Roleplay 02
Katamela:
Halo. Sebelum lanjut baca. Izinkan saya jelasin dulu apa yang sebenarnya terjadi di bagian roleplay kedua ini.
Jadi, ceritanya. Rombongan AX-0976 dihadang monster raksasa. Xi, Raz, dan Edda harus mengalahkan monster itu dulu sebelum melanjutkan perjalanan.
Kalau di cerita biasa, tentu author bisa dengan mudah menyusun plot gimana Heroes-nya ngalahin Monster Jahat. Tapi, di roleplay ini, nasib para karakter kesayangan kami harus ditentukan dengan gacha. Para author-nyaa juga nggak bisa nebak apakah semua akan selamat atau nggak.
Nggak seperti 3 bab sebelumnya, bagian roleplay kali ini saya akan fokus ke point of view Xi, meski tetap memasukkan beberapa sudut pandang Raz dan Edda.
Saya sangat-sangat-sangat merekomendasikan kamu untuk mampir ke work rafpieces yang berjudul "Faith in the Desert" dan Happy_Shell yang berjudul "Escape To The Dreamland" supaya dapat gambaran cerita secara lebih menyeluruh.
—------
Sebuah guncangan hebat membuat mobil yang ditumpangi Raz, Edda, dan Xi berhenti mendadak. Membuat tubuh mungil Xi terlempar. Hampir saja Xi tertimpa peti kemas di dekatnya. Untung saja dia cukup lincah menghindar walaupun masih setengah sadar.
Butir-butir pasir menghujani ketiga penumpang saat pintu terbuka. Terdengar suara para pekerja AYX saling berteriak ketakutan, salah satu dari mereka berkata bahwa ada monster yang mengadang di salah satu rute utama menuju Liberte.
Xi segera mengenakan masker gasnya lagi, lalu meraih salah satu goloknya. Setelah badai pasir mereda, Xi dapat melihat seekor—tunggu, dua ekor! Dua ekor kalajengking raksasa sebesar truk, dilapisi bercak-bercak pasir keemasan dengan ekor-sengat beracun, menanti nyawa mereka. Xi refleks mengambil goloknya yang satu lagi.
Gadis itu melompat keluar dari mobil. Berdiam diri di dalam mobil hanya akan membatasi ruang geraknya. Lagi pula, jika ingin bertahan hidup, dia harus bertarung melawan monster raksasa itu.
Ketika pasir yang beterbangan mulai mereda, terlihat sosok yang menyerang.
Hanya ada dua pilihan, menghadapi para monster? Atau, melarikan diri di tengah gurun pasir antah-berantah?
Kalajengking-kalajengking yang keluar dari kedalaman gurun pasir menggerak-gerakkan capit dan ekornya murka. Beberapa pegawai AYX yang keluar berhasil digenggam oleh capit-capit mereka yang mematikan. Sebagian yang lain terempas karena serangan ekor.
Bum!
Debum keras dari capit yang menghantam bumi terdengar diiringi pasir yang beterbangan. Setelah selesai dengan pegawai AYX yang sudah tidak terlihat lagi dari jarak pandang si monster kalajengking, entah karena sembunyi atau terkubur, mereka mengincar orang-orang lain yang baru saja keluar dari mobil. Dengan gerak cepat sambil menggerakkan capit, salah satu monster itu menebas ke arah seorang pria berbadan kekar dengan syal biru.
Jleb!
Raz berhasil menghindar tepat sebelum capit itu memenggal kepalanya dan hanya menebas gundukan pasir. Dengan cepat pemuda itu bersembunyi di balik batu dan mempersiapkan senjata yang telah dia bawa.
Kalajengking yang lain mengincar Xi.
Sial! Gadis itu memaki dalam hati. Tidak Xi sangka monster sebesar truk itu bisa bergerak dengan gesit. Untung saja, dia jauh lebih gesit.
Seperti melayang di udara, Xi berulang kali melompat mundur untuk menghindari serangan monster kalajengking. Gerakannya begitu luwes, seperti sedang menari. Sayangnya, tidak ada yang sempat memperhatikan dan mengaguminya karena semua orang sedang berusaha menyelamatkan diri sendiri.
Tidak ada satu pun serangan monster yang berhasil menyentuh Xi. Tampaknya hal itu membuat si monster makin murka dan bergerak lebih agresif--dan juga lebih sembrono--untuk menangkap tubuh mungil Xi.
