Roleplay 03 (B)
Belum puas perutnya memakan dua orang, monster cacing itu masih mencari mangsa lain. Badannya meliuk-liuk di atas pasir, mengejar apapun yang dirasakan pergerakannya.
Kegelapan malam di gurun tak meruntuhkan lincahnya cacing itu bergerak. Dengan sekali sentak, ekornya mengibas dengan kencang. Pasir-pasir ikut terangkat lalu terbang terbawa angin.
Dalam ketegangan yang mencekam, semua orang harus bersyukur karena jarak yang jauh berhasil membuat gerakan tadi tak berarti.
Tak ada satu pun orang yang terkena kibasannya. Meskipun begitu, dia berhasil menggulingkan salah satu mobil.
Mata Xi basah karena tangis dan juga karena badai pasir yang menerpa. Dia mengusap mata dengan punggung tangan, menyadari bahwa dia tidak bisa terus mematung dan berharap keajaiban.
Aku harus menolong Edda.
Xi melompat turun, meninggalkan Raz yang masih tergugu. Mungkin kalau dia bisa segera mengalahkan si monster cacing, Edda masih dapat selamat. Karena itu, dia butuh mengambil goloknya.
Dengan lincah Xi berhasil menghindari kibasan ekor monster yang membabi buta. Monster itu menyadari kehadiran Xi dan berusaha mengejar.
Xi mengangkat pisau kecil milik Raz dan mengincar bagian perut monster. Namun, di detik-detik terakhir dia teringat pada Edda.
Bagaimana kalau pisau ini justru melukai Edda? Xi membatin.
Keraguan membuat lemparan Xi meleset. Monster itu terus mendekat kepadanya.
"MATI KAU, HAMA!!!" Raz memekik penuh amarah.
Tiga anak panah yang ditembakkan Raz berdesing mengoyak sunyi. Salah satunya berhasil menggores tubuh si monster cacing, membuat monster itu mengabaikan Xi dan malah mengincar Raz. Namun, kibasan ekor monstet itu sangat kuat hingga membuat pusaran angin yang menerbangkan tubuh mungil Xi ke belakang.
Xi jatuh dengan keras. Rasa ngilu mendera tangan kirinya yang jatuh lebih dulu.
Tidak ada waktu untuk memeriksa cederanya. Xi segera bangkit, lalu memelesat ke bekas api unggun.
Untung saja kedua goloknya masih teronggok di sana. Xi langsung mengambilnya.
Dilihatnya si monster kini bergerak ke arah Raz. Xi menarik napas dalam-dalam, sedikit terbatuk karena udara yang penuh pasir.
Jangan incar perutnya, Xi.
Lagi-lagi Xi berlari, dia memanfaatkan salah satu mobil yang terguling sebagai pijakan. Beberapa meter sebelum monster itu sampai kepada Raz, Xi melompat dengan satu golok terhunus.
Jleb!
Golok Xi menancap sempurna di ekor si cacing, mengunci pergerakan monster itu. Sebuah serangan yang fatal tetapi berhasil membuat monster itu murka.
Monster itu menoleh kepada Xi. Moncongnya terbuka serupa kuncup bunga yang mekar, memamerkan deretan gigi tajam yang membuat Xi jeri.
Xi menumpukan beban tubuhnya ke depan agar goloknya menancap makin dalam. Dia tidak ingin membayangkan kondisi Edda di dalam perut monster sekarang.
"Serang sekarang, Raz!" teriak Xi dengan air mata yang kembali tumpah.
Mata Raz mengilat. Tatapannya nyalang. Dengan cepat dia mengambil dua pedang pendeknya untuk menghasilkan luka yang lebih fatal. Dua kaki Raz bergerak lebar-lebar. Kedua senjatanya teracung. Amarahnya memuncak.
"PERGILAH KE NERAKA KAU, MAKHLUK TOLOL!"
Stab!
Dua pedang Raz bersarang di sisi kepala si monster. Monster itu menggeliat kencang. Darahnya muncrat ke mana-mana.
Tubuh Xi terlempar. Perih menjalar dari kedua telapak tangannya yang tergores pasir. Namun, semua itu tidak ada apa-apanya dibandingkan sakit yang mencengkeram dadanya.
Terima kasih, Kak Xi.
Masih dapat Xi ingat jelas reaksi Edda saat menerima hadiah pisau darinya. Harusnya dia menghadiahkan senjata yang lebih besar, mungkin dengan begitu Edda bisa melawan saat monster itu datang.
Monster itu mulai kehabisan darah. Gerakannya makin pelan dan lemah. Napasnya tersisa satu-satu. Jika dibiarkan, monster itu akan mati sendiri.
Aku harus segera mengeluarkan Edda.
Xi memungut pisau Raz yang tadi dilemparnya. Dengan langkah mantap, Xi berjalan ke bagian perut si monster yang berdenyut pelan.
"Keluarkan Edda dari situ, Monster Sialan!" Xi menangis kencang sembari menyayat sisi tubuh monster yang sudah sekarat itu. Kulitnya sangat tebal. Robekan yang ditimbulkan Xi hanya melukai bagian luar kulitnya saja.
Raz kembali menembakkan anak panahnya. Salah satunya berhasil menancap dan melukai si monster.
