknya. J mematung tidak percaya, menatap burungnya yang juga sepertinya mematung karena sudah menuntun ke arah yang salah.

"Kambingnya kabur." J menatap Xi dengan tatapan polos. 

Xi mematung di tempat. Harusnya dia memang sudah sadar sejak awal kalau rencananya tidak akan berhasil. Mungkin gosip tentang J yang bisa bicara dengan hewan hanyalah isapan jempol belaka, sama seperti gosip bahwa J adalah anak Ducky.

Gadis itu termenung, coba memikirkan cara lain. Kali ini yang lebih masuk akal. Sambil berjongkok, dia memperhatikan susunan batu di hadapannya. Sesekali dia menekan beberapa petak batu.

Entah dari mana datangnya, kadal J merayap di tembok dan nyaris membuat Xi terjungkal saking kagetnya. Namun, hal itu justru membuatnya menyadari adanya celah kecil berbentuk segitiga di satu sudut yang tertutupi semak-semak.

Xi refleks mengeluarkan emblem keanggotaannya di Messenger. Emblem itu sekaligus berfungsi sebagai kunci untuk ruang-ruang penyimpanan yang tersebar di berbagai koloni.

"Semoga saja bisa," gumam Xi penuh harap.

Beberapa detik setelah Xi mendorong masuk kunci ke celah itu. Terdengar suara derit mekanis dari dalam tembok. Petak-petak batu tadi perlahan bergeser ke atas. 

Pada saat yang nyaris bersamaan, suara derap langkah kaki dan teriakan makin mendekat. Sebagian orang yang tadi berdemo menyadari keributan yang dibuat kambing-kambing tadi dan berusaha memeriksa.

"J! Kau masuk lebih dulu, dan gunakan batu-batumu untuk menandai jalan yang kau lewati. Jaga-jaga kalau jalannya bercabang di dalam." Xi menggenggam kedua goloknya erat-erat dan memasang kuda-kuda. "Aku akan segera menyusul."

J berlari memasuki pintu yang tergeser dari bebatuan itu, V yang semula berada di batu pintu itu melompat ke pundak J dan burungnya melesat masuk ke dalam.

"Berjanjilah untuk menyusul!" J berseru sembari memindahkan letak ranselnya menjadi di depan, mengeluarkan batu-batunya untuk penanda jalan nanti.

Tidak lama setelah J masuk ke lorong tersebut, seorang pria berperut buncit berlari ke arah Xi. "Hei! Ada jalan di sini!" teriaknya.

Dengan gerakan secepat kilat, Xi memukul tengkuk pria itu dan membuatnya pingsan. Xi lalu mengintip ke luar parit, beberapa pria lain berlari ke arahnya, tapi jaraknya masih cukup jauh. Xi melirik ke arah kunci yang masih menancap di celah batu. Selama kunci itu belum tercabut pintu rahasia itu akan terus menganga lebar.

Dia mungkin bisa mengalahkan satu dua orang dengan mudah, tapi kalau lebih dari itu, apalagi di dalam lorong sempit dan gelap, Xi tidak yakin dapat melindungi J.

Xi menyembulkan wajahnya ke lubang dan berteriak, "J. Terus berjalan dan cari jalan keluar. Aku harus mencabut kunci ini agar tidak ada pemberontak yang ikut masuk. Kalau kau bertemu Raz, sampaikan bahwa dia bisa menyimpan koinku!"

Suara Xi memantul-mantul di dinding lorong. 

Belum sempat Xi mencabut kunci, dua orang pria lain datang dari arah samping dan langsung menyerangnya. Mendesak Xi menjauh dari lorong rahasia.

Dua pria itu tidak terlalu lihai bertarung, tapi cukup membuat Xi kerepotan karena kalah jumlah. Perlu waktu beberapa menit hingga Xi dapat merubuhkan pria kedua dan ketiga. Mereka masih hidup. Xi hanya membuat mereka pingsan saja, dengan sedikit memar dan mungkin beberapa jari yang patah.

Napas Xi terengah-engah. Namun, dia tidak dapat bersantai-santai. Suara langkah kaki yang lebih banyak terdengar makin dekat. Baru saja Xi hendak bersiap menghadapi mereka, seseorang menarik tangannya.

"Xi! Kita masuk bersama!" seru J.

"Ta-tapi ..."

Entah karena dia kecapekan sehabis bertarung, atau tenaga J jauh lebih besar dari biasanya. Pemuda itu berhasil menarik--setengah menyeretnya--ke dalam lorong.