Xi terus berlari untuk memancing monster itu menjauh dari mobil. Akan merepotkan jika kedua monster bekerja sama. Xi rasa, Raz dapat menangani monster yang satu lagi.
Sepertinya, keberuntungan sedang berpihak pada Xi. Salah satu kaki monster melesak ke lubang pasir. Xi segera memanfaatkan kesempatan yang muncul. Diputar-putarnya kedua golok di tangan sambil berlari maju ke arah ekor monster.
"Ah, menjauh dariku!" teriak salah satu kru AYX yang bersembunyi di balik batu tak jauh dari sana. Pria itu memberondong monster dengan hujan peluru. Sebuah langkah yang bodoh karena monster tersebut kini justru berusaha menyerangnya. Begitu dapat membebaskan kakinya, si monster segera mengincar pria malang itu.
"Sial!" pekik Xi. Ekor kalajengking mengibas ke arah yang berlawanan, berusaha menyerang si kru AYX. Sabetan Xi hanya menyapu angin, membuat gadis itu oleng ke depan dan bergulingan di atas pasir.
Ekor monster di hadapan Xi kembali menyapu bumi. Debu-debu pasir beterbangan. Untungnya, Xi telah mengenakan masker gasnya.
Akan tetapi, si kru AYX tidak seberuntung Xi. Pria itu terbatuk dan pandangannya terhalang badai pasir lokal. Dia tidak dapat menghindar saat monster itu mengarahkan capit kepadanya.
"Aaargh!"
Teriakan pria itu begitu menyayat hati, tetapi Xi tidak peduli. Seluruh indranya kini berfokus membaca situasi, berusaha mencari celah untuk menyerang si monster. Bagi gadis itu, mengorbankan satu orang asing demi bertahan hidup bukanlah hal yang buruk.
Dengan langkah-langkahnya yang ringan, Xi berlari ke arah sebuah batu besar di samping si monster. Kakinya memijak mantap, mendaki hingga puncak batu. Dia kemudian meloncat tinggi menghindari capit tajam monster.
Xi mengayun kedua goloknya dan mengincar salah satu kaki depan monster, tepatnya di bagian ruas yang tidak tertutup rangka sekeras baja. Bertahun-tahun berkelana di Direland membuat Xi sedikit banyak tahu tentang titik-titik lemah monster yang biasa berkeliaraan di gurun.
Krak!
Tulang monster itu terlalu keras, Xi tidak mampu memutus kakinya hanya dalam sekali tebas. Namun, serangannya barusan berhasil membuat monster itu kehilangan fungsi salah satu kakinya, sehingga tidak lagi dapat bergerak selincah tadi.
Masih tiga lagi. Pikir Xi.
Monster yang kesakitan itu menggerakkan ekornya untuk menyerang Xi. Gadis itu meluncurkan tubuhnya di pasir untuk menghindar. Sayangnya dia justru terjebak di bawah mulut monster yang menetes-neteskan air liur.
Terdengar suara desis pelan saat liur monster mengenai bagian pundak dan lengan Xi. Kain yang terkena liur langsung hangus, sementara kulit Xi memerah seperti terbakar. Xi hanya bisa meringis saat merasakan rasa perih dan gatal merambat di kulitnya yang iritasi.
Andai Edda terlambat beberapa detik, mungkin salah satu capit monster itu telah memotong tungkai Xi. Meski dengan berurai air mata, Edda berhasil mengeluarkan Xi dari area bahaya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Edda sambil menarik tangan Xi. Gadis itu sempat menggores salah satu capit monster dengan tangan satunya.
"Terima kasih." Hanya itu yang bisa Xi ucapkan. Dia tidak punya waktu untuk berbasa-basi.
Dalam hitungan detik, Xi telah kembali berdiri tegak. Dia melirik pundaknya yang melepuh akibat liur monster. Perih. Rasanya seperti ada ribuan semut merah yang menggigiti kulitnya. Namun, Xi berusaha mengabaikannya.
Monster itu masih belum mati, malah terlihat makin berang karena salah satu kakinya patah. Dia memutar badannya, berusaha menyengat Xi dengan ekornya.
Xi berguling ke samping dan berhasil menghindar, tetapi salah satu goloknya terlepas dari genggamannya. Gadis itu kembali berdiri dan berlari mengitari si monster. Dengan golok yang tersisa, Xi berusaha menyerang tubuh monster.
