Jurnal 04
Halo, Pratt.
Harusnya aku memanfaatkan waktu ini untuk beristirahat, agar tenagaku cepat pulih. Tapi, pikiranku terlalu penuh untuk diajak tidur. Beberapa jam yang lalu, aku–kami–baru saja melawan cacing gurun. Ukurannya dua kali lipat truk yang biasa kau kemudikan.
Tidak mudah mengalahkan cacing itu. Lengan kiriku terkilir dan kedua telapak tanganku penuh luka. Saat ini, menulis jurnal menjadi kegiatan yang menyakitkan bagiku. Tapi, aku tidak punya cara lain untuk menumpahkan isi kepalaku. Rasa bersalah serasa terus berdentum di telingaku. Meneriakkan segala hal yang mungkin terjadi andai aku lebih cepat menyadari kehadiran monster itu.
Setiap kali aku memejamkan mata, bayang-bayang Edda terus menghantuiku. Ya, Edda. Gadis mekanik yang sempat kuceritakan padamu itu, kini telah tiada, Pratt. Dia telah menyusulmu ke sana. Apakah kau sudah bertemu dengannya?
Aku pikir, aku tidak akan pernah menangis lagi. Aku kira, tangisanku di pemakamanmu itu adalah yang terakhir, mengingat tidak ada lagi orang yang cukup dekat untuk kuanggap sebagai kerabat ataupun sahabat. Ternyata aku salah, Pratt.
Aku menangis saat mengetahui monster sialan itu telah menelan Edda. Aku menangis saat melihat Raz menangisi Edda. Aku menangis saat Edda dimakamkan. Aku menangis saat menemukan barang-barang Edda di mobil. Aku menangis saat menyadari bahwa aku tidak akan pernah bisa mengajari Edda bertarung seperti yang kujanjikan kepadanya.
Aku tahu, aku tahu kau pasti bingung. Dapat kubayangkan mata rentamu itu menatapku heran. Peduli pada orang lain sungguh tidak seperti seorang Xi. Kau benar. Selama bertahun-tahun aku berhasil membuat jarak dengan orang-orang baru. Aku sendiri pun bingung kenapa aku menjadi sedemikian pedulinya dengan Edda.
Kurasa sedikit banyak aku dapat menyalahkanmu. Kepergianmu membuatku lebih mudah terbawa perasaan.
Sejak kematianmu, aku seperti kehilangan tujuan. Selama ini aku bekerja, menuntaskan misi sebaik mungkin demi membuatmu bangga. Agar para petinggi Messenger tidak dapat meledekmu karena telah mempertaruhkan namamu untuk memberi kesempatan kepadaku.
Masih dapat kuingat kilat di matamu saat kau berusaha meyakinkan mereka bahwa aku dapat menjadi kurir yang hebat, bahwa tubuh kecilku justru adalah sebuah kelebihan yang tidak dimiliki kurir lain. Aku juga masih ingat orang-orang itu mentertawakanmu, tapi kau tetap percaya kepadaku. Sejak saat itu, aku bersumpah tidak akan membuatmu menyesal telah menolongku. Dan sekarang, kau tidak ada lagi bersamaku. Aku seakan kehilangan arah.
Ketika aku melihat Edda, aku tergerak untuk menjadi seperti dirimu. Entah berapa kali lemparan koin yang kulakukan sampai akhirnya aku memutuskan untuk membantu Edda. Sebagian besar hasilnya menyuruhku untuk lebih mementingkan diri sendiri. Tapi melihat kerapuhan Edda membuatku ingin menolongnya, setidaknya mengajarinya cara bertahan hidup. Aku ingin menolongnya seperti kau membantuku dulu.
Sayangnya aku gagal, Pratt. Aku gagal memenuhi janjiku kepada Edda.
Di saat-saat genting, sikap egoisku kembali muncul. Aku terlalu fokus menyelamatkan diri sendiri sampai terlambat menyadari posisi Edda. Andai saja semalam aku tidak panik, mungkin aku dapat membantu Edda meloloskan diri. Dan sekarang dia akan duduk dengan canggung di sudut mobil sambil mencuri-curi pandang memperhatikan aku dan Raz.
Ah, Razzy. Kondisinya lebih parah dariku. Dia terlihat linglung. Sepertinya kematian Edda juga menghantamnya dengan keras. Mungkin dia teringat kepada adiknya yang sudah meninggal.