"Harus ada yang mencabut kun--" Belum sempat Xi menuntaskan kalimatnya, pintu batu tersebut telah jatuh menutup. Memutus sumber cahaya dari luar. Yang tersisa hanya sayup-sayup suara orang-orang yang meninju dan menendang tembok.

"Bagaimana bisa?" Xi menoleh pada J.

Mengabaikan pertanyaan Xi, J berbalik dan melepaskan genggamannya pada Xi, menghampiri pintu.

"Burung?" Burung kondor yang tadi menarik kunci tidak berhasil masuk. Sebagai gantinya, suara koakan burung itu terdengar diantara kemarahan para warga yang memukul-mukul pintu.

"TEMUI AKU DI DALAM!" J berteriak, bukan untuk para warga itu, melainkan burungnya. 

Mulut Xi membuka dan menutup beberapa kali. Otaknya masih berusaha memahami apa yang terjadi.

Burung J mencabut kuncinya?

Gadis itu masih tidak percaya hal itu bisa terjadi. 

"Aku baik-baik saja," jawab Xi sambil berdiri. Ternyata ealau sempit, lorong itu cukup tinggi. Yah, setidaknya masih terdapat ruang yang cukup baginya, bahkan J yang lebih tinggi, untuk berdiri tegak.

"Terima kasih, J. Aku berutang padamu. Maaf karena sempat menyebutmu sebagai beban," ucap Xi tulus. "Kurasa kita harus bergegas. Bisa saja mereka berhasil meledakkan pintu dan menyusul ke sini."

Xi menggunakan salah satu goloknya sebagai tongkat dan terus melangkah maju. Lorong itu berkelak-kelok, kadang juga mendaki dan menurun. Terus membawa mereka ke jantung Liberte. Terkadang mereka salah berbelok dan berakhir ke jalan buntu. Namun, batu-batu yang J tinggalkan sebagai penanda selalu berhasil menuntun mereka kembali, juga mencegah mereka berputar-putar di rute yang sama.

Sesekali Xi menoleh ke belakang, untuk memastikan J tidak tertinggal. "Kalau kau lelah, bilang saja, J. Kita bisa beristirahat sebentar kalau kau mau."

J terus menggunakan batu-batunya sebagai penanda jalan saat bertemu jalan bercabang, jaga-jaga jika sewaktu-waktu mereka harus kembali ke jalur sebelumnya.

"Buntu." J bergumam begitu mereka tidak lagi menemukan apa-apa di depan kecuali tembok.

J mencoba maju, menyentuh tembok itu, tapi tembok itu benar-benar ada, bukan sekadar imajinasinya.

"Sepertinya kita harus berbalik." J menghela napas kecewa, berbalik menatap Xi dan menyandarkan punggungnya yang lelah pada dinding itu. 

"Astaga!" jerit J saat dinding yang menjadi sandarannya bergeser terbuka.

"Hati-ha...ti J." Xi tidak menyangka bahwa dinding itu tersambung ke ruangan lain. 

Senyum lebar mekar di wajah Xi. Barusan, dia nyaris putus asa karena lorong yang mereka lalui seolah tanpa ujung. Entah sudah berapa belokan, turunan, maupun tanjakan yang telah mereka lalui. Kedua kaki Xi sampai terasa akan lepas dari sendinya. Bajunya pun telah basah kuyup oleh keringat karena pengapnya udara di lorong.

Mulanya, Xi ingin menyuruh J tidak sembarangan masuk ke ruangan asing itu. Namun, J sudah telanjur melangkah ke ruangan bernuansa putih itu. Mau tidak mau, Xi menyusul. 

Gadis itu terperangah saat melihat peralatan-peralatan canggih memenuhi ruangan itu. Sementara J sibuk memeriksa satu-satunya pintu yang ada di ruangan itu, Xi justru mendekati satu sisi dinding yang dipenuhi layar-layar kecil. 

Beberapa layar menayangkan kekacauan yang tengah terjadi di luar. Ada juga layar yang menampilkan ruang-ruang kosong yang porak-poranda.

Satu layar menarik perhatian Xi. Seperti ruangan lain, kondisi ruangan yang tampil di layar tersebut tampak berantakan. Namun, yang menarik perhatian Xi adalah adanya lima orang yang tergeletak di lantai. Entah apakah mereka masih hidup atau tidak.

=======
Hai, selain karakter-karakter yang kemarin sempat saya mention, ada 3 karakter lain dalam dunia Terrawalker. Cuma, Xi memang belum pernah ketemu mereka. Karen mereka ada di Liberte sejak awal.

Buat tahu cerita versi mereka, silakan mamlir ke tempat:

Silas ( Shireishou )
Sara ( frixasga )
Deo ( boiwhodreams_ )

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top