Monster itu menggerak-gerakkan ketiga kakinya, mencipta badai pasir yang mendorong tubuh Xi ke belakang. Lagi-lagi serangan Xi meleset.
Xi belum menyerah. Dia segera bangkit lagi.
Monster itu mencoba menangkap Xi dengan salah satu capitnya. Untung saja respons Xi cukup cepat. Dia menggunakan goloknya untuk menahan capit monster.
"Edda. Ambil golokku dan serang monster keparat ini!" teriak Xi keras-keras. Dia tidak yakin dapat bertahan lama menahan serangan monster raksasa itu.
Teriakan Xi berhasil menyentak Edda. Untuk sedetik Edda sempat ragu. Kakinya yang sudah melangkah bahkan sempat berhenti sejenak. Namun dengan gelengan keras, Edda kembali berlari mengambil golok Xi yang tergeletak di pasir. Sambil berlari, matanya mencari-cari celah untuk menyerang monster di depannya.
Setelah memastikan posisi Xi, Edda lalu memilih kaki si monster untuk menjadi targetnya. Sayangnya gerakan monster yang tak tenang membuat serangan Edda hanya sedikit menggores daging di balik kulit sekeras baja itu. Tak memberikan luka berarti, tapi mampu membangkitkan amarah si monster.
Amarah monster yang semakin tersulut membuat fokusnya beralih pada Edda. Gadis itu tentu saja sadar apa yang telah diperbuatnya. Kakinya melangkah mundur dengan tak fokus. Baru dua langkah, Edda sudah jatuh terduduk akibat tersandung pasir.
Tangis Edda tak bisa dibendungnya lagi. Panasnya pasir gurun sudah tak dirasakan lagi di bawah telapak tangannya. Desisan marah kalajengking mendadak menjadi lebih keras dari sebelumnya. Sebelum ia sadar, kepalanya terlebih dahulu terhantam kibasan ekor dengan kulit sekeras baja.
Terlambat. Langkah Xi kurang cepat untuk menyelamatkan Edda. Ekor monster itu keburu menghantam kepala Edda.
Biasanya, Xi tidak akan peduli pada orang lain, keselamatan dirinya sendiri jauh lebih penting. Namun, dia teringat bagaimana tadi Edda menyelamatkan nyawanya walau sambil menangis. Rasa bersalah menyergap Xi. Dia tidak bisa mengabaikan Edda begitu saja.
Xi menebas dengan sekuat tenaga. Mengincar titik yang sama pada kaki monster yang tadi dipatahkannya.
Kraaak! Bum!
Kaki depan monster itu akhirnya terlepas dari badannya. Terdengar suara menggelegar yang memekakkan telinga, seolah monster itu sedang menangis kesakitan. Cairan pekat kehitaman mengucur dari badan si monster.
Xi memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik tubuh Edda sejauh mungkin. Dengan begitu, setidaknya mereka telah impas.
Xi memastikan Edda aman tersembunyi di balik batu. Tampaknya Edda setengah hilang kesadaran, tapi Xi tidak punya waktu untuk memeriksa gadis itu. Monster yang terluka itu terus mengerang dan menggerak-gerakkan badannya. Cairan kental terus mengucur dari bekas kakinya.
Xi menarik napas dalam-dalam. Paru-parunya terasa terhimpit karena kelelahan. Dia menunggu dengan sabar sementara si monster meronta.
Monster kalajengking itu oleng ke samping, sedikit limbung karena kakinya tidak lengkap lagi. Xi pun bergegas mengayuh kakinya, berlari sekencang yang dia bisa.
Tapak mungil Xi menjejak bongkahan kaki monster yang tergeletak di tanah. Dia memanfaatkan momentum yang ada untuk melompat sambil menyasar perut monster dengan goloknya.
"Cepatlah mati, Monster Sialan!" teriak Xi sambil menghujamkan goloknya ke perut monster itu
Jleb!!
Golok Xi berhasil menembus celah di antara dada dan perut monster. Namun, kekuatan tusukannya tidak cukup untuk merobek perut si monster. Malahan, goloknya tersangkut. Kini, tubuh Xi justru berayun di udara karena monster bergerak membabi buta. Bobot Xi yang ringan tidak cukup untuk memikat gaya gravitasi.
Bagaimana ini? Xi mulai panik. Hanya perlu sedikit dorongan saja untuk membuat goloknya merobek perut monster, tapi tenaga Xi sudah nyaris habis. Apalagi lengan dan pundaknya yang terkena liur monster semakin terasa perih.