Saat pemakaman, Raz hanya diam. Aku sampai harus menarik tangannya untuk mengajaknya naik mobil. Biasanya dia akan menepis tanganku, tapi semalam dia menurut saja.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menghibur Raz. Sejak dulu, aku tidak pernah ahli untuk urusan semacam itu. Setiap kata yang kuucapkan seolah makin menenggelamkan Raz dalam gelombang kesedihan. Jadi, kuputuskan untuk membiarkannya sendiri sementara waktu. Aku juga perlu waktu sendiri agar dapat mencurahkan kesedihanku ini. Sejak tadi, aku berusaha terlihat kuat agar Raz tidak semakin terpuruk.
Lihat, Pratt. Aku bahkan jadi lebih peduli kepada Raz. Kau pasti sangat bangga kepadaku.
—---
Aku baru saja menangis lagi, Pratt.
Perjalanan ini benar-benar membuat hatiku lemah. Hanya gara-gara tidak sengaja menemukan dan membaca jurnal Edda, air mata yang kupikir sudah kering itu tiba-tiba mengalir lagi.
Edda tidak pantas mati, Pratt. Dia tidak pantas berakhir seperti itu.
Selama ini, hidupnya sudah menderita. Ternyata Percy memberlakukannya dengan sangat buruk. Sungguh gadis yang malang. Kenapa pula dia bertemu seorang mentor yang buruk, bukannya dengan orang sepertimu, yang walaupun kadang sangat menjengkelkan tapi benar-benar berhati tulus.
Hidup Edda sebelum bertemu Percy pun tidak lebih baik. Sama sepertiku, dia harus berpisah dengan orang tuanya di usia yang sangat muda. Percy memang membantunya, tapi pria licik itu hanya memanfaatkan Edda.
Hidup Edda penuh penderitaan. Kini, aku mengerti kenapa dia selalu tampak ketakutan. Harusnya aku memperlakukannya dengan baik sejak awal. Bukannya justru menakut-nakutinya dan menghancurkan mimpi-mimpinya tentang Liberte.
Edda pantas untuk bahagia, Pratt. Dia pantas untuk menjalani hidup tenang yang selama ini diharapkannya.
Selain jurnal, aku juga menemukan pisau-pisau Edda. Sebenarnya tidak pantas disebut pisau, karena benda-benda itu hanyalah besi-besi rongsokan yang diasah hingga menyerupai pisau. Edda mengasahnya dengan cukup baik. Aku memutuskan untuk membawanya dan menggunakannya dengan sebaik mungkin. Entahlah, aku tidak punya alasan yang spesifik. Kurasa aku hanya ingin membawa benda yang dapat mengingatkanku pada Edda. Mengingatkanku untuk tidak hanya memikirkan diriku sendiri.
Beberapa jam lagi kami akan sampai di Rogue Colony. Kata kenalanku di rombongan, kami akan singgah sebentar di sana sebelum melanjutkan perjalanan ke Liberte. Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi di sana, yang jelas harusnya aku berusaha memulihkan diriku secepat mungkin. Tapi, aku masih belum bisa tidur. Selera makanku juga menguap begitu saja. Rasanya, aku hanya ingin membaca jurnal Edda lagi dan lagi, berharap dengan begitu aku dapat menebus kesalahanku. Berharap dengan begitu aku dapat lebih mengenal gadis itu.
—------
Siang ini aku sedikit lega, Pratt.
Raz akhirnya mulai menjadi dirinya sendiri. Dia tidak lagi bengong seperti orang bodoh. Kesedihan masih membayang di wajahnya, tapi setidaknya saat aku mengembalikan pisau yang kupinjam darinya, dia sudah merespons seperti biasa. Malah, sifat sok bijaksananya itu sudah kembali. Saat melihatku yang terus-terusan membaca jurnal Edda, dia malah menasihatiku.
"Edda mungkin sudah tidak ada. Tapi kenangannya ada bersama kita. Kita harus terus maju."
Begitu katanya tadi. Padahal siapa coba yang selama hampir sepuluh jam terakhir terlihat seperti orang yang kehilangan semangat hidupnya.