Monster itu akhirnya berhenti bergerak. Lolongan pilu kembali terdengar dari Raz.
Seperti orang kesetanan, Xi membedah perut monster itu. Tidak peduli ketika pakaiannya berlumuran darah anyir si cacing raksasa. Sesekali dia meneriakkan nama Edda. Berharap Edda akan menjawab panggilannya.
Bagian perut monster itu kini telah terbelah. Menampilkan lambung yang menggembung karena berisi dua orang. Tidak ada pergerakan yang menandakan kehidupan.
Gerakan Xi terhenti. Dia ragu apakah akan siap menerima kenyataan. Dipejamkannya mata untuk mengumpulkan keberanian.
Aku harus mengeluarkan Edda.
Xi sadar, tidak ada lagi harapan Edda akan selamat. Namun, gadis itu pantas mendapat pemakaman yang layak.
Akhirnya, Xi menyayat lambung monster.
"Maafkan aku, Edda." Xi tersedak tangis saat melihat wajah Edda untuk pertama kalinya.
Selama ini, Edda selalu menyembunyikan wajahnya di balik tudung. Baru Xi tahu kalau gadis itu memiliki bekas luka di bagian mata kiri. Membuat Xi bertanya-tanya kehidupan macam apa yang pernah Edda jalani.
Rasa sesal menghantam dada Xi. Harusnya dia memperlakukan Edda dengan jauh lebih baik.
"Biar kami yang mengeluarkan mereka." Seseorang menyentuh pundak Xi.
Xi menoleh dan melihat petugas AYX kenalannya berdiri di sampingnya.
"Aku janji akan memperlakukan tubuh gadis itu sebaik mungkin. Lebih baik kau obati luka-lukamu." Pria itu meliri Raz dengan sorot iba. "Lelaki itu tampaknya juga butuh diobati."
Xi terlalu lelah untuk marah. Dibiarkannya para petugas AYX mengambil alih tugasnya. Dengan langkah gontai, Xi menghampiri Raz yang masih meratapi kepergian Edda.
Dalam situasi normal, kondisi Raz saat ini sungguh menggelikan. Bayangkan saja seorang lelaki dewasa berbadan kekar menangis seperti anak kecil. Namun, situasi yang mereka hadapi jauh dari normal. Xi sadar kondisinya sendiri tidak cukup baik. Di saat ikatan di antara mereka bertiga mulai terbentuk, seseorang direnggut takdir begitu saja.
Xi berlutut di depan Raz, memeriksa luka-luka di tubuh lelaki itu. Tampaknya tidak ada yang mengkhawatirkan. Akan tetapi, terlihat jelas bahwa kematian Edda menorehkan luka yang teramat dalam di batin Raz. Xi teringat pada beberapa cerita Raz tentang masa lalunya. Raz juga pernah kehilangan adiknya.
Tangan kiri Xi meremas tangan Raz, sementara tangan kanannya mengusap air mata di pipi Raz.
"Tidak perlu khawatir. Edda sudah aman di sana. Pratt pasti akan menjaganya. Dia juga tidak akan kesepian. Adikmu pasti akan selalu menemaninya," bisik Xi lirih.
Duka yang menyelimuti mereka begitu pekat, membuat Xi tanpa sadar menarik kepala Raz agar bersandar di pundaknya. Tangan mungilnya menepuk-nepuk punggung Raz dengan lembut. Raz membalas pelukannya.
Sungguh ironi. Xi menyuruh Raz berhenti menangis, tapi air mata terus saja membanjiri pipinya sendiri.
—--
Saat salah satu kru AYX memanggil mereka, air mata Xi dan Raz telah kering.
Xi melihat tubuh Edda terbaring kaku dalam liang yang digali orang-orang AYX. Mereka membungkus tubuh Edda dengan jubah panjang gadis itu, hanya menyisakan wajahnya yang tenang tanpa ekspresi. Edda terlihat damai, mungkin kini dia tidak ketakutan lagi.
"Tadi aku menemukan gadis itu mendekap erat pisau ini." Kru kenalan Xi mengulurkan pisau Edda.
Perlu upaya yang keras bagi Xi untuk tidak menangis lagi. Dia mengambil pisau itu dan memegangnya erat.
Pemakaman berjalan dalam sunyi. Tidak ada yang membacakan obituari, tidak ada pula yang berbagi kesan-kesan terakhir.
Sebelum pergi, Xi menancapkan pisau milik Edda di atas makam sebagai penanda, lalu menata beberapa bongkah batu di sekelilingnya.
Raz masih mematung di tempat. Tatap matanya menerawang jauh, penuh kabut.
Xi meraih lengan Raz. "Ayo, Raz. Kita harus segera berangkat." Dia mengajak Raz untuk naik ke mobil. Perjalanan tetap harus dilanjutkan.
========
Katamela.
Hai, seperti biasa saya sangat menyarankan kamu untuk mampir ke ceritanya Happy_Shell dan rafpieces untuk dapat gambaran lebih menyeluruh dari sudut pandang Edda dan Raz.
Roleplay bagian ini benar-benar bikin emotional damage ke para pesertanya. Sampai sekarang, masih berasa nyesek nggak rela Edda harus pergi terlalu cepat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top