"Kak Xi! Ayo turun! Aku akan membantumu."
Xi merasakan seseorang menggelayuti kakinya. Rupanya Edda berhasil mengumpulkan kekuatannya kembali dan berusaha membantu Xi turun.
Tangan Xi terasa ngilu karena harus menahan beban dua orang, tetapi ternyata hal itu justru membuatnya berhasil merobek perut monster.
Monster itu meraung kesakitan, sampai-sampai membuat telinga Xi berdenging. Seiring dengan tubuh monster yang menggelongsor jatuh, Xi melepaskan pegangannya pada golok. Dia dan Edda kemudian bergulingan di pasir. Untung saja gundukan pasir itu cukup empuk, sehingga tidak ada satu pun tulang yang patah.
Adrenaline di tubuh Xi mulai menyusut. Rasa perih di pundaknya kini makin menjadi-jadi, belum lagi tubuhnya yang serasa remuk. Ingin rasanya Xi berbaring sejenak dan mengistirahatkan tubuhnya. Namun, teriakan Raz membuat Xi sadar masih ada satu monster lagi yang perlu ditaklukkan.
Benar-benar perjalanan yang menyebalkan! keluh Xi dalam hati. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Xi bangkit kembali.
Langkah Xi tertahan sejenak kala melihat ekor si monster kalajengking menyengat dada Raz. Dia tahu bisa monster kalajengking itu sangat mematikan. Bukannya dia akan bersedih jika Raz mati. Hanya saja, perjalanan mereka masih panjang. Terlalu dini untuk kehilangan satu orang yang bisa dijadikan tameng hidup jika bertemu monster lagi.
"Edda! Cepat cari kepala rombongan. Minta antidote untuk mengobati Raz!" perintah Xi berusaha menyaingi deru angin yang ditimbulkan gerakan kaki monster.
Xi meraih golok yang terjatuh tak jauh dari kakinya, kemudian berlari sekencang yang dia bisa. Sepintas dilihatnya darah mengucur dari perut monster itu.
Mungkin Tuhan sedang memberkati mereka sore itu. Meski langkahnya tidak segesit tadi, Xi berhasil menghindari kaki dan capit monster yang berusaha mencabiknya.
Kiri, kanan, kanan, kiri.
Xi menarik napas dalam-dalam sebelum meluncurkan tubuh ke bawah monster. Untung saja tubuhnya mungil, dia dapat menyelinap dengan mudah. Ketika telah sampai di bawah perut monster, Xi langsung menusukkan golok ke bagian yang tidak tertutup cangkang keras. Setelah itu, dia berguling ke samping agar tidak tertimpa tubuh monster raksasa yang perlahan ambruk itu.
Dengan kedua tangan terentang ke samping, Xi berbaring menatap langit yang telah berubah warna menjadi jingga. Kedua monster telah mati dan situasi gurun berubah menjadi tenang.
Sekujur tubuh Xi terasa ngilu. Ingin sekali dia memejamkan mata dan tidur sebentar, tetapi entah kenapa wajah menyebalkan Raz justru terbayang olehnya.
Apa Edda berhasil mendapatkan penawarnya? Xi menghela napas dengan penasaran. Dia pun mendorong tubuhnya ke posisi duduk, lalu perlahan berdiri.
Dilihatnya Edda duduk bersimpuh di sebelah tubuh Raz yang telungkup di pasir. Xi menghampiri mereka dengan langkah terseok-seok.
Ketika melihat jarum suntik yang telah kosong, seulas senyum tipis tersungging di wajah Xi. Untung saja dia masih mengenakan masker, sehingga tidak ada yang melihat perubahan ekspresinya.
"Bantu aku membalikkan tubuh Tuan Raksasa ini, Edda," pinta Xi dengan suara lirih.
Edda mendongak kala suara lirih Xi terdengar olehnya. Di depannya, Xi terlihat sama kacaunya dengan Raz. Mungkin tidak separah Raz, tapi tetap saja. Luka bakar di bahunya mampu membuat Edda meringis pelan.
Dengan pelan Edda mengangguk. Ia lalu membalikkan badan besar Raz dengan hati-hati bersama Xi. Matanya refleks terpejam saat melihat luka melintang di dada Raz. Dengan tangan gemetar, Edda berusaha memberikan pertolongan pertama kepada Raz.