Dia juga menawariku makan, pakai bilang bahwa aku harus banyak makan supaya bisa tumbuh lagi. Sifat menyebalkannya itu sudah kembali. Sayang, badanku terlalu lemas dan suasana hatiku terlalu muram untuk meladeninya. Bertengkar dengannya hanya akan membuang energi, jadi kuputuskan untuk berkata bahwa aku tidak lapar. Tentunya sambil mengirimkan kode melalui tatapan supaya dia lekas enyah dari hadapanku.
Namun, seperti biasa, Raz tidak peka. Dia justru bertanya buku apa yang kubaca sejak tadi. Ketika kukatakan bahwa aku sedang membaca jurnal Edda, dia terlihat penasaran. Matanya menatapku seperti anak anjing yang sedang meminta perhatian. Akhirnya, aku menawarkan untuk ikut membaca jurnal Edda bersamaku.
Kami berdua terlarut dalam kisah Edda. Sampai-sampai tidak sadar bahwa kami duduk terlampau dekat. Lalu, perutku dengan tidak tahu malunya berbunyi keras. Seakan ingin membantah pengakuanku sebelumnya yang bersikeras masih kenyang.
Raz menatapku dengan sorot iba dan berkata, "Kalau kau tak makan, kau bisa saja mati kelaparan sebelum mati dimakan monster!"
Aku pun kembali teringat pada Edda. Mungkin Raz juga, karena mendadak saja dia terdiam dan pandangan matanya kembali menerawang jauh. Saat itu, hatiku serasa diremas-remas. Wajah Edda yang begitu pucat kembali menghantui ingatanku. Hal itu membuatku bertanya-tanya apakah akan ada orang yang mengingatku seperti ini jika aku mati. Orang-orang yang mengenalku–maksudku yang sungguhan mengenalku luar dalam–sudah tidak ada. Tidak akan ada yang merasa kehilangan jika aku mati.
Saat itulah aku sadar, ketakutan terbesarku bukanlah dimakan monster, atau ditumbalkan para penduduk Liberte. Ketakutan terbesarku adalah tidak ada orang yang mengingatku jika aku mati.
Tampaknya aku menyuarakan kekhawatiranku dengan keras. Karena selanjutnya Raz berkata dia tidak akan pernah melupakanku.
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi dapat kuingat dadaku terasa hangat saat mendengar janji Raz. Apalagi dia kemudian menatapku dan berkata tidak ada membiarkan orang lain mati lagi dalam pengawasannya.
Sejak kau pergi, tidak ada yang pernah menatapku dengan seperti itu, Pratt. Jujur saja aku merasa senang mendengar janji Raz.
Kami kemudian membicarakan rencana kami ketika tiba di Liberte. Rupanya Raz mulai ragu pada tujuannya. Dia tidak lagi yakin Liberte akan memberikan kesempatan yang selama ini dibayangkannya.
Entah dirasuki setan apa, tiba-tiba saja aku mengajaknya pergi denganku.
"Kalau Liberte tidak sesuai harapanmu, apa kau mau kabur bersamaku?"
Sungguh pertanyaan yang sangat-sangat bodoh. Memalukan! Bagaimana mungkin seorang gadis menanyakan hal seperti itu kepada lelaki yang belum terlalu dikenalnya? Bukankah itu terdengar seperti sebuah …. lamaran?
Untung saja Raz tidak menyadari perubahan warna di wajahku. Dia justru menanggapi tawaranku dengan serius dan bilang bahwa kami bisa saja bekerja sama dan menjadi tentara bayaran.
Untuk menyembunyikan rasa canggungku, kujawab saja bahwa aku punya banyak pelanggan, yang mungkin nanti bisa menjadi klien kami. Setelah itu, aku berusaha mengalihkan pembicaraan dengan membahas Rogue Colony yang akan kami kunjungi.
Kurang lebih seperti itulah yang dapat kuceritakan kepadamu, Pratt. Terima kasih telah mendengarkan racauanku. Berbicara kepadamu (dan juga Raz) sedikit melegakan hatiku. Kurasa aku akan beristirahat sejenak.
—---
Pratt!
Kami sudah sampai di Rogue Colony.
Yah, belum benar-benar sampai, sih. Tapi aku sudah bisa melihat gerbangnya dari sini.
Tempatnya seperti yang kau ceritakan.
Kondisinya tidak lebih baik dari koloni kita. Bangunan-bangunannya tampak rapuh dan berkarat. Tapi aku merasakan aura yang berbeda. Entah apakah itu lebih baik atau sebaliknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top