Setelah membebat luka di dada Raz dengan robekan jubahnya, Edda menoleh kepada Xi dan berkata, "K--Kak Xi. I--itu lukanya. Biar aku bersihkan dulu," ucap Edda sambil mengangkat botol airnya yang lain. "Takutnya nanti infeksi," lanjutnya.
Sekali lagi Xi tersentuh oleh ketulusan Edda. Tangannya telah terulur untuk mengambil botol air yang ditawarkan Edda, tetapi seolah deja vu, Xi teringat pada botol minumnya sendiri.
"Simpan saja untukmu," kata Xi sambil melepas maskernya, kemudian dia berjalan menuju mobil yang telah penyok di sana-sini.
Xi mengintip ke dalam mobil. Barang-barang di dalam mobil morat-marit ke segala penjuru. Beberapa kru yang tadi bersembunyi mulai bergerak untuk membereskan kekacauan. Untung saja botol minum Xi masih utuh. Dia menggunakan separuh air yang tersisa untuk mengguyur luka bakar di pundak dan lengannya. Perih, tetapi ada perasaan sejuk yang membuat lega.
"Mana atasanmu?" Xi bertanya kepada salah satu kru.
Lelaki itu menunjuk pada pria yang tengah memberi instruksi pada para kru. Xi berjalan tegap kepada pria itu.
"Berikan kotak obat-obatanmu!" pinta Xi dengan suara tegas.
Sang kepala rombongan tidak lekas menjawab. Keraguan membayang di wajahnya.
"Aku tidak tahu apa misimu sebenarnya. Tapi, yang jelas, kau harus membawa kami ke liberte, kan?"
Akhirnya pria itu memerintahkan salah satu anak buahnya untuk mengambil kotak obat-obatan. Xi segera merebut dan mengaduk isi kotak itu. Untungnya dia berhasil menemukan salep lidah aligator untuk luka bakarnya.
Setelah mengobati lukanya, Xi membawa kotak obat ke tempat Raz dan Edda berada.
Lukanya jauh lebih parah dariku, pikir Xi saat melihat dada telanjang Raz. Dia khawatir salep yang tersisa tidak cukup untuk mengobati luka lelaki itu.
Xi berjongkok di sisi Raz. Mulanya, Xi berniat untuk membantu mengoleskan salep, tetapi dia teringat bagaimana Raz melempar tubuhnya setiap kali mereka tidak sengaja bersentuhan.
"Kau bisa mengobati lukamu sendiri, kan?" tanya Xi sambil menyodorkan tabung berisi salep lidah aligator kepada Raz.
Raz yang tersanjung dengan perhatian Xi, tersenyum. "Terima kasih," katanya sambil beranjak duduk. Dia kemudian menerima salepnya. "Maaf, tangan kiri." Pemuda itu lantas membuka salep dan mengoleskannya ke bagian yang sekiranya dibutuhkan.
"Sudah saatnya kita kembali," kata Raz pada Xi dan Edda setelah dia selesai mengoleskan salep ke luka bakarnya. Lelaki itu mengenakan syalnya kembali, membiarkan dada telanjang dan perut kotak-kotaknya terekspos untuk sementara.
"Yuk," sambung Raz.
Edda mengangguk. Namun, beberapa detik kemudian dia justru berlari ke arah bangkai monster.
Xi sendiri tidak menanggapi ajakan Raz. Dia justru sibuk memeriksa luka di pundak dan lengan sebelah kirinya. Pakaiannya compang-camping akibat terkena air liur monster tadi. Merasa risih, dia memutuskan merobeknya sekalian. Lagipula luka bakarnya perlu sedikit diangin-anginkan.
Setelah itu, Xi pergi mengambil golok yang masih tertancap di perut monster yang baru mereka kalahkan.
Mata Xi terasa begitu berat. Energinya benar-benar terkuras.
Aku harus tidur. Aku harus segera tidur.
"Terima kasih sudah meminjamkannya tadi." Suara Edda membangunkan Xi. Gadis itu mengulurkan golok Xi yang satunya.
Xi hanya bisa mengangguk sembari tersenyum tanggung. Seperti orang mabuk, Xi berjalan sempoyongan untuk masuk mobil lebih dulu. Dia merasa tubuhnya dapat ambruk kapan saja. Semoga saja, dia dapat tidur nyenyak sepanjang sisa perjalanan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top